Selasa, 06 Februari 2018

Semusim yang Telah Berlalu

Semusim yang telah berlalu,  saat gelap itu kau beri kilau,  saat benci dengan mudah kau ubah menjadi sempurna,  saat kau usap bersih serpihan kaca yang telah pecah,  saat kau perbarui semua hal,  saat dengan mudahnya kau berhasil membuat diri ini menjadi seseorang yang baru,  yang berani menjadi lebih maju.  Kau itu tukang sihir atau apa?  Berani-beraninya menyulap pandangan mata yang lugu ini.  Sampai rindu yang tak bisa tertahan,  tapi aku tak yakin kau mampu, baiklah, jangan. Ramuan apa yang telah kau masuki ke dalam minumanku?  Sampai-sampai jatuhlah aku dari rasa tenang yang sedang kuusahakan,  dari zona nyaman dimana aku ingin beristirahat dari hati,  dimana aku ingin berdamai oleh waktu.  Kau mampu mengikutsertakan aku pada perlombaan memenangkan hatimuSelamat!

Ada raga yang berbalut bayang
Semu tak merona
Sedang merah tak jua padam
Meraba siapa gerangan
Halu sudah menjadi biru
Ditengok hati tak ada yang punya
Wahai mata, bisakah kau mendekat?
Lebih dekat
sampai lekat
(1 Mei, 2017)

Waktu ke waktu aku tidak mengikuti egoku,  berjalan apa adanya,  menetap pada suatu kapal yang tak memiliki layar,  diam.  Namun tak mati rasa,  hanya kututup mata rapat-rapat.  Kuambil kemudinya,  kusembunyikan,  agar tidak ada yang bisa mengendalikan.  Kau tahu?  Baru saja aku menabrak mercusuar karena kehilangan kendali saat badai laut datang menghantam.  Terombang-ambing di laut lepas,  jangankan tahu arah,  kapalku pun hilang entah kemana.  Beruntungnya,  kau datang menyelamatkan, begitu cepat.  Kau titipkan kapal yang tidak terlalu luas itu,  lalu kau pergi berlayar lagi meninggalkan janji kembali pulang ke sini.

Narasi ini terlalu panjang untuk dijabarkan,  aku tak yakin kau bersedia membacanya.  Pastinya,  ada rasa syukur dariku tentang mengingatmu.  Ah,  ini hanya mengenang bukan apa-apa yang istimewa.  Kau pernah berkhayal tentang istana?  Dimana semua hal bisa terjadi,  jangan bicara dongeng karena ini dunia nyata. Aku hanya bertanya,  apa kau pernah berkhayal tentang sebuah istana dengan semua hal ada disana.  Saat ada yang memimpin,  dipimpin,  saat permasalahan besar terjadi.  Baiklah,  kau bilang cukup,  ini imajinasi yang terlalu liar. Bahkan mendengar sampai selesai kau pun tak berkenan.

Aku mulai mengenal,  tertarik memperhatikan,  berbisik dalam hati, sedang apa kau disana?  Hanya berani seperti itu tanpa diketahui siapa pun.  Diam-diam mencari perhatian namun rupanya itu tak membuat kepalamu terangkat untukku.  Kaki ini pulang dengan rasa jengkel.  Adzan magrib berkumandang saat kujeda sebentar wudhu dengan segelas teh hangat buatan Ibu.  Selesai mengerjakan ibadah kutinggalkan pamit pada tangan Ibu,  mencari nafkah untuk diriku sendiri.  Rupanya kau menganggu,  bergetar telepon genggamku, Ibu guru ngajar apa emang?  Pipiku merah padam,  kata murid-muridku.  Kuabaikan sejenak.  Aku tak mampu mengontrol detak jantung,  kau fikir itu mudah?  Tidak!  Ini awal mula saat kutahu sepertinya aku mulai jatuh pada palung duniamu,  meski masih kumengelak—sembunyi.

Rupanya ada tawa yang muncul saat kata yang dirasa biasa itu hadir. Hari demi hari yang begitu singkat, tak butuh waktu lama, dan sekali lagi selamat untukmu yang pertama telah membuat fikiranku berubah tentang rasa.

Mengulas tentang rasa. Sayangnya, semilir senja tak pernah salah saat butiran rindunya mulai menggoda. Memberi tanda saatnya merebahkan kenang. Tidak pernah ada yang salah tentang merdunya cinta yang selalu random. Bermunculan tiba-tiba, menyapa lembut. Tidak ada yang salah pula saat kau harus tahu bahwa sebenarnya hanya sedang menemani bayang-bayang. Nikmati saja, biarkan saja, lepaskan. Ini hanya cerita klasik sambil menimati musik indie dan menyeruput hitamnya kopi. Kemudian aku belajar, bahwa kopi mengajarkan yang pahit tidak selamanya menyedihkan.

“Vecha, ada kiriman bunga nih, tadi kesangkut di depan loker aku. Udah seneng tuh dapet bunga taunya buat kamu.” Gerutu Tina, teman satu kelasku.

“Oh masa sih? Tadinya aku mau ngeledekin kamu loh.. Dari siapa ya? Aku enggak ngerasa lagi deket sama siapa-siapa deh.”

“Banyak kali, haha. Nih, Kak Rey, Kak Adi, si orang yang suka merhatiin diem-diem itu, terusss..” belum selesai Tina menjelaskan, aku pergi duluan ke kelas.

Hari ini sudah kuniatkan untuk menyelesaikan sebuah rasa yang tidak ingin kubuat berlarut-larut. Huft, aku harus menerima apapun penjelasannya. Ada tanda tanya besar di dalam kepalaku tentang sebuah tawa yang menjelma menjadi nyaman. Tentang perhatian-perhatian kecil itu. Tentang sesuatu yang terlalu cepat kemudian timbul rasa takut karena waktu belum juga mengizinkan aku. Tentang rasa khawatir yang menggetarkan lututku dan mendorong kaki ini melangkah untuk menemuinya detik itu juga. Tentang rasa tenang saat aku bisa melihatnya baik-baik saja meski punggungnya yang kutatap. Tentang rasa bahagia saat kulihat senyumnya atau hanya sekedar mendengar tawanya menggema di lorong-lorong kelas. Tentang lirih ini berbisik, tinggallah dulu di sini, namun siapa aku? Tentang tatap harap yang berubah menjadi kosong saat kau di depanku, di sampingku, bahkan di belakangku.

Bunga yang indah, selamat pagi/siang/sore/malam. Maaf terlalu banyak karena aku tidak tahu kau akan membacanya kapan. Tanpa kusebut nama, kau pasti tahu bunga ini dari siapa. Aku mengagumi seorang gadis yang selalu ramah kepada semua orang, entah apa lagi alasannya, kau menunjukkan cantik dari dalam diri bukan sekedar wajah. Menengoklah ke belakang saat kau tahu pedih hadapan yang ada di depanmu. Maaf, aku memergokimu menangis seorang diri di bangku taman yang sudah tidak lama dikunjungi mahasiswa di sini, jadi kubelikan bucket bunga yang sederhana ini, sekedar menghibur, semoga menjadi pelipur lara, Vecha.

“Eh Tina, mau kemana?”

“Ini mau photo-copy materi Madam galak itu.”

“Biar aku aja.”

“Eh, jangan, kamu kan lagi baca surat dari si penggemar rahasia itu, haha.”

“Apaan sih, udah sini, aku titip bunga ya.”

Mana kutahu bunga itu dari siapa, dikira aku ini peramal atau dukun apa?! Gumamku dalam hati.  

Gw lagi ngejauhin dia Ji. Tenang aja. Dia juga udah tahu kalau gw engga ada rasa apa-apa.

Suara itu menggema persis menghembus ke depan wajahku yang baru saja menginjak lantai paling bawah. Desir air mata yang memaksa keluar sudah cukup menjelaskan betapa pedihnya hati, luka yang dulu disembuhkannya ternyata dihadirkan kembali. Jawaban atas pertanyaan besar yang selama ini menjadi beban sudah terpecahkan, dan terimakasih waktu kau telah menjelaskan semuanya, kau yang telah sempat menghapus pedih, kau juga yang memberikan rasa yang ternyata baru kusadari semua itu fana.

Dari lorong yang gelap itu, kaki ini perlahan bergerak mundur, memutar tubuh lalu berusaha berlari tapi aku tak mampu. Sambil kuusap mata yang terus basah, tangan yang menggenggam erat kertas-kertas dari Madam Sarah yang seharusnya kuperbanyak untuk dibagikan kepada teman-teman. Rupanya, aku belum siap.

“Veka, kamu kenapa?” Tanya Candra yang menepuk pundakku dari belakang.

“Baik. Aku buru-buru mau photo-copy tugas dari Madam Sarah… Ohiya, satu lagi, namaku Vecha, bukan Veka.”

“Iya tapi kamu nangis..” katanya dengan setengah teriak karena aku menghiraukan penjelasannya dan terus berjalan cepat. “… Veka! Eh. Vecha!”

“Heh! Berisik, jangan teriak-teriak! Ada apaan sih?”

“Temen lo tuh, nangis.” Jawab singkat Candra.

Tina tidak berbicara apa-apa lagi, dia menoleh ke arah aku berjalan, berlari kencang mengejar aku yang sedari tadi menunduk. Langkahnya tepat di depanku saat ini, berhenti sambil memegangi lutut dan mencoba mengatur nafas, “Cha..” belum sempat ia bertanya, aku memeluknya erat dan menjatuhkan semua ketas-kertas yang sedari tadi kuat kugenggam di dekapan. Candra berjalan pelan mendekati aku dan Tina, merapikan kertas-kertas yang brserakan lalu turun ke lantai dasar.

Sore ini, aku hanya ingin mengartikan semuanya sederhana mungkin. Menikmati gerimis yang tak kunjung usai, bercengkrama pada teras yang lembab, tersenyum tipis di balik penat, sambil menyudahkan apa yang seharusnya telah selesai. Begitu saja, mungkin kata-kataku tak seindah dulu, mungkin sekarang aku hanya banyak mengikhlaskan. Iya, begitu saja.

Hari terus berlalu, begitu juga detak jam yang tak hentinya berputar. Semua pertanyaan yang sama tertuju padaku tentang si tuan dan putri bayangannya, aku hampir bosan menjelaskan kepada semua orang. Rupanya ini sungguh menjadi pusat perhatian orang-orang. Aku si putri bayangan yang disandingkan dengan si tuan, sekarang tentang lagu-lagu yang ia bawakan, senandung rindu yang ia lantunkan, dan syair yang ia ciptakan adalah empunya ratu impian masa depannya. Aku hanyalah putri bayangan yang telah diizinkan Tuhan merasakan ada di sampingnya, ada di saat dia mulai bingung pulang kepada siapa, aku yang rela duduk menemaninya melagukan untuk dia yang jauh di sana. Sekali lagi, putri bayangan.

Semusim yang telah berlalu, saat lelahmu selalu menjadi milikku juga, ketika bahagiamu juga buatku tersenyum. Namun kau juga perlu tahu, saat ini sebuah senyuman bukan berarti bahagia dalam diri seseorang, mungkin hanya menjadi topeng agar terlihat semua baik-baik saja, atau agar bisa menenangkanmu supaya jangan hiraukan aku yang masih bersedih. Pergilah. Bodohnya, mengapa masih saja kau tanya tentang perasaan? Pergi saja karena kau juga tak pernah menginginkan, meski dunia merestui. Pergilah.

Pagi itu,

“Roti isi?”

Di lapangan basket yang sudah tidak terpakai, hanya ada daun-daun yang berserakan dan angin yang semilir mengibaskan rambut. Suara itu menggelitik di telinga, emang ada yang jualan roti isi di sini? Kutengok ke belakang.

“Roti isi?” dia mengulang pertanyaannya untuk yang kedua kali.

Huft.. dia menarik nafas panjang dan membuangnya, “Roti isi?” dia mengulang pertanyaannya yang sama dan aku masih memperhatikan kaget wajahnya.

“Eh, iya iya.” Jawabku sambil mengambil roti isi yang ada di tangannya itu.

Manusia memang terkadang lupa menemukan janji-janjinya. Seperti hanya diucap untuk dibuang, sebagai obat bius dan penenang. Sudahlah, jangan menangis, berdoa saja, sebab Tuhan tak akan tidur apalagi meninggalkan wanita yang setabah dirimu, wanita seriang dirimu. –Ki.

“Waktu itu, kenapa kamu seakan-akan berubah, Ki?”

Memang tak ada yang mudah tapi tak ada pula yang sulit. Kau sudah berhasil dengan menjaga senyum, menutup sedih, merendahkan ego, dan meredam emosi. Tampillah di depan dengan apa adanya dirimu, dengan bahasa yang tak menyakitkan, dengan gerak tubuh yang meyakinkan. Musim itu sudah berlalu, Vecha, percayalah kau akan baik-baik saja.  –Ki.