Selasa, 22 Juli 2014

Setoples Coklat

Cerita ini benar-benar sebuah kisah nyata yang saya alami. Tentang sebuah kenangan yang sebenarnya selalu saya rindukan. Sengaja dengan bahasa yang tidak baku (semau gue). Semoga bisa menghibur sebagai selingan malam anda.

Aku sedang merindukan seseorang. Tulisan ini khusus untuknya. Bukan seorang mantan (pacar), bukan seorang pacar, bukan seorang yang baru kukenal. Bukan teman, bukan sahabat. Tapi dia adalah kakak sepupu laki-laki dari Ayah.
Berawal dari masa dimana aku masih mengenakan pakaian putih biru, yang baru saja melepas seragam putih merah. Aku adalah penjual coklat yang bentuknya beragam. Ya, itu adalah julukan dari SMP. Bukan karena aku kurang mampu, tapi bisa dibilang "Berwirausaha adalah salah satu hobiku". Setiap dia ada di rumahku, dan ketika aku sedang membuat coklat untuk dijual esok hari, pasti abangku itu selalu melahap coklat-coklat yang ada. Aku hanya memperhatikannya dan tertawa bersamanya. "Kok enak banget coklatnya, Sa?" Itu yang selalu ia katakan padaku acap kali memakan coklat-coklat yang ada.
"Bilang aja mau nambah, hahaha". Dan itu jawabanku untuk meledeknya.
Kelas akhir di tingkat SMP, aku terpaksa berhenti berjualan coklat. Karena, aku berniat untuk fokus terhadap Ujian akhir. Dan sekarang, aku diingatkan kembali tentang coklat-coklat itu.
Setoples coklat, Ibu menawarkan coklat-coklat yang aku bikin kepada tetangga sekitar rumah. Syukurlah, karena membludaknya pesanan dengan waktu yang cukup singkat. Pikiran tentang masa lalu terbuka kembali. Lorong waktu seperti menyedot tentang kenangan itu. Saat aku sedang merapikan coklat-coklat ke dalam toples, aku merasakan tawa dan canda bersama abang tercinta. Aku pikir, kalau ada dia yang berusaha menghabiskan semua coklatku, pasti rasa lelah itu berkurang 60%. Sejenak,aku berdiam diri sebentar untuk menjauhkan kenangan itu. Tapi apa daya? Aku tak bisa memutar waktu. Aku juga tau, bahwa kejadian di dunia ini hanya terjadi sekali seumur hidup.
Ah, mungkin aku hanya sedang merindukannya. Tentang setoples coklat atau tentang canda tawa itu. Dia sangat berarti dalam hiupku. Walaupun dia hanya kakak sepupuku, tapi dia seperti abang kandungku yang selalu ada memberi semangat dan membagi canda tawa, tak pernah membagi air matanya.
Setoples coklat, sudah mengantarkan bayangnya bersama canda tawanya.

Senin, 14 Juli 2014

Part 1

Dari sosok seorang wanita
Dari eloknya bahasa dan budaya
Gemerlap kata-kata sang pujangga
Bayangnya merasuk ke dalam raga

Aku terbangun dari sebuah mimpi. Kutengok sekeliling tempat pembaringan yg berbentuk persegi. Semua hampa dan kosong. Tak kudengar sayup-sayup suara bising yg selalu kucari. Kemana dia? Hey, kemana dirimu? Gelitik dalam dada yang mencari-cari.
Satu persatu derap langkah kecilku menapak di ubin yang begitu dingin. Menerawang pada setiap lorong di dalam rumah. Dari balik kesunyian, ternyata aku menemukan yang kucari. Ibu.. Ibu.. Aku mencarimu sedari tadi, dari balik ketenangan hati, aku menemukannya bersandar pada dinding yang membeku dengan buku-buku kuno yang berserakan.
Bersandarlah tubuh ini di pangkuannya. Dengan dekapan yang sangat hangat. Bahkan, hati yang terasa membeku pun meleleh dibuatnya. Apa yang kau pegang itu? Suara polos dari mulutku membuatnya tersenyum kecil. Secarik kertas bergaris yang berwarna kecoklat-coklatan itu adalah hasil karyanya. Sebuah syair tempo dulu yang dibuat dari hati lembut seorang Ibu. Bersenandunglah ia dengan suaranya yg halus. Ibu, aku belum mengerti kata-kata itu, perkataan dari mulutku terlontar kembali. Ibu hanya tersenyum kecil dan memberiku buku-buku lamanya untukku. Dengan gayanya, dia menjelaskan tentang sebuah deretan kata. Mimik wajah yang berganti, hentakan, keceriaan, sampai kesedihan yang teramat dalam. Tak lepas pandanganku yang ikut menari mengikuti lenggok tubuh dan tutur katanya.
Kuresapi sederetan tiap baitnya. Kubuka lagi bukunya, kubaca, kupahami. Lalu, ketika aku sudah mengerti, dgn lantang tubuh ini berdiri tegap dan memaparkan apa yang sedang dijelaskan pada tiap lembar halamannya. Seakan jiwanya merasuk ke dalam tubuhku. Terjunlah aku ke dalam syair itu. Hanyutlah aku dalam kata-kata sang pujangga. Terbang dan melintas cakrawala bersama mimpi yang tak nyata.

Minggu, 13 Juli 2014

Ketika Hati Berbicara

Coretan ini adalah isi hatiku yang paling dan sangat terdalam. Bukan cerpen yang biasanya berupa cerita fiktif belaka. Aku, sama sekali belum mengenal apa itu dunia dgn sejuta cinta. Hanya dapat merabanya dengan penuh keikhlasan.
Aku mengagumi seorang laki-laki yang sekarang sedang mencari jati dirinya menjadi seorang pria sejati. Dia adalah orang yang sangat dekat dengan hidup dan duniaku. Dia adalah sahabat kecilku, namanya (XXX). Entah mengapa saat aku berada di dekatnya, rasa aman itu selalu memelukku dengan erat. Aku mengenalnya sudah sangat lama, bahkan ketika aku belum sekolah. Aku merasa bahwa duniaku adalah dia. Namun, apa dayaku? Beranjak remaja persahabatan kami mulai pudar hanya karna omong kosong tak berguna yg mengelilingi telinga. Aku muak dengan semua itu! Aku benci saat saat itu! Aku benci karna aku harus melepasnya pergi dari duniaku. Walaupun aku tau, aku sudah memaksakan hati untuk menyiapkan rasa penyesalan yang teramat dalam, aku tau pasti aku akan kehilangan dia.
Lambat laun, aku mencoba untuk memulai dari awal. Dengan harapan akan berakhir indah. Aku salah, semua itu terasa seakan tak ada gunanya. Seakan sia-sia. Aku benar-benar kehilangan hatinya. Aku benar-benar kehilangan malaikat kecil penjagaku. Aku benar-benar kehilangan seseorang yg selalu menghapus rasa lelah akan kehidupan dengan penuh permasalahan. Dia sudah bersama dunia yg baru. Ya, menuju pendewasaan dan masa depan yg serius, tanpaku.
Ya Tuhan, aku tak mungkin memaksakan kehendak hati sendiri. Lepaskan dia perlahan lahan dari hati dan pikiranku. Satu pertanyaanku, mengapa hati ini selalu setia menantinya di jalan panjang yang basah ini?
Kita, adalah satu napas yang perlahan lahan terpecah menjadi ribuan partikel yang melayang di udara. Lalu terbang entah kemana, tanpa tau arah.
Satu permohonanku. Ya Tuhan, jaga dia dimana pun berada, seperti Engkau selalu menjaga hati ini untuknya.