Especially for you
I want to tell you I was feeling that way too
And if dreams were wings, you know
I would have flown to you
To be where you are
No matter how far
And now that I’m next to you
Malam bertengger di atas kepala. Purnama terakhir telah tiba di
kibaran depan mata bendera merah-putih. Aku akan rindu tanah air namun aku
bahagia karena akan menyebrang samudera, mencari untuk menepati janji. Andai kau
masih menunggu dengan satu tekad yang sama.
Ibu kota, tempat semua bahasa ada di sini, tempat berbagai
pengalaman diceritakan di tempat ini, tempat dimana tangis tak pernah sudah,
tempat dimana emosi sangat rentan terjadi, dan juga alasanku untuk tertawa
melupakan pedih. Belajar dari semua peristiwa yang lalu-lalang begitu saja tapi
satu keyakinanku, Tuhan tidak akan memberikan ujian di luar batas kemampuan
umat-Nya.
Ayah, bagaimana pun kau saat ini aku akan selalu menjagamu karena
Ayah adalah nafasku. Menjaga tanpa pamrih—tulus. Meskipun begitu kau adalah
alasan utamaku bertahan hidup di sini. Dan aku sudah merasa sangat bahagia
karena Ayah bisa melihatku bernyanyi secara langsung di panggung ini.
“Terima kasih semuanya yang selalu setia menunggu suara sumbang
saya. Mungkin persembahan lagu dari Mymp yang berjudul Especially For You tadi
adalah lagu terakhir karena besok inshaallah saya akan berangkat ke Belanda
untuk bekerja di sana. Dan terima kasih juga untuk Café Cokelat yang telah
memberikan kesempatan selama bertahun-tahun untuk saya bekerja di sini.”
Bertahun-tahun aku belajar tentang kehidupan. Di kelilingi semua
orang yang sangat menyayangiku, menjagaku, menghibur di saat lelah melanda, dan
memberi uluran tangan ketika aku terjatuh, juga mendoakan keselamatanku tanpa
harus aku memohon. Dan sekarang saatnya aku mewujudkan mimpi.
Aku menuruni panggung yang akan sangat kurindukan. Tersenyum bibirku
menatap semua orang yang berarti dalam hidupku. Ada Ayah, Ibu, Sally, dan Bram.
Meskipun pandangan mata Ayah masih belum fokus menatapku tapi aku yakin dalam
hati kecilnya, ia tahu.
Aku menatap mata Ibu dalam-dalam, tersenyum padanya. Mata Ibu
tertuju padaku sampai mengalahkan sinar rembulan mala mini, aku akan rindu
senyuman Ibu, akan rindu ketegaran mata Ibu. Lalu kedua tangannya
menangkapku, memelukku erat-erat seakan tak ingin ini semua menjadi akhir.
Semua hanyut dalam tangis, larut dalam malam yang tak berujung. Sally
ikut memelukku dari belakang. Aku membiarkan tanah yang kami injak ini sebagai
saksi bisu. Kubiarkan air mata menjadi lautan kenangan yang membahagiakan, yang
selalu dirindukan sebagai alasan kembali lagi.
Kurenggangkan pelukan, “Jangan sedih Sal.”
“Enggak bisa, chef..” kata Sally terisak.
Tiba-tiba tanganku dicengkram erat. Terasa sangat dingin. Kutengok dari
arah lengan itu, kemudian yang lain mengikuti kepalaku yang memutar. Kulihat mata
Ayah yang mengeluarkan air mata, walaupun wajahnya masih sama saja. Aku
percaya, hati kecil selalu berbicara jujur—Ayah. Langsung kupeluk ia
erat-erat, aku merasa lega karena perlahan Ayah pulih dengan sempurna. Tangan Ayah
juga memelukku dan menepuk-nepuk punggungku.
“Ayah, restui aku pergi.”
Sally mulai tersenyum dan menggandeng tangan Ibu juga kepalanya ikut
bersandar di bahu. Ibu yang sudah menganggap Sally sebagai anaknya juga, tidak
segan-segan untuk mengusap kepala Sally. Sementara itu, Bram hanya terdiam
melihat kami diselimuti haru dan rasa takut tentang sebuah kehilangan.
“Sorry, Al, boleh kita bicara berdua?” Bram akhirnya angkat suara.
Aku melihat ke arah Bram, menganggukkan kepala pertanda bahwa aku
setuju. Kami berjalan sedikit mencari tempat yang tidak terlalu ramai karena
sepertinya Bram ingin membicarakan hal yang sangat serius. Kami menepi pada
balkon Café Cokelat dengan semua bintang berhamburan di angkasa sana.
“Al, aku yakin mau sekeras apa pun aku bilang jangan pergi, itu
enggak akan bisa membuat kamu merubah keputusan untuk kerja di Belanda. Tapi aku
harap ketika kamu rindu Ibu Kota, itu berarti kamu rindu aku juga.”
“Bram, aku juga yakin kalau selama ini kamu sudah merasakan ada
rindu yang mengambang di langit-langit. Ada semangat yang selalu
berteriak-teriak di balik labirin, kemudian menggema, aku yakin kamu mendengar.
Selalu ada pelukan hangat yang terasa lewat panjatan doa yang diucapkan cuma-cuma.
Tapi kamu hanya membiarkan itu hanya lewat saja, hanya terbuang sia-sia, tanpa
mengucapkan kalau kamu tidak butuh semua itu. You just save me with
uncertainty.”
“Aku tahu semua itu jahat, Al. Tapi sekarang aku memilih kamu. Please,
forgive me.”
“Aku yang minta maaf, Bram. Maaf, aku bukan pilihan.”
Bila ada cinta yang nyata, mengapa harus kau cari yang fana? Bila
kau kecewa pada pelangi yang warnanya sesaat, mengapa masih saja kau tunggu? Padahal
kau tahu hanya sesuka hati saja ia menampakkan pesonanya. Bila ada cinta nyata,
mengapa harus kau cari yang fana?
Sejenak, kubiarkan angin memainkan gaun hitamku. Menyeka air mata
yang mulai menetes, cukup! Memang terkadang perasaan itu timbul berawal
dari kehilangan namun mengapa harus menunggu? Mengapa tak kau sadarkan saja
sesegera mungkin sebelum semuanya terlambat?
Biarkan aku pergi hanya sekali—tanpa mengingat kau yang pergi
berkali-kali. Dan aku larut di dalam angan tanpa bisa kumemohon untuk hanya
tinggal di sini. Semoga kau mendapatkan bidadari yang bisa menunggumu sadar
lebih lama dari aku, Bram.
***
“Al, kamu yakin mau kerja di Belanda?”
“Insha Allah, Sal. Sebentar lagi aku akan terbang ke sana. Lagi pula,
aku bekerja di restaurant bukan kapal pesiar. Aku akan sesering mungkin pulang
ke Jakarta.”
“Pulang sama Dika?”
“Hampir 3 tahun Dika pergi dan aku enggak tahu kabar dia. Semoga doaku
sampai padanya. Seperti kata Dika, kita akan bertemu di Amsterdam.”
Sally memelukku, aku yakin kalian berjodoh Al. Aku akan jaga Ibu
dan Ayah kamu, tenang aja ya Al.
Sally memang memutuskan untuk membuka butik di Jakarta. Dia tidak
ingin menyusahkan orang tuanya lagi. Sally membuka usahanya dari kecil dan
bermimpi untuk go international. Aku yakin Sally dapat mewujudkannya.
Aku melamun di balik kaca pesawat yang sedang terbang tinggi. Kutatap
awan-awan yang berhimpit dan berjalan cepat, juga ada yang mengiringi
perjalananku. Di satu sisi, aku masih tak percaya bahwa akan bekerja di Negara orang.
Mungkin ini takdirku yang tidak pernah aku rencanakan. Mungkin ada doa Dika
yang dikabulkan Tuhan.
This is for you, Al. The red rose.
Women like a rose, Dik. So beautiful when blossom. But slowly, it
would be the old and withered. If I rose, will you keep me until I really die? Will
you love me although I didn’t beautiful as the first?
Pukul delapan malam lewat dua puluh lima menit waktu Belanda, Amsterdam
Airport Schiphol. Aku sudah disambut oleh beberapa orang dari tempat dimana
aku akan bekerja. Sebagian dari mereka adalah asli orang Belanda. Mereka sangat
ramah.
Dik, aku sedang berada di sini, Amsterdam! Apa kita akan bertemu?
Aku sangat beruntung mendapatkan pekerjaan ini dengan fasilitas
yang sangat mencukupi. Rumah singgah yang cukup besar untuk seorang diri, dan
menjadi Chef di restaurant mewah.
Perlahan aku mengerti beberapa bahasa Belanda, meskipun aku masih
memakai bahasa Inggris untuk berkomunikasi namun pekerja di sini sangat
memaklumi hal itu. Aku tidak merasa asing di sini karena ada beberapa pekerja
yang berasal dari Asia juga.
“Alexa, you can break 1 hour.”
“Ok, dank, Chef!”
Sudah hampir sebelas bulan aku di sini tapi belum kutemui Dika. Hanya
wajahnya yang kusimpan di dalam memori handphone—video. Aku tidak pernah
bosan terus mengulang dari setiap durasi. Seperti ini saja sudah membuatku
bisa senyum-senyum sendiri.
“Al, what are you doing?”
“O my god, Sonya! I was surprised. I am just watching video from my
friend.”
“Sorry. Hmm.. I want to know about your friend. Could you tell me,
Alexa?”
“Haha.. for what? Ok, about him. He is miracle for me. And now, I
really miss him. I hope he know.”
Sonya teman baruku di Belanda. Dia satu profesi denganku, menjadi Chef
tapi hanya kami yang tidak menggunakan embel-embel ‘Chef’ untuk
mengobrol ataupun sedang bekerja di dapur karena menurut Sonya itu akan menjadi
sangat kikuk untuk lebih dekat. Aku juga mengajak Sonya untuk tinggal bersamaku
di rumah singgah karena aku belum terbiasa untuk tinggal sendiri di Negara orang.
Sonya juga mengajakku berkeliling ke tempat-tempat bersejarah di Belanda.
Satu tahun sudah berlalu, waktunya aku pulang ke Indonesia. Aku diberi
libur dua minggu setelah itu harus kukerjakan kewajiban lagi. Namun berat
rasanya aku meninggalkan Negara ini meski aku sangat rindu Ibu Kota—Dika. Belum
kutemui ia sama sekali. Bahkan aku tidak tahu alamat ia bekerja dimana atau
tinggal dimana selama di Belanda. Berarti genap sudah empat tahun kita tidak
berjumpa, Dik. Mengapa sekarang ada ragu yang timbul?
Bandara Soekarno-Hatta, Jakarta, Indonesia. Aku sengaja
tidak ingin dijemput oleh siapa pun. Aku ingin mereka menunggu di rumah saja.
Kutengok sekeliling bandara ini, tak ada perubahan. Jalan menuju taxi yang
akan membawaku pulang.
Hamparan lalu lintas yang belum berubah. Kenangan itu pun masih
tercecer di jalan abu. Kemacetan sekarang kuhadapi dengan senyum. Lampu merah
masih sama berwarnanya dengan di tambah anak jalanan yang bersenandung riang. Tidak
peduli suaranya sumbang atau senar ukulelenya putus satu, yang penting bisa
hidup di Jakarta.
“Misi ka.. Aku yang dulu bukanlah yang sekarang, dulu disayang
sekarang kuditendang..” salah satu pengamen kecil itu bernyanyi di balik
kaca taxi-ku, lagu yang dipelesetkan dari lirik aslinya membuatku
tertawa kecil dan menggeleng-gelengkan kepala.
Aku membuka kaca mobil, “Dek, ini uang Belanda. Kalau kamu tukar ke
bank, bisa buat beli sesepda baru.”
“Wah, beneran kak?” bocah itu langsung berlari menuju
teman-temannya yang lain dan berteriak-teriak, “Asyikkkk!! Sepeda baru pakai
uang dari Belanda!”
Aku tersenyum melihat pengamen kecil itu bersorak-sorai bahagia. Taxi-ku
melaju lagi tanpa hambatan kemacetan lalu lintas. Sampai di depan pagar rumah,
aku disambut oleh Ibu, Ayah, dan juga Sally. Aku lari ke arah mereka dan
memeluknya satu persatu.
Kata Sally ada kejutan di dalam kamar tidurku. Tak sabar, aku
langsung masuk dan melihat ada kejutan apa yang sudah disiapkan Sally untukku.
Kubuka pintu kamar..
“Taraaaa!! Bunga mawar merah. Your favorite flower!” banyak tangkai
bunga yang disusun rapi di atas tempat tidurku. “Yah, kamu enggak suka ya Al?
Kok muka kamu jadi sedih?”
“Aku suka kok, banget. Aku Cuma keinget sama Dika. Aku belum
berhasil ketemu sama dia. Mungkin aku sama dia bukan…”
“Sssttt! Udah mendingan kamu ikut aku ke Café Cokelat. Aku juga
udah buatin kamu gaun plus jilbabnya. Pokoknya kamu harus cantik, pasti kamu
kangen dong sama Café Cokelat?”
Aku taruh tangkai-tangkai mawar itu di dalam botol kaca yang berisi
air agar tidak cepat layu. Langsung kubersihkan tubuhku dan memakai gaun buatan
designer cantikku itu. Aku berputar di depan cermin, Sally bertepuk tangan
merasa senang melihatku memakainya dan ukuran yang sangat pas di tubuhku.
Di Café Cokelat aku langsung disambut hangat oleh Bapak Manager,
Bapak Andreas. Kami diberi tempat duduk yang langsung berhadapan dengan
panggung. Bapak Andreas juga ikut berbincang-bincang denganku dan Sally.
“Sekarang, kamu yang akan jadi penonton ya Al. Selamat menikmati
penyanyi baru kami.” Kata Bapak Andreas yang kemudian pergi membiarkan aku dan
Sally.
No more dreaming about tomorrow
Forget the loneliness and the sorrow
I’ve got to say
It’s all because of you
And now were back together, together
I want to show you my heart is oh so true
And all the love I have is
Especially for you
“Sal, itu lagu Especially For You
kan? Terus kenapa penyanyinya harus pakai topeng gitu sih?”
“Udah dengerin aja Al. Keren ya suaranya. Bisa main gitar juga
lagi.”
“Selamat malam semuanya. Di sini sebenarnya saya bukan penyanyi
baru tapi saya diizinkan untuk bernyanyi satu lagu untuk seseorang yang sedang
berada tepat di depan saya. If you rose, I will keep you until I can’t breathe
again. Because I know I am not perfect and with your love I will be perfect. I am
yours, Alexa.”
Dika!
Aku tahu cinta akan berlabuh di waktu yang tepat. Rindu akan
berbisik pada langit dan doa akan selalu menjadi jembatan penghubung antara
kita. Dan sekarang, aku bisa membuktikan padamu kalau jodoh, jarak hanya
wacana. Meskipun kamu terus mendayung sampan terlalu jauh tapi sebenarnya aku
yang kau tuju. Ketika kau lelah berlari menapaki jejak yang samar, aku lah
pohon rindang sebagai tempat beristirahat. Ketika seseorang meninggalkanmu,
bukan berarti ia ingin dikejar, bukan berarti ia lelah, namun sebenarnya ia
ingin membiarkanmu bebas terbang tanpa harus ada yang kau fikirkan untuk dijaga
perasaannya. Alexa, cinta yang sesungguhnya adalah cinta yang dapat membuat
hidupmu lebih baik lagi, bukan hanya kau yang mengejar seorang diri. Akan tetapi,
biarlah itu berlalu. Ada aku di Ibu Kota. Jika kita bertemu di sini, maka
biarkan aku men-khitbah-mu di sini pula—Ibu Kota. –Dika Wibisana.
“Kata kamu kita bakal ketemu di Amsterdam? Kamu bohong ya Dik?”
“Aku enggak bohong. Aku memang ketemu kamu di sana. Dan aku juga
yang minta agar kamu bekerja di restaurant yang berada di kota Amsterdam, itu
milik aku Al. Kamu pasti kenal Sonya, kan?”
“Dikaaaaa! Jahat kan.”
“Hahaha.. manjanya keluar deh.”
Ik hou van jou, Alexa.