Jumat, 03 Oktober 2014

Cermin

Sebenarnya untuk apa mereka mencari uang? Menantang dunia tentang segala bahaya yang tidak terbayangkan. Semiskin itu kah mereka? Mereka atau bangsa ini yang miskin? Berloncatan dari lampu merah yang satu ke lampu merah yang lainnya. Bahkan tak terasa kulit yang sudah terbakar oleh sengatan sinar matahari.

Kemana Ayah dan Ibunya? Apa mereka sebatang kara? Jam tangnku pun menatap sinis, karena aku tidak bisa apa-apa, membisu dan tak bergerak seakan patung yang lumpuh. Aku sedang berada di tempat yang nyaman. Lalu mereka? Beratapkan sorotan matahari, bahkan awan pun tak bisa melindungi. Bodoh! Siapa? Aku dan orang-orang yang bisanya hanya diam dan mencemooh keberadaan mereka.

Ya Tuhan, teguran apa lagi yang Engkau perlihatkan untukku? Begitu banyaknya keluhan tentang dunia ini, sehingga aku melupakan ternyata masih banyak orang-orang yang berada jauh di bawahku. Tentang semua kegalauan hidup yang aku rasakan. Mestinya tak usah merasa bahwa akulah yang paling menderita! Seakan semua masalah berada di pundakku. Mereka adalah cerminanku untuk selalu bersyukur akan nikmatnya dunia. Hati ini menjerit, karena kenyataannya seperti fatamorgana gurun pasir. Absurd!

Cerminan ini sungguh nyata. Tentang kemewahan yang sudah kumiliki, tentang manjanya diriku, rengekan tiada arti. Cerminan ini sungguh nyata. Kerasnya dunia mereka yang tak sebanding denganku. Akankah ada suatu masa dimana cakrawala akan menyelimuti hidup mereka? Tuhan, maafkanlah mereka atas semua khilaf dan maafkanlah aku atas semua sifat burukku. Tuhan, berkahilah langkah mereka, berilah penghidupan yang layak kepada mereka. Karena hanya Engkau Maha Segalanya. Tuhan, terimakasih atas semua yang telah Engkau perlihatkan untukku.

Minggu, 28 September 2014

Melangkah Jauh

Mengapa dunia begitu cepat berotasi?
Mengapa dunia begitu cepat menggulung waktu?
Sehingga harus kuberlari
Berlari cepat untuk melupakan

Seperti halnya senja yang selalu mengingatkan
Mewarnai langit menjadi jingga
Menyelimuti tenang ketika datang malam
Ikatan cinta melingkar disaat itu

Lalu memutarkan cahaya bintang
Menerobos gelapnya malam
Hetiku terpendam terjebak pada tanah ini
Aku ingin melngkah jauh

Saat lelap lalu terjaga
Membelai dentingan jam
Menyapa gelap sepertiga malam
Sujudku dengan penuh arti

Do'a yang senantiasa membangunkan hati
Air suci masih menetes pada sajadah
Bertasbihlah sampai subuh tiba
Dengan hati yang termangu pada kegelisahan

Aku melangkah jauh, teman
Dengan lirih semua itu menghilang di pelupuk mata
Entah kapan puzzle itu akan menyatu
Maafkan aku

Senin, 25 Agustus 2014

Kau Puisi

Kau adalah puisi-puisiku. Bukan hanya kata-kata biasa, namun syair yang istimewa. Kau, pelengkap tinta dalam sebuah penaku. Pelengkap coretan dalam lembaran kertas putihku. Akankah kau menjadi penyempurna warna dalam hidupku?

Sepertinya aku bodoh, bukan perasaan ini, tetapi aku. Aku terjun ke dalam jurang hidupmu, padahal aku tak tahu isinya. Entah apa namanya, ketika aku tertarik untuk mengetahui keadaanmu. Entah apa namanya, saat hati ini selalu merindukanmu, meski tak pernah memiliki. Entah apa namanya, ketika kecemasanku terlalu berlebih untukmu. Entah apa namanya, saat mata ini tak pernah puas untuk melihat senyummu. Aku tak tahu semua itu, tidak mengerti. Karena aku tak ingin mengatas namakan semua hal dengan cinta.

Aku masih mencari hatimu, walaupun sepertinya aku mulai tersesat pada kegelapan malam di tengah hutan. Aku tengah mencari bayang dirimu yang sangat kukenal dan sekarang sangat asing untukku. Aku masih tak mengerti mengapa hati ini terlalu yakin. Kekuatannya begitu besar. Sudah cukup aku menahan, menyembunyikan dan kemudian menghapus. Kamu, yang saat ini sudah tak kukenal. Hey! Aku nyata, yang selalu menggenggam tanganmu, yang selalu merangkulmu dengan rasa kesetiaanku.

Biarlah namaku tertimbun dari dasar sanubarimu oleh para kumbang yang menggeming di dalam hidupmu. Hidupkan aku dalam cahaya hatimu, matikan aku dalam tatapan kosongmu.

Kau adalah puisiku, nada dalam setiap syair penghayatanku. Aku menunggu ucapan manismu hanya untukku, saat hatimu benar-benar merasa yakin. Kau adalah puisiku dalam pucat dan senyapnya hati.

Lalu, apakah kau akan menjadi penyempurna warna dalam hidupku? Kau puisiku. Sahabat Sampai Tuaku.

Selasa, 22 Juli 2014

Setoples Coklat

Cerita ini benar-benar sebuah kisah nyata yang saya alami. Tentang sebuah kenangan yang sebenarnya selalu saya rindukan. Sengaja dengan bahasa yang tidak baku (semau gue). Semoga bisa menghibur sebagai selingan malam anda.

Aku sedang merindukan seseorang. Tulisan ini khusus untuknya. Bukan seorang mantan (pacar), bukan seorang pacar, bukan seorang yang baru kukenal. Bukan teman, bukan sahabat. Tapi dia adalah kakak sepupu laki-laki dari Ayah.
Berawal dari masa dimana aku masih mengenakan pakaian putih biru, yang baru saja melepas seragam putih merah. Aku adalah penjual coklat yang bentuknya beragam. Ya, itu adalah julukan dari SMP. Bukan karena aku kurang mampu, tapi bisa dibilang "Berwirausaha adalah salah satu hobiku". Setiap dia ada di rumahku, dan ketika aku sedang membuat coklat untuk dijual esok hari, pasti abangku itu selalu melahap coklat-coklat yang ada. Aku hanya memperhatikannya dan tertawa bersamanya. "Kok enak banget coklatnya, Sa?" Itu yang selalu ia katakan padaku acap kali memakan coklat-coklat yang ada.
"Bilang aja mau nambah, hahaha". Dan itu jawabanku untuk meledeknya.
Kelas akhir di tingkat SMP, aku terpaksa berhenti berjualan coklat. Karena, aku berniat untuk fokus terhadap Ujian akhir. Dan sekarang, aku diingatkan kembali tentang coklat-coklat itu.
Setoples coklat, Ibu menawarkan coklat-coklat yang aku bikin kepada tetangga sekitar rumah. Syukurlah, karena membludaknya pesanan dengan waktu yang cukup singkat. Pikiran tentang masa lalu terbuka kembali. Lorong waktu seperti menyedot tentang kenangan itu. Saat aku sedang merapikan coklat-coklat ke dalam toples, aku merasakan tawa dan canda bersama abang tercinta. Aku pikir, kalau ada dia yang berusaha menghabiskan semua coklatku, pasti rasa lelah itu berkurang 60%. Sejenak,aku berdiam diri sebentar untuk menjauhkan kenangan itu. Tapi apa daya? Aku tak bisa memutar waktu. Aku juga tau, bahwa kejadian di dunia ini hanya terjadi sekali seumur hidup.
Ah, mungkin aku hanya sedang merindukannya. Tentang setoples coklat atau tentang canda tawa itu. Dia sangat berarti dalam hiupku. Walaupun dia hanya kakak sepupuku, tapi dia seperti abang kandungku yang selalu ada memberi semangat dan membagi canda tawa, tak pernah membagi air matanya.
Setoples coklat, sudah mengantarkan bayangnya bersama canda tawanya.

Senin, 14 Juli 2014

Part 1

Dari sosok seorang wanita
Dari eloknya bahasa dan budaya
Gemerlap kata-kata sang pujangga
Bayangnya merasuk ke dalam raga

Aku terbangun dari sebuah mimpi. Kutengok sekeliling tempat pembaringan yg berbentuk persegi. Semua hampa dan kosong. Tak kudengar sayup-sayup suara bising yg selalu kucari. Kemana dia? Hey, kemana dirimu? Gelitik dalam dada yang mencari-cari.
Satu persatu derap langkah kecilku menapak di ubin yang begitu dingin. Menerawang pada setiap lorong di dalam rumah. Dari balik kesunyian, ternyata aku menemukan yang kucari. Ibu.. Ibu.. Aku mencarimu sedari tadi, dari balik ketenangan hati, aku menemukannya bersandar pada dinding yang membeku dengan buku-buku kuno yang berserakan.
Bersandarlah tubuh ini di pangkuannya. Dengan dekapan yang sangat hangat. Bahkan, hati yang terasa membeku pun meleleh dibuatnya. Apa yang kau pegang itu? Suara polos dari mulutku membuatnya tersenyum kecil. Secarik kertas bergaris yang berwarna kecoklat-coklatan itu adalah hasil karyanya. Sebuah syair tempo dulu yang dibuat dari hati lembut seorang Ibu. Bersenandunglah ia dengan suaranya yg halus. Ibu, aku belum mengerti kata-kata itu, perkataan dari mulutku terlontar kembali. Ibu hanya tersenyum kecil dan memberiku buku-buku lamanya untukku. Dengan gayanya, dia menjelaskan tentang sebuah deretan kata. Mimik wajah yang berganti, hentakan, keceriaan, sampai kesedihan yang teramat dalam. Tak lepas pandanganku yang ikut menari mengikuti lenggok tubuh dan tutur katanya.
Kuresapi sederetan tiap baitnya. Kubuka lagi bukunya, kubaca, kupahami. Lalu, ketika aku sudah mengerti, dgn lantang tubuh ini berdiri tegap dan memaparkan apa yang sedang dijelaskan pada tiap lembar halamannya. Seakan jiwanya merasuk ke dalam tubuhku. Terjunlah aku ke dalam syair itu. Hanyutlah aku dalam kata-kata sang pujangga. Terbang dan melintas cakrawala bersama mimpi yang tak nyata.

Minggu, 13 Juli 2014

Ketika Hati Berbicara

Coretan ini adalah isi hatiku yang paling dan sangat terdalam. Bukan cerpen yang biasanya berupa cerita fiktif belaka. Aku, sama sekali belum mengenal apa itu dunia dgn sejuta cinta. Hanya dapat merabanya dengan penuh keikhlasan.
Aku mengagumi seorang laki-laki yang sekarang sedang mencari jati dirinya menjadi seorang pria sejati. Dia adalah orang yang sangat dekat dengan hidup dan duniaku. Dia adalah sahabat kecilku, namanya (XXX). Entah mengapa saat aku berada di dekatnya, rasa aman itu selalu memelukku dengan erat. Aku mengenalnya sudah sangat lama, bahkan ketika aku belum sekolah. Aku merasa bahwa duniaku adalah dia. Namun, apa dayaku? Beranjak remaja persahabatan kami mulai pudar hanya karna omong kosong tak berguna yg mengelilingi telinga. Aku muak dengan semua itu! Aku benci saat saat itu! Aku benci karna aku harus melepasnya pergi dari duniaku. Walaupun aku tau, aku sudah memaksakan hati untuk menyiapkan rasa penyesalan yang teramat dalam, aku tau pasti aku akan kehilangan dia.
Lambat laun, aku mencoba untuk memulai dari awal. Dengan harapan akan berakhir indah. Aku salah, semua itu terasa seakan tak ada gunanya. Seakan sia-sia. Aku benar-benar kehilangan hatinya. Aku benar-benar kehilangan malaikat kecil penjagaku. Aku benar-benar kehilangan seseorang yg selalu menghapus rasa lelah akan kehidupan dengan penuh permasalahan. Dia sudah bersama dunia yg baru. Ya, menuju pendewasaan dan masa depan yg serius, tanpaku.
Ya Tuhan, aku tak mungkin memaksakan kehendak hati sendiri. Lepaskan dia perlahan lahan dari hati dan pikiranku. Satu pertanyaanku, mengapa hati ini selalu setia menantinya di jalan panjang yang basah ini?
Kita, adalah satu napas yang perlahan lahan terpecah menjadi ribuan partikel yang melayang di udara. Lalu terbang entah kemana, tanpa tau arah.
Satu permohonanku. Ya Tuhan, jaga dia dimana pun berada, seperti Engkau selalu menjaga hati ini untuknya.

Jumat, 25 April 2014

Mereka aja BISA MOVE! Kenapa kita enggak?

Kehidupan, biasanya tidak bisa lepas dari kata 'cinta'. Tapi, bagi para remaja 'labil', arti cinta ini beda dari yang lain. Samapi bosan mengurusi 'cinta' yang mungkin bakalan akan sia-sia. Kalau kata para mama dan papa, cintanya para remaja itu adalah 'cinta monyet'. Oke boys and girls, mengalihkan tentang 'cinta'. Bosen kelless.. hehe..

Ini adalah beberapa kutipan cerita nyata yang singkat. Kamu pernah engga sih berpikir tentang cita-cita yang tinggi tapi kemampuan kamu terbatas? Atau kamu merasa putus asa karena nilai-nilai di rapot kamu itu nialinya do re mi, alias ancur-ancuran banget? Pati pernah ya, karena aku juga pasti pernah, karena aku masih pelajar. Waktu itu, aku masih kelas satu MA, masih semester 1, dan aku masih semangat-semangatnya ngejar nilai yang WOW. Rajin baca buku, latihan soal, hapalan ayat dan hadis. Alhasil, aku berhasil mendapatkan yang aku impikan. Tapi di saat semester 2 kelas satu, aku merasa sangat-sangat jenuh dengan sekolah. Menurutku, sekolah cuma gitu-gitu aja, monoton dan membosankan juga bikin pusing. Aku merasa, aku sangat nyantai banget (woles/selow/apalahitu) aku malas banget yang namanya buka buku. Kalau belajar, ya paling cuma mau ada ulangan yang berbau eksak. Alhasil, semua nilai aku turun, walaupun aku masih dapat sepuluh besar di kelas. Tapi ya tetep aja turun, dimarahin? So pasti, yang namanya orang tua pasti ada rasa kecewanya. Aku terima aja. Ada temen sekelas aku yang nilainya juga jadi ancur-ancuran gitu, malahan lebih ancur dariku, padahal yang aku tahu, dia itu pinter banget. Aku aja kalau ada pelajaran berbau eksak yang enggak ngerti, pasti nanya ke dia. Terus ceritanya kita sharing gimana caranya biar bisa move lagi dan memperbaiki nilai. Dia bilang gini, "Pokoknya, gue mau serius lagi di kelas 2. Gue gamau punya nilai yang ancur-ancuran gitu lagi." Terus aku jawab aja gini, "Ya, buktiin dong.. jangan cuma ngomong. Pasti bisa kok kalau berusaha dan berdo'a.". Dari kekuatan hati temen aku itu, yang sebenrnya buat aku termotivasi juga untuk bisa. Lanjut ke kelas 2, ternyata aku sama dia sekelas lagi. Duduk di bangku IPA. Tapi aku belum ngeliat kalau dia berusaha untuk membuktikan omongannya itu. Lambat laun, seiring dengan berjalannya waktu, ternyata dia perlahan-lahan mencoba untuk bangkit, seperti apa yang dia bilang. Aku aja kalah sama dia. Hapalan lancar, sering maju ke depan kelas buat presentasi dadakan atau ngerjain soal matematika di depan kelas. DIA MEMBUKTIKAN KALAU DIA ITU BISA MOVE! 

Ada lagi nih, temen sekelas aku juga, temen baru. Awal ngeliat dia, aku pikir anaknya 'bringasan', jutek, galak. Suatu ketika, aku sekelompok sama dia. Dan kalian tahu apa? Dia lewat dari yang aku bayangin, dia itu tanggung jawab. Ya walaupun agak males kalau soal apalan. Dia itu bisa, tapi dia engga mau ada usaha buat mengembangkan kecerdasannya itu. Kurang motivasi kali ya? Hehe.. Ada beberapa guru eksak yang bilang kalu dia itu pintar dan juga beberapa guru eksak mengandalkan dia untuk membantu temn-teman prianya yang lain. Nah, beranjak ke semester 2. Ceritanya, kita lagi sharing di bbm. Dia juga bilang kalau dia mau berubah untuk bisa yang lebih baik. Aku jawab aja kaya temen aku yang tadi. Yang awalnya dia belum nyetor hapalan sama sekali, tiba-tiba dia nyetor hapalan banyak banget. DIA JUGA BISA MEMBUKTIKAN KALAU DIA BISA MOVE! 

Nah, itu dia sebagian yang sangat kecil kutipan kisah pendek dari lingkungan sekitar. Yang namanya cita-cita harus punya. Engga ada salahnya kok punya mimpi setinggi mungkin, selagi mimpi masih gratis hehe.. Tapi, jangan cuma mimpi aja, buktiin di dunia nyata. Yuk, sama-sama kita move buat sebuah masa depan yang cemerlang. Kalau kata Om Mario Teguh, "Cinta itu menyusul ketika kesuksesan datang." Sukses jangan nunggu tua, kenapa engga selagi muda? Asal kita selalu berusaha dan berdoa juga don't give up! And try try try to be the best :D Mereka aja bisa, kenapa kita enggak? ;) salam Sukses!

Rabu, 19 Maret 2014

Perjalanan Waktu (Cerpen)



Aku Ingin Bersamamu Sampai Tua



Another day, without your smile
Another day just passes by
But now I know, how much it means
For you to stay, right here with me

Menghirup udara yang sama, mencari dan berpikir apa aku harus melangkah lebih maju atau cukup sampa disini? Udaranya memang masih seperti dulu, tapi pemandangannya sudah tak serupa. Cukup lama aku meninggalkan kota ini. Kota kelahiranku. Kota yang ingin kupendam sendiri. Namun aku kembali, karena sebenarnya aku sangat merindukan kota ini.

Berdiri di pintu keluar stasiun kereta api, dikepung banyak mata dalam keramaian yang memadati ruang. Seperti berjalan tak pasti. Memaksakan untuk melihat arah depan, berusaha bersembunyi dari kenangan. Langkahku masih tak pasti. Hatiku masih terus ke belakang. Seperti mencari malam dalam siang hari. Aku paksakan untuk tetap berjalan, melawan arus.

Meski kenangan takkan terhapus, setidalnya aku harus merelakannya.

Sampai di tengah-tengah keramaian yang begitu padat. Aroma sedap dari kuah soto yang menyambar hidungku. Itu dia! Tempat makan favoritku dan Martha, dulu. Tempat makan yang jauh dari kemewahan ini selalu menjadi tempat yang istimewa bagi lidah aku dan Martha.

Aku berhenti tepat di depan kedai soto betawi itu. Mencoba mengingat apakah ini tempat yang sama? Tiba-tiba saja, aku menemukan seorang wanita tua renta, wanita yang usianya lebih tua dariku. Terlihat sedang menyiapkan beberapa mangkuk soto untuk para perut yang kelaparan.

“Loh Pak? Bapak yang dulu suka makan disini kan?” tanya wanita paruh baya itu.

“Ibu masih kenal saya?” tanyaku.

“Ya masih lah, kemana saja sudah dua tahun tidak terlihat?” sindir wanita tua itu.

Aku memang sudah hampir dua tahun tidak menginjakkan kaki di kota ini, kota Bogor, tempat kelahiranku sendiri. Aku hanya ingin mengubur dalam-dalam kenanganku bersama Martha, dulu. Hatiku dibalut kekeliruan, terlalu egois melapisi. Aku mencoba, aku berusaha mengikhlaskan semuanya.

Kenangan takkan pernah terlupakan, jangan pernah terkubur, tapi tetap berusahalah mengikhlaskan apa yang telah terjadi.

“Bapak kemana, Bu? Engga ikut jualan?” tanyaku penasaran.

“Bapak sudah hampir delapan bulan yang lalu meninggal. Ya, mungkin sebentar lagi saya yang akan menyusul.” Jelas wanita tua itu.

Mataku semakin sayu dibutanya, ingatanku terhadap Martha semakin menebal. Sambil menyantap soto betawi aku mendengarkan cerita wanita tua renta itu. Oh Martha, andai kau tahu aku menahan air mata di depan wanita yang sedang berhadapan denganku ini. Coba kau disini untuk nenenangkan kegalauan hati paruh baya ini.

Aku hanya dapat memeluk bayangmu, hangatnya hadirmu selalu kurasakan dalam kesenduan hati.

Perjalananku tak sampai disini. Aku menyembuhkan luka, dan menempatkan kenangan-kenangan ke tempat ia berada. Walau aku tahu, hatiku pasti perih dengan semua langkah kaki hari ini. aku harus belajar, aku harus berhasil  merelakan kenangan tawa kita, Martha.

Sambil menunggu angkutan umum yang bernomor nol tiga, ke arah terminal bus baranang siang. Harusnya perjalananku dari Jakarta menuju Bandung, bukan ke Bogor. Tapi hatiku tertarik untuk ke kota ini. Jadi, aku sempatkan, memutar arah untuk menaiki kerat api dari Jakarta menuju Bogor lalu naik bus ke arah Bandung. Ada beberapa berkas perusahaan yang harus kutandatangani disana.

Semburan asap kendaraan umum dan asap rokok terus mengikat paru-paruku. Aku tak berbuat apapun, aku mengabaikan asap rokok yang arahnya terus memampatkan hidungku. Walau sebenarnya, aku sangat membenci asap rokok ini, karena Martha juga sangat membenci hal yang sama. Tapi Martha akan sangat kesal jika aku menghajar si perokok ini.

“Mas, maaf asap rokoknya bisa tolong dimatikan? Kasihan banyak anak-anak kecil.” Pinta wanita muda di samping kananku.

“Eh mba! Ini tempat umum kali. Pindah aja sana kalau engga mau kena!” bentak si perokok.

“Maaf mas, tapi benar kata mba ini.” Kataku.

Lelaki perokok itu seakan bergumam dalam mulutnya. Sambil mematikan putung rokok yang ada di tangannya. Kurasa dia terlalu kesal karena kenikmatannya dalam hidup diusik orang-orang yang ‘sok tau’.

Kendaraan umum nol tiga sudah menjemputku, sudah terlihat dari jauh sana. Aku beranjak dari tempat duduk dan mengajak anak muda tadi pindah tempat yang ia duduki sekarang.

“Eh Pak tua! Jangan munafik jadi orang! Kaya engga pernah merasakan masa muda dan nikmatnya merokok aja! *cuih*” teriak si perokok itu.

Badanku berbalik arah, tak membalas ucapannya. Ya! tak membalas dengan mulut dan perkataan, apa lagi dengan membuang ludah di depan wajahnya. Maaf Martha, tapi ini yang harus aku lakukan, pekikku dalam hati. Aku menonjok tepat di dahi si perokok itu. Pukulan yang terakhir dalam hidupku. Anak muda itu terkejut melihatku. Tapi hanya balasan senyum yang tidak semanis dahulu, yang hanya bisa diberikan.

Mengabaikan semuanya. Mengabaikan kejadian yang baru saja terjadi. Aku menaiki kendaraan umumku. Melihat-lihat sekeliling jalan raya dengan pemandangan yang tak sejernih dulu. Meski banyak yang berubah dari sepanjang perjalanan ini. Tapi kenangan itu takkan pernah berubah dan akan selalu sama.

Pada trotoar, tepat di depan mataku, melihat lurus ke depan. Aku melihat sepasang anak kecil yang bergandeng tangan, berjalan dengan penuh semangat dan keceriaan. Kakiku tertarik untuk ikut bersama mereka. Memberhentikan roda yang berputar. Mengikuti arah angin yang membawa kaki-kaki kecil itu melangkah. Kuikuti jalur kasih sayang keceriaan mereka.

Kaki-kaki kecil mereka terhenti di jalan Raya Pajajaran, di rumah makan makaroni panggang. Ya Tuhan.. ini dia tempat kenanganku bersama Martha dulu. Kencan pertamaku dan Martha. Masih sama, tak ada yang berubah. Seperti rasa kasih sayang yang selalu sama tertanam disini (di lubuk hati).

“Ka, aku mau makan disitu.” Rengek gadis kecil.

“Iya dek, nanti kalau kakak sudah punya uang sendiri, pasti kita makan disitu.” Jelas pria kecil.

“Janji ya kak?” tanya gadis kecil untuk memastikan penjelasan pria kecil tadi.

Mereka berjanji, dengan menyatukan sepasang kelingking dan mengikatnya dengan penuh kepastian yang dibalut oleh cinta yang tulus dari dalam hati. Aku hanya tersenyum melihat kelucuan tingkah laku mereka. Sambil terus memperhatikan tawa mereka menggema disetap sudut kota. Aku pun terus melihatnya.

Martha, andai kau masih disini untuk melengkapi kesendirianku. Aku kalah, Martha. Aku kalah dengan kebersamaan sepasang bocah-bocah kecil itu.

Gerimis menyambar kebahagiaan kami, kuajak sepasang anak kecil itu untuk berteduh di dalam rumah makan makaroni panggang. Meski awalnya mereka bingung dan heran denganku, karena mengajak untuk masuk ke dalam. Aku memberikan dua cangkir coklat hangat dan beberapa makanan yang dulu sering kubelikan untuk Martha. Dengan lahap, mereka memakannya bersama. Aku ikut senang melihat kepuasan hati mereka.

“Kalian berdua ini adik kakak?” tanyaku.

“Bukan Om, kami ini bersahabat dan akan selalu menjadi sahabat sampai nenek dan kakek nanti.” Jawab pria kecil itu.

Kali ini, air mataku takkan tertahan lagi. Aku semakin mengenang Martha. Sosok sahabat kecilku yang menanti kehadiranku untuk menjadi sahabat sampai hari tuanya. Kami berdua, aku dan Martha sepasang sahabat kecil. Martha selalu bermimpi dan menunggu kalau aku akan menjadi sahabat hari tuanya. Sebenarnya, aku pun mengharapkan hal yang sama. Tapi kebodohanku untuk menunda pembicaraan terhadapnya. Aku tak pernah mengatakan, kalau aku pun menantikan hal yang sama.

“Isteri Om engga ikut?” tanya gadis kecil itu.

Aku tak menjawab, hanya saja aku malah tersenyum kepada sepasang anak kecil itu. Aku menggenggam tangan kedua bocah itu dan meletakannya tepat di jantungku. Aku hanya mengatakan, “Ini rasakan halusnya detak jantung Om. Isteri Om ada disini, selalu disini dengan penuh cinta.”

Sambil masih merasakan detak jantungku, gadis kecil itu menundukkan kepalanya dan mulai meneteskan air mata, keringat dingin mulai bercucuran di tempat ini. Gadis kecil itu berkata, “Maafin aku Om, aku engga tau. Pasti isteri Om seneng banget dapet suami yang baik kaya Om.”

Pertemuan di rumah makan itu sungguh singkat, sesingkat gerimis hari ini yang jatuh ke lantai bumi. Mungkin Tuhan sudah menyiapkan gerimis ini hanya untuk berbicara dengan sepasang bocah itu. Perpisahan, tangan melambai terlihat dari kejauhan mata memandang. Melanjutkan perjalananku menuju terminal bus. Menaiki tangga penyebrang jalan.

Masih banyak pengemis-pengemis yang berhimpitan untuk mengharapkan belas kasihan. Jika ada Martha disini, wanita itu takkan membiarkan para pengemis yang ia lewati dengan tangan hampa. Martha selalu menghabiskan uang sakunya untuk berbagi kepada semua menusia. Aku tahu Martha, aku sangat mengenal sahabat kecil dan sahabat hari tuaku itu.

Darimu, aku belajar segalanya. Semua hal yang kupikir sederhana, tapi ternyata aku salah. Kau menyadarkan aku, semua hal itu sungguh benar-benar istimewa, Martha.

Sampai di terminal bus baranang siang. Aku mencari bus yang arahnya menuju Bandung. Aku memilih tempat pada baris kedua dari depan. Aku membuka buku saku yang dulu pernah Martha kasih untukku, yang sebagian bukunya sengaja telah ditulis tentang perjalanan hatimu menantiku.

Tulislah di buku ini, akhir dari perjalanan kisah cinta kita. Kalahkan semua kata-kata indahku. Aku menyayangimu sampai kapanpun. Takkan pernah berubah, sahabat kecilku. Takkan pernah berubah, sahabat keriputku. Bagian terakhir tulisannya di buku ini, Martha.

Martha, ini waktunya aku menulis setengah buku kita. Aku akan melengkapi buku ini dengan perjalanan dan akhir dari cerita kisah perjalanan cinta kita. Walaupun kau tak dapat membacanya lagi. Tapi aku yakin, kau sedang tersenyum di atas sana melihatku melengkapi goresan tinta pena ini. ketulusan hatimu dan keikhlasan menungguku telah kau buktikan. Walau lika-liku perjalanan cinta kita sungguh sangat dramatis, namun kemantapan hatimu untukku membuka jalan dan menari dalam melodi cinta.

Kita sudah cukup mengenal, sahabat kecilku. Aku melamarmu untuk menjadi sahabat hari tuaku. Aku meminangmu dnegan ucapan Bismillahirahmanirahim di mulutku. Kita sudah membuktikannya, isteriku. Kita telah menjadi sahabat hari tua. Kau mengajariku tentang cinta. Bahkan kau rawat anak-anak kita dengan cinta. Kau pasti bangga melihat anak-anak kita sekarang.

Martha, terimakasih untuk segalanya. Kau membuktikan beberapa kalimat cintamu. Cinta itu merubah kesederhanaan menjadi lebih istimewa. Cinta itu belajar ketulusan dengan segala keikhlasan. Cinta itu menghapus air mata bukan malah membuat air mata.

Dalam tangis terakhirmu, kau mengatakan sesuatu, “Jika kegalauan hatimu tak dapat kau bagi lagi denganku, kau masih dapat bersujud pada sepertiga malammu, imamku. Kau kuat tanpaku. Je t’aime, sahabat hari tuaku.”

Tunggu aku, aku masih dalam perjalanan menuju tempat terakhir kita. Tunggu aku di istana surga kita, Martha.
I wanna grow old with you
I wanna die lying in your arms
I wanna grow old with you
I wanna be looking in your eyes
I wanna be there for you

Westlife – I wanna grow old with you