Rabu, 19 Maret 2014

Perjalanan Waktu (Cerpen)



Aku Ingin Bersamamu Sampai Tua



Another day, without your smile
Another day just passes by
But now I know, how much it means
For you to stay, right here with me

Menghirup udara yang sama, mencari dan berpikir apa aku harus melangkah lebih maju atau cukup sampa disini? Udaranya memang masih seperti dulu, tapi pemandangannya sudah tak serupa. Cukup lama aku meninggalkan kota ini. Kota kelahiranku. Kota yang ingin kupendam sendiri. Namun aku kembali, karena sebenarnya aku sangat merindukan kota ini.

Berdiri di pintu keluar stasiun kereta api, dikepung banyak mata dalam keramaian yang memadati ruang. Seperti berjalan tak pasti. Memaksakan untuk melihat arah depan, berusaha bersembunyi dari kenangan. Langkahku masih tak pasti. Hatiku masih terus ke belakang. Seperti mencari malam dalam siang hari. Aku paksakan untuk tetap berjalan, melawan arus.

Meski kenangan takkan terhapus, setidalnya aku harus merelakannya.

Sampai di tengah-tengah keramaian yang begitu padat. Aroma sedap dari kuah soto yang menyambar hidungku. Itu dia! Tempat makan favoritku dan Martha, dulu. Tempat makan yang jauh dari kemewahan ini selalu menjadi tempat yang istimewa bagi lidah aku dan Martha.

Aku berhenti tepat di depan kedai soto betawi itu. Mencoba mengingat apakah ini tempat yang sama? Tiba-tiba saja, aku menemukan seorang wanita tua renta, wanita yang usianya lebih tua dariku. Terlihat sedang menyiapkan beberapa mangkuk soto untuk para perut yang kelaparan.

“Loh Pak? Bapak yang dulu suka makan disini kan?” tanya wanita paruh baya itu.

“Ibu masih kenal saya?” tanyaku.

“Ya masih lah, kemana saja sudah dua tahun tidak terlihat?” sindir wanita tua itu.

Aku memang sudah hampir dua tahun tidak menginjakkan kaki di kota ini, kota Bogor, tempat kelahiranku sendiri. Aku hanya ingin mengubur dalam-dalam kenanganku bersama Martha, dulu. Hatiku dibalut kekeliruan, terlalu egois melapisi. Aku mencoba, aku berusaha mengikhlaskan semuanya.

Kenangan takkan pernah terlupakan, jangan pernah terkubur, tapi tetap berusahalah mengikhlaskan apa yang telah terjadi.

“Bapak kemana, Bu? Engga ikut jualan?” tanyaku penasaran.

“Bapak sudah hampir delapan bulan yang lalu meninggal. Ya, mungkin sebentar lagi saya yang akan menyusul.” Jelas wanita tua itu.

Mataku semakin sayu dibutanya, ingatanku terhadap Martha semakin menebal. Sambil menyantap soto betawi aku mendengarkan cerita wanita tua renta itu. Oh Martha, andai kau tahu aku menahan air mata di depan wanita yang sedang berhadapan denganku ini. Coba kau disini untuk nenenangkan kegalauan hati paruh baya ini.

Aku hanya dapat memeluk bayangmu, hangatnya hadirmu selalu kurasakan dalam kesenduan hati.

Perjalananku tak sampai disini. Aku menyembuhkan luka, dan menempatkan kenangan-kenangan ke tempat ia berada. Walau aku tahu, hatiku pasti perih dengan semua langkah kaki hari ini. aku harus belajar, aku harus berhasil  merelakan kenangan tawa kita, Martha.

Sambil menunggu angkutan umum yang bernomor nol tiga, ke arah terminal bus baranang siang. Harusnya perjalananku dari Jakarta menuju Bandung, bukan ke Bogor. Tapi hatiku tertarik untuk ke kota ini. Jadi, aku sempatkan, memutar arah untuk menaiki kerat api dari Jakarta menuju Bogor lalu naik bus ke arah Bandung. Ada beberapa berkas perusahaan yang harus kutandatangani disana.

Semburan asap kendaraan umum dan asap rokok terus mengikat paru-paruku. Aku tak berbuat apapun, aku mengabaikan asap rokok yang arahnya terus memampatkan hidungku. Walau sebenarnya, aku sangat membenci asap rokok ini, karena Martha juga sangat membenci hal yang sama. Tapi Martha akan sangat kesal jika aku menghajar si perokok ini.

“Mas, maaf asap rokoknya bisa tolong dimatikan? Kasihan banyak anak-anak kecil.” Pinta wanita muda di samping kananku.

“Eh mba! Ini tempat umum kali. Pindah aja sana kalau engga mau kena!” bentak si perokok.

“Maaf mas, tapi benar kata mba ini.” Kataku.

Lelaki perokok itu seakan bergumam dalam mulutnya. Sambil mematikan putung rokok yang ada di tangannya. Kurasa dia terlalu kesal karena kenikmatannya dalam hidup diusik orang-orang yang ‘sok tau’.

Kendaraan umum nol tiga sudah menjemputku, sudah terlihat dari jauh sana. Aku beranjak dari tempat duduk dan mengajak anak muda tadi pindah tempat yang ia duduki sekarang.

“Eh Pak tua! Jangan munafik jadi orang! Kaya engga pernah merasakan masa muda dan nikmatnya merokok aja! *cuih*” teriak si perokok itu.

Badanku berbalik arah, tak membalas ucapannya. Ya! tak membalas dengan mulut dan perkataan, apa lagi dengan membuang ludah di depan wajahnya. Maaf Martha, tapi ini yang harus aku lakukan, pekikku dalam hati. Aku menonjok tepat di dahi si perokok itu. Pukulan yang terakhir dalam hidupku. Anak muda itu terkejut melihatku. Tapi hanya balasan senyum yang tidak semanis dahulu, yang hanya bisa diberikan.

Mengabaikan semuanya. Mengabaikan kejadian yang baru saja terjadi. Aku menaiki kendaraan umumku. Melihat-lihat sekeliling jalan raya dengan pemandangan yang tak sejernih dulu. Meski banyak yang berubah dari sepanjang perjalanan ini. Tapi kenangan itu takkan pernah berubah dan akan selalu sama.

Pada trotoar, tepat di depan mataku, melihat lurus ke depan. Aku melihat sepasang anak kecil yang bergandeng tangan, berjalan dengan penuh semangat dan keceriaan. Kakiku tertarik untuk ikut bersama mereka. Memberhentikan roda yang berputar. Mengikuti arah angin yang membawa kaki-kaki kecil itu melangkah. Kuikuti jalur kasih sayang keceriaan mereka.

Kaki-kaki kecil mereka terhenti di jalan Raya Pajajaran, di rumah makan makaroni panggang. Ya Tuhan.. ini dia tempat kenanganku bersama Martha dulu. Kencan pertamaku dan Martha. Masih sama, tak ada yang berubah. Seperti rasa kasih sayang yang selalu sama tertanam disini (di lubuk hati).

“Ka, aku mau makan disitu.” Rengek gadis kecil.

“Iya dek, nanti kalau kakak sudah punya uang sendiri, pasti kita makan disitu.” Jelas pria kecil.

“Janji ya kak?” tanya gadis kecil untuk memastikan penjelasan pria kecil tadi.

Mereka berjanji, dengan menyatukan sepasang kelingking dan mengikatnya dengan penuh kepastian yang dibalut oleh cinta yang tulus dari dalam hati. Aku hanya tersenyum melihat kelucuan tingkah laku mereka. Sambil terus memperhatikan tawa mereka menggema disetap sudut kota. Aku pun terus melihatnya.

Martha, andai kau masih disini untuk melengkapi kesendirianku. Aku kalah, Martha. Aku kalah dengan kebersamaan sepasang bocah-bocah kecil itu.

Gerimis menyambar kebahagiaan kami, kuajak sepasang anak kecil itu untuk berteduh di dalam rumah makan makaroni panggang. Meski awalnya mereka bingung dan heran denganku, karena mengajak untuk masuk ke dalam. Aku memberikan dua cangkir coklat hangat dan beberapa makanan yang dulu sering kubelikan untuk Martha. Dengan lahap, mereka memakannya bersama. Aku ikut senang melihat kepuasan hati mereka.

“Kalian berdua ini adik kakak?” tanyaku.

“Bukan Om, kami ini bersahabat dan akan selalu menjadi sahabat sampai nenek dan kakek nanti.” Jawab pria kecil itu.

Kali ini, air mataku takkan tertahan lagi. Aku semakin mengenang Martha. Sosok sahabat kecilku yang menanti kehadiranku untuk menjadi sahabat sampai hari tuanya. Kami berdua, aku dan Martha sepasang sahabat kecil. Martha selalu bermimpi dan menunggu kalau aku akan menjadi sahabat hari tuanya. Sebenarnya, aku pun mengharapkan hal yang sama. Tapi kebodohanku untuk menunda pembicaraan terhadapnya. Aku tak pernah mengatakan, kalau aku pun menantikan hal yang sama.

“Isteri Om engga ikut?” tanya gadis kecil itu.

Aku tak menjawab, hanya saja aku malah tersenyum kepada sepasang anak kecil itu. Aku menggenggam tangan kedua bocah itu dan meletakannya tepat di jantungku. Aku hanya mengatakan, “Ini rasakan halusnya detak jantung Om. Isteri Om ada disini, selalu disini dengan penuh cinta.”

Sambil masih merasakan detak jantungku, gadis kecil itu menundukkan kepalanya dan mulai meneteskan air mata, keringat dingin mulai bercucuran di tempat ini. Gadis kecil itu berkata, “Maafin aku Om, aku engga tau. Pasti isteri Om seneng banget dapet suami yang baik kaya Om.”

Pertemuan di rumah makan itu sungguh singkat, sesingkat gerimis hari ini yang jatuh ke lantai bumi. Mungkin Tuhan sudah menyiapkan gerimis ini hanya untuk berbicara dengan sepasang bocah itu. Perpisahan, tangan melambai terlihat dari kejauhan mata memandang. Melanjutkan perjalananku menuju terminal bus. Menaiki tangga penyebrang jalan.

Masih banyak pengemis-pengemis yang berhimpitan untuk mengharapkan belas kasihan. Jika ada Martha disini, wanita itu takkan membiarkan para pengemis yang ia lewati dengan tangan hampa. Martha selalu menghabiskan uang sakunya untuk berbagi kepada semua menusia. Aku tahu Martha, aku sangat mengenal sahabat kecil dan sahabat hari tuaku itu.

Darimu, aku belajar segalanya. Semua hal yang kupikir sederhana, tapi ternyata aku salah. Kau menyadarkan aku, semua hal itu sungguh benar-benar istimewa, Martha.

Sampai di terminal bus baranang siang. Aku mencari bus yang arahnya menuju Bandung. Aku memilih tempat pada baris kedua dari depan. Aku membuka buku saku yang dulu pernah Martha kasih untukku, yang sebagian bukunya sengaja telah ditulis tentang perjalanan hatimu menantiku.

Tulislah di buku ini, akhir dari perjalanan kisah cinta kita. Kalahkan semua kata-kata indahku. Aku menyayangimu sampai kapanpun. Takkan pernah berubah, sahabat kecilku. Takkan pernah berubah, sahabat keriputku. Bagian terakhir tulisannya di buku ini, Martha.

Martha, ini waktunya aku menulis setengah buku kita. Aku akan melengkapi buku ini dengan perjalanan dan akhir dari cerita kisah perjalanan cinta kita. Walaupun kau tak dapat membacanya lagi. Tapi aku yakin, kau sedang tersenyum di atas sana melihatku melengkapi goresan tinta pena ini. ketulusan hatimu dan keikhlasan menungguku telah kau buktikan. Walau lika-liku perjalanan cinta kita sungguh sangat dramatis, namun kemantapan hatimu untukku membuka jalan dan menari dalam melodi cinta.

Kita sudah cukup mengenal, sahabat kecilku. Aku melamarmu untuk menjadi sahabat hari tuaku. Aku meminangmu dnegan ucapan Bismillahirahmanirahim di mulutku. Kita sudah membuktikannya, isteriku. Kita telah menjadi sahabat hari tua. Kau mengajariku tentang cinta. Bahkan kau rawat anak-anak kita dengan cinta. Kau pasti bangga melihat anak-anak kita sekarang.

Martha, terimakasih untuk segalanya. Kau membuktikan beberapa kalimat cintamu. Cinta itu merubah kesederhanaan menjadi lebih istimewa. Cinta itu belajar ketulusan dengan segala keikhlasan. Cinta itu menghapus air mata bukan malah membuat air mata.

Dalam tangis terakhirmu, kau mengatakan sesuatu, “Jika kegalauan hatimu tak dapat kau bagi lagi denganku, kau masih dapat bersujud pada sepertiga malammu, imamku. Kau kuat tanpaku. Je t’aime, sahabat hari tuaku.”

Tunggu aku, aku masih dalam perjalanan menuju tempat terakhir kita. Tunggu aku di istana surga kita, Martha.
I wanna grow old with you
I wanna die lying in your arms
I wanna grow old with you
I wanna be looking in your eyes
I wanna be there for you

Westlife – I wanna grow old with you