Senin, 18 April 2016

Kenapa?

I will answer a lot of questions from my teachers, my friends, my sister, and my brothers about “Why?”, “What?”, “How”, “When?”, etc. I think they are so curious about made of my story, hehe.. Well, these are questions and  my answers.

Pertanyaan pertama ini adalah yang sering ditanyakan, dari mulai guru-guru saya di sekolah sampai adek-adek gemez. Sebenarnya siapa yang sudah memberimu inspirasi untuk menulis terutama tentang ‘cinta’? Mungkin orang yang bersamamu saat ini adalah orang yang beruntung karena selalu diberi kata-kata romantis, hehe..
Ø  Ketika ada orang (siapa pun itu) yang bertanya seperti ini, sebenarnya saya juga bingung untuk menjawab, kadang hanya dijawab dengan senyuman tiga jari. Kalau berbicara tentang cinta, buat saya semua hal dari saat mata saya terbuka sampai menutup lagi berarti saya sudah banyak merasakan tentang cinta. Misalnya, kasih sayang orang tua yang saya dapatkan, ketika saya berjalan dan melihat para dermawan memberi makan anak jalanan, atau sepasang suami-isteri yang sangat menjaga satu sama lain. Mungkin untuk yang lebih spesifik tentang ranah pribadi saya, apakah ada seorang pria yang spesial sehingga tulisan saya selalu berwarna tentang indahnya cinta? Semua orang pasti pernah merasakan apa itu cinta, apa lagi saat umur beranjak lebih dari 17 tahun, saya pun seperti itu. Ketika saya sedang menulis berarti saya sedang mersakan jatuh cinta. Lalu, setiap tulisan yang kamu buat setiap hari tandanya kamu sedang jatuh cinta setiap hari juga? Iya, saya selalu jatuh cinta setiap hari dengan keadaan. Saya jatuh cinta ketika melihat nenek dan kakek (almarhum) saya begitu sabar menjalani hari tuanya, meskipun kakek sudah tidak bisa berdiri dengan gagah selayaknya puluhan tahun lalu tapi nenek tetap setia mengurusi suaminya itu, menyuapi makan, mengajak berbicara, mengusap wajahnya saat peluh mengalir, dan sebagainya. Saya selalu jatuh cinta terhadap situasi jalanan yang mengajarkan saya apa itu arti bersyukur kepada Tuhan. Saya selalu jatuh cinta saat hujan turun atau malam memberi dingin yang menusuk jantung. Kemudian, bagaimana dengan kata-kata yang romantis? Saya adalah seorang yang memiliki khayalan tinggi, lalu saat menulis saya mengandalkan hal itu. Saya mencoba untuk menjadi seseorang, merasakan sebuah kisah yang diserap dari hati kemudian saya bayangkan betapa indahnya jika sepasang kekasih melakukan hal yang demikian (sebuah perhatian sederhana, pelukan hangat dalam sebuah do’a, bersenandung dalam melodi yang sama, saling menjaga). Mungkin saya ingin memberitahu bahwa sebenarnya cinta itu sederhana, tentang penantian yang tidak dipaksakan, tentang menurunkan ego masing-masing sehingga tidak ada pertengkaran, bukan tentang bunga yang dikirim setiap hari tapi tentang seberapa besar pengorbananmu untuk bertemu saat rindu itu muncul ke permukaan, tentang kesetiaan yang dibalut kejujuran, tentang apa adanya dirimu dan pasanganmu sehingga saling menemukan kekurangan dan kelebihan lalu saling melengkapi, tentang mempercayai sebuah kata ‘semangat’ yang sebenarnya sangat berharga, tentang sebuah kesabaran yang dibalut kasih sayang, sampai tentang sebuah ke-ikhlasan untuk melepas (bukan berjodoh atau karena dipanggil Tuhan), dan tentang memperjuangkan satu sama lain (bukan hanya kamu yang berlari dan terjatuh). Intinya, saya hanya ingin pembaca saya tahu bahwa True Love is beautiful.

Kenapa kamu suka menulis? Sejak kapan? Lalu kenapa kamu tidak memiliki buku sendiri? Misalnya mencoba untuk membuat sebuah novel atau cerita nyata dari sebuah kehidupan.
Ø  Sejak saya berada di bangku Sekolah Dasar, saya sudah suka dengan puisi, saya selalu mengisi acara di Hari Kemerdekaan Indonesia. Meskipun hanya panggung kecil Rt atau Rw. Mama saya yang mengenalkan tentang apa itu puisi. Lalu, saya pernah diikutsertakan dalam perlombaan puisi antar kelas tapi sayangnya saya tidak juara karena sebenarnya saya seorang yang demam panggung dan mudah down saat lawan saya tampil lebih bagus dibanding saya. Kemudian, saya mencoba untuk membuat puisi sendiri, walaupun masih dengan kata-kata yang sederhana (ya maklum saya masih SD, hehe..). Tema puisi saya tidak jauh tentang guru, Ibu, dan Ayah. Puisi yang pertama kali saya baca adalah karya Chairil Anwar dan Beliau lah yang telah memberi saya inspirasi untuk tetap menulis. Beliau mati muda tapi namanya tidak pernah mati, Beliau tetap hidup dengan karyanya yang tidak pernah usang dimakan jaman.
Ø  Saat saya berada di bangku Madrasah Aliyah, saya bertemu dengan seorang pria (teman satu kelas 10) dia telah membangkitkan gairah menulis saya up lagi. Diusut-usut, ternyata dia juga senang menulis fiksi, tulisannya sangat menyentuh hati, gaya bahasanya yang menjadi ciri khas. Kemudian saat gairah menulis saya naik, saya mencoba untuk membuat sebuah novel, seiring berjalannya waktu terciptalah kurang lebih 150 lembar dari kertas ukuran A4. Hanya bermodalkan nekat dan semangat untuk membelikan kado spesial untuk Ayah (kebetulan bertepatan dengan bulan ulang tahun Ayah) akhirnya saya kirim naskah novel itu ke salah satu penerbit yang ada di Jogja. Tidak lama menunggu, hanya 2 minggu, penerbit itu menghubungi saya di jam pulang sekolah saat saya sedang berada di kantin bersama teman-teman. Saya sangat senang karena telepon itu asalnya dari penerbit tapi bukan rezeki namanya, mereka meminta maaf karena hasil tulisan saya belum layak dijual. Saya mencoba untuk tegar namun apa daya pada saat itu saya hanyalah anak baru remaja yang masih rapuh walau tertiup angin kecil—air mata itu tak dapat terbendung. 2 orang teman saya berusaha untuk menenangkan dan memeluk saya dari belakang. Hati saya berbisik, maaf Pap belum bisa ngasih kado dari uang sendiri. Semenjak saat itu saya mencoba untuk menulis sebuah novel kembali namun entah apa hati saya belum mau membuat itu. Sampai akhirnya, saya lebih senang membuat sebuah cerpen atau secarik puisi. Tidak masalah, hitung-hitung belajar untuk mengolah kata dan memperbanyak kosa kata yang lebih indah.

Kenapa untuk kuliah kamu memilih untuk mengambil Bahasa Inggris? Kenapa tidak Sastra Indonesia?
Ø  Mengambil jurusan Sastra Indonesia adalah cita-cita saya sejak saya berada di Madrasah Aliyah. Saya sangat yakin bahwa saya akan sangat menikmati kuliah saya nantinya jika memilih jurusan itu. Kembali lagi pada ridho orang tua adalah ridho Tuhan, apa pun kata mereka berarti itu insya allah baik untuk saya ke depannya. Awalnya saya berontak namun semakin saya berfikir bahwa mungkin mengambil jurusan Bahasa Inggris itu lebih baik untuk saya. Toh, saya masih bisa menulis dan bisa memperlajari sendiri dari teman-teman saya yang memiliki hobi sama atau mengambil jurusan Sastra Indonesia. Hal baiknya, saya harus yakin agar tulisan saya bisa sampai ke luar negeri dengan mengambil jurusan Bahasa Inggris. Ya, kadang apa yang kamu fikirkan itu baik belum tentu baik kata Tuhan tapi jika Tuhan sudah mengatakan itu baik untukmu, maka jalanilah apa yang ada di depan mata dengan sebaik-baiknya, bersyukur dengan apa yang telah kamu miliki, dan tetaplah tersenyum oleh takdir, maka takdir akan menuntunmu ke arah yang benar, insya allah.

Kapan biasanya kamu menulis? Apa kamu punya waktu-waktu khusus?
Ø  Buat saya setiap detik adalah waktu yang tepat untuk menulis. Sebenarnya ada waktu khusus, seperti nama blog saya ‘Coretan si Pemuja Malam’ jadi saya lebih suka menulis di malam hari dalam keheningan. Maka dari itu, kata orang semakin malam semakin bapper atau semakin malam berarti semakin galau, buat kamu yang suka galau  jangan tidur larut ya, hehe.. Saya pernah menulis di bus menuju Cikampek, dari perjalanan yang hampir 4 jam itu, saya bisa membuat satu cerpen yang diketik di handphone atau pada saat di kereta ketika mata saya centil untuk melihat keadaan di luar gerbong, mungkin sebuah atau 2 buah puisi. Jadi, setiap detik adalah waktu yang tepat untuk menulis.

Katanya, tulisan yang kita buat itu adalah cerminan dari pribadi kita? Padahal awalnya saya sempat enggak percaya kalau kamu yang punya blog Coretan si Pemuja Malam ini, soalnya gaya berpakaian kamu yang ternyata hanya menjadi tipuan mata. OMG!
Ø  Untuk pertanyaan yang satu ini dari teman saya, respon pertama saya adalah tertawa puas, hahahahaha.. Iya, penampilan saya memang tidak sefeminin wanita-wanita di luar sana. Saya lebih senang berpenampilan sederhana dan apa adanya, sekalipun saya sedang jatuh hati kepada seorang pria. Tulisan yang kita buat memang bisa jadi cerminan dari dalam diri sendiri, mungkin lebih ke gaya bahasa apa yang kita pakai. Kadang ada tulisan yang sebenarnya romantis tapi terlihat kaku atau lebih mendayu-dayu dan terlihat lebih tulus. Ya sebagai pelajaran saja, bahwa jangan menilai orang hanya dari penampilan luarnya saja karena kenyamanan dan keistimewaan itu datangnya dari dalam hati, don’t judge people who you don’t know because its not fair. Bukan hanya tulisan tapi apa yang kita baca dan dengarkan itu juga termasuk dari cerminan diri seseorang. Jadi, peka lah terhadap dirimu sendiri dan orang lain.

Kenapa kamu lebih memilih menulis? Apa alasannya untuk saat ini? Padahal banyak hobi yang bisa kamu kerjakan, apa lagi yang saya tahu kamu adalah orang yang bisa dibilang kreatif untuk mengerjakan sesuatu.
Ø  Aamiin.. oke pertama saya tidak bisa berolahraga dengan baik (saya tidak suka karena itu bisa membuat saya merasa sangat lelah, hehe..). Kemudian, saya bisa masak bahkan katanya masakan saya enak apa lagi untuk kue dan roti tapi sayangnya saya tidak hobi memasak, hehe.. Yang ketiga, untuk melakukan kerjaan animasi di komputer, saya adalah tipe orang yang mudah frustasi jika terlalu lama tidak bisa mengerjakan dan tidak ada yang membantu saya akan merasa sangat  sedih dan membuat kepala saya sakit, wkwk, oops! Yang keempat, saya suka musik, sempat bisa memainkan gitar di jaman SMP tapi sayangnya itu tidak berjalan lama karena saya hanya bisa melatih permainan gitar di luar rumah, sedangkan saya juga jarang berada di luar rumah kecuali sekolah. Maka dari itu saya lebih memilih untuk menulis. Haha.. kurang puas dengan jawabannya? Oke lebih lanjut. Seperti yang saya katakan di jawaban sebelumnya tentang Chairil Anwar, Beliau mati muda tapi karyanya tetap hidup sampai sekarang. Dari situ saya berfikir bahwa sesuatu hal yang bernyawa cepat atau lambat akan kembali pada Sang Pencipta. Kita enggak tahu kapan kita akan kembali pada-Nya. Buat saya, kematian itu berarti akhir dari segalanya (meskipun nanti ada kehidupan baru) karena saya tidak akan bisa lagi menemani untuk menghibur teman-teman atau semua orang yang ada di sekeliling saya yang sedang bersedih, jadi biarlah tulisan saya yang menjadi pengobat lara. Seniman, biarkan kami mati tapi bukan karya kami. Itu salah satu kalimat dalam cerpen saya yang berjudul ‘SKETSA’. Kemudian, banyak kata yang tidak bisa diucapkan oleh lisan, terasa sangat sulit dan kikuk untuk mengutarakan, maka menulislah sehingga beban dalam hatimu hilang, katakan walau dalam kata yang tersirat sehingga seseorang itu sadar bahwa dia ada di dalam hatimu.

Apa aku bisa nulis kaya kamu? Kata-kata aku terlalu biasa aja kayanya. Kalau aku baca tulisan kamu itu seperti aku lagi terjun ke dalam sebuah kisah itu. Apa kamu punya tips?
Ø  Aamiin.. semua orang bisa menulis kok, asal mau memulai dan terus belajar. Jangan malas untuk membaca karya orang lain dan karya favorit kamu. Saya juga masih belajar, masih dapat kritikan dari pembaca cspm, kalau saya sudah mahir mungkin nama saya sudah terkenal di toko buku se-Indonesia, hehe.. Tips dari saya, menulislah dari hatimu, kamu menulis karena kamu mencintai tulisanmu, rasakan dengan tulus setiap perasaan yang sedang kamu rasakan setaip sedang berhadapan dengan kertas dan pena. Jangan berhenti untuk menulis karena itu bisa membuat tulisanmu kaku kembali. Terus pelajari alurnya sehingga kamu bisa memainkan ceritamu seperti ombak di tengah lautan. Buat outline kalau kamu suka berantakan dalam mengambil keputusan ‘akan dibawa kemana cerita ini?’ Terus semangat untuk meminta kritikan dan masukan dari pembaca cerita kamu. Jangan menulis karena uang, toh, kalau tulisanmu sudah menjadi favorit setiap pembaca maka dengan sendirinya hal itu akan menjadi daya tarik jual. So, let it flow.


Ok guys! Saya sudah menjawab dari pertanyaan-pertanyaan di atas ya. Mohon maaf karena hanya beberapa pertanyaan yang bisa saya post karena sebagian dari pertayaan kalian bit more privacy of me. Saya sangat menghargai keingin-tahuan kalian yang selalu menyemangati dan menjadi pembaca setia dari blog Coretan si Pemuja Malam. Terimakasih untuk segalanya, karena kalian adalah alasan mengapa saya tetap menulis. Semoga jawaban saya dapat berkenan di hati kalian semua. Saya selalu menunggu kritik dan saran apa pun untuk membuat tulisan saya semakin lebih baik. Jangan bosan untuk membaca blog cspm ya dan follow instagramnya @cspm_you @ersabest . See you! 

Sabtu, 16 April 2016

Aku Hanya Tukang Tinta (Cerpen)

Bukan penulis namanya jika belum menceritakan tentangmu. Bukan penulis namanya jika belum berkhayal tentangmu. Bukan penulis namanya jika belum menuliskan pesonamu. Bukan penulis namanya jika belum berpuisi keistimewaanmu.

Waktu sangat cepat meninggalkan bayang, saat semua begitu terasa kutinggalkan tetap aku harus mengalah—semua akan berpisah meninggalkan kenangan yang tidak akan usang oleh debu sekalipun. Beribu masalah yang kita hadapi bersama kini harus difikirkan sendiri—semua akan berakhir.

Empat tahun bukan waktu yang singkat untuk aku bertahan berdiri di hadapanmu, dengan gagah penuh senyum. Atau memendam kepalsuan karena kamu begitu istimewa untuk diceritakan. Kau selalu bertanya, siapa yang begitu beruntung untuk kamu deskripsikan lewat rasa yang tersirat dalam sebuah puisi? Bahkan kamu begitu buta dengan pertanyaanmu.

Aku selalu mengalihkan pertanyaanmu itu dengan candaan sederhana, sehingga kamu lupa dengan tawamu. Aku bahagia bisa membuatmu tertawa. Dan sampai saat ini aku adalah buku harianmu—mengisahkan sosok bidadari yang entah dimana ia berada namun telah membuatmu jatuh hati berkali-kali. Inilah aku, malaikatmu yang selalu dicari. Inilah aku, pundak milikmu untuk bersandar. Inilah aku, sebenar-benar rumahmu—bukan untuk membuat hatimu pilu tapi membuat hatimu tenang. Inilah aku, wanita yang takkan pernah menjadi cantik oleh make-up.

“Diana, kenapa kamu suka banget bikin puisi tentang pria itu? Bahkan aku belum tahu siapa dia.” Topik pembicaraan yang dibuka Tono.

“Hmm.. kenapa ya? Hehe.. Dia itu sangat istimewa, aku juga nggak tahu cinta buta apa yang lagi aku rasain sekarang. Orang kaya dia sayang kalau nggak dijadiin materi puisi yang romantis. Aku nggak akan membiarkan dia hanya menjadi serpihan kata yang berserakan. Dan aku selalu berharap setiap puisi yang aku tulis bisa membuat dia tersenyum dan bangun dari tundukan kepalanya. Ya anggap saja aku lagi merayu dia. Sebenarnya, kamu tahu orang itu siapa, dekat banget sama kamu, Ton.”

“Dekat banget? Berapa jengkal? Atau berapa millimeter? Hahaha.”

Kami yang sedang duduk berdua di lorong kelas yang lumayan besar, menatap laptop yang memandangi tugas skripsi. Sudah hampir empat tahun dan kami sudah berjanji untuk lulus dengan tepat waktu. Setelah itu, kami akan melanjutkan hidup masing-masing—aku harap kita bersama.

Aku beranjak dari duduk, membenarkan tulang-tulang punggung yang hampir bengkok akibat terlalu lama menunduk ke arah laptop. Sedikit meregangkan badan, menarik tangan ke atas. Sedangkan Tono masih asyik dengan ketikan jemarinya yang beradu pada keyboard. Aku keluar sebentar untuk membeli makanan ringan.

Bukan penulis namanya jika aku hanya membiarkanmu memiliki hitam kelabu, padahal aku tahu warna dalam hatimu begitu indah mengalahkan cakrawala di ujung petang.

Rasakan semua belaian jemari yang tak halus karena selalu berkutik dengan pena. Rasakan semua tatap harapam yang mengalir dalam sanubarimu. Rasakan semua setiap nada sumbang yang kulantunkan untuk menyentuh hatimu.

“Tono, udah dulu ngerjainnya. Makan dulu nih.”

“Ok Diana! Oh iya, kamu mau bantuin aku nggak?” tanyanya. Aku mengangguk singkat sambil membuka makanan yang baru saja kubeli. “Gantiin perban tangan aku ya? Susah kalau sendiri, aku bawa obatnya juga kok.”

“Oh yang kemarin lusa keserempet mobil itu ya? Sini aku bantuin.”

Luka di tangan Tono memang tidak terlalu besar tapi cukup serius. Tono bersandar pada dinding yang mulai terasa dingin akibat AC. Aku mencoba untuk membuka perbannya perlahan-lahan, dibersihkan dengan alcohol lalu kubiarkan kering terlebih dahulu, setelah itu kutetesi obat merah di area luka dan sekitarnya. Kubalut lagi dengan perban yang baru, dirapikan agar tidak terlihat kumal.

“Selesai!” suaraku sedikit berteriak dan mengangkat kepala menatap Tono namun ia sudah terlelap dalam tidurnya, mungkin saat kubuka perbannya, dia cukup lelah dengan skripsinya. “Hmm! Makanya hati-hati kalau nyebrang jalan, Tono. Tidur yang nyenyak ya, nanti aku bangunin kalau hari sudah sore.” Aku berbicara sendiri di depan Tono sambil kuusap tangannya yang luka dibalut perban, pelan-pelan.

“Tataplah diriku disini masih seperti yang dulu.. satu yang tak bisa lepas percayalah hanya kau yang mampu mencuri hatiku, aku pun tak mengerti..” (Andien – Satu yang Tak Bisa Lepas) aku bersenandung lirih sambil kembali pada laptopku.

Laguku berhenti sejenak menatap Tono yang tiba-tiba bangun dari tidurnya dan melanjutkan lagu yang sama, sambil tersenyum kecil menatapku. “..Satu yang tak bisa lepas bawalah kembali jiwa yang luka dan perasaan yang lemah ini menyentuh sendiriku.”

Aku tahu hanya lagu kita yang sama. Apa kabar dia yang selalu kamu ceritakan? Ah, aku selalu menunggu cerita-cerita baru yang ingin kau sampaikan—tentang dirinya. Atau mungkin kau sudah tidak selera untuk menceritakannya? Apa mungkin kau sudah tak selera untuk mengingatnya? Jawabannya ada pada dirimu.

Lalu rasakanlah setiap tangan ini menjagamu dalam diam. Perjalananmu adalah teka-teki kosong yang sekedar harap lalu hilang. aku tak ingin memilikimu, maka biarkanlah kamu yang memiliki. Naïf, aku hanya tersenyum untukmu. Meski aku hampir tenggelam di tengah lautan. Bukan penulis namanya jika tidak bisa menyimpan dalam kepalsuan mata. Penulis amatiran ini hanya sanggup memeluk bayangmu.

Semua fikiran dan tatap mata terfokus pada tulisan yang ada di layar kaca. Sesekali bertanya singkat tentang kalimat yang tak dimengerti. Dahaga yang haus membuat tangan meraba teh hangat dan secangkir kopi hitam—sesekali bertukar minuman.

Tiba-tiba ­e-mail masuk dari kedua laptop kami yang terhubung langsung pada wifi kampus. Tidak langsung membuka tapi kami malah saling mengangkat kepala dan kemudian bertatap satu sama lain, seakan mengatakan hal yang sama, kita dapat e-mail yang sama? Kami tertawa kecil mengingat tingkah konyol apa yang sedang kami peragakan.

“Eh, teman lama kita yang dulu pindah universitas itu ngirim surat undangan nih!” kataku terkejut.

“Iya Diana, aku sudah tahu, aku juga dapat undangannya.”

“Diundang mulu, kapan ngundangnya ya? Jodoh aja belum ada..” kataku bercanda.

“Kan ada aku.” jawab datar, Tono.

Eh.. aku memandang heran kepada Tono. Dia hanya membalas senyum tiga jari yang memperlihatkan gigi-gigi rapinya itu dilanjut mengangkat kedua alisnya yang lumayan tebal. Ah, Tono, lagi-lagi kau menyebalkan dengan kata-katamu. Aku tahu kamu hanya bergurau.

Kau adalah matahari yang dinanti saat hujan tak kunjung reda. Kau adalah pelangi yang ditunggu saat aku berlamun di batas senja. Kemudian hilang—selalu kutunggu. Bukan penulis namanya jika belum menuliskan tentangmu.

Hari sudah mulai menua. Kami merapikan laptop dan membereskan sampah yang berserakan sehabis makan dan minum. Berjalan dengan langkah yang hampir sama melewati beberapa tanaman yang tertanam di pot-pot besar. Keluar dari lorong dingin itu.

Sesekali menyapa teman-teman yang masih juga mengerjakan tugas-tugas mereka atau hanya sekedar berbincang kecil mempererat sebuah persahabatan. Sedangkan kami mulai membelah sore di bawah guratan jingga.

“Kamu bakal kerja habis lulus dari sini?” tanyaku.

“Iya, aku sudah membuat rencana itu dari empat tahun yang lalu. Bahkan perusahaan yang akan kusambangi sudah aku list. Ya semoga nilai akhir kita bagus. Kamu?”

Ton, apa aku ada dalam rencanamu? Meski bukan kau buat dari empat tahun lalu. “Aku belum tahu, Ton. Mungkin aku akan melanjutkan S2 dulu. Lagi pula aku sudah menjadi penyiar radio dua tahun terakhir ini, kan. Juga mengisi beberapa majalah dengan tulisanku. Kalau aku akan pergi jauh gimana, Ton?”

“Kamu bebas milih jalan yang kamu mau. Kalau itu baik untukmu, aku akan mendukung. Aku disini ada, sebagai teman dekatmu, lebih dari seorang sahabat. Lagi pula kamu mau kemana?”

Aku memang tak pernah ada dalam rencana indahmu itu. “Aku ingin pergi jauh, melayang ke langit biru lalu tinggal di atas awan. Nanti aku bisa lihat kamu dari atas, aku bisa menjagamu dari jauh.” Jawabku sambil menatap jalan tanpa terlihat bayang.

“Ngaco aja kalau ngomong.”
***

Beberapa bulan telah kita lewati. Kini saatnya semua cerita baru akan segera dimulai. Entah akan dianggap bahagia atau malah sebaliknya. Dini hari tadi kau memberiku kejutan lewat pesan singkat, Diana! Kau harus tahu bahwa wanita yang selama ini aku ceritakan padamu akan datang pada pesta wisuda kita hari ini. Dia memberiku kejutan yang indah. Nanti akan kukenalkan padamu.

Pagi ini aku tahu matahari begitu indah menyapa, membangunkan tidurku yang terlalu lelap, ternyata aku senang untuk bermimpi karena sepertinya aku tak ingin bangun dulu—kalau aku tahu kau akan memberiku pesan singkat itu.

Jika bidadarimu akan memberikan kejutan dengan datang ke pesta wisuda kita nanti, aku pun akan memberimu kejutan yang mungkin menurtmu sangat indah. Tunggu aku, Ton. Tunggu kejutan dariku untukmu, semoga kau bahagia karena kejutan ini akan membuatmu lebih leluasa menjalani hari bersama bidadarimu yang sejak lama kau nanti itu.

Aku datang dengan setelan kebaya berwarna cokelat dan jilbab yang dibentuk pantas di wajahku. Sengaja tak kutempelkan make-up yang terlalu tebal karena aku ingin terlihat lebih sederhana dengan apa adanya diriku. Seperti saat pertama aku menginjakkan kaki di kampus ini, bahkan aku tak memakai bedak waktu itu.

Aku mengatur nafas untuk bertemu denganmu. Sambil menenteng tas kecil yang sepadan dengan setelan kebaya cokelatku. Sedikit merapikan diri. Tubuhku sedikit gemetar oleh cuaca dingin dalam hati yang mulai membeku atau menggumpal penuh kepedihan, sudahlah aku mencoba untuk tetap tenang.

“Hi, Diana!” salah satu temanku mengejutkan dari belakang, aku hampir terjatuh dibuatnya.

“Hi, Gabriel! Jangan membuat aku terkejut, please..” kataku lirih.

“Sorry, hehe.. OMG, Diana! You are so beautiful today. Apa kamu mau aku antar ke dalam? Give your hand..” Gabriel menjulurkan tangannya padaku.

“Thank you Gabriel but I can not, sorry. Don’t angry with me.” Aku menolak ajakan Gabriel, menyatukan kedua telapak tanganku dan mengangkatnya, lalu aku tersenyum pada Gabriel.

“Ok I understand, never mind, Diana. Have fun!”

Rasakanlah saat desah suaraku menggema di telingamu. Rasakan sentuhan itu yang tak pernah kutujukan kepada siapa pun, kau juga tahu. Rasakanlah saat doaku begitu romantic mengalahkan pelukan wanita lain yang sesaat untukmu.

Aku berjalan ke dalam ruangan yang sudah penuh dekorasi kebebasan. Tepat pada tatap lurus mataku, kau ada di dapan sana membelakangi tubuhku. Bidadari itu sudah ada di sampingmu, tangannya melingkar di pinggangmu—kau pun begitu. Seketika langkahku terhenti tepat di balik punggungmu. Ini sudah saatnya aku pergi. Aku hanya tukang tinta yang bisa melukiskan pesonamu saja atau memeluk bayangmu pun aku tak kuasa.

Kau berbalik arah dan terkejut melilhatku yang sudah ada di belakangmu. Bidadari itu, iya dia sangat cantik dengan rambut yang tergerai panjang begitu pun hiasan di kepalanya. Gaun yang panjangnya hampir selutut dengan warna yang sama dengan setelan kebayaku tapi sedikit lebih muda. Dia memang cantik seperti bidadari. Kau tak salah pilih, Ton.

“Wow! Diana? Cantik banget.” Puji Tono. Aku hanya tersenyum, lebih tepatnya sudah tak sanggup untuk mengeluarkan kata apa pun. “Oh iya, ini kenalkan namanya Gadis.”

“Hallo Gadis, aku Diana.” Kami berdua bersalaman.

“Diana? Kamu lagi sakit?” tiba-tiba Gadis menembakku dengan pertanyaan yang tidak ingin aku dengar.

Tanganku memang sedari tadi berubah menjadi dingin, mungkin saat ini wajahku sudah mulai memucat. “Engga kok, memang seperti ini. Tidak usah khawatir. Kamu cantik, Gadis.” Jawabku dengan suara yang mulai parau, kemudian kututup dengan senyum.

“Tono, bisa kita bicara sebentar?” tanyaku.

Gadis membiarkan Tono pergi denganku ke sebrang dari penglihatannya.

Aku memberikan amplop berwarna cokelat yang masih rapi tersegel. Tono merasa bingung, aku pun harap-harap cemas. “Ton, aku mau kamu bacain ini buat aku.”

Tono membuka suratnya pelan-pelan, sesekali menatap eskpresi wajahku. “Kepada yang terhormat, saudari Diana Wibisana. Selamat anda lolos untuk tes beasiswa University of Japan. Kebarangkatan anda pada tanggal 24 Agustus tahun ini. Semua yang dibuthkan sudah terlampir pada amplop ini. Tanggal 24? Berarti itu lusa? Kenapa kamu nggak bilang dari awal, Na?”

Aku tak bisa berkata apapun, air mataku mengalir deras sampai jatuh ke lantai—tanpa bersuara. Sesekali memejamkan mata. Tono menatapku tajam dengan wajah yang sangat terkejut.

Aku membuka suara, “Aku fikir kamu akan senang dengan kepergianku ini, Ton. Kamu sudah bertemu dengan bidadarimu kali ini. Yang dari dulu kamu tunggu, yang dari dulu kamu ceritakan padaku. Aku kira aku adalah rumahmu, aku adalah tempatmu kembali ketika kejenuhan itu datang menghampirimu, aku yang membuatmu tenang setiap kali kau merasa kacau saat terbayang sosoknya. Tapi kamu selalu bilang bahwa dialah rumahmu, hatiku selalu berontak, rumah apa maksudmu? Rumah untuk menuju kegalauan lagi? Rumah untuk mencari kesedihanmu? Namun waktu telah menjawab semuanya pada hari ini, iya Ton, rumahmu adalah dia. Wanita yang sedang memberimu kejutan di akhir. Seperti rencanamu, ada dia untuk menjadi masa depanmu. Dan aku akan menjawab pertanyaanmu, seseorang pada puisiku adalah kamu, Tono Haryanto. Selamat atas kelulusanmu. Aku hanya memiliki doa untukmu, mungkin takkan pernah memelukmu dengan nyata. Semoga kamu merasakan bisik permohonanku pada sepertiga malam. Good bye, teman dekat.”


Rasakanlah saat doaku begitu romantic mengalahkan pelukan wanita lain yang sesaat untukmu. Aku hanya tukang tinta yang takkan pernah menampakkan cahaya, sampai nanti kau sendiri yang menemukannya. Aku hanya tukang tinta yang senantiasa menjaga dalam lelap tidurmu—di balik punggung. Aku hanya tukang tinta yang selalu tersenyum untumu. Aku pergi tanpa bisa pergi. 

Jumat, 01 April 2016

Aku Hanya Tukang Tinta

Bukan penulis namanya jika belum menceritakan tentangmu
Bukan penulis namanya jika belum berkhayal tentangmu
Bukan penulis namanya jika belum menuliskan pesonamu
Bukan penulis namanya jika belum berpuisi keistimewaanmu
Bukan penulis namanya jika aku hanya membiarkanmu menjadi serpihan kata yang berserakan, padahal aku tahu kau istimewa--berbeda
Bukan penulis namanya jika aku membiarkanmu hanya menunduk tanpa rayuan
Bukan penulis namanya jika aku hanya membiarkanmu memiliki hitam kelabu, padahal aku tahu warna dalam hatimu begitu indah mengalahkan cakrawala di ujung petang
Rasakan semua belaian jemari yang tak halus karena selalu berkutik dengan pena
Rasakan semua tatap harapan yang mengalir dalam sanubarimu
Rasakan semua setiap nada sumbang yang kulantunkan untuk menyentuh hatimu
Rasakan semua saat gelap datang membuat atap kebekuan tubuh
Saat secangkir kopi yang kita seruput bersama, lalu begitu terasa nikmat
Atau sebuah tengah malam yang klasik dengan secangkir teh hangat di warung kopi
Kemudian saat kita bersenandung lagu yang sama dengan arti yang berbeda
Aku untukmu, kamu untuk seseorang yang jauh di sana
Entahlah, aku hanya menuliskan
Bukan penulis namanya jika tidak melukiskan lewat pena
Rasakanlah saat desah suaraku menggema di telingamu
Rasakan sentuhan itu yang tak pernah kutujukan kepada siapa pun, kau juga tahu
Rasakanlah saat doaku begitu romantis mengalahkan pelukan wanita lain yang sesaat untukmu
Perjalanmu adalah teka-teki kosong yang sekedar harap lalu hilang
Aku tak ingin memilikimu, maka biarkanlah kamu yang memiliki
Naif, aku hanya dapat tersenyum untukmu
Meski aku hampir tenggelam di tengah lautan
Bukan penulis namanya jika tidak bisa menyimpan dalam kepalsuan mata
Biarkan penulis amatiran ini pergi tanpa pergi
Penulis amatiran ini hanya sanggup memeluk bayangmu
Hanya dapat mengatakan rindu dalam sepertiga malam
Penulis amatiran ini hanya dapat berbisik sendu saat melihat wajahmu kecewa
Penulis amatiran ini hanya menyimpan bahagianya saat kau datang meski tanpa sapa
Lalu rasakanlah setiap tangan ini menjagamu dalam diam
Kau adalah matahari yang dinanti saat hujan tak kunjung reda
Kau adalah pelangi yang ditunggu saat aku berlamun di batas senja
Kemudian hilang--selalu kutunggu
Bukan penulis namanya jika belum menuliskan tentangmu
Rasakanlah saat doaku begitu romantis mengalahkan pelukan wanita lain yang sesaat untukmu
Aku hanya tukang tinta yang takkan pernah menampakkan cahaya
Sampai nanti kau sendiri yang menemukannya
Aku hanya tukang tinta yang senantiasa menjaga dalam lelap tidurmu--di balik punggung
Aku hanya tukang tinta yang selalu tersenyum untukmu
Aku pergi tanpa bisa pergi