Minggu, 06 Januari 2019

RUMAH


Malam ini mari berbicara tentang rumah. Bukan tentang arsitektur, bukan juga tentang konstruksinya, gaya kekinian atau model kuno, bukan tentang seberapa mahal atau murah, bukan juga tipe dua-satu atau yang megah ala-ala istana. Bukan yang seberapa luas halamannya, bukan juga warna catnya. Tapi mari berbicara tentang hangat atau dingin, tentang aku, kamu, dan kita yang berada dalam satu atap kehidupan—rumah.

Tuhan memilihkan aku kehidupan pasti dengan berbagai alasan. Agar aku kuat, agar aku bahagia, yang paling penting agar aku bisa belajar tentang segala suasana, agar aku bisa berdiri tegak walau badai menerpa kaki. Begitu juga aku, memilihmu sebagai penenang, bahkan obat-obat terlarang itu juga kalah. Tidak. Aku tak pernah berdoa semoga kau tempat kembali aku melepas lelah, tapi semoga aku menjadi tempat melepas penatmu—rumahmu.

Hari itu, hari dimana aku termenung menatap senja menuju magrib. Tarikan nafasku perlahan syahdu menembus udara, sesekali kututup mata pelan lalu kubuka lagi sambil menikmati nyawa yang masih tersisa dalam tubuh. Pikiranku melayang mengingat pertengkaran semalam, aku bisa apa? Lagi-lagi, kupeluk kedua kaki yang kutekuk sembari menangis tanpa suara, hati tentu menjerit, kenapa harus aku Tuhan?! Kenapa?! Lambat laun, usiaku bukan remaja lagi, aku mulai acuh pada kondisi yang sebenarnya mencekik. Seperti semuanya tak pernah terjadi, kututup telinga rapat-rapat. Keegoisan hanya bisa merusak semuanya, bahkan seorang anak yang tak mengerti selalu jadi korban. Kukubur cerita-cerita penuh air mata itu.

Kata kakak temanku, itulah dik, kadang perceraian adalah jalan yang harus diambil tapi memang bukan jalan yang terbaik. Tabahlah. Lalu hatiku bergeming, lalu mengapa harus ada pernikahan? Bukankah menikah memiliki janji yang sakral? Kau berjanji di depan wali mengatasnamakan Tuhan. Lalu kemana cinta? Atau apa arti cinta? Kata mama, di dunia ini sudah hampir punah cinta sejati. Terkadang bertahan bukan karena masih ada cinta tapi karena anak-anak yang menguatkan. Sedih memang tapi inilah hidup.

Aku bukan anak yang baik tapi bukan juga seorang brandal kampung. Aku hanya manusia biasa yang berusaha mengubah hidupku nanti. Bukan bermimpi mempunyai rumah yang mewah dan megah tapi mempunyai rumah yang hangat karena canda dan tawa, atau saat ada yang menangis ada pula yang memeluk untuk menenangkan. Aku punya mimpi, suamiku nanti yang senantiasa mengecup keningku setiap membuka mata sampai menutupnya kembali, bukan hanya di awal pernikahan tapi sampai aku kehilangan nyawa. Bukan sekedar rumah dengan halaman yang luas tapi penghuninya dengan hati-hati yang luas untuk saling memaafkan. Untuk anak-anakku nanti, nak, kalau kau memiliki saudara bagaimanapun sifatnya, jagalah ia, bimbing ia, jangan biarkan ada yang merasa seorang sendiri karena kita keluarga. Kemari nak, setiap hidupmu diterpa angin kencang, ada Ibu dan Ayah yang siap memelukmu, yang siap mendengarkanmu, mengusap air matamu karena kami tak bisa menjamin hidupmu akan selalu tersenyum, kau harus mengerti nak, inilah hidup. Doaku sebagai ibumu, semoga kau tak pernah merasa dipecundangi dunia. Nak, taka da manusia yang sempurna termasuk Ibu dan Ayahmu, jikalau kami berbuat kesalahan, jangan hakimi kami, maafkan saja.

Ada yang menangis di sudut lorong sana, gelap, tapi aku kenal suaranya. Kudekati suara gemanya. Kepegang pundaknya, isak itu hening. Dia bercerita. Dia bukan seorang yang malas, bukan seorang yang bodoh. Dia bukan anak kecil, usianya di bawahku tiga tahun. Ada apa?

Ayah, Ibu, kalian adalah panutan kami bagaimana pun kondisinya. Kami tahu kalian hanya ingin menjaga kami dari segala macam bahaya dan dosa tapi tidaklah boleh kami mencicipi kebebasan sedikit saja? Tidakkah boleh kepercayaan kalian kami genggam sendiri? Tidak ada hari tanpa kekecewaan, maka dari itu izinkan kami belajar. Sesungguhnya, saat kecurigaan itu meluap dan tercurahkan, saat kalian berucap kegiatan yang kami lakukan tak ada gunanya, saat hal yang kami lakukan tidak berguna, ada hancur yang tercerai-berai dalam tangis tanpa air mata. Ayah, Ibu, percayalah bahwa segala sesuatu yang kami lakukan adalah untuk membahagiakan kalian. Kami memang bukan manusia yang sempurna maka dari itu kasih sayang kalian yang selalu bisa menyempurnakan. Kami ingin rumah yang penuh kehangatan, dalam peluk dan doa. Kami masih bisa berdiri dengan hadirnya si pembenci tapi lumpuhlah perjalanan kami saat tidak ada restu dari kalian, Tuhan pun menunggu ‘aamiin’ dari ayah dan ibu. Cukup ceritakan saja apa yang tidak boleh kami lakukan, cukup marahi kami bila melanggar, cukup beritahu kami tanpa harus mengurung dan menampar, cukup peluk kami setiap saat tak peduli usia kami yang sudah tidak remaja lagi. Cukuplah kalian sebagai tempat kami kembali pulang dari segala setan jalanan, dari segala kebohongan, dari lelah berlari mengejar mimpi. Teduhkan hati kami. Percayalah Ayah, Ibu, kami pun selalu mendoakan kalian semoga Tuhan masih mengizinkan kami melukis sabit di bibir kalian.

Sayang, ini khusus untukmu. Dari segala hati yang pernah kusinggahi, jangan goreskan luka untukku. Aku hanya punya satu, kalau sudah kupilih kau, berarti tidak ada lagi yang lain. Sayang, tegarlah kau dengan segala cerita yang akan kita tulis nanti, seperti katamu waktu itu, kita akan menceritakannya pada kesepuluh anak-anak kita suatu saat ini. Sayang, kataku saat hari ulang tahunmu, aku mau bersamamu dari nol sampai titik puncak suksesmu kelak. Kau tak perlu jadi orang luar biasa, cukup menjadi hebat untukku dan mimpi kita. Jangan remas kepercayaan yang sedang kita bangun, karena ketahuilah bahwa kertas yang sudah diremas takaan bisa kembali rapi, bahwa kaca yang sudah pecah takkan kembali utuh meski sudah direkatkan kembali. Sayang, pelukmu menjadi teduh. Namun hati-hati amarahmu bisa menjadi sedih yang teramat dalam. Semoga kau tak salah memilihku, semoga aku tak keliru, semoga Tuhan merestui. Semoga aku menjadi rumahmu sampai kontrak hidupku di dunia usai.

Terimakasih Tuhan atas semua karunia-Mu. Rumahku memang tak mewah, tak selalu hangat tapi Engkau masih beri kami kekuatan untuk saling menggenggam satu sama lain. Berikan aku kekuatan, Tuhan, agar bisa menebar senyum, canda dan tawa.

Kawan, ciptakan kenyamanan dalam rumahmu. Rendahkan ego, redamkan amarah, hapus semua tangis. Percayalah, Tuhan tidak pernah tertidur. Kamu tidak pernah sendiri, damaikan hatimu dengan selalu memaafkan. Kau hidup karena orang tuamu, jangan hakimi mereka, cukup benarkan sikapmu sendiri karena kamu tidak bisa merubah seseorang kalau dirimu sendiri masih terjebak dalam lubang hitam. Kawan, percayalah, kemanapun kamu pergi, rumah akan menjadi tempat kaki kembali.

Sekian.