Senin, 16 November 2015

Lirih

Aku membaca di balik sepasang lensa, melihat ke arah kejauhan, menembus lorong waktu masa lalu. Kemudian, kupejamkan mata, merasakan desir angin yang terus membelai lembut tubuh. Perlahan, kuberanikan diri membuka mata. Aku berdiri di kelilingi anak sungai yang terus mengalir, meski tak lurus, kadang mereka berliuk-liuk mengikuti kawanannya, tak pernah mengeluh meski tersentak oleh bebatuan kecil di tepinya.

Setiap detik napas yang kurasakan dengan penuh syukur, terimakasih Tuhan karena Engkau masih memberikanku kesempatan untuk memperbaiki diri. Hampir tak ada yang tahu di balik sisi lain jiwaku. Aku belajar tentang sebongkah kesabaran dari sebuah rasa sakit, aku belajar sebuah keikhlasan dari sesabit senyuman, aku belajar mencintai dari sebuah tangisan di masa lalu. Dan pada akhirnya, kesadaran ini muncul saat aku terlalu lugu untuk secepat ini mengenalmu.

***

Tik.. tik.. tik.. Rinai hujan terus membasahi jalan abu. Aku benar-benar kuyup dibuatnya. Cipratan air dari sana-sini menambah lembab pakaiannku. Aku teringat hujan beberapa tahun silam, saat semuanya indah, yang terlihat hanya pelangi atau matahari yang menghangtkan, bukan badai yang menutupi jalan. Aku teringat hujan beberapa tahun lalu, ketika mantel bulu yang mendarat di punggungku tiba-tiba, terkejut jantungku, namun bergetar denyut nadiku.

“Hallo! Selamat Malam para setia radio gaul Bogor. Hari ini full day hujan terus ya. Maklum lah, namanya juga Bogor si Kota Hujan. Ketemu lagi bersama gue Clarisa disini yang bakal nemenin kalian semua sampai dua jam ke depan. Ohya, sebentar ada kiriman masuk nih, dari panitia SMA Harapan, dia bilang kalau mau diadain reuni akbar angkatan 2013 di rumah cupcake…” Bahas lebar pembukaan penyiar radio.

Ya ampun, siapa yang ngadain reuni dadakan gini? Pekikku dalam hati. sudah hampir satu tahun lebih aku tak bertemu semua kawan lama, hanya beberapa orang dari mereka yang sudah kuanggap sebagai sahabat, kita masih menyempatkan waktu untuk sekedar hang out  minum kopi, berbagi cerita, dan berkomentar perubahan yang sudah mulai terlihat belakangan ini.

“Hallo, Gif?” Aku menelpon sahabat terdekatku.

“Iya An, ada apa? Oh aku tahu, pasti kamu mau ngomongin soal reuni itu kan?” Tebak Giffari dari kejauhan sana.

“Aduh dasar paranormal, pasti aja tahu. Iya, kenapa reuninya dadakan gitu sih?”

“Engga dadakan, kamu aja yang jarang aktif di grup alumni. Kenapa sih? Masih takut ketemu si ‘Prince’?” Ledekan Giffari membuatku kesal, tapi aku harus tenang.

“Besok ketemuan yuk! Nanti aku ajak yang lain juga Gif.” Singkatku menjawab dengan mengabaikan pertanyaan yang mulai menyangkut masa lalu.

“Oke. Ditempat dan jam yang sama ya. Besok aku jemput di kampus, aku bakal bawa 2 jaket  biar kamu enggak kedinginan.”  

Selalu seperti itu, Giffari adalah salah satu sahabat lamaku sewaktu di SMA. Dia menjagaku seperti adiknya sendiri, singkat cerita dia pernah mengatakan aku ini manja seperti almarhumah adiknya. Terkadang, aku memanggilnya dengan sebutan ‘abang’. Orang tuaku pun sudah mengenalnya dan mereka menganggap Giffari seperti anaknya sendiri. walaupun aku suka merasa canggung dengan kekasihnya.

Keesokan harinya di café tempat biasa kita kongkow, sudah ada dua orang sahabat kami yang menunggu, Riri dan Brilian, kami disambut hangat oleh mereka berdua. Dengan berjabat tangan khas cara kita, senyum lebar, dan mata yang berbinar seakan berbicara bahwa aka nada banyak cerita di meja ukuran untuk enam orang ini.

“Kurang satu ya?” Tanya Riri sebagai pembukaan.

“Biasa itu mah, sahabat karibnya Anna, sibuk enggak pernah ada waktu, bahkan hanya sekedar chat di grup kita.” Jawab Brilian.

Aku hanya membalas tersenyum. Memang, aku mempunyai sahabat yang lebih dulu mengenalku sebelum mereka bertiga yang sekarang ada di hadapanku. Dia sahabat yang selalu ada untukku, bahkan semua masalah yang menimpaku, seseorang yang pernah atau sekedar lewat di hidupku, sampai pada akhirnya kita bergabung, dan dia yang memulai janji bahwa kita akan sukses bersama-sama semuda mungkin, tapi entahlah apa yang terjadi beberapa tahun lalu sebelum perpisahan sekolah, seakan menjauh.

Tak ada yang lebih berarti dari seorang sahabat, bahkan kekasih yang belum mengikat pun akan tertinggal jauh disana demi seorang sahabat. Andai aku dan kita tahu apa salah kami? Bahkan begitu miris ketika hanya mengucap ‘Hai, apa kabar?’ pun tak muncul. Tangan-tangan kami tidak terlepas darimu, terus menarikmu kembali untuk pulang kepada dekapan, namun apa daya keegoanmu sungguh terlalu besar. Kadang kau sempat meminta maaf, tapi apa cukup? Sahabat, janji yang dimuali darimu akan selalu kami genggam, dimana pun dirimu, kami akan selalu berdoa yang tenggelam dalam sujud. Kembalilah pulang pada masanya, kami menunggu.

“Udah pada pesan makanan?” tanyaku.

“Belum nih An, sekalian dong pesenin.” Balas Riri.

“Mba!” aku memanggil seorang pelayan yang sedari tadi memperhatikan kami untuk dipanggil menawarkan makanan dan minuman.

“Iya silahkan, mau pesan apa?” tanya pelayan itu dengan ramah.

“Saya mau 2 hot chocolate sama 2 sandwich ya. Tapi yang satunya dibungkus terus tolong kasihkan sama anak di luar sana ya mba.” Aku menunjuk keluar café, seorang anak kecil yang duduk bersandar di balik kaca tebal. Sedangkan dilanjut yang lainnya untuk memesan makanan.

“Ya ampun Anna, bener ya kata Prince kamu, kaya bidadari.” Ledek Giffari.

“Eh, hati-hati loh, nanti Giffari suka beneran lagi sama Anna.” Lanjut Brilian meledek.

Kami semua tertawa, begitu pun aku, hanya dengan senyum menanggapinya. Guyonan mereka yang membuatku selalu semangat dalam menghadapi hidup. Karena mereka adalah bagian dari keluarga di dalam hatiku.

Bukan karena iba aku memberikan bocah kecil itu sedikit makanan dan minuman, tapi karena aku ingin bersyukur atas apa yang Tuhan telah berikan untukku. Bahkan seharusnya hanya memberi sedikit makanan dan secangkir coklat panas itu tidak cukup. Aku bersyukur karena Tuhan masih mengizinkanku untuk makan di tempat senyaman ini bersama sahabat-sahabat lamaku dan aku juga ingin semua orang yang ada di sekelilingku bahagia, seperti bocah kecil itu, yang sekarang sedang makan dengan lahap di luar sana. Setidaknya itu bisa mengganjal laparnya.

“Oh iya, kemarin aku denger di radio tempat Anna kerja, ada reuni SMA kita?” tanya Riri.

“Kenapa yang nyiarin bukan Anna? Bukannya jadwal kamu siaran ya An?” sambung pertanyaan Brilian.

“Iya harusnya aku, tapi biasalah orang penyakitan, abis keujanan eh malah drop, yaudah aku minta ganti deh. Aku juga baru tahu kalau SMA kita mau adain reuni akbar.” Jelasku.

“Kamu masih suka check up?” tanya Riri lagi.

Aku hanya mengganguk, lalu dijawab oleh Giffari yang menyerobot pertanyaan Riri, “Makanya Ri, ini anak harus dijagain, badan ringkih begitu lagian. Payah!” dengan wajah tersenyum meledekku halus.

Semua orang tertawa melihatku. Aku memasang muka jengkel saat Giffari terus-menerus meledekku habis-habisan. Terkadang, perkumpulan kita ini hanya membuatku menjadi bahan olok-olokkan mereka. Dan sialnya, itu lah yang membuatku merasa rindu. Di samping aku yang terkena bullying tapi mereka sangat menjagaku dari apa pun, bahkan mereka pernah melepas jaktenya saat kami terjebak hujan, hanya untuk mengahangatkan tubuhku, termasuk Ulfah, sahabat lama kami.

“Okey guys, terus kita semua pada join kan di reuni nanti? Seminggu lagi loh.” Tanya Brilian.

“Seperti biasa, satu ikut pasti semua ikut.” Jawabku.

“An, Prince kamu itu kan udah jadi musisi loh. Denger-denger sih, dia udah muali terkenal di beberapa daerah di Jogja sama Semarang. You know that, Ann?” tanya Riri.

Yups! I know that. Jadi waktu itu grup akustik dia diundang ke radio tempat aku kerja. Harusnya aku yang jadi penyiarnya, tapi entah kenapa ya Ri, hati ini terlalu berat buat nemuin dia lagi. Setelah sekian lama kita gak ketemu. Rasanya belum siap. Yaudah aku bermohon-mohon sama Clarisa buat gantiin jam aku. Ternyata besoknya, aku nemuin bingkisan yang tertutup kado, besar banget, di depannya Cuma ada sekotak surat yang tulisannya ‘Happy Birthday Anna, maaf telat banget buat ngasih kadonya. Dari orang yang kamu kenal.’. Aku coba hubungin dia, tapi engga ada jawaban. Dia memang selalu ngasih harapan kosong kan?” jawabku dengan jelas.

“Udahlah Ann, kita harus tetap datang di reuni nanti. Kita selalu jagain kamu kok, tenang aja.” Brilian dengan suaranya yang tegas dan diakhiri sneyuman yang lembut, selalu membuatku merasa lebih baik.

Malam kian menampakkan wujudnya, gelap, hanya lampu jalanan yang kini bisa terlihat. Cahaya bulan pun seakan redup, mendung hati ini saat teringat masa lalu. Aku ingin menceritakan ini kepada sahabatku yang lama tak kunjung jumpa, namun kini kami seakan terbatas dinding yang sangat kuat dan tinggi. Giffari mengantarku sampai depan pintu dan berpamitan kepada Ayah dan Ibuku.

Sampai di kamar, aku disambut oleh boneka yang sangat besar berwarna pink yang entah dari siapa dia hadir. Mungkinkah itu pemberianmu, Faris? Desahku dalam senyap. Aku memeluknya erat, sampai tak sadar bahwa air mataku menetes sedikit demi sedikit, kaca mataku berembun. Khayalanku melayang pada kisah kita yang berakhir semu, meski tak ada ikatan apa pun, namun dial ah segalanya. Andai kau masih ingat hujan beberapa tahun lalu, sungguh aku merindukanmu. Aku bukan siapa-siapa bahkan aku tak bisa apa-apa untuk mencegahmu pergi, Faris.

Mataku terpejam dengan masih memeluk boneka yang sangat besar itu, sampai aku mencium bau zat besi. Kepalaku pusing tak karuan, rasanya lemas. Yang terdengar hanyalah jam dinding yang berdetak di setiap detiknya. Dengan berat kubuka mata sekuat yang aku bisa, aku melihat beberapa bagian bonekaku sudah berubah warna menjadi merah kental. Hidungku keluar banyak darah. Aku tak sadarkan diri.

***

Aku sedang terjaga di hadapanmu, bidadariku. Aku sedang memandangmu dalam-dalam, menatapmu tertidur lelap. Kau semakin cantik dibanding beberapa tahun lalu, bidadariku. Bangunlah, aku menunggumu, bisikku.

Aku mencengkram tangannya kuat-kuat, aku tak ingin lagi membohongi perasaanku yang selalu aku tahan, hingga pernah aku berpikir untuk membuangnya saja. Namun semua itu percuma. Aku pergi karena aku ingin memperbaiki kehidupanku, aku ingin kembali padamu dengan kesuksesanku, agar kau bangga, agar kau tak usah mengkhawatirkan aku.

Anna, sesungguhnya kau harus tahu bahwa aku yang mengadakan reuni akbar itu. Aku ingin bertemu denganmu. Sebenarnya itu bukan acara reuni yang kau bayangkan, maafkan aku Anna aku tak memberi kabar padamu, maafkan aku yang seakan tak pernah menganggapmu ada. Kau bukan siapa-siapa bagiku, itu dulu, saat aku malu untuk mengatakannya, saat aku rasa aku jauh dari sempurna untumu, meski kau selalu meyakinkanku dengan cara lembutmu.

Anna, aku masih ingat semua kenangan kita dulu, hujan yang indah di beberapa tahun lalu yang selalu kau bayangkan. Aku pun tidak akan pernah lupa. Anna, sesungguhnya bukan kamu yang sangat mengkhawatirkan aku, tapi aku yang lebih mengkhawatirkanmu. Aku bangkit Ann, aku bangkit dari masa kelamku, karena semangatmu yang tak pernah padam. Aku berdoa pada Tuhan, jika saja kita dijodohkan maka dekatkan kita di waktu yang tepat namun jika tidak, biarlah waktu yang memisahkan kita secara perlahan-lahan, dan bahagiakan kita meski masing-masing.

Anna, aku percaya bahwa cinta takkan sekejam yang aku bayangkan. Meski jauh namun doa akan menjadi jembatannya. Anna, sahabat-sahabatmu sudah tahu perihal reuni itu. Sebenarnya, aku ingin melamarmu.

Anna, bangunlah, aku mohon.

Lirih dalam jiwaku saat ini, hatiku menangis, hanya menatapmu dingin. Acara itu bersisa beberapa hari lagi. Hari dimana kupikir akan menyenangkan dan membuatmu terkejut, tapi ternyata aku yang sedang terkejut saat ini.

***

Dua hari sebelum acara reuni dimulai, aku mulai tersadar dari tidur panjangku. Penyakit yang bersarang di otakku sudah mulai memperluas ke hampir seluruh saraf. Rasanya begitu sakit. Aku tak ingin mengeluh, biarlah senyumku menjadi penawar rasa sakit itu. Meski semua sahabatku hadir di hadapanku dengan beberapa tetes air mata, aku tetap tersenyum.

“Ann, maafin aku yang baru sempat menjengukmu dan tak pernah mengabarimu. Aku malu padamu, Ann.” Tiba-tiba seorang wanita seumuranku menjatuhkan badannya, memegang tanganku erat, menangis, dialah sahabat lamaku, Ulfah.

Bibir dan lidahku masih kelu, aku hanya membalas dengan menggenggam kembali tangannya erat. Kau tetap sahabatku, karena sahabat takkan terlupa dan terganti, kataku dalam hati. disusul Riri yang memeluk kami berdua. Brilian dan Giffari menatap kami dengan tangis bahagia.

Ya Tuhan, sungguh ini anugerah-Mu yang sangat indah. Kami dapat berkumpul bersama lagi setelah bertahun-tahun semua bisu tanpa salam. Eratkan persahabatn kami sampai hayat tertutup oleh waktu. Jaga mereka Ya Tuhan, seperti Engkau selalu menjagaku.

Tubuhku kembali sempurna, berangsur pulih seperti sedia kala. Aku siap untuk ke acara reuni. 

Dengan wajah yang sedikit memucat, seperti biasa, didampingi oleh sahabat-sahabatku, kali ini semuanya lengkap.

Aku merasa ada yang janggal dari acara reuni kali ini. Semua berpkaian serba putih dan hanya aku yang memakai gaun berwarna merah muda, permintaan sahabat-sahabatku. Saat aku datang, semua orang memandangi wajahku dengan penuh kebahagiaan.

“Ada yang aneh dari penampilanku?” Tanyaku berbisik.

“Kamu paling cantik disini Ann.” Jawab Giffari.

Tiba-tiba kejutan datang, sebuah layar lebar terbuka dengan video aku dan Faris semasa SMA. Canda dan tawa kita menggelegar di ruangan ini. Foto-foto yang diambil secara sembunyi-sembunyi entah oleh siapa terus berputar pada layar. Aku tak menyangka, mana Faris? Dimana dia?! Aku menangis, air mataku berhamburan, aku mencari dimana Faris?

Kejutan baru datang, sebuah sedan berwarna hitam muncul di balik pintu masuk. Kutengok ke belakang, lalu keluar dua orang paruh baya yang sangat aku kenal, orang tuaku. Mereka berjalan ke arahku, menggandeng kedua tanganku, dan mengajakku berjalan ke depan. Aku masih tak mengerti, ada apa ini?

Seorang lelaki yang umurnya satu tahun diatasku keluar dengan setelan jas berwarna hitam, membawa rangkaian bunga segar berwana merah muda seperti gaun yang sedang aku kenakan, di belakangnya diikuti oleh kedua orang tuanya. Ya Tuhan, kejutan apa lagi yang akan kau sampaikan?
“Selamat datang Anna, di acara kita. Apa kau masih mengenaliku? Pakailah kaca matamu Ann, karena itu yang membuatmu lebih sempurna.. Aku tahu ini mengejutkan, tapi ini adalah jawaban atas doa-doaku. Dulu, kau yang selalu mengkhawatirkanku, namun saat ini aku yang sedang mengkhawatirkanmu, sejak kemarin aku menemanimu yang tak sadarkan diri. Ann, aku tak ingin berbicara panjang lebar, aku tahu kau tak suka basa-basi. Aku ingin melamarmu menjadi kekasih seumur hidupku. Ann, will you marry me?”

Aku tak bisa berucap, sama sekali, terasa indah dengan sejuknya linangan air mata. Semua pertanyaanku kini sudah terjawab.

***

Teruntuk Anna,

Ternyata bagian rumpang dari puzzle-ku adalah milikmu. Tentang semua semangatmu yang tak pernah lepas, tentang semua doamu yang kurasa dalam perjalananku. Kita sama-sama mencari ada apa dengan kisah kita? Aku yang tak sempurna, berusaha untuk merubah keburukanku. Ann, seandainya kau lelah untuk menuntunku beberapa tahun lalu, mungkin aku tak akan bisa berdiri tegak, mungkin aku hanya menjadi sampah jalanan dengan rumitnya dunia. Kau memang bidadari yang Tuhan kirimkan untukku, dengan segala kesederhanaanmu, segala ketulusanmu. Terimakasih Ann, karena kau yang telah mengajariku sebuah kesetiaan.