Rabu, 09 Maret 2016

SKETSA

Menjadi seniman adalah jalan yang aku pilih. Meski orang tuaku awalnya tak pernah menyetujui, mungkin sampai saat ini. Aku sedang melakukan kesalahan, sepertinya. Aku seakan tak peduli oleh larangan-larangan itu, aku mencintainya-hobiku. Sampai pada suatu hari aku memiliki galeri kecil-kecilan dari uang saku bulanan yang diberi Ayah dan hasil menjual beberapa lukisan karyaku. Aku tak pernah menyalahkan mereka karena sebenarnya ada peran mereka dalam pembukaan galeri milikku-uang saku.

Aku mencintai jemari-jemari ini yang tak lelahnya mengayun di atas permukaan kanvas yang awalnya tidak istimewa. Aku memang belum pandai membuat gradasi warna seperti pelangi yang indah, tapi aku bisa melukis sketsa wajah orang-orang yang pernah kulihat dengan secepat mungkin dan hampir mirip aslinya. Aku juga pandai melukis sketsa wajahmu, iya kamu.

Namun aku tak pandai melukis hatimu. Dapatkah kau mengajarkan aku? Wahai pujangga yang selalu mengacaukan pandangan mata. Pujangga yang selalu bisa mengelokkan kata-kata.

Hujan terus menemani perjalanan kakiku, sesekali membasahi kerudungku yang menjulur ke bawah. Sepatu boots model terbaru yang kukenankan terus berjalan tanpa henti mengikuti jalan raya yang kadang berliku dan lurus. Aku cukup mengikuti alurnya sampai terasa lelah baru kuberhenti. Saat jenuh, ini yang harus kulakukan, mengadu pada jalanan.

Sampai pada sebuah kedai kopi yang terkenal nikmat di kota ini. Kebetulan hujan dan tubuhku sudah menggigil kedinginan. Aku masuk ke kedai kopi itu, pelayannya ramah dengan mengenakan pakaian rapi ala pelayan Belanda.

“Silahkan mbak mau pesan apa?” tanya pelayan ramah itu.

“Saya mau pesan secangkir kopi hitam, jangan terlalu encer, gulanya 2 sendok saja ya.”

“Oke, seperti biasa kan?”

Aku mengangguk sambil tersenyum. Rupanya pelayan itu sudah hapal pesanan kesukaanku.

Ada sekitar dua puluh lima lukisan yang di pajang di kedai kopi ini dan tiga diantaranya adalah milikku-karyaku, dilengkapi tanda tanganku. Rupanya lukisan-lukisanku masih di pajang di tempat yang sama. Aku melukis tiga buah sketsa wajah, yang pertama adalah Ayahku, selanjutnya Ibuku, yang ketiga seseorang dalam bayangan.

Tidak sampai sepuluh menit, kopi pesananku datang menuju meja tempatku menunggu. Tapi terlihat pemandangan yang aneh, pelayan itu datang dengan membawa seorang jagoan kecil yang giginya terlihat lebar tersenyum padaku.

“Ini pesanannya nona Rosse.” Kata pelayan itu.

“Iya terimakasih. Maaf, kamu tahu dari mana nama saya?” tanyaku heran.

“Itu yang di sebelah sana lukisan anda, bukan?”
Aku tersipu malu, kukira tak ada yang mengenali wajahku-hanya lukisanku.

“Lalu, siapa yang kau bawa?” tanyaku lagi.

“Hallo kakak cantik, nama aku Daniel. Besok aku ulang tahun loh ka.. kakak mau engga buatin sketsa wajah aku?” katanya dengan suara manja dan senyumnya yang sangat menggemaskan.

“Ohya? Memang kamu ulang tahun yang keberapa?”

“Yang ke tujuh tahun.”

“Hmm.. tapi kalau kakak melukis sketsa itu harus dibayar. Kamu punya uang?” ledekku sambil melirik gesture tubuhnya.

“Aku punya!” Daniel mengeluarkan selembar mata uang dollar.

“Kamu dapat dari mana?”

Tiba-tiba pelayan itu membisikkan sesuatu dengan sepelan mungkin di arah telingaku. Air mataku berlinang seketika tapi aku harus menyembunyikan kesedihan ini. Aku mengerti apa yang harus kulakukan saat ini. Sehabis pelayan itu memberitahu semuanya, dia kembali menuju dapur dan meninggalkan jagoan kecil ini duduk di depanku.

Aku mengeluarkan sketchbook dan clutch juga penghapusnya. Kutatap wajahnya dalam-dalam, biar masuk ke dalam sanubari, biar kuresapi setiap titik pentingnya. Wajahnya sangat bahagia, namun aku dapat merasakan matanya sedang menahan rasa sakit-seperti yang kurasakan.

Jagoan kecil itu rupanya sudah mulai pegal dengan senyum lebar yang membuat gigi-giginya tampak berseri. Senyum yang semula tiga jari berubah menjadi dua jari. Sesekali aku mengajaknya berbincang. Aku tak peduli ekspresi wajahnya akan berubah karena aku telah hapal bagaimana ia tersenyum lucu.

“Kamu sekolah dimana?”

“Aku engga sekolah Kak, aku capek.”

“Loh kenapa? Kan enak banyak temannya.”

“Setiap aku jalan kaki pasti tiba-tiba tubuhku mematung, kaki aku kaya ada yang pegangin, jadi gabisa jalan. Kalau aku lagi asyik belajar tiba-tiba hidung aku berdarah, kepala aku pusing. Jadi kata Mommy aku gausah sekolah aja.” Jelasnya.

Aku terdiam sejenak, tanganku bergetar, kutaruh sebentar sketsaku yang hampir selesai itu, aku hanya tak ingin membuat kacau sketsanya. Sambil sesekali aku mengatur napas yang mulai terasa sesak.

“Memangnya kamu…” pertanyaanku terhenti, “… Ohiya, cita-cita kamu mau jadi apa?” Sambil meraih sketsaku lagi-mulai menyelesaikan.

“Hmm.. aku mau jadi pelukis kaya kakak Rosse. Aku juga suka menggambar loh kak. Gambar aku dipajang di samping sketsa kakak yang itu!” dia menunjuk salah satu sketsa seseorang dalam bayangan.

“Wah, gambar kamu bagus Daniel! Kamu berbakat. Nanti kamu bikin sketsa muka kakak ya.”

Jagoan kecil itu mengangguk dengan antusias.

Aku sudah menyelesaikan sketsaku. Aku perlihatkan padanya, dia menimbang-nimbang apakah mirip dengannya atau tidak. Lalu, dia berdiri dari tempat duduknya dan mencoba berlari ke arah pelayan yang tadi mengantarnya untuk menanyakan tentang kemiripan sketsa wajahnya. Tapi tiba-tiba.. dug! Dia terjatuh. Dengan segera aku berlari ke arahnya dan membangunkan dari jatuhnya, kakinya kaku. Dia tak menangis, hanya mengatakan, “Aku baik-baik saja Kak, ini sudah menjadi hal yang biasa untukku.”

Aku tersenyum haru padanya dan memeluk tubuhnya erat. Aku meneteskan sedikit air mataku di belakang punggungnya. Sambil berbisik, “Daniel kuat, Daniel harus kuat ya. Kan mau lukis wajah kakak.” Aku berdiri sambil menggendong Daniel dan berjalan ke pelayan itu. Daniel punya bangkunya sendiri di kedai kopi ini.

“Daniel, ini sketchbook punya kakak buat kamu aja ya. Kan di sini juga ada sketsa wajah kamu. Masih banyak kertas yang kosong di belakangnya, bisa kamu pakai buat melukis apapun yang kamu ingin. Kakak harus pergi sekarang, nanti pasti ke sini lagi.”

“Kak, aku mau tanya. Boleh?” dengan suaranya yang parau.

“Iya sayang, mau tanya apa?”

“Kakak kenapa harus pakai penutup kepala? Memang kepala kakak botak? Kaya kepalaku ya Kak?”

Sebelum menjawab aku mengehala napas terlebih dahulu. “Engga sayang, kepala kakak engga botak. Jadi begini, untuk wanita muslim memang diwajibkan untuk memakai kerudung dan menutup bagian tubuhnya kecuali telapak tangan dan muka. Nanti kalau kamu sudah besar, kamu akan mengerti.”

“Kak, danke!

“Kembali kasih, see ya!”

Petang mulai menampakkan rupanya. Aku masih tak percaya tentang hari ini, tentang beberapa jam yang mebuatku lirih dalam hujan. Aku harap, aku bisa bertemu dengannya lagi, jika Tuhan mengizinkanku. Perjalanan pulang saat ini penuh dengan lamunan untuk masa depan, apa aku bisa bertahan sampai semua yang kurasa cukup telah tercapai? Aku mohon Tuhan.

Hidupku memang sedang tergesa-gesa, seakan aku tahu kapan Tuhan ingin aku kembali pada-Nya. Hidupku memang sedang tergesa-gesa, sampai aku tak kenal lelah, sampai sakit yang kurasakan selama ini seakan musnah begitu saja. Aku hanya tak ingin mengeluh pada manusia, atau aku hanya malu menangis pada bumi, sedangkan hujan selalu setia menjadi tirai kepalsuan senyum bahagiaku selama ini.

Ya Tuhan, imanku masih memudar, dosaku belum tertebus atau takkan pernah habis, tapi jika aku masih punya satu permohonan, aku ingin mengugurkan dosa-dosaku satu-persatu. Jika sakitku menjadi penawarnya, akan aku nikmati. Percayalah, aku tak apa. Satu permohonanku Tuhan, aku ingin semua orang yang aku kenal merasa bahagia atas keberadaanku, aku ingin berkah-Mu selalu hadir untuk mereka-untuk semua orang yang kukenal-untuk semua orang yang aku sayangi-untuk semua orang yang aku cintai.

***

Sepertiga malamku telah tiba. sedikit sudah kulupakan kesedihan kemarin. Aku mengambil air wudhu, kupercikan pada setiap tubuh. Kugelar sajadah yang paling bagus yang aku miliki, kupakai mukena yang menghangatkan tubuh. Allahuakbar.. takbir kuserukan dengan suara lembut sampai gemetar jantungku. Sujud yang selalu kunikmati, seakan-akan adalah sujudku untuk yang terakhir kalinya. Kuangkat ke dua tangan yang menghadap ke kiblat, aku menceritakan semua resah dalam dada, semua kegelisahan dalam penat. Setetes demi setetes air mata tumpah membasahi mukena putihku.

Pagi menyambutku dengan segala macam aktivitas. Aku berangkat kuliah dengan berjalan kaki dan menaiki transportasi umum. Tempat kuliahku tak jauh dari rumah, hanya setengah jam perjalanan. Ada tempat favorit pada perjalanan menuju kampus, jalan setapak. Jalan ini yang biasanya mempertemukanku pada seseorang.

“Hallo Rosse!” langkahku berhenti, dikejutkan oleh suara bass yang sangat kukenal.

“Waalaikumsalam, Ki.”

“Hehe.. Assalamualaikum. Kok engga bawa sketchbook? Apa ketinggalan?” tanyanya penasaran.

“Aku kasih ke anak kecil kemarin.”

“Kenapa dikasih?”

“Nanti aja ya aku ceritanya. Aku ada jam kuliah pagi. Kita ketemu di tempat biasa. Bye!” aku berlari kecil meninggalkan Rifki.

“Bye… malaikat tanpa sayap.”

Aku bukan mengambil jurusan pelukis atau seni lainnya. Aku mengambil Bahasa Jepang. Simple, banyak hal yang aku suka dari Negara itu. Aku mempunyai mimpi untuk singgah di negaranya, aku ingin belajar di sana.

Sore tiba, aku membuka bekal di bawah pohon rindang di taman kampus, sambil melihat keramaian yang ada di depan mata. Ketika semua orang berbincang-bincang atau mengerjakan tugas bersama-sama. Aku suka pemandangan ini. mungkin akan menjadi suatu hiburan untukku, meski aku sedang seorang diri bersama angin yang berhilir-mudik.

“Assalamualaikum..”

“Waalaikumsalam. Nah gitu dong pakai salam Ki. Ini mau?” aku menyodorkan bekalku yang sudah tak utuh. Rifki duduk di belakang pohon yang aku sandarkan. Kami berdua berbincang-bincang tanpa menatap satu sama lain. Ada pohon besar yang berdiri tegap di antara punggung kita. Aku menceritkan semua kejadian kemarin siang di kedai kopi. Ya, Rifki selalu menjadi pendengar yang baik untukku, si pujangga yang selalu mengacaukan pandangan mata.

“Rosse, aku mau bilang serius sama kamu.” seketika bumi mematung mendengar kalimatnya yang sedikit parau.

“Iya, bilang aja Ki.” Aku mencoba untuk tetap tenang,meski sepertinya aku mengerti arah pembicaraannya.

“Aku tahu kamu engga pernah mau kalau diajak pacaran Rosse. Aku mau ke rumah orang tua kamu untuk melamar, akan aku bawa orang tuaku juga. Maaf Rosse ini seperti dadakan dan maaf karena aku engga bisa merangkai kata kalau di dekat kamu. Sebentar lagi aku akan menyelesaikan tugas akhir S2-ku, aku juga sudah punya usaha sendiri yang selama ini sudah menjamin biaya kuliahku. Dan kamu, sebentar lagi menyelesaikan skripsi S1-mu. Rosse, will you marry me?” jelasnya panjang.

Aku tersenyum di balik pohon besar itu, aku terharu bahagia.

“Kamu tahu gak Mas Rifki? Aku selalu berdoa pada Tuhan agar kita dipertemukan untuk dijodohkan. Sekarang, hatiku lega mendengar ucapanmu. Bisa kau ulurkan tanganmu ke belakang? Aku ingin kau membaca sesuatu.” Kataku.

Ya Allah..
Kau tahu..
Hati ini terikat suka akan indahnya seorang insane cipataan-Mu
Tapi aku takut, cinta yang belum waktunya
Menjadi penghalangku mencium surga-Mu
Berikan aku kekuatan menjaga cinta ini sampai tiba waktunya
Andaikan Engkau pun mempertemukan dengannya kelak..
Berikan aku kekuatan melupakan sejenak
Bukan karena aku tak mencintainya
Justru karena aku sangat mencintainya..
-Doa Ali bin Abi Thalib saat jatuh cinta pada Fatimah Az Zahra

“Kau tahu Rosse? Doa ini sungguh indah dari segala kata-kata yang pernah kuciptakan dan kubaca. Terimakasih Rosse.”

“Ke kedai kopi yuk! Aku ingin memperkenalkanmu dengan jagoan kecil itu.”

Kami berjalan di jalan setapak, tak usah menaiki kendaraan umum karena kedai kopi itu tak jauh dari kampus. Tak sepatah kata pun yang keluar dari mulut kami, hanya pandangan tentang masa depan yang menunggu kami menjemputnya.

Sesampainya di kedai kopi itu, aku disambut oleh pelayan yang masih ramah denganku. Tak banyak basa-basi aku langsung menanyakan tentang jagoan kecil yang kulihat kemarin, tapi aku tak mendapatkan jawaban, aku disuruh duduk terlebih dahulu dan menunggu pelayan yang kemarin mengantarkan jagoan kecil itu datang.

Hatiku cemas sambil menerka-nerka apa yang sebenarnya terjadi. Dari kejauhan kutatap ada seorang wanita yang berjalan menuju kedai kopi, dia membuka pintu dan langsung menatap ke arahku. Tubuhku spontan berdiri seakan memberi kode agar segera menjelaskan apa yang terjadi dengan Daniel.

“Duduklah dulu, ini sketchbook milikmu. Daniel telah menyelesaikan sketsa wajahmu seperti janjinya kemarin sore.”

“Lalu Daniel?”

“Daniel meninggal dunia tadi pagi, tepat pukul 5. Dia titip pesan padaku agar kau segera melihat sketsa wajahmu.”

Aku membuka lembaran demi lembaran kertas sketchbook dan menemukan beberapa bekas darah yang menempel di sana, mungkinkah itu milik Daniel? Aku menemukan sketsa seorang gadis yang memakai kerudung dan terdapat tulisan,

Ini sketsa wajah Kak Rosse. Terimakasih Kak Rosse sudah memberikan aku kado terindah selama hidupku. Kak, aku merasakan kelembutan dalam hati kakak, saat kakak memelukku erat. Kak, apa kita akan bertemu lagi? Aku ingin kak. Dadah Kak Rosse, aku mau bobo dulu.

Rifki hanya melihatku menangis, dia menghormatiku untuk tidak menyentuh tubuhku sama sekali. Tatapannya yang menguatkan aku. Gadis pelayan itu mendekat ke tubuhku lalu menjatuhkan kepalaku ke pundaknya sambil berbisik, “Nona Rosse harus kuat seperti yang nona katakana kepada Daniel. Sakit kanker otak yang diderita Daniel memang sudah takdir Tuhan. Doakan saja. Terimakasih karena Nona Rosse telah bersedia mengenal Daniel, adikku.”

Mungkin suatu saat aku yang akan menyusul Daniel.

Hari berganti, semua kembali memulih. Tapi ada satu yang semakin rapuh-tubuhku. Pertemuan antara kedua keluarga akan dilaksanakan malam ini. Aku harus kuat! Aku harus sehat! Ini salah satu mimpiku.

Aku memakai baju kebaya sederhana berwarna merah jambu yang dipadukan dengan biru tua. Mas Rifki memakai batik yang seragam dengan kedua orang tuanya juga adiknya. Wajahku berbinar sambil sesekali mengatur napas, aku tahu aku sedang tak sehat. Mas Rifki dan ayahnya membuka obrolan sebagaimana tradisi melamar.

“Bagaimana Nak Rosse bersedia dilamar oleh Rifki dan akan menjadi istrinya?” kata Ayah Mas Rifki.

Aku melirik ke arah Ayah dan Ibuku, mereka tersenyum seakan berkata jika kau merasa bahagia dengannya makan Ibu dan Ayah akan merestuimui. “Bismillahirahmanirrahim.. Iya saya bersedia dikhitbah dan disunting Mas Rifki.”

Semua orang yang hadir merasa bahagia saat jawaban keluar dari mulutku. Lalu, si gadis pelayan itu yang sengaja aku undang juga datang membawa sketsa yang sebenarnya di pajang di kedai kopi. Sketsa seseorang dalam bayangan. Pelayan itu memberikan padaku.

“Itu sebenarnya sketsa siapa?” tanya Mas Rifki.

“Kamu Mas.” Jawabku singkat.

“Tapi enggak mirip.”

“Coba kamu pakai kopiahmu, lalu rapikan rambutmu. Kemudian bercermin.”

Dia mengikuti apa yang aku pinta. Dia bercermin dan membanding-bandingkan sketsa itu dengan wajah aslinya. Lalu iya tersenyum malu, “Iya Rosse, mirip denganku. Kenapa kamu bisa menerkanya?”

“Karena kamu ada dalam hatiku, aku hanya bisa menerka sketsamu wajahmu dulu, tapi tidak bisa menerka hatimu.” Jawabku.

“Eh kamu sudah pandai merangkai kata.”

“Mas, aku selalu berdoa semoga kita dipersatukan oleh ikatan ijab Kabul. Tapi aku minta maaf padamu jika aku tak sanggup. Kamu tahu aku memiliki penyakit jantung bawaan sejak lahir, bukan? Kapan saja aku akan meninggalkanmu Mas. Aku takut.”

“Rosse, semua orang pasti akan meninggalkan dunia ini. sekalipun aku yang terlihat sehat tapi kita tidak bisa melawan takdir Tuhan. Tuhan punya rencana yang indah, percayalah. Kalau kita tidak dipertemukan di dunia, maka sebaiknya kita berdoa agar dipertemukan di akhirat nanti. Rosse, aku ingin kamu lah yang menjadi bidadari surgaku kelak.”

Masa depan bagai sketsa yang hanya dilukis oleh pensil bertinta abu. Seakan bayangan yang terus mengikuti kemanapun kamu berjalan. Teruslah bermimpi dan wujudkan satu-persatu, jemput takdirmu. Meski tangan tak sampai setidaknya kamu telah berusaha yang terbaik. Katakana perasaanmu walaupun hanya tersirat dari sketsa atau sebuah tulisan. Biarkan seni yang berbicara akan kesetiaan hatimu.


Dari para seniman, biarkan kami mati tapi bukan karya kami. Bukan hanya nama yang terukir dalam batu nisan, tapi kami ingin karya kami dikenang dan menjadi saksi bisu perjalanan hidup kami. Karena hanya dengan barisan kata dan goresan di kanvas kami bisa mengutarakan perasaan dan menceritakan kepada dunia. Kami takkan menangis dalam keluasan dunia, biarkan hanya hujan yang menjadi tirai akan sebuah kegalauan hati. Kami seniman, biarkan kami hidup dalam karya kami.

3 komentar: