Melihat wajahmu, mendengar
senandungmu. Terlihat jelas dimataku warna – warna indahmu. Saat kau disisi
terasa berkas cahaya menyelimutiku, getaran yang berpeluh selalu menjadi saksi
bisu. Sayang, aku hanya seorang pemuja malammu yang merasa cukup dengan tak
lebih dari kata senyum dan sapa. Pernah ku berfikir untuk lebih dari ini, namun
tetap ku tarik lagi umpannya yang telah kujatuhkan dilaut luas. Karna aku takut
dengan semua ikan yang menghampirimu. Aku selalu menghindar dengan kumbang yang
selalu mendekati mawar. Aku mengagumimu dari jauh, aku tertidur saat kamu
terjaga tapi aku selalu terjaga saat kamu terlelap. Aku dan dunia mayaku yang
selalu menggambarkan arti dirimu disini. Entah sampai kapan aku harus dan akan
berhenti berharap untuk hal sebodoh ini. Bahkan, seorang penyair pun tak mampu
mengartikan cinta dalam diriku. Suatu prinsip yang sudah dipatenkan semu akan
terus menjadi semu, jika tak ada yang menhidupkannya menjadi sebuah kenyataan
yang indah atau buruk? Jika partai politik berlomba – lomba mencari kemenangan,
tapi aku hanya dapat diam seperti rakyat yang tak berdaya untuk mendapatkan
hatimu. Dibuku ini, aku bersua tentangmu
membagi kisah dengan bayanganku apa yang telah kurasakan saat ini. Jika warga
Aceh tenggelam dihempas tsunami, namun aku dihempas oleh amarahku. Aku tak kan
bergumam didepanmu, tapi hatiku akan terus menumpahkan perasaannya lewat kertas putih ini. Tak kan kucoret dengan
luka, tapi akan ku coret dengan air mata. Dimanakah hatimu saat ini? Pria misterius dengan rajutan dijasnya. Adakah
sedikit namaku tersimpan dalam puzzle hatimu? Cinta, mengapa kau serumit ini?
Mengapa kau hanya membisu? Cinta, tak boleh kah aku memilih pangeranku sendiri?
Cinta, mengapa kau semu? Apa nafas indahmu tlah habis untukku? Cinta, sampai
kapan aku hanya menjadi pemuja malamnya? Yang hanya dapat bersua lewat coretan
– coretan tak berdaya ini. Cinta, haruskah aku lepas darinya? Meski aku tak
rela, aku tak rela.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar