Jumat, 19 Agustus 2016

Ibu Kota #part5

Especially for you
I want to tell you I was feeling that way too
And if dreams were wings, you know
I would have flown to you
To be where you are
No matter how far
And now that I’m next to you

Malam bertengger di atas kepala. Purnama terakhir telah tiba di kibaran depan mata bendera merah-putih. Aku akan rindu tanah air namun aku bahagia karena akan menyebrang samudera, mencari untuk menepati janji. Andai kau masih menunggu dengan satu tekad yang sama.

Ibu kota, tempat semua bahasa ada di sini, tempat berbagai pengalaman diceritakan di tempat ini, tempat dimana tangis tak pernah sudah, tempat dimana emosi sangat rentan terjadi, dan juga alasanku untuk tertawa melupakan pedih. Belajar dari semua peristiwa yang lalu-lalang begitu saja tapi satu keyakinanku, Tuhan tidak akan memberikan ujian di luar batas kemampuan umat-Nya.

Ayah, bagaimana pun kau saat ini aku akan selalu menjagamu karena Ayah adalah nafasku. Menjaga tanpa pamrih—tulus. Meskipun begitu kau adalah alasan utamaku bertahan hidup di sini. Dan aku sudah merasa sangat bahagia karena Ayah bisa melihatku bernyanyi secara langsung di panggung ini.

“Terima kasih semuanya yang selalu setia menunggu suara sumbang saya. Mungkin persembahan lagu dari Mymp yang berjudul Especially For You tadi adalah lagu terakhir karena besok inshaallah saya akan berangkat ke Belanda untuk bekerja di sana. Dan terima kasih juga untuk Café Cokelat yang telah memberikan kesempatan selama bertahun-tahun untuk saya bekerja di sini.”

Bertahun-tahun aku belajar tentang kehidupan. Di kelilingi semua orang yang sangat menyayangiku, menjagaku, menghibur di saat lelah melanda, dan memberi uluran tangan ketika aku terjatuh, juga mendoakan keselamatanku tanpa harus aku memohon. Dan sekarang saatnya aku mewujudkan mimpi.

Aku menuruni panggung yang akan sangat kurindukan. Tersenyum bibirku menatap semua orang yang berarti dalam hidupku. Ada Ayah, Ibu, Sally, dan Bram. Meskipun pandangan mata Ayah masih belum fokus menatapku tapi aku yakin dalam hati kecilnya, ia tahu.

Aku menatap mata Ibu dalam-dalam, tersenyum padanya. Mata Ibu tertuju padaku sampai mengalahkan sinar rembulan mala mini, aku akan rindu senyuman Ibu, akan rindu ketegaran mata Ibu. Lalu kedua tangannya menangkapku, memelukku erat-erat seakan tak ingin ini semua menjadi akhir.

Semua hanyut dalam tangis, larut dalam malam yang tak berujung. Sally ikut memelukku dari belakang. Aku membiarkan tanah yang kami injak ini sebagai saksi bisu. Kubiarkan air mata menjadi lautan kenangan yang membahagiakan, yang selalu dirindukan sebagai alasan kembali lagi.
Kurenggangkan pelukan, “Jangan sedih Sal.”

“Enggak bisa, chef..” kata Sally terisak.

Tiba-tiba tanganku dicengkram erat. Terasa sangat dingin. Kutengok dari arah lengan itu, kemudian yang lain mengikuti kepalaku yang memutar. Kulihat mata Ayah yang mengeluarkan air mata, walaupun wajahnya masih sama saja. Aku percaya, hati kecil selalu berbicara jujur—Ayah. Langsung kupeluk ia erat-erat, aku merasa lega karena perlahan Ayah pulih dengan sempurna. Tangan Ayah juga memelukku dan menepuk-nepuk punggungku.

“Ayah, restui aku pergi.”

Sally mulai tersenyum dan menggandeng tangan Ibu juga kepalanya ikut bersandar di bahu. Ibu yang sudah menganggap Sally sebagai anaknya juga, tidak segan-segan untuk mengusap kepala Sally. Sementara itu, Bram hanya terdiam melihat kami diselimuti haru dan rasa takut tentang sebuah kehilangan.

“Sorry, Al, boleh kita bicara berdua?” Bram akhirnya angkat suara.

Aku melihat ke arah Bram, menganggukkan kepala pertanda bahwa aku setuju. Kami berjalan sedikit mencari tempat yang tidak terlalu ramai karena sepertinya Bram ingin membicarakan hal yang sangat serius. Kami menepi pada balkon Café Cokelat dengan semua bintang berhamburan di angkasa sana.

“Al, aku yakin mau sekeras apa pun aku bilang jangan pergi, itu enggak akan bisa membuat kamu merubah keputusan untuk kerja di Belanda. Tapi aku harap ketika kamu rindu Ibu Kota, itu berarti kamu rindu aku juga.”

“Bram, aku juga yakin kalau selama ini kamu sudah merasakan ada rindu yang mengambang di langit-langit. Ada semangat yang selalu berteriak-teriak di balik labirin, kemudian menggema, aku yakin kamu mendengar. Selalu ada pelukan hangat yang terasa lewat panjatan doa yang diucapkan cuma-cuma. Tapi kamu hanya membiarkan itu hanya lewat saja, hanya terbuang sia-sia, tanpa mengucapkan kalau kamu tidak butuh semua itu. You just save me with uncertainty.”

“Aku tahu semua itu jahat, Al. Tapi sekarang aku memilih kamu. Please, forgive me.”

“Aku yang minta maaf, Bram. Maaf, aku bukan pilihan.”

Bila ada cinta yang nyata, mengapa harus kau cari yang fana? Bila kau kecewa pada pelangi yang warnanya sesaat, mengapa masih saja kau tunggu? Padahal kau tahu hanya sesuka hati saja ia menampakkan pesonanya. Bila ada cinta nyata, mengapa harus kau cari yang fana?

Sejenak, kubiarkan angin memainkan gaun hitamku. Menyeka air mata yang mulai menetes, cukup! Memang terkadang perasaan itu timbul berawal dari kehilangan namun mengapa harus menunggu? Mengapa tak kau sadarkan saja sesegera mungkin sebelum semuanya terlambat?

Biarkan aku pergi hanya sekali—tanpa mengingat kau yang pergi berkali-kali. Dan aku larut di dalam angan tanpa bisa kumemohon untuk hanya tinggal di sini. Semoga kau mendapatkan bidadari yang bisa menunggumu sadar lebih lama dari aku, Bram.

***
“Al, kamu yakin mau kerja di Belanda?”

“Insha Allah, Sal. Sebentar lagi aku akan terbang ke sana. Lagi pula, aku bekerja di restaurant bukan kapal pesiar. Aku akan sesering mungkin pulang ke Jakarta.”

“Pulang sama Dika?”

“Hampir 3 tahun Dika pergi dan aku enggak tahu kabar dia. Semoga doaku sampai padanya. Seperti kata Dika, kita akan bertemu di Amsterdam.”

Sally memelukku, aku yakin kalian berjodoh Al. Aku akan jaga Ibu dan Ayah kamu, tenang aja ya Al.

Sally memang memutuskan untuk membuka butik di Jakarta. Dia tidak ingin menyusahkan orang tuanya lagi. Sally membuka usahanya dari kecil dan bermimpi untuk go international. Aku yakin Sally dapat mewujudkannya.

Aku melamun di balik kaca pesawat yang sedang terbang tinggi. Kutatap awan-awan yang berhimpit dan berjalan cepat, juga ada yang mengiringi perjalananku. Di satu sisi, aku masih tak percaya bahwa akan bekerja di Negara orang. Mungkin ini takdirku yang tidak pernah aku rencanakan. Mungkin ada doa Dika yang dikabulkan Tuhan.

This is for you, Al. The red rose.

Women like a rose, Dik. So beautiful when blossom. But slowly, it would be the old and withered. If I rose, will you keep me until I really die? Will you love me although I didn’t beautiful as the first?

Pukul delapan malam lewat dua puluh lima menit waktu Belanda, Amsterdam Airport Schiphol. Aku sudah disambut oleh beberapa orang dari tempat dimana aku akan bekerja. Sebagian dari mereka adalah asli orang Belanda. Mereka sangat ramah.  

Dik, aku sedang berada di sini, Amsterdam! Apa kita akan bertemu?

Aku sangat beruntung mendapatkan pekerjaan ini dengan fasilitas yang sangat mencukupi. Rumah singgah yang cukup besar untuk seorang diri, dan menjadi Chef  di restaurant mewah.

Perlahan aku mengerti beberapa bahasa Belanda, meskipun aku masih memakai bahasa Inggris untuk berkomunikasi namun pekerja di sini sangat memaklumi hal itu. Aku tidak merasa asing di sini karena ada beberapa pekerja yang berasal dari Asia juga.

“Alexa, you can break 1 hour.”

“Ok, dank, Chef!”
Sudah hampir sebelas bulan aku di sini tapi belum kutemui Dika. Hanya wajahnya yang kusimpan di dalam memori handphone—video. Aku tidak pernah bosan terus mengulang dari setiap durasi. Seperti ini saja sudah membuatku bisa senyum-senyum sendiri.

“Al, what are you doing?”

“O my god, Sonya! I was surprised. I am just watching video from my friend.”

“Sorry. Hmm.. I want to know about your friend. Could you tell me, Alexa?”

“Haha.. for what? Ok, about him. He is miracle for me. And now, I really miss him. I hope he know.”

Sonya teman baruku di Belanda. Dia satu profesi denganku, menjadi Chef tapi hanya kami yang tidak menggunakan embel-embel ‘Chef’ untuk mengobrol ataupun sedang bekerja di dapur karena menurut Sonya itu akan menjadi sangat kikuk untuk lebih dekat. Aku juga mengajak Sonya untuk tinggal bersamaku di rumah singgah karena aku belum terbiasa untuk tinggal sendiri di Negara orang. Sonya juga mengajakku berkeliling ke tempat-tempat bersejarah di Belanda.

Satu tahun sudah berlalu, waktunya aku pulang ke Indonesia. Aku diberi libur dua minggu setelah itu harus kukerjakan kewajiban lagi. Namun berat rasanya aku meninggalkan Negara ini meski aku sangat rindu Ibu Kota—Dika. Belum kutemui ia sama sekali. Bahkan aku tidak tahu alamat ia bekerja dimana atau tinggal dimana selama di Belanda. Berarti genap sudah empat tahun kita tidak berjumpa, Dik. Mengapa sekarang ada ragu yang timbul?

Bandara Soekarno-Hatta, Jakarta, Indonesia. Aku sengaja tidak ingin dijemput oleh siapa pun. Aku ingin mereka menunggu di rumah saja. Kutengok sekeliling bandara ini, tak ada perubahan. Jalan menuju taxi yang akan membawaku pulang.

Hamparan lalu lintas yang belum berubah. Kenangan itu pun masih tercecer di jalan abu. Kemacetan sekarang kuhadapi dengan senyum. Lampu merah masih sama berwarnanya dengan di tambah anak jalanan yang bersenandung riang. Tidak peduli suaranya sumbang atau senar ukulelenya putus satu, yang penting bisa hidup di Jakarta.

“Misi ka.. Aku yang dulu bukanlah yang sekarang, dulu disayang sekarang kuditendang..” salah satu pengamen kecil itu bernyanyi di balik kaca taxi-ku, lagu yang dipelesetkan dari lirik aslinya membuatku tertawa kecil dan menggeleng-gelengkan kepala.

Aku membuka kaca mobil, “Dek, ini uang Belanda. Kalau kamu tukar ke bank, bisa buat beli sesepda baru.”

“Wah, beneran kak?” bocah itu langsung berlari menuju teman-temannya yang lain dan berteriak-teriak, “Asyikkkk!! Sepeda baru pakai uang dari Belanda!”

Aku tersenyum melihat pengamen kecil itu bersorak-sorai bahagia. Taxi-ku melaju lagi tanpa hambatan kemacetan lalu lintas. Sampai di depan pagar rumah, aku disambut oleh Ibu, Ayah, dan juga Sally. Aku lari ke arah mereka dan memeluknya satu persatu.

Kata Sally ada kejutan di dalam kamar tidurku. Tak sabar, aku langsung masuk dan melihat ada kejutan apa yang sudah disiapkan Sally untukku. Kubuka pintu kamar..

“Taraaaa!! Bunga mawar merah. Your favorite flower!” banyak tangkai bunga yang disusun rapi di atas tempat tidurku. “Yah, kamu enggak suka ya Al? Kok muka kamu jadi sedih?”

“Aku suka kok, banget. Aku Cuma keinget sama Dika. Aku belum berhasil ketemu sama dia. Mungkin aku sama dia bukan…”

“Sssttt! Udah mendingan kamu ikut aku ke Café Cokelat. Aku juga udah buatin kamu gaun plus jilbabnya. Pokoknya kamu harus cantik, pasti kamu kangen dong sama Café Cokelat?”

Aku taruh tangkai-tangkai mawar itu di dalam botol kaca yang berisi air agar tidak cepat layu. Langsung kubersihkan tubuhku dan memakai gaun buatan designer cantikku itu. Aku berputar di depan cermin, Sally bertepuk tangan merasa senang melihatku memakainya dan ukuran yang sangat pas di tubuhku.

Di Café Cokelat aku langsung disambut hangat oleh Bapak Manager, Bapak Andreas. Kami diberi tempat duduk yang langsung berhadapan dengan panggung. Bapak Andreas juga ikut berbincang-bincang denganku dan Sally.

“Sekarang, kamu yang akan jadi penonton ya Al. Selamat menikmati penyanyi baru kami.” Kata Bapak Andreas yang kemudian pergi membiarkan aku dan Sally.

No more dreaming about tomorrow
Forget the loneliness and the sorrow
I’ve got to say
It’s all because of you
And now were back together, together
I want to show you my heart is oh so true
And all the love I have is
Especially for you

“Sal, itu lagu Especially For You  kan? Terus kenapa penyanyinya harus pakai topeng gitu sih?”

“Udah dengerin aja Al. Keren ya suaranya. Bisa main gitar juga lagi.”

“Selamat malam semuanya. Di sini sebenarnya saya bukan penyanyi baru tapi saya diizinkan untuk bernyanyi satu lagu untuk seseorang yang sedang berada tepat di depan saya. If you rose, I will keep you until I can’t breathe again. Because I know I am not perfect and with your love I will be perfect. I am yours, Alexa.”

Dika!

Aku tahu cinta akan berlabuh di waktu yang tepat. Rindu akan berbisik pada langit dan doa akan selalu menjadi jembatan penghubung antara kita. Dan sekarang, aku bisa membuktikan padamu kalau jodoh, jarak hanya wacana. Meskipun kamu terus mendayung sampan terlalu jauh tapi sebenarnya aku yang kau tuju. Ketika kau lelah berlari menapaki jejak yang samar, aku lah pohon rindang sebagai tempat beristirahat. Ketika seseorang meninggalkanmu, bukan berarti ia ingin dikejar, bukan berarti ia lelah, namun sebenarnya ia ingin membiarkanmu bebas terbang tanpa harus ada yang kau fikirkan untuk dijaga perasaannya. Alexa, cinta yang sesungguhnya adalah cinta yang dapat membuat hidupmu lebih baik lagi, bukan hanya kau yang mengejar seorang diri. Akan tetapi, biarlah itu berlalu. Ada aku di Ibu Kota. Jika kita bertemu di sini, maka biarkan aku men-khitbah-mu di sini pula—Ibu Kota. –Dika Wibisana.

“Kata kamu kita bakal ketemu di Amsterdam? Kamu bohong ya Dik?”

“Aku enggak bohong. Aku memang ketemu kamu di sana. Dan aku juga yang minta agar kamu bekerja di restaurant yang berada di kota Amsterdam, itu milik aku Al. Kamu pasti kenal Sonya, kan?”

“Dikaaaaa! Jahat kan.”

“Hahaha.. manjanya keluar deh.”

Ik hou van jou, Alexa.


Selasa, 09 Agustus 2016

Ibu Kota #part4

Tubuhku melayang didrong tangan-tangan yang ketakutan. Banyak roda-roda kecil di bawahnya. Ada satu tangan yang mencengkram, dingin dan berkeringat, sangat erat seakan tak ingin kehilangan. Ada isak tangis yang dikuatkan oleh hati, terdengar jelas di telinga. Sembilu nyeri berdayu-dayu di kepala—tak sadar. Ada pintu yang ditutup paksa, ada suara yang tertahan di luar sana memaksa masuk. Ada sesuatu yang mengalir dari hidung, tak dapat kuhentikan. Sal, Bu, Dik, kalian dimana? Aku berada di ruang kosong tanpa penghuni, tanpa pintu untuk keluar dari sini, bahkan tanpa jendela untuk lompat dari ruangan ini.

Maafkan Ayah ya, Lexa.

Ayah, Lexa takut. Ayah! Hilang, entah kemana, mungkin itu hanya halusinasi. Aku berada dalam ruangan kedap suara tanpa  warna—imaji—infusan—pembaringan.

Semua terjadi begitu cepat,  bukan lagi kereta yang bergerak dengan kecepatan lebih dari dua ratus kilo meter per jam, bahkan secepat angin puyuh menyapu semua debu. Aku adalah seorang yang bahagia dengan keluarga kecil. Ayah selalu mengurusku, mengajak bermain meski peluh belum kering di tubuhnya. Tak ada kegaduhan, yang aku kenal hanyalah canda dan tawa.

Apa yang salah, Tuhan? Apa aku yang menyebabkan semua ini terjadi? Sikap diam Ayah yang tidak pernah aku ketahui. Atau mungkin, kami yang tidak peka terhadap rasa lelah Ayah? Maafkan aku. Ibu bekerja yang waktunya tidak tentu, kadang berangkat pagi sampai pagi lagi atau berangkat siang sampai tengah malam—dunia entertain di belakang layar. Oh, sikap membisu itu berubah menjadi batu dan dingin.

Semakin pilu, sahut menyahut nada tinggi yang menampakkan urat. Kecaman kata-kata yang tak patut dikeluarkan. Aku tak bisa menyalahkan orang tuaku sendiri! Kupukul habis-habisan diriku di balik pintu itu. Sampai lebam kusembunyikan di balik balutan kain. Satu pukulannya itu berarti satu luka di tubuhku. Satu amarahnya berarti satu goresan di dahiku. Aku tak bisa menyalahkan mereka! Bahkan aku sampai tak tahu bagaimana caranya menangis dengan air mata. Habis sudah!

Aku ingin berteriak. Aku marah. Aku kesal. Aku kecewa. Kutengok teman-temanku di luar sana, digandeng tangan kanan dan kiri oleh Raja dan Ratu kerajaannya. Sedang aku, seolah sebatangkara dari negeri antah-brantah.

Sampai pada beberapa waktu berikutnya, jendela kamar dipenuhi tulisan berwarna-warni. Jangan takut, Alexa. Diikuti boneka yang terbuat dari kaos kaki dengan mata dan mulut yang bentuknya tidak karuan, bergerak di balik kaca. Aku tahu itu siapa, iya, aku tahu! Mendekatlah aku ke jendela kamar, aku melihat dia muncul dari bawah, tersenyum dengan tulus menunjukkan susunan gigi yang rumpang di tengah-tengah. Sayangnya aku tak bisa keluar atau bahkan meloloskan diri dari kamar ini, ada teralis besi yang memagari dengan kokoh. Ditunjukkannya lagi tulisan berwarna-warni itu, jangan takut Alexa. Lalu ia menyuruhku lebih mendekat lagi. Dia mengusap mataku—dari balik kaca. Dia membuat senyum di bibirku dengan telunjuknya—dari balik kaca. Dia memelukku dari balik kaca—memeluk boneka dari kaos kaki itu.

Lututku lemas, aku terjatuh, menutup wajahku lalu menangis lagi. Tapi bibirku tersenyum. Dia mengetuk-ngetuk jendela itu agar aku tahu bahwa ia masih di sini—menemaniku. Tangannya berkata, jangan menangis lagi Alexa.

Bertahun-tahun sudah kulalui masa-masa kelam. Sudah sangat terbiasa aku dengan hal semacam ini. sampai akhirnya aku memberanikan diri keluar dari persembunyianku lalu berakhir di rumah sakit. Kata Ibu aku tak sadarkan diri beberapa hari. Saat mata ini terbuka aku tidak pernah tahu Ayah pergi kemana. Seorang laki-laki yang selalu aku banggakan, yang selalu membuatku tertawa ceria, Ayah aku merindukanmu.

Bila saja Ibu Kota sekejam ini, bagaimana bisa? Disebutnya Ibu namun mengapa sulit mendapatkan kasih sayang?

Lexa, Lexa.. Sini temani Ayah.

Ayah! Ayah kemana aja? Ayah aku kangen banget sama Ayah.

Lexa, temani Ayah ya. Ayah sayang Lexa selalu.

Aku memeluknya. Iya! Aku memeluknya di ruang kedap suara ini. Di ruang dengan lorong waktu. Hallo! Apa ini masa depanku? Kudekap Ayah erat-erat, kupejamkan mata sembari menikmati aroma tubuhnya. Sampai tak terasa hangatnya lagi, kubuka perlahan—lalu hilang.

Al, ayo bangun. Ikut Ibu ya sayang.

Ibu? Ibuuu!!

Di sana, agak jauh dan buram namun terdengar sangat nyaring, Ibu sedang menghadap kiblat dan duduk di atas sajadah sambil melantunkan ayat-ayat suci Al-Qur’an. Suaranya merdu sekali. Namun kedua matanya bercucuran air mata. Ibu kenapa? Ada Alexa di sini.

***
“Bu, jari Alexa bergerak!”

Aku membuka mata perlahan-lahan. Redup dan terang lalu padam lagi. Banyak orang mengelilingiku. Wajahku masih kaku untuk bergerak, hanya kedua mata yang sanggup bergerak kanan-kiri. Aku melihat Sally yang tersenyum lebar dengan air matanya dan Ibu yang tetap cantik sambil membawa Al-Qur’an kecil di tangannya. Juga Dika yang menunggu aku berucap sepatah kata.

“Alhamdulillah, Tante periksa dulu ya sayang.” Kata Tante Anna yang berucap sangat lembut. Aku membuang nafas lega diakhiri senyum selebar mungkin.

Lalu, baru kulihat Dika yang ikut tersenyum melihatku. Dika memegang lipatan kertas yang sudah mulai lusuh termakan waktu. Ia mebuka kertas itu bertuliskan, jangan takut Alexa. Tulisan yang berwarna-warni. Tulisan dari tangan Dika kecil. Aku semakin tenang.

Sehabis Dokter Anna memeriksa keadaanku, dia mundur ke belakang, melihat dari kejauhan dan membiarkan Ibu juga Sally mendekati aku. Ibu mengusap-ngusap keningku. Sally mencengkram tanganku, masih dingin dan berkeringat. Rupanya ia belum bisa memaafkan dirinya sendiri, ini kecelakaan Sal, tidak apa-apa. Dika masih saja melebarkan tulisannya, matanya terfokus ke arahku, sepertinya kamu melamun ya Dik? Aku hanya terus tersenyum ke rahnya.

Tiba-tiba pintu ruanganku terbuka dengan kencang tanpa ada ketukan terlebih dahulu. ”Mah, Alexa baik-baik aja?”

“Dia baru sadar, Bram.” Jawab Dokter Anna—Tante Sally.

Bramantio mendekatiku, wajahnya terlihat cemas. Kamu baru jenguk aku, Bram? Tapi rupanya kepalaku mencari Dika. Dia menutup kertas itu dan melihatku lalu menganggukkan kepalanya dengan singkat, membalikkan badan dan keluar dari ruangan. Disusul Dokter Anna.

“Bu..” kata pertamaku setelah terbangun dari tidur yang panjang. “.. Sebenarnya Ayah kemana?”

Ibu tidak menjawab pertanyaanku. Dia langsung tertunduk. Memegang telapak tanganku dan mengepalkan dengan tangannya, kemudian menaruhnya di dahi sebagai penopang kepalanya yang sedang tertunduk.

“Bu, maafin Lexa. Tapi sejujurnya Lexa rindu Ayah.”

Aku paham rasa sakit Ibu bukan hanya ada di tubuhnya, bahkan ada bekas luka yang tidak bisa hilang karena terlalu dalam. Namun ada luka yang permanen, bahkan jahitan pun tidak akan mampu memberhentikan darahnya—hati Ibu. Tapi mau bagaimana pun juga aku adalah anak dari Ibu dan Ayah. Darah mereka mengalir deras di tubuhku. Sebenci-bencinya hati ini namun rasa sayang kepada seorang Ayah pasti lebih besar.

Ibu menaikkan kepalanya, “Nanti kalauu kamu sudah sehat, Ibu ajak kamu bertemu Ayah ya, Lexa.”

Aku menganggukkan kepala pelan-pelan dan selalu di akhiri dengan senyum. Karena kata Ayah dulu, tersenyumlah sesakit apa pun yang kamu rasakan karena keajaiban dari senyuman adalah bisa menghilangkan rasa itu walaupun sedikit demi sedikit.

Ibu keluar dari ruangan, izin cuci muka sebentar dan mencari makanan untuk teman-temanku. Kini kami tinggal bertiga, aku, Sally, dan Bramantio. Entah kemana perginya Dika yang dari tadi sudah keluar rungan terlebih dahulu tanpa pamit.

“Sal, bantu aku buat duduk ya.”

Sally membantu tempat pembaringanku agar nyaman saat aku duduk. Setelah itu ia memelukku sangat kencang, sampai badanku terasa sangat linu. Sally menangis tak henti-hentinya, aku mengusap punggungnya. Sambil terus menerus meminta maaf padaku atas tamparan Rio yang mengenai pipiku. Ia juga terus-terusan menyalahkan dirinya sendiri. Sal, ini bukan salah kamu.

“Aku minta maaf Al. Harusnya aku aja yang koma. Bukan kamu. Al.. maafin aku ya.”
“Sal, aku sesak nafas nih. Jangan kencang-kencang peluknya.” Jawabku sambil bercanda.

Sally melepaskan pelukannya dan masih memperlihatkan air matanya.

“Mau aku maafin nggak? Tapi ada syaratnya.”

“Iya, apa? Aku kabulin semua permintaan yang kamu mau.”

“Aku pinjam laptop kamu ya Sal. Terus tolong ambilin kepingan DVD yang ada di dalam tasku.”

Sally bergegas mengambilkan barang yang aku sebutkan tadi. Aku langsung memutar DVD pemberian Dika. Semua orang yang ada di ruangan mendengar, tak terkecuali Bramantio. Sally langsung menarik kursi dan mendekatinya kepadaku. Sudah tak ada lagi tangisannya, yang tertinggal hanyalah bekas dari air mata dan rasa penasarannya. Bramantio agak menjauh dan memilih duduk di sofa seberang sambil tetap mendengarkan.

Hai Alexa Margaretha, goedemorgen. Kamu bisa lihat matahari di belakang aku kan? Di sini masih pagi, mataharinya belum sampai atas. Baru bangun tidur dan belum mandi, hehe.. Entah kenapa ya Al aku mau bikin video kaya gini. Tapi kamu tenang aja, video yang berdurasi puluhan menit ini isinya nggak akan muka aku yang belum mandi semua kok. Aku bakal kasih lihat ke kamu indahnya Belanda. Semoga kamu suka. Ohiya, Al.. Sebelumnya aku mau bilang sesuatu dulu. Hmm.. Alexa..

Dug!

Wajahku dan Sally sepontan melihat ke arah Bramantio yang sengaja menutup paksa laptopnya. Muka Bram sama sekali tidak menunjukkan rasa bersalahnya.

"Aku tuh kasian sama badan kamu yang nggak bisa capek, malah nonton video kaya gitu."

"Kasian? Bram, aku nggak minta kamu buat kasihanin aku. Lagian aku cuma nonton video dari Dika."

"Ikut gue Bram!" Sally menarik tangan Bramantio keluar ruangan. Samar-samar terdengar dari balik pintu yang tidak tertutup rapat.

Aku acuh dengan pertengkaran mereka. Rupanya lelahku sudah sampai di permukaan untuk meladeni omongan Bramantio. Lelaki yang bisa menutup kilaunya Dika. Lelaki yang aku bangga-banggakan. Atau mungkin bisa membuatku buta dengan pengharapannya. Aku membuka laptop Sally lagi, berniat untuk menonton sisa video yang masih berdurasi lima puluh enam menit.

"Al, Bram bener kok kamu itu harusnya istirahat dulu. Video dari aku nanti aja kamu lihatnya ya." Dika tiba-tiba masuk, ternyata dia masih nunggu di depan pintu.

"Tapi aku penasaran, Dik."

"Al, aku mau ngomong sama kamu serius. Tolong banget kali ini kamu dengerin aku." Dika mendekati kursinya ke arahku, tepat di samping kepala.

"Al, kamu tahu kan aku baru pulang dari Belanda. Dan ini hari ke-3 aku di Indonesia, di Jakarta. Sayangnya kamu harus terbaring dan nggak lihat aku selama ini. Aku cuma ada waktu seminggu disini, Al. Aku harus balik lagi ke Belanda. Dan nggak tahu pulangnya kapan karena aku kerja di sana."

"Tapi kamu nggak pernah bilang sama aku sebelumnya, Dik. Kamu bakal ninggalin Ibu Kota? Di sini tempat kita, Dik. Rumah kita. Kamu berjuang di sini. Terus.. Kamu.." air mataku tak terbendung lagi, rupanya hal terbesar dalam hidupku adalah, aku tidak ingin kehilangan orang yang aku sayang—lagi.   

"Maafin aku ya, Al. Kita cari Ayah kamu ya  di sisa hari aku ini. Aku udah niat kalau aku akan ngejaga kamu selama aku masih di Jakarta."

Al, kalau aja kamu takut kehilangan aku, kamu salah. Aku yang lebih takut kehilangan kamu. Melihat kamu suatu saat yang mungkin bersanding selain dengan aku. Kepergian pertukaran pelajar setahun yang lalu juga salah satu caraku mencoba terbiasa tanpa kamu, Al. Tapi sekeras aku melupakan, rupanya wajah kamu bersikeras memutar di kepala. Al, sesungguhnya aku membiarkanmu bebas tanpa aku. Tapi di sini aku ada untukmu, Al. Percayalah..

Hari telah berganti. Seiring daun yang berguguran dari pohon tua. Angin yang berhilir mudik mengabarkan duka kepergian. Hati yang cemas akan masa depan tanpa kaki kanan yang melengkapi kirinya. Tak ada lagi coretan warna-warni yang mendamaikan tekanan atau kegaduhan. Hari ini, hari ke lima Dika di Indonesia—Ibu Kota.

Dika mengemudikan mobil sedannya dengan mulus. Sesekali ia mmenatapku yang tidak berkata, hanya melihat ke depan. Dika tahu apa yang harus ia lakukan.

"Jakarta.. Jakarta.. Macet dimana-mana." keluh Dika pelan.

"Nikmatin aja, Dik. Kamu bakal rindu suasana seperti ini." ucapku datar tanpa melihat ke arah Dika.

"Al, sebelum kita sampai ke sana. Aku mau tanya dulu sama kamu. Apa kamu udah yakin dengan kondisi Ayah kamu sekarang?"

"Inshallah.. Hati aku udah mantap, Dik. Momen ini yang aku tunggu-tunggu, bertemu Ayah bagaimana pun ia sekarang."

Akhirnya kami sampai di sebuah rumah sakit tempat Ayah tinggal selama ini. Rumah sakit yang sebelumnya tidak pernah aku sambangi. Bodohnya, aku seringkali lewat rumah sakit ini tapi aku tak pernah menyadari bahwa sebenarnya dekat dengan Ayah. Aku hanya tak ingin lagi menyalahkan keadaan.

Kami diantar oleh pegawai rumah sakit itu menuju ruangan dokter. Sembari petugas itu menjemput Ayah ke sini. Aku dan Dika berbincang-bincang dengan dokter yang menangani Ayah.

"Nah, itu Ayah Nona Alexa." kata Dokter.

"Ayah? Ini Alexa Yah." kataku sambil mendekatinya.

"Alexa? Kaya nama anak saya tuh." jawab Ayah yang matanya tak fokus melihatku, bibirnya tersenyum-senyum. Iya, syaraf Ayah terganggu saat mengetahui tamparannya beberapa tahun lalu yang membuat aku tak sadarkan diri berhari-hari—koma.

"Anak saya itu udah meninggal. Dia nggak bangun-bangun.. Haha.. Iya dia saya tampar pipinya. Haha.."

"Ayah, ini aku anak Ayah, Alexa Margaretha. Ayah coba lihat aku."

Ayah melihatku, menatapku lekat-lekat. Tangannya terangkat seperti ingin mengusap pipiku. Dia menangis, mengeluarkan air mata. Aku meraih tangannya yang dingin. Memegangnya erat dengan kedua tanganku. Meyakinkan sepenuh hati bahwa aku adalah anaknya, Alexa, dan aku masih hidup.

"Enggak, anak saya sudah mati. Saya yang bunuh. Ya Allah.." Ayah sangat menyesal dengan perbuatannya, dia menyebut nama Tuhan dengan penuh rasa bersalah. Aku tak kuasa membendung air mataku. Jatuh lagi dan semakin deras. Rasanya aku ingin memeluknya dan tak ingin kulepas tapi apa daya Ayah sudah harus istirahat, dia tidak boleh terlalu lama dengan kesedihannya. Namun aku berjanji pada diriku untuk selalu menengoknya di sini.

Sehabis dari rumah sakit, Dika mengantarku pulang ke rumah. Aku masih dibayang-bayang rasa cemas dan takut. Bagaimana mungkin aku bisa menghadapi semua ini tanpa Dika? Tapi aku harus bisa, demi Ayah.

"Kamu jadi berangkat ke Belanda besok lusa?"

"Inshaallah jadi, Al."

"Dik, sekarang aku yang mohon sama kamu. Aku nggak akan bisa ngatasin semua ini sendirian. Kamu bakal balik lagi ke Jakarta, kan?"

"Kasih aku alasan kenapa aku harus balik lagi ke sini."

"Aku."

Al, kalau aku udah pergi nanti, kalau kamu rindu aku, putar aja video ini berkali-kali. Jangan cari aku ya. Aku yakin kalau kamu emang buat aku, kita bakal dipertemukan lagi. Aku mau nyari kesuksesan aku dulu di sini, doain aku terus ya Al, seperti aku selalu menyebut nama kamu dalam sujud terakhirku. Suatu saat kamu udah jadi chef yang hebat dan kerja di kapal pesiar, kita akan bertemu di Amsterdam. Alexa, ik hou van jou. Pesan terakhir dalam video Dika.