Semusim yang telah berlalu, saat gelap itu kau beri kilau, saat benci dengan mudah kau ubah menjadi
sempurna, saat kau usap bersih serpihan
kaca yang telah pecah, saat kau perbarui
semua hal, saat dengan mudahnya kau
berhasil membuat diri ini menjadi seseorang yang baru, yang berani menjadi lebih maju. Kau itu
tukang sihir atau apa? Berani-beraninya menyulap
pandangan mata yang lugu ini. Sampai
rindu yang tak bisa tertahan, tapi aku
tak yakin kau mampu, baiklah, jangan. Ramuan
apa yang telah kau masuki ke dalam minumanku? Sampai-sampai jatuhlah aku dari rasa tenang
yang sedang kuusahakan, dari zona nyaman
dimana aku ingin beristirahat dari hati,
dimana aku ingin berdamai oleh waktu.
Kau mampu mengikutsertakan aku pada perlombaan memenangkan hatimu. Selamat!
Ada raga yang berbalut
bayang
Semu tak merona
Sedang merah tak jua
padam
Meraba siapa gerangan
Halu sudah menjadi biru
Ditengok hati tak ada
yang punya
Wahai mata, bisakah kau mendekat?
Lebih dekat
sampai lekat
(1 Mei, 2017)
Waktu ke waktu aku tidak mengikuti egoku, berjalan apa adanya, menetap pada suatu kapal yang tak memiliki layar, diam. Namun
tak mati rasa, hanya kututup mata rapat-rapat. Kuambil kemudinya, kusembunyikan, agar tidak ada yang bisa mengendalikan. Kau tahu?
Baru saja aku menabrak mercusuar karena kehilangan kendali saat badai
laut datang menghantam. Terombang-ambing
di laut lepas, jangankan tahu arah, kapalku pun
hilang entah kemana.
Beruntungnya, kau datang menyelamatkan,
begitu cepat. Kau titipkan kapal yang tidak
terlalu luas itu, lalu kau pergi berlayar
lagi meninggalkan janji kembali pulang ke sini.
Narasi ini terlalu panjang untuk dijabarkan, aku tak yakin kau bersedia membacanya. Pastinya,
ada rasa syukur dariku tentang mengingatmu. Ah, ini hanya mengenang bukan apa-apa yang istimewa. Kau pernah berkhayal tentang istana? Dimana semua hal bisa terjadi, jangan bicara dongeng karena ini dunia nyata.
Aku hanya bertanya, apa kau pernah berkhayal tentang sebuah istana
dengan semua hal ada disana. Saat ada
yang memimpin, dipimpin, saat permasalahan besar terjadi. Baiklah,
kau bilang cukup, ini imajinasi
yang terlalu liar. Bahkan mendengar sampai selesai kau pun tak berkenan.
Aku mulai mengenal,
tertarik memperhatikan, berbisik dalam
hati, sedang apa kau disana? Hanya berani seperti itu tanpa diketahui siapa
pun. Diam-diam mencari perhatian namun rupanya
itu tak membuat kepalamu terangkat untukku.
Kaki ini pulang dengan rasa jengkel. Adzan magrib berkumandang saat kujeda sebentar
wudhu dengan segelas teh hangat buatan Ibu.
Selesai mengerjakan ibadah kutinggalkan pamit pada tangan Ibu, mencari nafkah untuk diriku sendiri. Rupanya kau menganggu, bergetar telepon genggamku, Ibu guru ngajar apa emang? Pipiku merah padam, kata murid-muridku. Kuabaikan sejenak. Aku tak mampu mengontrol detak jantung, kau
fikir itu mudah? Tidak! Ini awal mula saat kutahu sepertinya aku
mulai jatuh pada palung duniamu, meski
masih kumengelak—sembunyi.
Rupanya ada tawa yang muncul saat kata yang dirasa
biasa itu hadir. Hari demi hari yang begitu singkat, tak butuh waktu lama, dan
sekali lagi selamat untukmu yang pertama telah membuat fikiranku berubah
tentang rasa.
Mengulas tentang rasa. Sayangnya, semilir senja tak pernah salah saat
butiran rindunya mulai menggoda. Memberi tanda saatnya merebahkan kenang. Tidak
pernah ada yang salah tentang merdunya cinta yang selalu random. Bermunculan
tiba-tiba, menyapa lembut. Tidak ada yang salah pula saat kau harus tahu bahwa
sebenarnya hanya sedang menemani bayang-bayang. Nikmati saja, biarkan saja, lepaskan.
Ini hanya cerita klasik sambil menimati musik indie dan menyeruput hitamnya
kopi. Kemudian aku belajar, bahwa kopi mengajarkan yang pahit tidak selamanya
menyedihkan.
“Vecha, ada kiriman bunga nih, tadi kesangkut di depan
loker aku. Udah seneng tuh dapet bunga taunya buat kamu.” Gerutu Tina, teman
satu kelasku.
“Oh masa sih? Tadinya aku mau ngeledekin kamu loh..
Dari siapa ya? Aku enggak ngerasa lagi deket sama siapa-siapa deh.”
“Banyak kali, haha. Nih, Kak Rey, Kak Adi, si orang
yang suka merhatiin diem-diem itu, terusss..” belum selesai Tina menjelaskan,
aku pergi duluan ke kelas.
Hari ini sudah kuniatkan untuk menyelesaikan sebuah
rasa yang tidak ingin kubuat berlarut-larut. Huft, aku harus menerima apapun penjelasannya. Ada tanda tanya
besar di dalam kepalaku tentang sebuah tawa yang menjelma menjadi nyaman.
Tentang perhatian-perhatian kecil itu. Tentang sesuatu yang terlalu cepat
kemudian timbul rasa takut karena waktu belum juga mengizinkan aku. Tentang
rasa khawatir yang menggetarkan lututku dan mendorong kaki ini melangkah untuk
menemuinya detik itu juga. Tentang rasa tenang saat aku bisa melihatnya
baik-baik saja meski punggungnya yang kutatap. Tentang rasa bahagia saat
kulihat senyumnya atau hanya sekedar mendengar tawanya menggema di
lorong-lorong kelas. Tentang lirih ini berbisik, tinggallah dulu di sini, namun siapa aku? Tentang tatap harap yang
berubah menjadi kosong saat kau di depanku, di sampingku, bahkan di belakangku.
Bunga yang indah, selamat
pagi/siang/sore/malam. Maaf terlalu banyak karena aku tidak tahu kau akan
membacanya kapan. Tanpa kusebut nama, kau pasti tahu bunga ini dari siapa. Aku
mengagumi seorang gadis yang selalu ramah kepada semua orang, entah apa lagi
alasannya, kau menunjukkan cantik dari dalam diri bukan sekedar wajah.
Menengoklah ke belakang saat kau tahu pedih hadapan yang ada di depanmu. Maaf,
aku memergokimu menangis seorang diri di bangku taman yang sudah tidak lama
dikunjungi mahasiswa di sini, jadi kubelikan bucket bunga yang sederhana ini,
sekedar menghibur, semoga menjadi pelipur lara, Vecha.
“Eh Tina, mau kemana?”
“Ini mau photo-copy materi Madam galak itu.”
“Biar aku aja.”
“Eh, jangan, kamu kan lagi baca surat dari si
penggemar rahasia itu, haha.”
“Apaan sih, udah sini, aku titip bunga ya.”
Mana kutahu bunga itu dari siapa, dikira aku ini peramal atau dukun
apa?! Gumamku dalam hati.
Gw lagi ngejauhin dia Ji. Tenang aja. Dia juga udah tahu kalau gw engga
ada rasa apa-apa.
Suara itu menggema persis menghembus ke depan wajahku
yang baru saja menginjak lantai paling bawah. Desir air mata yang memaksa
keluar sudah cukup menjelaskan betapa pedihnya hati, luka yang dulu
disembuhkannya ternyata dihadirkan kembali. Jawaban atas pertanyaan besar yang
selama ini menjadi beban sudah terpecahkan, dan
terimakasih waktu kau telah menjelaskan semuanya, kau yang telah sempat
menghapus pedih, kau juga yang memberikan rasa yang ternyata baru kusadari
semua itu fana.
Dari lorong yang gelap itu, kaki ini perlahan bergerak
mundur, memutar tubuh lalu berusaha berlari tapi aku tak mampu. Sambil kuusap
mata yang terus basah, tangan yang menggenggam erat kertas-kertas dari Madam Sarah
yang seharusnya kuperbanyak untuk dibagikan kepada teman-teman. Rupanya, aku belum siap.
“Veka, kamu kenapa?” Tanya Candra yang menepuk
pundakku dari belakang.
“Baik. Aku buru-buru mau photo-copy tugas dari Madam
Sarah… Ohiya, satu lagi, namaku Vecha, bukan Veka.”
“Iya tapi kamu nangis..” katanya dengan setengah
teriak karena aku menghiraukan penjelasannya dan terus berjalan cepat. “… Veka!
Eh. Vecha!”
“Heh! Berisik, jangan teriak-teriak! Ada apaan sih?”
“Temen lo tuh, nangis.” Jawab singkat Candra.
Tina tidak berbicara apa-apa lagi, dia menoleh ke arah
aku berjalan, berlari kencang mengejar aku yang sedari tadi menunduk. Langkahnya
tepat di depanku saat ini, berhenti sambil memegangi lutut dan mencoba mengatur
nafas, “Cha..” belum sempat ia bertanya, aku memeluknya erat dan menjatuhkan
semua ketas-kertas yang sedari tadi kuat kugenggam di dekapan. Candra berjalan
pelan mendekati aku dan Tina, merapikan kertas-kertas yang brserakan lalu turun
ke lantai dasar.
Sore ini, aku hanya ingin mengartikan semuanya sederhana mungkin. Menikmati
gerimis yang tak kunjung usai, bercengkrama pada teras yang lembab, tersenyum
tipis di balik penat, sambil menyudahkan apa yang seharusnya telah selesai. Begitu
saja, mungkin kata-kataku tak seindah dulu, mungkin sekarang aku hanya banyak
mengikhlaskan. Iya, begitu saja.
Hari terus berlalu, begitu juga detak jam yang tak
hentinya berputar. Semua pertanyaan yang sama tertuju padaku tentang si tuan dan putri bayangannya, aku hampir bosan
menjelaskan kepada semua orang. Rupanya ini sungguh menjadi pusat perhatian
orang-orang. Aku si putri bayangan yang disandingkan dengan si tuan, sekarang
tentang lagu-lagu yang ia bawakan, senandung rindu yang ia lantunkan, dan syair
yang ia ciptakan adalah empunya ratu impian
masa depannya. Aku hanyalah putri
bayangan yang telah diizinkan Tuhan merasakan ada di sampingnya, ada di
saat dia mulai bingung pulang kepada siapa, aku yang rela duduk menemaninya
melagukan untuk dia yang jauh di sana. Sekali lagi, putri bayangan.
Semusim yang telah berlalu, saat lelahmu selalu menjadi milikku juga,
ketika bahagiamu juga buatku tersenyum. Namun kau juga perlu tahu, saat ini
sebuah senyuman bukan berarti bahagia dalam diri seseorang, mungkin hanya
menjadi topeng agar terlihat semua baik-baik saja, atau agar bisa menenangkanmu
supaya jangan hiraukan aku yang masih bersedih. Pergilah. Bodohnya, mengapa
masih saja kau tanya tentang perasaan? Pergi saja karena kau juga tak pernah
menginginkan, meski dunia merestui. Pergilah.
Pagi itu,
“Roti isi?”
Di lapangan basket yang sudah tidak terpakai, hanya
ada daun-daun yang berserakan dan angin yang semilir mengibaskan rambut. Suara itu
menggelitik di telinga, emang ada yang
jualan roti isi di sini? Kutengok ke belakang.
“Roti isi?” dia mengulang pertanyaannya untuk yang
kedua kali.
Huft.. dia menarik nafas panjang dan membuangnya, “Roti isi?”
dia mengulang pertanyaannya yang sama dan aku masih memperhatikan kaget
wajahnya.
“Eh, iya iya.” Jawabku sambil mengambil roti isi yang
ada di tangannya itu.
Manusia memang terkadang lupa menemukan janji-janjinya. Seperti hanya
diucap untuk dibuang, sebagai obat bius dan penenang. Sudahlah, jangan
menangis, berdoa saja, sebab Tuhan tak akan tidur apalagi meninggalkan wanita
yang setabah dirimu, wanita seriang dirimu. –Ki.
“Waktu itu, kenapa kamu seakan-akan berubah, Ki?”
Memang tak ada yang mudah tapi tak ada pula yang sulit. Kau sudah
berhasil dengan menjaga senyum, menutup sedih, merendahkan ego, dan meredam
emosi. Tampillah di depan dengan apa adanya dirimu, dengan bahasa yang tak
menyakitkan, dengan gerak tubuh yang meyakinkan. Musim itu sudah berlalu,
Vecha, percayalah kau akan baik-baik saja. –Ki.