Aku
membaca di balik sepasang lensa, melihat ke arah kejauhan, menembus lorong
waktu masa lalu. Kemudian, kupejamkan mata, merasakan desir angin yang terus
membelai lembut tubuh. Perlahan, kuberanikan diri membuka mata. Aku berdiri di
kelilingi anak sungai yang terus mengalir, meski tak lurus, kadang mereka
berliuk-liuk mengikuti kawanannya, tak pernah mengeluh meski tersentak oleh
bebatuan kecil di tepinya.
Setiap
detik napas yang kurasakan dengan penuh syukur, terimakasih Tuhan karena
Engkau masih memberikanku kesempatan untuk memperbaiki diri. Hampir tak ada
yang tahu di balik sisi lain jiwaku. Aku belajar tentang sebongkah kesabaran dari
sebuah rasa sakit, aku belajar sebuah keikhlasan dari sesabit senyuman, aku
belajar mencintai dari sebuah tangisan di masa lalu. Dan pada akhirnya,
kesadaran ini muncul saat aku terlalu lugu untuk secepat ini mengenalmu.
***
Tik..
tik.. tik.. Rinai hujan
terus membasahi jalan abu. Aku benar-benar kuyup dibuatnya. Cipratan air dari
sana-sini menambah lembab pakaiannku. Aku teringat hujan beberapa tahun silam,
saat semuanya indah, yang terlihat hanya pelangi atau matahari yang
menghangtkan, bukan badai yang menutupi jalan. Aku teringat hujan beberapa
tahun lalu, ketika mantel bulu yang mendarat di punggungku tiba-tiba, terkejut
jantungku, namun bergetar denyut nadiku.
“Hallo!
Selamat Malam para setia radio gaul Bogor. Hari ini full day hujan terus ya.
Maklum lah, namanya juga Bogor si Kota Hujan. Ketemu lagi bersama gue Clarisa
disini yang bakal nemenin kalian semua sampai dua jam ke depan. Ohya, sebentar
ada kiriman masuk nih, dari panitia SMA Harapan, dia bilang kalau mau diadain
reuni akbar angkatan 2013 di rumah cupcake…” Bahas lebar pembukaan penyiar
radio.
Ya
ampun, siapa yang ngadain reuni dadakan gini? Pekikku dalam hati. sudah hampir satu tahun lebih aku tak bertemu
semua kawan lama, hanya beberapa orang dari mereka yang sudah kuanggap sebagai
sahabat, kita masih menyempatkan waktu untuk sekedar hang out minum kopi, berbagi cerita, dan berkomentar
perubahan yang sudah mulai terlihat belakangan ini.
“Hallo,
Gif?” Aku menelpon sahabat terdekatku.
“Iya
An, ada apa? Oh aku tahu, pasti kamu mau ngomongin soal reuni itu kan?” Tebak
Giffari dari kejauhan sana.
“Aduh
dasar paranormal, pasti aja tahu. Iya, kenapa reuninya dadakan gitu sih?”
“Engga
dadakan, kamu aja yang jarang aktif di grup alumni. Kenapa sih? Masih takut
ketemu si ‘Prince’?” Ledekan Giffari membuatku kesal, tapi aku harus
tenang.
“Besok
ketemuan yuk! Nanti aku ajak yang lain juga Gif.” Singkatku menjawab dengan
mengabaikan pertanyaan yang mulai menyangkut masa lalu.
“Oke.
Ditempat dan jam yang sama ya. Besok aku jemput di kampus, aku bakal bawa 2
jaket biar kamu enggak kedinginan.”
Selalu
seperti itu, Giffari adalah salah satu sahabat lamaku sewaktu di SMA. Dia
menjagaku seperti adiknya sendiri, singkat cerita dia pernah mengatakan aku ini
manja seperti almarhumah adiknya. Terkadang, aku memanggilnya dengan sebutan ‘abang’.
Orang tuaku pun sudah mengenalnya dan mereka menganggap Giffari seperti
anaknya sendiri. walaupun aku suka merasa canggung dengan kekasihnya.
Keesokan
harinya di café tempat biasa kita kongkow, sudah ada dua orang sahabat
kami yang menunggu, Riri dan Brilian, kami disambut hangat oleh mereka berdua.
Dengan berjabat tangan khas cara kita, senyum lebar, dan mata yang berbinar
seakan berbicara bahwa aka nada banyak cerita di meja ukuran untuk enam orang
ini.
“Kurang
satu ya?” Tanya Riri sebagai pembukaan.
“Biasa
itu mah, sahabat karibnya Anna, sibuk enggak pernah ada waktu, bahkan hanya
sekedar chat di grup kita.” Jawab Brilian.
Aku
hanya membalas tersenyum. Memang, aku mempunyai sahabat yang lebih dulu
mengenalku sebelum mereka bertiga yang sekarang ada di hadapanku. Dia sahabat
yang selalu ada untukku, bahkan semua masalah yang menimpaku, seseorang yang
pernah atau sekedar lewat di hidupku, sampai pada akhirnya kita bergabung, dan
dia yang memulai janji bahwa kita akan sukses bersama-sama semuda mungkin, tapi
entahlah apa yang terjadi beberapa tahun lalu sebelum perpisahan sekolah,
seakan menjauh.
Tak
ada yang lebih berarti dari seorang sahabat, bahkan kekasih yang belum mengikat
pun akan tertinggal jauh disana demi seorang sahabat. Andai aku dan kita tahu
apa salah kami? Bahkan begitu miris ketika hanya mengucap ‘Hai, apa kabar?’ pun
tak muncul. Tangan-tangan kami tidak terlepas darimu, terus menarikmu kembali
untuk pulang kepada dekapan, namun apa daya keegoanmu sungguh terlalu besar.
Kadang kau sempat meminta maaf, tapi apa cukup? Sahabat, janji yang dimuali
darimu akan selalu kami genggam, dimana pun dirimu, kami akan selalu berdoa
yang tenggelam dalam sujud. Kembalilah pulang pada masanya, kami menunggu.
“Udah
pada pesan makanan?” tanyaku.
“Belum
nih An, sekalian dong pesenin.” Balas Riri.
“Mba!”
aku memanggil seorang pelayan yang sedari tadi memperhatikan kami untuk
dipanggil menawarkan makanan dan minuman.
“Iya
silahkan, mau pesan apa?” tanya pelayan itu dengan ramah.
“Saya
mau 2 hot chocolate sama 2 sandwich ya. Tapi yang satunya
dibungkus terus tolong kasihkan sama anak di luar sana ya mba.” Aku menunjuk
keluar café, seorang anak kecil yang duduk bersandar di balik kaca tebal.
Sedangkan dilanjut yang lainnya untuk memesan makanan.
“Ya
ampun Anna, bener ya kata Prince kamu, kaya bidadari.” Ledek Giffari.
“Eh,
hati-hati loh, nanti Giffari suka beneran lagi sama Anna.” Lanjut Brilian
meledek.
Kami
semua tertawa, begitu pun aku, hanya dengan senyum menanggapinya. Guyonan
mereka yang membuatku selalu semangat dalam menghadapi hidup. Karena mereka
adalah bagian dari keluarga di dalam hatiku.
Bukan
karena iba aku memberikan bocah kecil itu sedikit makanan dan minuman, tapi
karena aku ingin bersyukur atas apa yang Tuhan telah berikan untukku. Bahkan
seharusnya hanya memberi sedikit makanan dan secangkir coklat panas itu tidak
cukup. Aku bersyukur karena Tuhan masih mengizinkanku untuk makan di tempat
senyaman ini bersama sahabat-sahabat lamaku dan aku juga ingin semua orang yang
ada di sekelilingku bahagia, seperti bocah kecil itu, yang sekarang sedang
makan dengan lahap di luar sana. Setidaknya itu bisa mengganjal laparnya.
“Oh
iya, kemarin aku denger di radio tempat Anna kerja, ada reuni SMA kita?” tanya
Riri.
“Kenapa
yang nyiarin bukan Anna? Bukannya jadwal kamu siaran ya An?” sambung pertanyaan
Brilian.
“Iya
harusnya aku, tapi biasalah orang penyakitan, abis keujanan eh malah drop,
yaudah aku minta ganti deh. Aku juga baru tahu kalau SMA kita mau adain reuni
akbar.” Jelasku.
“Kamu
masih suka check up?” tanya Riri lagi.
Aku
hanya mengganguk, lalu dijawab oleh Giffari yang menyerobot pertanyaan Riri,
“Makanya Ri, ini anak harus dijagain, badan ringkih begitu lagian. Payah!”
dengan wajah tersenyum meledekku halus.
Semua
orang tertawa melihatku. Aku memasang muka jengkel saat Giffari terus-menerus
meledekku habis-habisan. Terkadang, perkumpulan kita ini hanya membuatku
menjadi bahan olok-olokkan mereka. Dan sialnya, itu lah yang membuatku merasa
rindu. Di samping aku yang terkena bullying tapi mereka sangat menjagaku
dari apa pun, bahkan mereka pernah melepas jaktenya saat kami terjebak hujan,
hanya untuk mengahangatkan tubuhku, termasuk Ulfah, sahabat lama kami.
“Okey
guys, terus kita semua pada join kan di reuni nanti? Seminggu lagi loh.”
Tanya Brilian.
“Seperti
biasa, satu ikut pasti semua ikut.” Jawabku.
“An,
Prince kamu itu kan udah jadi musisi loh. Denger-denger sih, dia udah
muali terkenal di beberapa daerah di Jogja sama Semarang. You know that,
Ann?” tanya Riri.
“Yups!
I know that. Jadi waktu itu grup akustik dia diundang ke radio tempat aku
kerja. Harusnya aku yang jadi penyiarnya, tapi entah kenapa ya Ri, hati ini
terlalu berat buat nemuin dia lagi. Setelah sekian lama kita gak ketemu.
Rasanya belum siap. Yaudah aku bermohon-mohon sama Clarisa buat gantiin jam
aku. Ternyata besoknya, aku nemuin bingkisan yang tertutup kado, besar banget,
di depannya Cuma ada sekotak surat yang tulisannya ‘Happy Birthday Anna,
maaf telat banget buat ngasih kadonya. Dari orang yang kamu kenal.’. Aku
coba hubungin dia, tapi engga ada jawaban. Dia memang selalu ngasih harapan
kosong kan?” jawabku dengan jelas.
“Udahlah
Ann, kita harus tetap datang di reuni nanti. Kita selalu jagain kamu kok,
tenang aja.” Brilian dengan suaranya yang tegas dan diakhiri sneyuman yang
lembut, selalu membuatku merasa lebih baik.
Malam
kian menampakkan wujudnya, gelap, hanya lampu jalanan yang kini bisa terlihat.
Cahaya bulan pun seakan redup, mendung hati ini saat teringat masa lalu. Aku
ingin menceritakan ini kepada sahabatku yang lama tak kunjung jumpa, namun kini
kami seakan terbatas dinding yang sangat kuat dan tinggi. Giffari mengantarku
sampai depan pintu dan berpamitan kepada Ayah dan Ibuku.
Sampai
di kamar, aku disambut oleh boneka yang sangat besar berwarna pink yang
entah dari siapa dia hadir. Mungkinkah itu pemberianmu, Faris? Desahku
dalam senyap. Aku memeluknya erat, sampai tak sadar bahwa air mataku menetes
sedikit demi sedikit, kaca mataku berembun. Khayalanku melayang pada kisah kita
yang berakhir semu, meski tak ada ikatan apa pun, namun dial ah segalanya. Andai
kau masih ingat hujan beberapa tahun lalu, sungguh aku merindukanmu. Aku bukan
siapa-siapa bahkan aku tak bisa apa-apa untuk mencegahmu pergi, Faris.
Mataku
terpejam dengan masih memeluk boneka yang sangat besar itu, sampai aku mencium
bau zat besi. Kepalaku pusing tak karuan, rasanya lemas. Yang terdengar
hanyalah jam dinding yang berdetak di setiap detiknya. Dengan berat kubuka mata
sekuat yang aku bisa, aku melihat beberapa bagian bonekaku sudah berubah warna
menjadi merah kental. Hidungku keluar banyak darah. Aku tak sadarkan diri.
***
Aku
sedang terjaga di hadapanmu, bidadariku. Aku sedang memandangmu dalam-dalam,
menatapmu tertidur lelap. Kau semakin cantik dibanding beberapa tahun lalu,
bidadariku. Bangunlah, aku menunggumu, bisikku.
Aku
mencengkram tangannya kuat-kuat, aku tak ingin lagi membohongi perasaanku yang
selalu aku tahan, hingga pernah aku berpikir untuk membuangnya saja. Namun
semua itu percuma. Aku pergi karena aku ingin memperbaiki kehidupanku, aku
ingin kembali padamu dengan kesuksesanku, agar kau bangga, agar kau tak usah
mengkhawatirkan aku.
Anna,
sesungguhnya kau harus tahu bahwa aku yang mengadakan reuni akbar itu. Aku
ingin bertemu denganmu. Sebenarnya itu bukan acara reuni yang kau bayangkan,
maafkan aku Anna aku tak memberi kabar padamu, maafkan aku yang seakan tak
pernah menganggapmu ada. Kau bukan siapa-siapa bagiku, itu dulu, saat aku malu
untuk mengatakannya, saat aku rasa aku jauh dari sempurna untumu, meski kau
selalu meyakinkanku dengan cara lembutmu.
Anna,
aku masih ingat semua kenangan kita dulu, hujan yang indah di beberapa tahun
lalu yang selalu kau bayangkan. Aku pun tidak akan pernah lupa. Anna,
sesungguhnya bukan kamu yang sangat mengkhawatirkan aku, tapi aku yang lebih
mengkhawatirkanmu. Aku bangkit Ann, aku bangkit dari masa kelamku, karena
semangatmu yang tak pernah padam. Aku berdoa pada Tuhan, jika saja kita
dijodohkan maka dekatkan kita di waktu yang tepat namun jika tidak, biarlah
waktu yang memisahkan kita secara perlahan-lahan, dan bahagiakan kita meski
masing-masing.
Anna,
aku percaya bahwa cinta takkan sekejam yang aku bayangkan. Meski jauh namun doa
akan menjadi jembatannya. Anna, sahabat-sahabatmu sudah tahu perihal reuni itu.
Sebenarnya, aku ingin melamarmu.
Anna,
bangunlah, aku mohon.
Lirih
dalam jiwaku saat ini, hatiku menangis, hanya menatapmu dingin. Acara itu
bersisa beberapa hari lagi. Hari dimana kupikir akan menyenangkan dan membuatmu
terkejut, tapi ternyata aku yang sedang terkejut saat ini.
***
Dua
hari sebelum acara reuni dimulai, aku mulai tersadar dari tidur panjangku. Penyakit
yang bersarang di otakku sudah mulai memperluas ke hampir seluruh saraf.
Rasanya begitu sakit. Aku tak ingin mengeluh, biarlah senyumku menjadi penawar
rasa sakit itu. Meski semua sahabatku hadir di hadapanku dengan beberapa tetes
air mata, aku tetap tersenyum.
“Ann,
maafin aku yang baru sempat menjengukmu dan tak pernah mengabarimu. Aku malu
padamu, Ann.” Tiba-tiba seorang wanita seumuranku menjatuhkan badannya, memegang
tanganku erat, menangis, dialah sahabat lamaku, Ulfah.
Bibir
dan lidahku masih kelu, aku hanya membalas dengan menggenggam kembali tangannya
erat. Kau tetap sahabatku, karena sahabat takkan terlupa dan terganti, kataku
dalam hati. disusul Riri yang memeluk kami berdua. Brilian dan Giffari menatap
kami dengan tangis bahagia.
Ya
Tuhan, sungguh ini anugerah-Mu yang sangat indah. Kami dapat berkumpul bersama
lagi setelah bertahun-tahun semua bisu tanpa salam. Eratkan persahabatn kami
sampai hayat tertutup oleh waktu. Jaga mereka Ya Tuhan, seperti Engkau selalu
menjagaku.
Tubuhku
kembali sempurna, berangsur pulih seperti sedia kala. Aku siap untuk ke acara reuni.
Dengan wajah yang sedikit memucat, seperti biasa, didampingi oleh sahabat-sahabatku,
kali ini semuanya lengkap.
Aku merasa
ada yang janggal dari acara reuni kali ini. Semua berpkaian serba putih dan hanya
aku yang memakai gaun berwarna merah muda, permintaan sahabat-sahabatku. Saat aku
datang, semua orang memandangi wajahku dengan penuh kebahagiaan.
“Ada
yang aneh dari penampilanku?” Tanyaku berbisik.
“Kamu
paling cantik disini Ann.” Jawab Giffari.
Tiba-tiba
kejutan datang, sebuah layar lebar terbuka dengan video aku dan Faris semasa SMA.
Canda dan tawa kita menggelegar di ruangan ini. Foto-foto yang diambil secara sembunyi-sembunyi
entah oleh siapa terus berputar pada layar. Aku tak menyangka, mana Faris? Dimana
dia?! Aku menangis, air mataku berhamburan, aku mencari dimana Faris?
Kejutan
baru datang, sebuah sedan berwarna hitam muncul di balik pintu masuk. Kutengok ke
belakang, lalu keluar dua orang paruh baya yang sangat aku kenal, orang tuaku. Mereka
berjalan ke arahku, menggandeng kedua tanganku, dan mengajakku berjalan ke depan.
Aku masih tak mengerti, ada apa ini?
Seorang
lelaki yang umurnya satu tahun diatasku keluar dengan setelan jas berwarna hitam,
membawa rangkaian bunga segar berwana merah muda seperti gaun yang sedang aku kenakan,
di belakangnya diikuti oleh kedua orang tuanya. Ya Tuhan, kejutan apa lagi yang
akan kau sampaikan?
“Selamat
datang Anna, di acara kita. Apa kau masih mengenaliku? Pakailah kaca matamu Ann,
karena itu yang membuatmu lebih sempurna.. Aku tahu ini mengejutkan, tapi ini adalah
jawaban atas doa-doaku. Dulu, kau yang selalu mengkhawatirkanku, namun saat ini
aku yang sedang mengkhawatirkanmu, sejak kemarin aku menemanimu yang tak sadarkan
diri. Ann, aku tak ingin berbicara panjang lebar, aku tahu kau tak suka basa-basi.
Aku ingin melamarmu menjadi kekasih seumur hidupku. Ann, will you marry me?”
Aku tak
bisa berucap, sama sekali, terasa indah dengan sejuknya linangan air mata. Semua
pertanyaanku kini sudah terjawab.
***
Teruntuk
Anna,
Ternyata
bagian rumpang dari puzzle-ku adalah milikmu. Tentang semua semangatmu yang tak
pernah lepas, tentang semua doamu yang kurasa dalam perjalananku. Kita sama-sama
mencari ada apa dengan kisah kita? Aku yang tak sempurna, berusaha untuk merubah
keburukanku. Ann, seandainya kau lelah untuk menuntunku beberapa tahun lalu, mungkin
aku tak akan bisa berdiri tegak, mungkin aku hanya menjadi sampah jalanan dengan
rumitnya dunia. Kau memang bidadari yang Tuhan kirimkan untukku, dengan segala kesederhanaanmu,
segala ketulusanmu. Terimakasih Ann, karena kau yang telah mengajariku sebuah kesetiaan.