Kadang teduh membuatku heran, mengapa ia membuat nyaman para
penikmatnya? Kadang teduh membuatku heran, mengapa ia bisa ditunggu semua orang
yang merasa kegelisahan? Kadang teduh membuatku heran, mengapa ia bisa membuat
orang lupa waktu untuk bercerita di bawahnya? Kadang teduh membuatku heran,
tentang sebuah lamunan masa silam yang mengendap di kepala.
Ada malam yang tak bisa diganggu. Ada bintang yang berserakan.
Bukan, bukan di langit sana, tapi di sini, di bingkai yang kayunya sudah mulai
lapuk. Tawa yang membeku dari lensa kamera tukang foto itu selalu terpajang
gagah di meja belajar sederhana ini. Tentang kita yang membuatku selalu merasa
berarti lebih dari apa pun—kalian.
Hati meringis saat rindu yang tidak mampu tertahan akan sebuah
celotehan lucu yang terpantul kesana-kemari, yang entah tujuannya kemana. Saat
semua masalah terasa membuncah di ubun-ubun, lalu begitu saja terlupakan ketika
banyak tangan terulur di depan mata, ketika bahu-bahu kosong terpasang di depan
sana. Hilang kelabu, hilang semua ketakutan itu.
Ada malam yang tak bisa diganggu. Saat kaki ingin berlari
sekencang-kencangnya, saat badan lemas dan ingin memaksa untuk menangkapnya
kembali. Ada malam yang tak bisa diganggu! Ada perasaan yang tidak bisa
dijelaskan, kau mengerti tentang sebuah rindu yang tak bisa disampaikan? Ini
lebih dari itu! Kemudian, diri ini baru terbangun dari kebutaan bahwa dia lah
tempat berteduh tanpa harus ditunggu, tanpa harus diminta.
Ketika waktu sengaja kuberhentikan. Ketika hanya lamunan dari
pajangan yang diimajinasikan, ketika hanya mampu menatap senyuman beku yang
direkayasa, dan saat itu lah aku kembali pada memori yang selalu ingin diulang.
“Rere! Joe! Hormat sana di depan tiang bendera!” teriakan guru yang
sedang serius mengajar itu terdengar begitu nyaring, membuat satu kelas tertuju
padaku dan Joe. “Kalian ini bisanya hanya main kartu saja di dalam kelas.”
Lanjutnya.
“Main remi Bu..” Joe bergumam sambil jalan keluar kelas bersamaku.
Kata orang masa putih abu-abu itu menyenangkan. Kata orang masa
putih abu-abu itu mengenal cinta pertama. Kan hanya kata orang. Masa
putih abu-abu itu merasakan teriknya matahari yang hanya sejengkal dari ujung
kepala. Aku rasa pasti Joe sependapat denganku.
Masa silam, berbincang dengan memori itu terkadang hanya senyum di
bibir yang dapat kulakukan untuk mengingatnya. Aku dan Joe mungkin murid paling
ternakal, menjengkelkan, dan tidak bisa diatur, karena kami punya aturan main
sendiri. Jangankan merasa panasnya matahari, merasakan aspal yang keras saja
kedua kaki ini sudah biasa, sampai betis berotot.
“Peraturan untuk dilanggar, Joe.”
“Sekolah ini banyak banget aturannya sih, ketauan banget kan berarti
murid-muridnya banyak yang nggak disiplin.”
“Iya kaya kita, hahaha.”
Dari kejauhan, Ibu Nike yang baru selesai mengajar di kelasku dan
Joe terlihat menuju ke arah kami. Kedua matanya yang tajam terus memperhatikan,
dengan postur tubuh yang tinggi dan tegap, tidak lupa kacamata yang menggantung
di lehernya, rambut yang diikat habis dan sangat rapi sudah cukup
memperlihatkan sosok yang sangat disiplin. Huf! Aku kira ingin ditegur lagi.
Eh, tapi sampai kapan berdiri seperti ini?
“Ish kalian ini bikin ribut aja terus. Nih minum dulu.”
“Farida memang selalu pengertian, sahabat nih baru.” Kata Joe.
“Kata Bu Nike, waktu bel masuk kelas hukuman kalian selesai.”
“Siap Bapak Tono!” ucap Rere.
Banyak hal yang dapat menjadi kenangan, tentang sebuah perhatian
kecil sampai kesetiaan untuk selalu menunggu. Dan aku belajar dari mereka yang
tak pernah meninggalkan, seburuk apa pun sifat ini, sejelek apa pun rupa ini,
sehancur apa pun hati ini.
Saat lelah menghalangi aku melangkah, saat lelah menunda untuk
tubuh ini bergerak. Terpaku pada suasana yang di bekukan—masih. Saat itu lah
aku baru tersadar bahwa betapa rapuhnya hati ini, betapa lemahnya kaki ini yang
tidak bisa menopang kerasnya dunia seorang diri—tanpa kalian. Aku hanya batang
pohon yang sulit untuk bertahan hidup tanpa adanya akar, yang dijauhi orang
karena tidak adanya daun-daun rindang.
Sepagi ini hanya ada secangkir kopi hitam yang kusajikan sendiri,
di rumah yang terlalu luas untuk wanita sepertiku. Kedua mata ini rindu untuk
melihat seorang lelaki tua yang selalu bersiap di depan pintu, menungguku kembali
mengetuk rumah di tengah malam. Kedua tangan ini rindu untuk mengambilkan koran
di depan pintu yang selalu diserahkan kepadanya. Mulut ini rindu untuk
bercengkrama dengan lelaki tua dengan banyak pengetahuan itu. Bahkan, air mata ini
rindu saat amarahnya terpantul dari setiap dinding.
Ada sepasang roti yang masih kusajikan sendiri dengan selai
strawberi di dalamnya. Dengan rasa yang berbeda. Kedua telingaku bergetar
seakan masih terdengar dentuman tapak kaki seorang wanita tua yang
kesana-kemari, sibuk menyiapkan sarapan untuk keluarga kecilnya. Jemari ini pun
ikut bersaut kesal karena sudah lama tanpa sentuhan wanita yang sangat
penyayang itu. Lalu aku bisa apa? Bahkan hati ini sesak saat selalu
menyadari hilangnya teriakan Ibu agar sorang Rere menjadi wanita yang
baik.
“Rereeee!” teriak Farida dari jauh.
Aku menoleh ke belakang. Kulihat keempat sahabatku, Farida, Tono,
Joe, dan Doni. Mereka memang tahu tempat menyendiriku, di bukit yang tidak
terlalu tinggi ini hanya untuk melihat senja, hanya untuk menunggu guratan
jingganya, dan hanya unuk melepas emosi jiwa yang terpendam.
“Kenapa sih preman cantik kita yang satu ini?” ledek Joe.
“Ngerasa nggak berguna aja, nggak bisa apa-apa, cuma bisa bikin
ulah, dan jadi bahan keluhan orang tua sendiri.”
“Jangan bilang kaya gitu, Re. Kamu itu berarti buat kita. Kamu itu
orang baik.” Ucap Farida sambil memeluk tubuh dinginku.
“Re, semua orang itu pasti berproses. Enggak usah khawatir tentang
semua ini, mungkin kamu hanya lagi menikmati masa muda, tapi ya jangan terlalu
let it flow. You have to move!” support Doni.
“Re, kamu pernah nggak sih berfikir kalau kamu itu punya banyak
kelebihan. Kamu kuat, kamu bebas mau kemana pun yang kamu ingin, kamu punya
orang tua yang terus kasih idenya buat kamu menjadi lebih baik, kamu
berkecukupan. Ohiya, dan kamu punya bakat! Dan aku percaya kalau kamu yakin sama
bakat itu, kamu belajar terus pasti suatu saat kamu bakal sukses dan pastinya
orang tua kamu bangga banget!” jelas Farida.
“Hmm.. kalau dipikir-pikir aneh juga ya, orang urakan kaya Rere
malah jago design interior.” Ledek Joe.
“Eh, dari pada lo preman bukan, maco juga nggak!” teriak Rere.
“Ssstt! Udah udah, sini duduk berjajar, lihat mataharinya turun. Indahnya
ciptaan Tuhan.” Ujar Tono.
Semua orang berhak
bahagia, semua orang berhak untuk hidup damai, semua orang berhak untuk
menikmati hidupnya. Namun kadang kala kita yang tidak bisa mensyukuri apa yang
telah Tuhan titipkan. Kadang kala, ketika kita dinyamankan oleh suatu hal yang
sangat diinginkan dan saat itu logika tidak bekerja secara sempurna, lalu kita
lupa dengan siapa yang telah menciptakan semua itu, lalu kita lupa dengan siapa
yang sudah membuat mimpi itu menjadi nyata. Dan kadang kala semua itu hanyalah
ujian seberapa tangguh hati ini berlapang dada untuk berbagi kebahagiaan dengan
orang di sekitar. Semua orang berhak bahagia dengan kemampuan yang dimiliki,
tentunya semua orang bisa bahagia dengan ke-ikhlasan hatinya—Farida.
Senja, suasana itu selalu membuat aku kembali pada kehangatan yang
selalu bisa kunikmati seorang diri. mungkin mereka tak ada lagi di sini,
mungkin mereka sudah entah kemana pergi, atau mungkin sedang singgah di
pelabuhan apa yang aku pun tak tahu. Meskipun bayangnya juga tak nampak namun
sisa-sisa jejak langkah mereka bersamaku masih di sini, di pelukanku.
Masih kuputar-putar telunjuk sebelah kanan di pinggiran cangkir
kopi di meja yang sudah tak pagi lagi. Dengan harapan yang sama kalian ada di
sini meramaikan meja makan seperti tahun-tahun lalu. Celotehan, ledekan, hingga
tawa yang menggema sampai seluruh isi dunia tahu, bahwa kami bahagia, bahwa
kami sahabat sejati.
“Sayang banget ya si Farida nggak bisa nginep di rumah Rere. Pokoknya
nanti kalau Farida datang, gw bakal ceritain si Doni yang tidurnya mendengkur
keras banget. Hahaha.” Ledek Tono.
“Aduh.. Bapak Tono ini bisa juga ngeledek. Dikirain cuma bisa
ceramah, hahaha.” Saut Joe.
“Haiiiii kaliannn! Selamat pagi!” teriak Farida yang berlari kecil
menuju meja makan. “Hallo Tante!” sapa Farida kepada Mama.
“Hallo cantiknya Tante, gabung sana sarapan.” Kata Mama, ramah.
Wajah riang seorang Farida selalu terkenang dalam ingatan. Saat jenuh
melanda otak kami karena penatnya tugas sekolah yang menumpuk atau pun bayaran
sekolah yang belum lunas, dan bahkan keluhan tentang rumah, seakan hilang
dengan suara manja seorang Farida yang bisa saja membuat tawa. Walaupun dia tak
bisa bersama kami dua puluh empat jam.
Begitu saja dengan canda yang tak ada henti-hentinya. Tono semakin
asyik dengan ledekannya terhadap Doni. Farida tidak bisa berhenti tertawa mendengar ledekan
Tono dan melihat wajah Doni yang semakin merah padam, mungkin malu bercampur
kesal. Joe juga tidak mau kalah, dia
ikut tertawa melihat Farida yang kegelian dengan cerita temannya itu.
“Farida.. Farida..” Joe memanggil Farida yang masih tertawa kecil.
Tono memberhentikan ceritanya dan semua pun memasang wajah cemas menatap
Farida.
“Kok berhenti ketawanya? Tono ayo ceritakan lagi.” Kata Farida.
Aku bergegas mengambil tisu dan mengelap hidung Farida yang terus
mimisan. “Oh, ini nggak apa-apa kok, hehe.” Kata Farida.
“Kamu sakit, Da?” tanya Rere.
“Enggak kok Re. Mungkin aku hanya terlalu senang, jadi mimisan.” Kata
Farida sambil menghapus terus darahnya. “Ih apaan sih kalian jangan begitu
melihatnya, biasa saja. Jadi malu, hahaha.” Lanjut Farida dengan diakhiri
senyumannya.
Bertahun-tahun kami main bersama tapi baru kali ini kulihat Farida
serapuh itu. Ada sesuatu yang disembunyikannya dari kami. Tapi tetap saja dia
tersenyum dan memaksa Tono untuk melanjutkan cerita konyolnya itu. Tono melanjutkannya
meskipun aku tahu dia sudah tidak berselera walau mengucap satu kata pun, aku
tahu dia pasti memikirkan keadaan sahabatnya itu. Kami pun sudah tidak ikut
tertawa lagi, pandangan saat ini hanya tertuju pada Farida. Namun entahlah Farida
masih saja tertawa.
Tono, Doni, Rere, juga Joe, aku selalu bangga punya kalian, bahkan
aku enggak peduli kalian bangga atau enggak punya aku. Kadang aku enggak suka
liburan sekolah yang terlalu lama karena itu bisa membuat aku jauh dari kalian.
Suka nangis aja sendiri di dalam kamar kalau lagi kangen, haha. Hmm, hidup
hanya sekali terjadi, aku nggak mau menyia-nyiakan hal itu. Aku pastiin selalu
ada buat kalian selagi aku mampu, selagi aku bisa, dan selagi aku kuat. Dan inget
kan janji kita? Kita harus sukses walaupun pada hari yang berbeda atau pada
pekerjaan yang berbeda. Aku juga mau kaya Rere jadi wanita yang kuat—Farida.
“Gimana Lombok? Jadi nggak nih?” tanya Doni.
“Gass lahh!” Kata Joe semangat.
“Guys, aku nggak bisa ikut ya. Eh tapi kalau kalian mau ke Lombok,
nggak apa-apa kok. Nanti kita video call aja.” Kata Farida.
“Kita yang bakal izin ke orang tua Farida ya, tenang aja.” Kata Tono.
“Eh jangan, aku enggak mau nanti kalian yang di judge jelek sama
Ayah.”
“Satu nggak ikut, semua batal. Gw nggak peduli tentang Lombok,
karena ini bukan soal jalan-jalan tapi soal kebersamaan. Hari-hari kita udah
banyak yang kelewat tanpa adanya Farida, terus kita mau ke Lombok tanpa Farida
juga?” ujar Rere.
“Maaf ya kalau Farida selalu jadi alasan acara kita batal.” Ucap murung
Farida.
“Yaelah jangan gitu Farida. Santai aja, lagian Ayah Farida itu cuma
mau jagain Farida dari bahaya, kita paham kok. Joe suka iri sama Farida yang
setiap kali dihubungin sama Ayah, kalau Joe? Enggak tau kemana Ayahnya Joe. Apa
kabar dia, apa kabar Ayah, lagi apa Ayah, apa Ayah sekarang lagi mikirin Joe
juga? Hahaha.” Kata Joe sambil menundukkan kepala dengan tangan yang lurus mengepal
ke depan di atas meja makan dan diakhiri tawa sedihnya.
Memang usang meja makan ini, lapuk dimakan rayap tapi tetap aku tak
mau menggantinya. Biar saja berdiri sampai benar-benar roboh sendiri. Berjuta
kisah yang masih menempel di rumah ini. Dengan selalu adanya kasih sayang yang
membuatku kembali.
Kami berhasil lulus dengan hasil memuaskan. Mama dan Papa akhirnya
dapat tersenyum lebar dengan keberhasilan dari usaha yang telah aku
perjuangkan. Namun begitulah hidup yang selalu berputar dan akan terus seperti
itu. Mungkin ini ujian Tuhan selanjutnya, menguji seberapa hebatnya kita
menahan rindu. Aku orang pertama yang meninggalkan sahabat-sahabatku, terbang
ke Belanda untuk belajar design interior lebih dalam lagi. Meskipun
berat rasanya tapi satu janji dalam hati ini, aku akan kembali dengan
keberhasilan agar semua sahabatku dan orang tuaku merasa bangga mempunyai aku.
Kami memang tak lepas kontak, aku sengaja tidak pulang sebelum aku
lulus. Dua tahun aku sudah tidak mencium aroma Indonesia. Sampai tahun ketiga
aku baru pulang dengan membawa kebanggaan. Mama, Papa yang semakin keriput
telah menyambutku di bandara. Tidak ketinggalan Tono, Doni, Joe, dan.. kemana
Farida?
Tidak lama kemudian telepon genggamku berbunyi, pertanda ada pesan
masuk, dari Farida. “Hai semua!! Eh aku dapat pesan dari Farida,
sebentar ya.” aku ingat betapa bahagianya aku saat mendapatkan pesan dari
Farida karena ia tidak melupakan sahabatnya ini.
Congratulation, Rere!! Sudah kubilang kan kamu pasti bisa! Aku bangga
sama kamu Re dan aku aykin pasti orang tua kamu lebih bangga lagi punya kamu. Jangan
mengecewakan mereka ya dan jangan mengecewakan aku juga loh, inget! Re, maaf ya
aku enggak bisa datang buat menyambut kepulangan kamu ke Indonesia, aku minta
maaf kalau selama hidup aku cuma bisa bikin kamu susah. Sekali lagi, kamu
adalah sahabat terbaik aku, Re. Aku mau ngerepotin kamu lagi nih, hehe.. aku
minta doa yang ikhlas dari kamu ya. Re, kamu adalah sahabat terbaik aku yang
enggak akan aku lupain. Jangan sedih ya sama pesan terakhir aku ini dan jangan
marah sama Tono, Joe atau pun Tono, karena ini semua aku yang minta. Aku engga
mau kamu keganggu sama sakit yang ada di tubuhku ini. ONCE MORE, I AM SO PROUD
OF YOU!
Dan aku masih ingat betapa marahnya aku kepada dunia, betapa
kecewanya aku tentang keegoisan diri ini yang tidak sekali pun menengok
sahabat-sahabatku. Tiga tahun aku belajar di negeri orang dan tiga tahun juga
aku meninggalkan Indonesia dan isinya. Farida meninggalkan kami saat aku
menginjak tahun kedua di Belanda dan tidak ada satu orang pun yang memberi
kabar tentang semua ini.
“Bilang sama Rere siapa yang balesin chat aku sama Farida?” aku
bertanya sambil menangis kepada semua sahabatku. “Jawab!”
“Gw Re, Farida yang titip handphone-nya ke gw buat balesin chat lo.
Maafin Re, ini pesan terakhirnya Farida.” Kata Tono.
“Halah bullshit! Ton, lo yang paling bijak di antara kita berlima
tapi kenapa lo bersikap bodoh, hah?! Nggak punya perasaan lo semua!”
Sejak saat itu aku tak ingin bertemu dengan mereka. Semua abu-abu,
seperti hidup sendiri. Meskipun aku sudah merintis karir di sebuah perusahaan properti
ternama di Indonesia, orang tuaku pun sudah merasa sangat bahagia. Kesedihanku berlanjut,
satu persatu orang yang kucintai pergi, Mama lalu Papa.
Sempat putus asa, pikiran bodoh jaman dulu pun datang kembali. sudah
cukup aku tidak berarti lagi! Hanya Farida yang dapat menguatkan, tapi
kemana ia dibawa Tuhan? Tono, Doni, dan Joe masih terus berusaha
menghubungiku, menjengukku di rumah, namun tetap hati ini masih merasa kecewa.
***
“Misi, ada kiriman paket.” Terdengar suara kurir dari balik pintu. Kopi
hitam di atas meja ini juga sudah tinggal ampas yang menumpuk.
“Dengan mbak Rere?”
“Iya, saya sendiri.”
“Ini mbak ada kiriman paket. Bisa tanda tangan di sini ya.”
“Ohiya, makasih ya.”
Sebuah kotak kecil yang dibungkus rapi berwarna cokelat. Teruntuk
Rere tapi tidak ada nama pengirimnya. Kubuka perlahan-lahan kotak itu, DVD?
Aku bergegas mengambil laptop untuk menonton isi dari DVD itu. Kuputar DVDnya,
duduk santai di meja makan sambil menyantap roti isi selai strawberi yang
harusnya kumakan pada saat sarapan tapi ini sudah jam makan siang.
Re, kita tahu kita salah. Tapi ini sudah terlampau lama Re. Kita
engga bisa kaya begini terus. Biarin kita menghibur lo.
Rereeeee! Gw kangen sama lo, sumpah! Gw kangen main remi lagi sama
lo.
Re, kita bikin video ini karena kita tahu pasti lo juga kangen kan
sama kita. Re, lo harus tahu kalau lo enggak pernah sendiri. Please maafin kita
Re. Gw yakin pasti Farida sedih ngeliat kita jauh kaya gini.
Ohiya Re, satu lagi! Gw nih sahabat lo yang bukan preman dan nggak
maco ini mau NIKAH!! Re, gw mau lo termasuk jadi bagian yang direpotin sama gw.
Nih undangannya, tuh gw namain ‘Kepada Yth, Rere cantik banget’. Sengaja nggak
gw pakein ‘dan partner’ karena gw yakin lo belum punya gebetan, oops!
Video ini yang membuatku sadar bahwa aku telah bodoh meninggalkan
mereka yang selalu mengisi hari-hari sepi. Bahkan orang lain pun perlu waktu
lama untuk menggantikan posisi mereka tau mungkin tidak bisa tergantikan. Aku menangis
bahagia di meja makan ini dan aku yakin kalau Farida akan senang jika aku
mengikhlaskan kepergiannya. Seperti pesannya dulu, bahagia itu bisa dibuat
dengan hati yang ikhlas. Farida tidak akan sendiri di sana, aku tidak perlu
khawatir karena ada Mama dan Papa yang menemani. Aku rindu kalian!
Tidak pernah ada waktu yang sepi, tidak pernah ada waktu yang
usang, tidak pernah ada kesedihan, jika saja waktu tidak disia-siakan. Manusia memang
tak ada yang sempurna namun sekelilingmu dapat menyempurnakannya. Memang raga akan
lapuk dan menghilang tapi kebaikan yang dikemas rapi sebagai kenangan akan
selalu abadi, lalu kembali sebagai sesuatu yang sangat dirindukan. Aku sedang
kembali dari manisnya masa silam. Aku sedang
kembali untuk berlari menuju kesetiaan.
“Rereee!”
“Hah?! Tono, Doni, Joe?”