Senin, 15 Juli 2013

Cinta


Melihat wajahmu, mendengar senandungmu. Terlihat jelas dimataku warna – warna indahmu. Saat kau disisi terasa berkas cahaya menyelimutiku, getaran yang berpeluh selalu menjadi saksi bisu. Sayang, aku hanya seorang pemuja malammu yang merasa cukup dengan tak lebih dari kata senyum dan sapa. Pernah ku berfikir untuk lebih dari ini, namun tetap ku tarik lagi umpannya yang telah kujatuhkan dilaut luas. Karna aku takut dengan semua ikan yang menghampirimu. Aku selalu menghindar dengan kumbang yang selalu mendekati mawar. Aku mengagumimu dari jauh, aku tertidur saat kamu terjaga tapi aku selalu terjaga saat kamu terlelap. Aku dan dunia mayaku yang selalu menggambarkan arti dirimu disini. Entah sampai kapan aku harus dan akan berhenti berharap untuk hal sebodoh ini. Bahkan, seorang penyair pun tak mampu mengartikan cinta dalam diriku. Suatu prinsip yang sudah dipatenkan semu akan terus menjadi semu, jika tak ada yang menhidupkannya menjadi sebuah kenyataan yang indah atau buruk? Jika partai politik berlomba – lomba mencari kemenangan, tapi aku hanya dapat diam seperti rakyat yang tak berdaya untuk mendapatkan hatimu. Dibuku ini, aku bersua tentangmu membagi kisah dengan bayanganku apa yang telah kurasakan saat ini. Jika warga Aceh tenggelam dihempas tsunami, namun aku dihempas oleh amarahku. Aku tak kan bergumam didepanmu, tapi hatiku akan terus menumpahkan perasaannya lewat kertas putih ini. Tak kan kucoret dengan luka, tapi akan ku coret dengan air mata. Dimanakah hatimu saat ini? Pria misterius dengan rajutan dijasnya. Adakah sedikit namaku tersimpan dalam puzzle hatimu? Cinta, mengapa kau serumit ini? Mengapa kau hanya membisu? Cinta, tak boleh kah aku memilih pangeranku sendiri? Cinta, mengapa kau semu? Apa nafas indahmu tlah habis untukku? Cinta, sampai kapan aku hanya menjadi pemuja malamnya? Yang hanya dapat bersua lewat coretan – coretan tak berdaya ini. Cinta, haruskah aku lepas darinya? Meski aku tak rela, aku tak rela. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar