Mengejar
Matahari
Aku
hanya memanggilmu Ayah
Di
saat kukehilangan arah
Aku
hanya mengingatmu Ayah
Jika
aku t’lah jauh darimu
Perjalanan
hidupku masih panjang. Tak kan kuikuti jejak hidupmu atau dia. Namun aku masih
menghargai setiap peluh yang bercucuran saat dua pilihan disebut (hidup atau
mati). Walau biarlah aku berjuang sendiri demi masa depanku. Hanya do’amu dan
dia yang hanya dapat mengantarkan aku dalam menghadapi kegelisahan dunia yang
fana ini.
“Biarin Candra dan Nino
sama Ibu! Kalau kamu mau pergi, pergi aja sana! Jangan bawa mereka.” Sentak Nenek.
“Tapi Bu, mereka itu
anak-anakku. Jadi aku yang berhak untuk merawat mereka.” Pinta Ibu.
“Halah… mau dikasih
makan apa Candra sama Nino kalau kamu yang urus? Mau tinggal dimana? Tempat
klabing? Hah!” bentak Nenek.
Pertengkaran yang
sangat menegangkan itu, sudah harus kudengar sejak aku berumur empat tahun dan
Nino masih berumur dua tahun. Aku hanya tersudut di balik meja bundar bekas
peninggalan kakek semasa hidupnya.
Ibu dan Ayah, mereka
berpisah. Entah apa yang terjadi saat itu, aku masih tak mengerti. Namun
sepertinya, Nenek sangat benci Ibu. Mereka merebutkan aku dan Nino, adikku.
Sungguh, sebenarnya bayang-bayang kejadian yang sangat menakutkan itu masih
terbayang jelas di pancaran terdalam bola mataku.
Ayah, yang seharusnya
hadir di tengah kejadian tempo lalu, namun entah kemana dia menghilang. Aku dan
Nino tinggal di rumah Nenek dan Ibu tak pernah mengunjungi kami berdua.
Perasaan murungku selalu menyelimuti dunia.
Om Ferdy, adik kandung
Ayah yang setia mendukung, sampai sekarang menjadi panutan dalam hidup kami
terutama aku. Menjaga seperti anaknya sendiri, seperti bukan keponakannya lagi.
Sekalipun dia sudah menikah dan
mempunyai anak.
Ibu,
aku menyayangimu, sungguh. Aku merindukan hadirmu disaat aku butuh pelukan
hangatmu. Ibu, apa yang telah terjadi padamu dan Ayah? Apakah kau tega
membiarkan aku dan Nino menghabiskan waktu kecil tanpa bimbingan keluarga yang lengkap?
Ibu, andai kau tahu betapa aku sangat mengharap belaian hangatmu yang tak
pernah kau tinggal walau hanya sebagian kecil.
Lambat laun, sejalan
dengan melupakan semua hal kelam yang sedang melanda hati. Dari tahun ke tahun
aku dan Nino berusaha untuk membanggakan Nenek dan Om Ferdy dengan prestasi
yang kami buat. Walau hanya dengan selembar kertas dan angka yang tercantum di
sana, mereka sudah cukup bangga dengan semua peningkatan nilai-nilai kami.
Sudah beranjak masa
putih abu-abu, mulai kuhirup masa-masa pendewasaanku. Walau Nino masih memakai
putih biru. Aku mulai mencari penghasilan sendiri, walau Nenek sebenarnya masih
bisa menghidupi aku dan Nino dengan hasil pensiunan dia dan Kakek. Walau Om
Ferdy masih membiayai aku dan Nino sekolah, dan Tante Mira masih membelikan
kami perlengkapan sekolah.
“Candra.. Nino..”
panggil Om Ferdy.
“Kenapa Om?” jawabku.
“Begini Om mau bilang,
kalau Om dan Tante Mira mau pindah rumah. Jadi nanti kita engga tinggal di sini
lagi. Tapi kamu sama Nino kalau mau main ke rumah Om dan Tante, main aja. Oke.”
Jelas Om Ferdy.
Sesungguhnya, aku
merasa sangat kehilangan saat itu. Aku takut untuk menopang kakiku sendiri,
lagi. Setelah bertahun-tahun rasa sesak itu aku tahan yang ternyata masih
membekas setelah kepindahan Om Ferdy dan istrinya ke rumah baru.
“Maafin Tante ya
sayang. Kamu belajar yang bener ya, kalau ada apa-apa ke rumah Tante sama Om
aja. Oke ganteng?” sanggah Tante Mira.
Kepalaku hanya
mengangguk pelan, menerawang begitu jauh, menatap kosong tanpa arti. Sungguh,
ini di luar dugaan hatiku. Aku merasa belum siap. Aku masih rapuh, aku masih
takut. Aku merasa seperti kembali diumurku yang keempat tahun.
Terbayang lagi wajah-wajah
malaikat yang menjagaku beberapa hari yang lalu. Satu minggu sudah mereka
pindah ke rumah barunya itu. Melihat Nenek yang sudah semakin tua, menengok
adikku yang masih kecil dan melihat Ayah yang hanya luntang lantung entah
mencari apa.
Mataku mulai mencari
sisi dunia yang lain, pikiranku mulai bekerja pada sebuah misteri yang akan
ditunjukkan Tuhan. Aku bangkit demi mereka yang menyayangiku, sungguh aku
beranjak dari masa laluku yang begitu kelam!
Beberapa strategi
belajar yang ditunjukkan Om Ferdy sudah kulakukan dengan sempurna hanya untuk
menyelesaikan study-ku dengan nilai
yang memuaskan. Aku mencari beasiswa, aku berusaha dan berdo’a agar suatu saat
nanti setelah aku lulus, aku akan mendapatkan kuliah di Universitas Negeri
dengan jalur tanpa tes.
Sekarang, aku sekolah
di SMA terkemuka di kotaku, Bogor. Biarkanlah walau biasanya masa-masa putih
abu-abu itu adalah masa-masa asmara, masa-masa virus merah jambu mulai
menyebar. Tapi bukan untukku, aku takkan menghancurkan semuanya.
Ujian kelulusan tinggal
beberapa hari lagi, aku masih sibuk bulak-balik mengunjungi rumah teman-temanku
untuk meminjam buku-buku pelajaran. Dengan tanpa rasa malu, aku meminjam
bukunya agar bisa diphoto copy. Menginap
sana sini hanya untuk dapat belajar, karena yang aku tahu buku-buku itu sangat
mahal harganya. Tak perlu lah aku meminta kepada Nenek atau Om Ferdy. Aku pakai
dengan caraku sendiri. Aku selalu tanamkan, jika aku anak bangsa yang ingin
maju! Aku anak bangsa yang mempunyai semangat belajar dengan tanpa disuruh! Hingga Ibu dapat melihatku sukses. Hingga
Ayah bangga dengan dengan anaknya sendiri. Aku dan Nino yang setia menunggu
mereka kembali, walau aku tahu penantian yang mungkin akan sia-sia saja.
Disisa-sisa waktu yang
telah terlewatkan. Ujian menanati di ujung bola mata. Ternyata, tak pernah
kuduga, pernyataan Ayah begitu memperkeruh suasana rumah Nenek. Aku hanya tak
habis pikir tentang apa yang sebenarnya ada di dalam kepalanya.
“Heh! Kamu mau kemana?”
tanya Nenek.
“Aku mau nikah lagi Bu,
udah Ibu di sini aja jaga anak-anak saya.” Jawab Ayah.
“Yasudah sana pergi!
Jangan kembali lagi ke sini!” bentak Nenek.
Ayah pergi dari rumah
dengan alasan ingin meikah lagi, tak tahu dengan siapa. Lagi pula, Ayah tak
memiliki pekerjaan apapun dan di mana Ayah akan tinggal? Ayah tak punya tempat
tinggal. Aku tak peduli lagi, yang aku pedulikan hanyalah Nenek dan Nino
adikku.
“Loh, Nino? Kamu
ngapain di jembatan ini?” tanyaku.
“Abang… Ayah Bang… Ayah
pergi dari rumah, katanya mau nikah lagi. Abang pulang yuk Bang..” tangis Nino.
“Yasudah, kamu yang
sabar ya. Abang ambil buku-buku dulu di rumah temen Abang ya Nino. Kamu tenang,
oke.” Jelasku.
Aku dan Nino pulang ke
rumah Nenek. Nenek sudah lemas tak berdaya di atas tempat duduknya. Entah apa
yang terjadi padanya. Mungkinkah penyakit jantung itu kumat lagi akibat
bertengkar dengan Ayah? Sungguh, aku benar-benar merasa bersalah karena aku tak
ada di rumah Nenek. Ya, aku mencari buku-buku pinjaman.
Dengan rasa tenang, aku
memanggil ketua RT setempat untuk membantuku membawa Nenek ke rumah sakit, juga
menghubungi Om Ferdy untuk segera menyusul. Tangisan Nino terus mengeras dan
tak ada habisnya, dia begitu kaget dengan perlakuan Ayah terhadap Nenek. Aku masih
terlihat tegar, walau sebenarnya aku rapuh dan sangat rapuh. Namun aku harus
kuat demi adikku Nino.
Setelah beberapa hari
sudah Nenek dirawat di rumah sakit, Nenek diizinkan untuk pulang, tapi dengan
syarat Ia tidak boleh memikirkan hal-hal berat. Senangnya bisa berkumpul
seperti biasa lagi.
Semangat belajarku belum
padam. Buku-buku yang menganggur buru-buru aku buka dan kubaca sampai habis.
Kini, persiapan untuk kelulusan putih abu-abu sudah sangat matang. Walau
beribu-ribu kunci jawaban berterbangan di mana-mana, aku takkan mengambilnya,
bahkan untuk meliriknya pun aku tak ingin. Untuk
apa aku belajar selama tahun-tahun, kalau ujung-ujungnya nyontek juga? Lagi
pula, itu hal yang sangat licik, bukan? Pekikku dalam hati.
Seminggu sudah
lembaran-lembaran pertanyaan itu kuisi dengan sebaik-baiknya. Hanya tinggal
menunggu pengumuman hasil kelulusan.
Tak lama kemudian,
telepon rumah Nenek berdering. Ternyata, yang menghubungiku kepala Tata Usaha
sekolah. Yang ada di pikiranku saat itu adalah pembayaran tunggakan sekolah
bulan ini. Dengan sedikit kepanikan, aku menghubungi Om Ferdy menggunakan handphone Nino.
“Kenapa Nino?” tanya Om
Ferdy.
“Aku Candra. Om, aku
ditelepon kepala Tata Usaha katanya disuruh ke sekolah, ada yang penting. Aku
takut ditagih uang bulanan bulan ini Om. Gimana dong?” jelasku.
“Bayaran sekolah kamu
sudah Om bayar kok, Candra. Ya sudah, begini aja, kamu tunggu dulu di rumah,
nanti Om jemput ya.” Jawab bijak Om Ferdy.
Tidak lebih dari satu
jam, Om Ferdy datang dengan avanza putihnya. Dia bergegas menemuiku di dalam
rumah, sambil mengecek keadaan Nenek setelah pulang dari rumah sakit tempo
lalu. Aku dan Om Ferdy berpamitan kepada Nenek, senyumnya yang selalu
menyemangati setiap napas hidupku. Itu juga yang membuat aku bersemangat untuk
masuk Universitas Negeri dengan jalur tanpa tes.
Tak
ada sosok Ibu yang kukenal selain Nenek. Senyumnya yang selalu menyemangati
setiap jejak napas hidupku. Aku berjuang demi Beliau, demi masa depanku
membahagiakannya, karena aku tak ingin menyakiti perasaannya seperti dua orang
yang seakan telah menghianati hidupnya. Aku berjuang dengan halal, Insyaallah.
Aku kembali untukmu, Nenek.
Sampai di sekolah. Om
Ferdy berjalan paling depan dan aku di belakangnya, seakan tak akan terjadi hal
apa pun. Langkah Om Ferdy yang meyakinkan hatiku untuk tetap tenang. Sampai di
pintu ruang Tata Usaha.
“Permisi..” Ucap Om
Ferdy.
“Iya, silahkan Pak.”
Ramah salah satu staf ruang Tata Usaha.
“Ini Bu, saya mau
tanya. Katanya keponakan saya, Candra dipanggil disuruh menghadap Tata Usaha.
Ada apa ya?” tanya Om Ferdy.
“Oh iya Pak, betul.
Jadi begini, sebelumnya saya mohon maaf karena sudah merepotkan Bapak untuk
jauh-jauh datang ke sekolah, sebenarnya Candra saja juga tak jadi masalah.
Tempo lalu, Candra daftar menjadi peserta Universitas Negeri tanpa tes, dan
Alhamdulillah Candra lolos, Pak. Jadi, setelah kelulusan nanti, Candra sudah
aman untuk masuk kuliah.” Jelas salah satu staf Tata Usaha.
Sungguh, aku merasa
hari-hari yang selama ini aku jalani bukan sia-sia. Dan senyum Nenek
membuktikan bahwa semuanya akan baik-baik saja dan akan berujung manis. Om
Ferdy bangga denganku, aku pun sama. Walau aku tak kan berhenti sampai di sini
saja, sungguh aku akan terus berjuang hingga aku merasa ini sudah cukup.
Inilah jawaban dari
kepastian langkah Om Ferdy. Ketenangan jiwa selalu menjadi saksi bisu
perjalanan hidupnya. Aku bergegas untuk menemui Nenek di rumah. Tak sabar untuk
membagi kisah ini padanya.
Sepanjang jalan kutatap
satu persatu mobil dan motor. Dari tembok penyangga antara jalan raya dengan
rumah-rumah penduduk. Ada satu bendera kuning yang tertancap di ujung jalan
menuju rumah. Rencanaku setelah bertemu Nenek, aku akan segera menengok ke rumah yang sedang berduka cita.
Beberapa langkah dari
ujung jalan tadi. Tubuhku berputar arah, aku menyadari bahwa aku berjalan
seorang diri. Kemana Om Ferdy? Ucapku
dalam hati. Om Ferdy tertahan pada bendera kuning itu, dia membaca nama orang
yang meninggal dunia. Aku menghampirinya dengan atau tanpa sadar.
“Sabar ya Candra.” Ucap
Om Ferdy perlahan. Aku tak mengerti apa maksud dari perkataannya. Aku juga tak
tahu apa maksud dari air mata yang menetes perlahan dari pelupuk matanya. Aku
baru ingat, Nenek! Aku berlari sekencang-kencangnya, tak kuhiraukan walau
banyak batu terjal yang sudah siap membuatku terjatuh.
Sampai di depan gerbang
rumah Nenek, mataku merekam semua kejadian yang menimpa keluarga ini lagi. Aku
melihat seorang bocah kecil melipat dan memeluk kedua kakinya, terperangkap
oleh air matanya. Sungguh aku tidak menyangka hal ini akan terjadi pada Nino.
“Kamu kenapa? Mana
Nenek?” tanyaku panik.
“Nenek Bang, Nenek
meninggal. Jantungnya kumat, aku engga tau harus kaya gimana. Aku panggil Pak
RT buat nolongin Nenek, aku udah menghubungi Abang tapi engga
nyambung-naymbung. Aku juga udah sms Om Ferdy tapi engga ada jawaban.” Tangis
Nino.
“Iya maaf Dek, handphone-nya Abang jual buat
nambah-nambahin keperluan sekolah.” Jelasku.
Langkahku tertuju
kepada Nenek, mataku menatap kosong lagi. Surat yang kubawa seperti tak ada
artinya lagi tanpa kehadiran Nenek, tanpa senyumnya yang selalu menjadi sebuah
kenyataan.
Tangisku
membuncah saat kulihat Nenek terbaring lemas tak berdaya, seakan nyawaku telah
habis separuh hidup. Apa artinya kebahagiaan ini? Kemana lagi akan kucari
senyum keajaiban itu? Baru kureguk kenikmatan dalam hidup yang selama ini
kucari. Baru kutatap dunia dengan seluruh pengharapanku. Baru kutata masa
depan. Kemana lagi akan kucari senyummu? Nenek.
Rumah
yang kini begitu usang, bahkan nyawanya pun telah menghilang, terbang dan
melayang, menantang langit dunia yang penuh cucuran peluh. Bahkan anaknya pun
acuh dengan kepergian sosok seorang yang telah mempertaruhkan nyawanya itu.
Ayah. Kemanakah batang hidungmu? Wahai pria pengecut yang tak bertanggung
jawab! Bahkan untuk dirimu sendiri. Selalu kubiarkan rasa penyesalan itu hilang,
selalu kubiarkan kau akan tetap menjadi Ayahku. Aku selalu menunggumu kembali.
Apa aku harus mencarimu? Kemana! Tak sadar kah kau telah menampar dirimu
sendiri?! Ayah… apa aku tetap memanggilmu Ayah?
Sudah hampir dua tahun
Nenek pergi, tapi masih kusempatkan untuk selalu mengunjungi rumah terakhirnya.
Berdoa kepada sang Ilahi Robbi agar ditenangkan jasadnya dan ditempatkan
disisi-Nya.
Menghadapi skripsi. Aku
akan terus berjuang seperti janjiku terhadap Nenek, sambil bekerja sebagai
seorang penulis amatiran yang hanya iseng-iseng mengirim naskah cerpen atau
puisi ke salah satu penerbit majalah terkemuka di Indonesia. Aku juga
mendapatkan beasiswa yang uangnya cukup untuk membiayaiku dan Nino. Aku juga
masih dikirimi uang setiap bulannya oleh Om Ferdy dan Tante Mira. Di rumah tua
ini, hanya ada aku dan Nino, kami tak ingin pindah dari sini. Rumah ini saksi
bisu perjalanan hidup kami, bukan untuk mengenang Nenek, tapi untuk meneruskan
perjuangan Nenek selama puluhan tahun.
Beberapa buku berserakan di mana-mana, kertas
HVS bertebaran di awang-awang. Photo copy-an
juga begitu tebal, tertumpuk di pojok dekat lemari. Tidur tepat waktu dan
bangun pukul dua, solat tahajud, lalu membuka buku, sudah menjadi rutinitasku
selama setahun ini. Aku hanya tak ingin mengecewakan banyak orang. Aku juga
harus sukses demi Nino, adikku.
Tiga hari kemudian.
Sidang skripsi tinggal menunggu detik. Semua sudah kupersiapkan dengan
sesempurna-sempurnanya. Dengan langkah sigap aku memasuki ruang sidang. Kujawab
dengan pasti dan yakin semua pertanyaan-pertanyaan dari para senior dosen.
Karena menurutku mempertanggungjawabkan makalah tidak akan sesulit
mempertanggungjawabkan dosaku kelak.
Kehilangan
kedua orang tua bukan menjadi suatu alasan untuk kehilangan masa depanku juga.
Karena sebenarnya, aku tak sendiri, karena sebenarnya aku dilindungi. Karena
semangat dan senyum dari seluruh orang yang menyayangiku, aku hidup. Karena
cinta aku bangkit. Walau biarlah tak pernah kureguk kebahagiaan masa kecil
dengan hangatnya pelukan Ibu atau Ayah. Aku tak mau menyesali semua kejadian
yang ada dihidupku. Karena aku yakin, Tuhan ada untukku. Tuhan takkan
memeberikan ujian kepada umat-Nya jika ia tak mampu, bukan? Ya, inilah jawaban
mengapa aku harus kuat dan tegar. Bukan hanya aku seorang lelaki, bukan hanya
aku seorang kakak untuk adikku Nino, tapi aku selalu menghargai tentang suatu
perjalanan waktu yang diberikan Tuhan.
Bintang
pun tak sempurna, tahu kenapa? Bintang takkan bersinar jika tak ada tempat yang
gelap. Untuk itu, bintang butuh langit malam untuk tetap ia bersinar. Aku pun
sama, takkan menjadi manusia berguna jika tak ada seorang wanita tua renta yang
selalu memberikan senyum keajaibannya itu. Walau sayang, dia belum melihtaku
memakai toga kebesaranku. Walau sayang, saat-saatku bermimpi untuk berfoto
dengannya disaat aku membuka kemenangan tidak bersamanya. Aku tak mau menyesali
keadaanku, aku masih dapat merasakan hangatnya peluk wanita itu bersamaku
ketika aku benar-benar butuh dirinya. Aku tahu dia tersenyum di sana, karena
aku berjuang demi masa depanku, menjadi mahasiswa yang mendapat nilai terbaik
di bidang mata kuliahku.
Ibu,
sungguh aku menyayangimu. Aku tak peduli kau seperti apa sekarang. Aku ingin
kau kembali padaku. Ibu, berkat do’amu aku bisa seperti ini, karena kau melahirkanku,
aku bisa menghidupi adikku Nino. Ayah, apa kau bahagia dengan keluarga barumu?
Sehingga kau benar-benar meulupakan aku dan Nino juga Nenek. Rasa iri kadang
menghampiri, ketika mataku menangkap hangatnya keluarga untuk menemani putra
putrinya menghadapi kesuksesan. Kembalilah, aku merindukan kalian, sungguh.
Kata
mereka diriku selalu dimanja
Kata
mereka diriku selalu ditimang
Oh,
Bunda ada dan tiada dirimu kan selalu
Ada
di dalam hatiku
Seventeen – Ayah
Melly Goeslaw - Bunda
Tidak ada komentar:
Posting Komentar