Aku
Ingin Bersamamu Sampai Tua
Another
day, without your smile
Another
day just passes by
But
now I know, how much it means
For
you to stay, right here with me
Menghirup
udara yang sama, mencari dan berpikir apa aku harus melangkah lebih maju atau
cukup sampa disini? Udaranya memang masih seperti dulu, tapi pemandangannya
sudah tak serupa. Cukup lama aku meninggalkan kota ini. Kota kelahiranku. Kota
yang ingin kupendam sendiri. Namun aku kembali, karena sebenarnya aku sangat
merindukan kota ini.
Berdiri
di pintu keluar stasiun kereta api, dikepung banyak mata dalam keramaian yang
memadati ruang. Seperti berjalan tak pasti. Memaksakan untuk melihat arah
depan, berusaha bersembunyi dari kenangan. Langkahku masih tak pasti. Hatiku
masih terus ke belakang. Seperti mencari malam dalam siang hari. Aku paksakan
untuk tetap berjalan, melawan arus.
Meski kenangan takkan terhapus,
setidalnya aku harus merelakannya.
Sampai
di tengah-tengah keramaian yang begitu padat. Aroma sedap dari kuah soto yang
menyambar hidungku. Itu dia! Tempat makan favoritku dan Martha, dulu. Tempat
makan yang jauh dari kemewahan ini selalu menjadi tempat yang istimewa bagi
lidah aku dan Martha.
Aku
berhenti tepat di depan kedai soto betawi itu. Mencoba mengingat apakah ini
tempat yang sama? Tiba-tiba saja, aku menemukan seorang wanita tua renta,
wanita yang usianya lebih tua dariku. Terlihat sedang menyiapkan beberapa
mangkuk soto untuk para perut yang kelaparan.
“Loh
Pak? Bapak yang dulu suka makan disini kan?” tanya wanita paruh baya itu.
“Ibu
masih kenal saya?” tanyaku.
“Ya
masih lah, kemana saja sudah dua tahun tidak terlihat?” sindir wanita tua itu.
Aku
memang sudah hampir dua tahun tidak menginjakkan kaki di kota ini, kota Bogor,
tempat kelahiranku sendiri. Aku hanya ingin mengubur dalam-dalam kenanganku
bersama Martha, dulu. Hatiku dibalut kekeliruan, terlalu egois melapisi. Aku
mencoba, aku berusaha mengikhlaskan semuanya.
Kenangan takkan pernah terlupakan,
jangan pernah terkubur, tapi tetap berusahalah mengikhlaskan apa yang telah
terjadi.
“Bapak
kemana, Bu? Engga ikut jualan?” tanyaku penasaran.
“Bapak
sudah hampir delapan bulan yang lalu meninggal. Ya, mungkin sebentar lagi saya
yang akan menyusul.” Jelas wanita tua itu.
Mataku
semakin sayu dibutanya, ingatanku terhadap Martha semakin menebal. Sambil
menyantap soto betawi aku mendengarkan cerita wanita tua renta itu. Oh Martha, andai kau tahu aku menahan air
mata di depan wanita yang sedang berhadapan denganku ini. Coba kau disini untuk
nenenangkan kegalauan hati paruh baya ini.
Aku hanya dapat memeluk bayangmu,
hangatnya hadirmu selalu kurasakan dalam kesenduan hati.
Perjalananku
tak sampai disini. Aku menyembuhkan luka, dan menempatkan kenangan-kenangan ke
tempat ia berada. Walau aku tahu, hatiku pasti perih dengan semua langkah kaki
hari ini. aku harus belajar, aku harus berhasil
merelakan kenangan tawa kita, Martha.
Sambil
menunggu angkutan umum yang bernomor nol tiga, ke arah terminal bus baranang
siang. Harusnya perjalananku dari Jakarta menuju Bandung, bukan ke Bogor. Tapi
hatiku tertarik untuk ke kota ini. Jadi, aku sempatkan, memutar arah untuk
menaiki kerat api dari Jakarta menuju Bogor lalu naik bus ke arah Bandung. Ada
beberapa berkas perusahaan yang harus kutandatangani disana.
Semburan
asap kendaraan umum dan asap rokok terus mengikat paru-paruku. Aku tak berbuat
apapun, aku mengabaikan asap rokok yang arahnya terus memampatkan hidungku.
Walau sebenarnya, aku sangat membenci asap rokok ini, karena Martha juga sangat
membenci hal yang sama. Tapi Martha akan sangat kesal jika aku menghajar si
perokok ini.
“Mas,
maaf asap rokoknya bisa tolong dimatikan? Kasihan banyak anak-anak kecil.”
Pinta wanita muda di samping kananku.
“Eh
mba! Ini tempat umum kali. Pindah aja sana kalau engga mau kena!” bentak si
perokok.
“Maaf
mas, tapi benar kata mba ini.” Kataku.
Lelaki
perokok itu seakan bergumam dalam mulutnya. Sambil mematikan putung rokok yang
ada di tangannya. Kurasa dia terlalu kesal karena kenikmatannya dalam hidup
diusik orang-orang yang ‘sok tau’.
Kendaraan
umum nol tiga sudah menjemputku, sudah terlihat dari jauh sana. Aku beranjak
dari tempat duduk dan mengajak anak muda tadi pindah tempat yang ia duduki
sekarang.
“Eh
Pak tua! Jangan munafik jadi orang! Kaya engga pernah merasakan masa muda dan
nikmatnya merokok aja! *cuih*” teriak si perokok itu.
Badanku
berbalik arah, tak membalas ucapannya. Ya! tak membalas dengan mulut dan
perkataan, apa lagi dengan membuang ludah di depan wajahnya. Maaf Martha, tapi ini yang harus aku
lakukan, pekikku dalam hati. Aku menonjok tepat di dahi si perokok itu.
Pukulan yang terakhir dalam hidupku. Anak muda itu terkejut melihatku. Tapi
hanya balasan senyum yang tidak semanis dahulu, yang hanya bisa diberikan.
Mengabaikan
semuanya. Mengabaikan kejadian yang baru saja terjadi. Aku menaiki kendaraan
umumku. Melihat-lihat sekeliling jalan raya dengan pemandangan yang tak
sejernih dulu. Meski banyak yang berubah dari sepanjang perjalanan ini. Tapi
kenangan itu takkan pernah berubah dan akan selalu sama.
Pada
trotoar, tepat di depan mataku, melihat lurus ke depan. Aku melihat sepasang
anak kecil yang bergandeng tangan, berjalan dengan penuh semangat dan
keceriaan. Kakiku tertarik untuk ikut bersama mereka. Memberhentikan roda yang
berputar. Mengikuti arah angin yang membawa kaki-kaki kecil itu melangkah.
Kuikuti jalur kasih sayang keceriaan mereka.
Kaki-kaki
kecil mereka terhenti di jalan Raya Pajajaran, di rumah makan makaroni
panggang. Ya Tuhan.. ini dia tempat
kenanganku bersama Martha dulu. Kencan pertamaku dan Martha. Masih sama,
tak ada yang berubah. Seperti rasa kasih sayang yang selalu sama tertanam
disini (di lubuk hati).
“Ka,
aku mau makan disitu.” Rengek gadis kecil.
“Iya
dek, nanti kalau kakak sudah punya uang sendiri, pasti kita makan disitu.”
Jelas pria kecil.
“Janji
ya kak?” tanya gadis kecil untuk memastikan penjelasan pria kecil tadi.
Mereka
berjanji, dengan menyatukan sepasang kelingking dan mengikatnya dengan penuh
kepastian yang dibalut oleh cinta yang tulus dari dalam hati. Aku hanya
tersenyum melihat kelucuan tingkah laku mereka. Sambil terus memperhatikan tawa
mereka menggema disetap sudut kota. Aku pun terus melihatnya.
Martha, andai kau masih disini
untuk melengkapi kesendirianku. Aku kalah, Martha. Aku kalah dengan kebersamaan
sepasang bocah-bocah kecil itu.
Gerimis
menyambar kebahagiaan kami, kuajak sepasang anak kecil itu untuk berteduh di
dalam rumah makan makaroni panggang. Meski awalnya mereka bingung dan heran
denganku, karena mengajak untuk masuk ke dalam. Aku memberikan dua cangkir
coklat hangat dan beberapa makanan yang dulu sering kubelikan untuk Martha.
Dengan lahap, mereka memakannya bersama. Aku ikut senang melihat kepuasan hati
mereka.
“Kalian
berdua ini adik kakak?” tanyaku.
“Bukan
Om, kami ini bersahabat dan akan selalu menjadi sahabat sampai nenek dan kakek
nanti.” Jawab pria kecil itu.
Kali
ini, air mataku takkan tertahan lagi. Aku semakin mengenang Martha. Sosok
sahabat kecilku yang menanti kehadiranku untuk menjadi sahabat sampai hari
tuanya. Kami berdua, aku dan Martha sepasang sahabat kecil. Martha selalu
bermimpi dan menunggu kalau aku akan menjadi sahabat hari tuanya. Sebenarnya,
aku pun mengharapkan hal yang sama. Tapi kebodohanku untuk menunda pembicaraan
terhadapnya. Aku tak pernah mengatakan, kalau aku pun menantikan hal yang sama.
“Isteri
Om engga ikut?” tanya gadis kecil itu.
Aku
tak menjawab, hanya saja aku malah tersenyum kepada sepasang anak kecil itu.
Aku menggenggam tangan kedua bocah itu dan meletakannya tepat di jantungku. Aku
hanya mengatakan, “Ini rasakan halusnya detak jantung Om. Isteri Om ada disini,
selalu disini dengan penuh cinta.”
Sambil
masih merasakan detak jantungku, gadis kecil itu menundukkan kepalanya dan
mulai meneteskan air mata, keringat dingin mulai bercucuran di tempat ini. Gadis
kecil itu berkata, “Maafin aku Om, aku engga tau. Pasti isteri Om seneng banget
dapet suami yang baik kaya Om.”
Pertemuan
di rumah makan itu sungguh singkat, sesingkat gerimis hari ini yang jatuh ke
lantai bumi. Mungkin Tuhan sudah menyiapkan gerimis ini hanya untuk berbicara
dengan sepasang bocah itu. Perpisahan, tangan melambai terlihat dari kejauhan
mata memandang. Melanjutkan perjalananku menuju terminal bus. Menaiki tangga
penyebrang jalan.
Masih
banyak pengemis-pengemis yang berhimpitan untuk mengharapkan belas kasihan.
Jika ada Martha disini, wanita itu takkan membiarkan para pengemis yang ia
lewati dengan tangan hampa. Martha selalu menghabiskan uang sakunya untuk
berbagi kepada semua menusia. Aku tahu Martha, aku sangat mengenal sahabat
kecil dan sahabat hari tuaku itu.
Darimu, aku belajar segalanya.
Semua hal yang kupikir sederhana, tapi ternyata aku salah. Kau menyadarkan aku,
semua hal itu sungguh benar-benar istimewa, Martha.
Sampai
di terminal bus baranang siang. Aku mencari bus yang arahnya menuju Bandung.
Aku memilih tempat pada baris kedua dari depan. Aku membuka buku saku yang dulu
pernah Martha kasih untukku, yang sebagian bukunya sengaja telah ditulis
tentang perjalanan hatimu menantiku.
Tulislah di buku ini, akhir dari
perjalanan kisah cinta kita. Kalahkan semua kata-kata indahku. Aku menyayangimu
sampai kapanpun. Takkan pernah berubah, sahabat kecilku. Takkan pernah berubah,
sahabat keriputku. Bagian terakhir tulisannya di buku ini,
Martha.
Martha, ini waktunya aku menulis
setengah buku kita. Aku akan melengkapi buku ini dengan perjalanan dan akhir
dari cerita kisah perjalanan cinta kita. Walaupun kau tak dapat membacanya
lagi. Tapi aku yakin, kau sedang tersenyum di atas sana melihatku melengkapi
goresan tinta pena ini. ketulusan hatimu dan keikhlasan menungguku telah kau
buktikan. Walau lika-liku perjalanan cinta kita sungguh sangat dramatis, namun
kemantapan hatimu untukku membuka jalan dan menari dalam melodi cinta.
Kita sudah cukup mengenal, sahabat
kecilku. Aku melamarmu untuk menjadi sahabat hari tuaku. Aku meminangmu dnegan
ucapan Bismillahirahmanirahim di mulutku. Kita sudah membuktikannya, isteriku.
Kita telah menjadi sahabat hari tua. Kau mengajariku tentang cinta. Bahkan kau
rawat anak-anak kita dengan cinta. Kau pasti bangga melihat anak-anak kita
sekarang.
Martha, terimakasih untuk
segalanya. Kau membuktikan beberapa kalimat cintamu. Cinta itu merubah
kesederhanaan menjadi lebih istimewa. Cinta itu belajar ketulusan dengan segala
keikhlasan. Cinta itu menghapus air mata bukan malah membuat air mata.
Dalam tangis terakhirmu, kau
mengatakan sesuatu, “Jika kegalauan hatimu tak dapat kau bagi lagi denganku,
kau masih dapat bersujud pada sepertiga malammu, imamku. Kau kuat tanpaku. Je
t’aime, sahabat hari tuaku.”
Tunggu aku, aku masih dalam
perjalanan menuju tempat terakhir kita. Tunggu aku di istana surga kita,
Martha.
I
wanna grow old with you
I
wanna die lying in your arms
I
wanna grow old with you
I
wanna be looking in your eyes
I
wanna be there for you
Westlife – I wanna grow old with
you