Malam ini mari berbicara tentang rumah. Bukan tentang arsitektur, bukan
juga tentang konstruksinya, gaya kekinian atau model kuno, bukan tentang
seberapa mahal atau murah, bukan juga tipe dua-satu atau yang megah ala-ala
istana. Bukan yang seberapa luas halamannya, bukan juga warna catnya. Tapi mari
berbicara tentang hangat atau dingin, tentang aku, kamu, dan kita yang berada
dalam satu atap kehidupan—rumah.
Tuhan
memilihkan aku kehidupan pasti dengan berbagai alasan. Agar aku kuat, agar aku
bahagia, yang paling penting agar aku bisa belajar tentang segala suasana, agar
aku bisa berdiri tegak walau badai menerpa kaki. Begitu juga aku, memilihmu
sebagai penenang, bahkan obat-obat terlarang itu juga kalah. Tidak. Aku tak
pernah berdoa semoga kau tempat kembali aku melepas lelah, tapi semoga aku
menjadi tempat melepas penatmu—rumahmu.
Hari itu, hari dimana aku termenung
menatap senja menuju magrib. Tarikan nafasku perlahan syahdu menembus udara,
sesekali kututup mata pelan lalu kubuka lagi sambil menikmati nyawa yang masih
tersisa dalam tubuh. Pikiranku melayang mengingat pertengkaran semalam, aku bisa apa? Lagi-lagi, kupeluk kedua
kaki yang kutekuk sembari menangis tanpa suara, hati tentu menjerit, kenapa harus aku Tuhan?! Kenapa?! Lambat
laun, usiaku bukan remaja lagi, aku mulai acuh pada kondisi yang sebenarnya
mencekik. Seperti semuanya tak pernah terjadi, kututup telinga rapat-rapat. Keegoisan hanya bisa merusak semuanya,
bahkan seorang anak yang tak mengerti selalu jadi korban. Kukubur cerita-cerita
penuh air mata itu.
Kata kakak temanku, itulah dik, kadang perceraian adalah jalan yang harus diambil tapi
memang bukan jalan yang terbaik. Tabahlah. Lalu hatiku bergeming, lalu mengapa harus ada pernikahan? Bukankah menikah
memiliki janji yang sakral? Kau berjanji di depan wali mengatasnamakan Tuhan. Lalu
kemana cinta? Atau apa arti cinta? Kata mama, di dunia ini sudah hampir punah cinta sejati. Terkadang bertahan bukan
karena masih ada cinta tapi karena anak-anak yang menguatkan. Sedih memang tapi
inilah hidup.
Aku bukan anak yang baik tapi bukan juga
seorang brandal kampung. Aku hanya manusia biasa yang berusaha mengubah hidupku
nanti. Bukan bermimpi mempunyai rumah yang mewah dan megah tapi mempunyai rumah
yang hangat karena canda dan tawa, atau saat ada yang menangis ada pula yang
memeluk untuk menenangkan. Aku punya mimpi, suamiku nanti yang senantiasa
mengecup keningku setiap membuka mata sampai menutupnya kembali, bukan hanya di
awal pernikahan tapi sampai aku kehilangan nyawa. Bukan sekedar rumah dengan
halaman yang luas tapi penghuninya dengan hati-hati yang luas untuk saling
memaafkan. Untuk anak-anakku nanti, nak,
kalau kau memiliki saudara bagaimanapun sifatnya, jagalah ia, bimbing ia,
jangan biarkan ada yang merasa seorang sendiri karena kita keluarga. Kemari nak,
setiap hidupmu diterpa angin kencang, ada Ibu dan Ayah yang siap memelukmu,
yang siap mendengarkanmu, mengusap air matamu karena kami tak bisa menjamin
hidupmu akan selalu tersenyum, kau harus mengerti nak, inilah hidup. Doaku
sebagai ibumu, semoga kau tak pernah merasa dipecundangi dunia. Nak, taka da manusia
yang sempurna termasuk Ibu dan Ayahmu, jikalau kami berbuat kesalahan, jangan
hakimi kami, maafkan saja.
Ada yang menangis di sudut lorong sana,
gelap, tapi aku kenal suaranya. Kudekati suara gemanya. Kepegang pundaknya,
isak itu hening. Dia bercerita. Dia bukan seorang yang malas, bukan seorang
yang bodoh. Dia bukan anak kecil, usianya di bawahku tiga tahun. Ada apa?
Ayah,
Ibu, kalian adalah panutan kami bagaimana pun kondisinya. Kami tahu kalian
hanya ingin menjaga kami dari segala macam bahaya dan dosa tapi tidaklah boleh
kami mencicipi kebebasan sedikit saja? Tidakkah boleh kepercayaan kalian kami
genggam sendiri? Tidak ada hari tanpa kekecewaan, maka dari itu izinkan kami belajar.
Sesungguhnya, saat kecurigaan itu meluap dan tercurahkan, saat kalian berucap
kegiatan yang kami lakukan tak ada gunanya, saat hal yang kami lakukan tidak
berguna, ada hancur yang tercerai-berai dalam tangis tanpa air mata. Ayah, Ibu,
percayalah bahwa segala sesuatu yang kami lakukan adalah untuk membahagiakan
kalian. Kami memang bukan manusia yang sempurna maka dari itu kasih sayang
kalian yang selalu bisa menyempurnakan. Kami ingin rumah yang penuh kehangatan,
dalam peluk dan doa. Kami masih bisa berdiri dengan hadirnya si pembenci tapi
lumpuhlah perjalanan kami saat tidak ada restu dari kalian, Tuhan pun menunggu ‘aamiin’
dari ayah dan ibu. Cukup ceritakan saja apa yang tidak boleh kami lakukan,
cukup marahi kami bila melanggar, cukup beritahu kami tanpa harus mengurung dan
menampar, cukup peluk kami setiap saat tak peduli usia kami yang sudah tidak
remaja lagi. Cukuplah kalian sebagai tempat kami kembali pulang dari segala
setan jalanan, dari segala kebohongan, dari lelah berlari mengejar mimpi. Teduhkan
hati kami. Percayalah Ayah, Ibu, kami pun selalu mendoakan kalian semoga Tuhan
masih mengizinkan kami melukis sabit di bibir kalian.
Sayang, ini khusus untukmu. Dari segala hati yang pernah kusinggahi,
jangan goreskan luka untukku. Aku hanya punya satu, kalau sudah kupilih kau,
berarti tidak ada lagi yang lain. Sayang, tegarlah kau dengan segala cerita
yang akan kita tulis nanti, seperti katamu waktu itu, kita akan menceritakannya
pada kesepuluh anak-anak kita suatu saat ini. Sayang, kataku saat hari ulang
tahunmu, aku mau bersamamu dari nol sampai titik puncak suksesmu kelak. Kau tak
perlu jadi orang luar biasa, cukup menjadi hebat untukku dan mimpi kita. Jangan
remas kepercayaan yang sedang kita bangun, karena ketahuilah bahwa kertas yang
sudah diremas takaan bisa kembali rapi, bahwa kaca yang sudah pecah takkan
kembali utuh meski sudah direkatkan kembali. Sayang, pelukmu menjadi teduh. Namun
hati-hati amarahmu bisa menjadi sedih yang teramat dalam. Semoga kau tak salah
memilihku, semoga aku tak keliru, semoga Tuhan merestui. Semoga aku menjadi
rumahmu sampai kontrak hidupku di dunia usai.
Terimakasih Tuhan atas semua karunia-Mu. Rumahku
memang tak mewah, tak selalu hangat tapi Engkau masih beri kami kekuatan untuk
saling menggenggam satu sama lain. Berikan aku kekuatan, Tuhan, agar bisa
menebar senyum, canda dan tawa.
Kawan,
ciptakan kenyamanan dalam rumahmu. Rendahkan ego, redamkan amarah, hapus semua
tangis. Percayalah, Tuhan tidak pernah tertidur. Kamu tidak pernah sendiri,
damaikan hatimu dengan selalu memaafkan. Kau hidup karena orang tuamu, jangan
hakimi mereka, cukup benarkan sikapmu sendiri karena kamu tidak bisa merubah
seseorang kalau dirimu sendiri masih terjebak dalam lubang hitam. Kawan,
percayalah, kemanapun kamu pergi, rumah akan menjadi tempat kaki kembali.
Sekian.