Menjadi seniman adalah jalan yang aku pilih. Meski orang tuaku
awalnya tak pernah menyetujui, mungkin sampai saat ini. Aku sedang melakukan
kesalahan, sepertinya. Aku seakan tak peduli oleh larangan-larangan itu, aku
mencintainya-hobiku.
Sampai pada suatu hari aku memiliki galeri kecil-kecilan dari uang saku bulanan
yang diberi Ayah dan hasil menjual beberapa lukisan karyaku. Aku tak pernah
menyalahkan mereka karena sebenarnya ada peran mereka dalam pembukaan galeri
milikku-uang
saku.
Aku mencintai jemari-jemari ini yang tak lelahnya mengayun di atas
permukaan kanvas yang awalnya tidak istimewa. Aku memang belum pandai membuat
gradasi warna seperti pelangi yang indah, tapi aku bisa melukis sketsa wajah
orang-orang yang pernah kulihat dengan secepat mungkin dan hampir mirip
aslinya. Aku juga pandai melukis sketsa wajahmu, iya kamu.
Namun aku tak pandai melukis hatimu. Dapatkah kau mengajarkan aku?
Wahai pujangga yang selalu mengacaukan pandangan mata. Pujangga yang selalu
bisa mengelokkan kata-kata.
Hujan terus menemani perjalanan kakiku, sesekali membasahi
kerudungku yang menjulur ke bawah. Sepatu boots model terbaru yang kukenankan
terus berjalan tanpa henti mengikuti jalan raya yang kadang berliku dan lurus. Aku
cukup mengikuti alurnya sampai terasa lelah baru kuberhenti. Saat jenuh, ini
yang harus kulakukan, mengadu pada jalanan.
Sampai pada sebuah kedai kopi yang terkenal nikmat di kota ini. Kebetulan
hujan dan tubuhku sudah menggigil kedinginan. Aku masuk ke kedai kopi itu,
pelayannya ramah dengan mengenakan pakaian rapi ala pelayan Belanda.
“Silahkan mbak mau pesan apa?” tanya pelayan ramah itu.
“Saya mau pesan secangkir kopi hitam, jangan terlalu encer, gulanya
2 sendok saja ya.”
“Oke, seperti biasa kan?”
Aku mengangguk sambil tersenyum. Rupanya pelayan itu sudah hapal
pesanan kesukaanku.
Ada sekitar dua puluh lima lukisan yang di pajang di kedai kopi ini
dan tiga diantaranya adalah milikku-karyaku,
dilengkapi tanda tanganku. Rupanya lukisan-lukisanku masih di pajang di
tempat yang sama. Aku melukis tiga buah sketsa wajah, yang pertama adalah
Ayahku, selanjutnya Ibuku, yang ketiga seseorang dalam bayangan.
Tidak sampai sepuluh menit, kopi pesananku datang menuju meja
tempatku menunggu. Tapi terlihat pemandangan yang aneh, pelayan itu datang
dengan membawa seorang jagoan kecil yang giginya terlihat lebar tersenyum
padaku.
“Ini pesanannya nona Rosse.” Kata pelayan itu.
“Iya terimakasih. Maaf, kamu tahu dari mana nama saya?” tanyaku
heran.
“Itu yang di sebelah sana lukisan anda, bukan?”
Aku tersipu malu, kukira tak ada yang mengenali wajahku-hanya
lukisanku.
“Lalu, siapa yang kau bawa?” tanyaku lagi.
“Hallo kakak cantik, nama aku Daniel. Besok aku ulang tahun loh
ka.. kakak mau engga buatin sketsa wajah aku?” katanya dengan suara manja dan
senyumnya yang sangat menggemaskan.
“Ohya? Memang kamu ulang tahun yang keberapa?”
“Yang ke tujuh tahun.”
“Hmm.. tapi kalau kakak melukis sketsa itu harus dibayar. Kamu punya
uang?” ledekku sambil melirik gesture tubuhnya.
“Aku punya!” Daniel mengeluarkan selembar mata uang dollar.
“Kamu dapat dari mana?”
Tiba-tiba pelayan itu membisikkan sesuatu dengan sepelan mungkin di
arah telingaku. Air mataku berlinang seketika tapi aku harus menyembunyikan
kesedihan ini. Aku mengerti apa yang harus kulakukan saat ini. Sehabis
pelayan itu memberitahu semuanya, dia kembali menuju dapur dan meninggalkan
jagoan kecil ini duduk di depanku.
Aku mengeluarkan sketchbook dan clutch juga
penghapusnya. Kutatap wajahnya dalam-dalam, biar masuk ke dalam sanubari, biar
kuresapi setiap titik pentingnya. Wajahnya sangat bahagia, namun aku dapat
merasakan matanya sedang menahan rasa sakit-seperti yang
kurasakan.
Jagoan kecil itu rupanya sudah mulai pegal dengan senyum lebar yang
membuat gigi-giginya tampak berseri. Senyum yang semula tiga jari berubah
menjadi dua jari. Sesekali aku mengajaknya berbincang. Aku tak peduli ekspresi
wajahnya akan berubah karena aku telah hapal bagaimana ia tersenyum lucu.
“Kamu sekolah dimana?”
“Aku engga sekolah Kak, aku capek.”
“Loh kenapa? Kan enak banyak temannya.”
“Setiap aku jalan kaki pasti tiba-tiba tubuhku mematung, kaki aku
kaya ada yang pegangin, jadi gabisa jalan. Kalau aku lagi asyik belajar
tiba-tiba hidung aku berdarah, kepala aku pusing. Jadi kata Mommy aku gausah
sekolah aja.” Jelasnya.
Aku terdiam sejenak, tanganku bergetar, kutaruh sebentar sketsaku
yang hampir selesai itu, aku hanya tak ingin membuat kacau sketsanya. Sambil sesekali
aku mengatur napas yang mulai terasa sesak.
“Memangnya kamu…” pertanyaanku terhenti, “… Ohiya, cita-cita kamu
mau jadi apa?” Sambil meraih sketsaku lagi-mulai
menyelesaikan.
“Hmm.. aku mau jadi pelukis kaya kakak Rosse. Aku juga suka
menggambar loh kak. Gambar aku dipajang di samping sketsa kakak yang itu!” dia
menunjuk salah satu sketsa seseorang dalam bayangan.
“Wah, gambar kamu bagus Daniel! Kamu berbakat. Nanti kamu bikin
sketsa muka kakak ya.”
Jagoan kecil itu mengangguk dengan antusias.
Aku sudah menyelesaikan sketsaku. Aku perlihatkan padanya, dia
menimbang-nimbang apakah mirip dengannya atau tidak. Lalu, dia berdiri dari
tempat duduknya dan mencoba berlari ke arah pelayan yang tadi mengantarnya
untuk menanyakan tentang kemiripan sketsa wajahnya. Tapi tiba-tiba.. dug! Dia
terjatuh. Dengan segera aku berlari ke arahnya dan membangunkan dari jatuhnya,
kakinya kaku. Dia tak menangis, hanya mengatakan, “Aku baik-baik saja Kak, ini
sudah menjadi hal yang biasa untukku.”
Aku tersenyum haru padanya dan memeluk tubuhnya erat. Aku meneteskan
sedikit air mataku di belakang punggungnya. Sambil berbisik, “Daniel kuat,
Daniel harus kuat ya. Kan mau lukis wajah kakak.” Aku berdiri sambil
menggendong Daniel dan berjalan ke pelayan itu. Daniel punya bangkunya sendiri
di kedai kopi ini.
“Daniel, ini sketchbook punya kakak buat kamu aja ya. Kan di sini
juga ada sketsa wajah kamu. Masih banyak kertas yang kosong di belakangnya,
bisa kamu pakai buat melukis apapun yang kamu ingin. Kakak harus pergi
sekarang, nanti pasti ke sini lagi.”
“Kak, aku mau tanya. Boleh?” dengan suaranya yang parau.
“Iya sayang, mau tanya apa?”
“Kakak kenapa harus pakai penutup kepala? Memang kepala kakak
botak? Kaya kepalaku ya Kak?”
Sebelum menjawab aku mengehala napas terlebih dahulu. “Engga
sayang, kepala kakak engga botak. Jadi begini, untuk wanita muslim memang
diwajibkan untuk memakai kerudung dan menutup bagian tubuhnya kecuali telapak
tangan dan muka. Nanti kalau kamu sudah besar, kamu akan mengerti.”
“Kak, danke!”
“Kembali kasih, see ya!”
Petang mulai menampakkan rupanya. Aku masih tak percaya tentang
hari ini, tentang beberapa jam yang mebuatku lirih dalam hujan. Aku harap,
aku bisa bertemu dengannya lagi, jika Tuhan mengizinkanku. Perjalanan pulang
saat ini penuh dengan lamunan untuk masa depan, apa aku bisa bertahan sampai
semua yang kurasa cukup telah tercapai? Aku mohon Tuhan.
Hidupku memang sedang tergesa-gesa, seakan aku tahu kapan Tuhan
ingin aku kembali pada-Nya. Hidupku memang sedang tergesa-gesa, sampai aku tak
kenal lelah, sampai sakit yang kurasakan selama ini seakan musnah begitu saja.
Aku hanya tak ingin mengeluh pada manusia, atau aku hanya malu menangis pada
bumi, sedangkan hujan selalu setia menjadi tirai kepalsuan senyum bahagiaku
selama ini.
Ya Tuhan, imanku masih memudar, dosaku belum tertebus atau takkan
pernah habis, tapi jika aku masih punya satu permohonan, aku ingin mengugurkan
dosa-dosaku satu-persatu. Jika sakitku menjadi penawarnya, akan aku nikmati. Percayalah,
aku tak apa. Satu permohonanku Tuhan, aku ingin semua orang yang aku kenal
merasa bahagia atas keberadaanku, aku ingin berkah-Mu selalu hadir untuk mereka-untuk
semua orang yang kukenal-untuk
semua orang yang aku sayangi-untuk
semua orang yang aku cintai.
***
Sepertiga malamku telah tiba. sedikit sudah kulupakan kesedihan
kemarin. Aku mengambil air wudhu, kupercikan pada setiap tubuh. Kugelar sajadah
yang paling bagus yang aku miliki, kupakai mukena yang menghangatkan tubuh. Allahuakbar..
takbir kuserukan dengan suara lembut sampai gemetar jantungku. Sujud yang
selalu kunikmati, seakan-akan adalah sujudku untuk yang terakhir kalinya. Kuangkat
ke dua tangan yang menghadap ke kiblat, aku menceritakan semua resah dalam
dada, semua kegelisahan dalam penat. Setetes demi setetes air mata tumpah
membasahi mukena putihku.
Pagi menyambutku dengan segala macam aktivitas. Aku berangkat
kuliah dengan berjalan kaki dan menaiki transportasi umum. Tempat kuliahku tak
jauh dari rumah, hanya setengah jam perjalanan. Ada tempat favorit pada
perjalanan menuju kampus, jalan setapak. Jalan ini yang biasanya
mempertemukanku pada seseorang.
“Hallo Rosse!” langkahku berhenti, dikejutkan oleh suara bass yang
sangat kukenal.
“Waalaikumsalam, Ki.”
“Hehe.. Assalamualaikum. Kok engga bawa sketchbook? Apa ketinggalan?”
tanyanya penasaran.
“Aku kasih ke anak kecil kemarin.”
“Kenapa dikasih?”
“Nanti aja ya aku ceritanya. Aku ada jam kuliah pagi. Kita ketemu
di tempat biasa. Bye!” aku berlari kecil meninggalkan Rifki.
“Bye… malaikat tanpa sayap.”
Aku bukan mengambil jurusan pelukis atau seni lainnya. Aku mengambil
Bahasa Jepang. Simple, banyak hal yang aku suka dari Negara itu. Aku mempunyai
mimpi untuk singgah di negaranya, aku ingin belajar di sana.
Sore tiba, aku membuka bekal di bawah pohon rindang di taman
kampus, sambil melihat keramaian yang ada di depan mata. Ketika semua orang
berbincang-bincang atau mengerjakan tugas bersama-sama. Aku suka pemandangan
ini. mungkin akan menjadi suatu hiburan untukku, meski aku sedang seorang diri
bersama angin yang berhilir-mudik.
“Assalamualaikum..”
“Waalaikumsalam. Nah gitu dong pakai salam Ki. Ini mau?” aku
menyodorkan bekalku yang sudah tak utuh. Rifki duduk di belakang pohon yang aku
sandarkan. Kami berdua berbincang-bincang tanpa menatap satu sama lain. Ada pohon
besar yang berdiri tegap di antara punggung kita. Aku menceritkan semua
kejadian kemarin siang di kedai kopi. Ya, Rifki selalu menjadi pendengar yang
baik untukku, si pujangga yang selalu mengacaukan pandangan mata.
“Rosse, aku mau bilang serius sama kamu.” seketika bumi mematung
mendengar kalimatnya yang sedikit parau.
“Iya, bilang aja Ki.” Aku mencoba untuk tetap tenang,meski
sepertinya aku mengerti arah pembicaraannya.
“Aku tahu kamu engga pernah mau kalau diajak pacaran Rosse. Aku mau
ke rumah orang tua kamu untuk melamar, akan aku bawa orang tuaku juga. Maaf Rosse
ini seperti dadakan dan maaf karena aku engga bisa merangkai kata kalau di dekat
kamu. Sebentar lagi aku akan menyelesaikan tugas akhir S2-ku, aku juga sudah
punya usaha sendiri yang selama ini sudah menjamin biaya kuliahku. Dan kamu,
sebentar lagi menyelesaikan skripsi S1-mu. Rosse, will you marry me?” jelasnya
panjang.
Aku tersenyum di balik pohon besar itu, aku terharu bahagia.
“Kamu tahu gak Mas Rifki? Aku selalu berdoa pada Tuhan agar kita
dipertemukan untuk dijodohkan. Sekarang, hatiku lega mendengar ucapanmu. Bisa kau
ulurkan tanganmu ke belakang? Aku ingin kau membaca sesuatu.” Kataku.
Ya Allah..
Kau tahu..
Hati ini terikat suka akan indahnya seorang insane cipataan-Mu
Tapi aku takut, cinta yang belum waktunya
Menjadi penghalangku mencium surga-Mu
Berikan aku kekuatan menjaga cinta ini sampai tiba waktunya
Andaikan Engkau pun mempertemukan dengannya kelak..
Berikan aku kekuatan melupakan sejenak
Bukan karena aku tak mencintainya
Justru karena aku sangat mencintainya..
-Doa
Ali bin Abi Thalib saat jatuh cinta pada Fatimah Az Zahra
“Kau tahu Rosse? Doa ini sungguh indah dari segala kata-kata yang
pernah kuciptakan dan kubaca. Terimakasih Rosse.”
“Ke kedai kopi yuk! Aku ingin memperkenalkanmu dengan jagoan kecil
itu.”
Kami berjalan di jalan setapak, tak usah menaiki kendaraan umum
karena kedai kopi itu tak jauh dari kampus. Tak sepatah kata pun yang keluar
dari mulut kami, hanya pandangan tentang masa depan yang menunggu kami menjemputnya.
Sesampainya di kedai kopi itu, aku disambut oleh pelayan yang masih
ramah denganku. Tak banyak basa-basi aku langsung menanyakan tentang jagoan
kecil yang kulihat kemarin, tapi aku tak mendapatkan jawaban, aku disuruh duduk
terlebih dahulu dan menunggu pelayan yang kemarin mengantarkan jagoan kecil itu
datang.
Hatiku cemas sambil menerka-nerka apa yang sebenarnya terjadi. Dari
kejauhan kutatap ada seorang wanita yang berjalan menuju kedai kopi, dia
membuka pintu dan langsung menatap ke arahku. Tubuhku spontan berdiri seakan
memberi kode agar segera menjelaskan apa yang terjadi dengan Daniel.
“Duduklah dulu, ini sketchbook milikmu. Daniel telah menyelesaikan
sketsa wajahmu seperti janjinya kemarin sore.”
“Lalu Daniel?”
“Daniel meninggal dunia tadi pagi, tepat pukul 5. Dia titip pesan
padaku agar kau segera melihat sketsa wajahmu.”
Aku membuka lembaran demi lembaran kertas sketchbook dan
menemukan beberapa bekas darah yang menempel di sana, mungkinkah itu milik
Daniel? Aku menemukan sketsa seorang gadis yang memakai kerudung dan
terdapat tulisan,
Ini sketsa wajah Kak Rosse. Terimakasih Kak Rosse sudah memberikan
aku kado terindah selama hidupku. Kak, aku merasakan kelembutan dalam hati kakak,
saat kakak memelukku erat. Kak, apa kita akan bertemu lagi? Aku ingin kak. Dadah
Kak Rosse, aku mau bobo dulu.
Rifki hanya melihatku menangis, dia menghormatiku untuk tidak
menyentuh tubuhku sama sekali. Tatapannya yang menguatkan aku. Gadis pelayan
itu mendekat ke tubuhku lalu menjatuhkan kepalaku ke pundaknya sambil berbisik,
“Nona Rosse harus kuat seperti yang nona katakana kepada Daniel. Sakit kanker
otak yang diderita Daniel memang sudah takdir Tuhan. Doakan saja. Terimakasih
karena Nona Rosse telah bersedia mengenal Daniel, adikku.”
Mungkin suatu saat aku yang akan menyusul Daniel.
Hari berganti, semua kembali memulih. Tapi ada satu yang semakin
rapuh-tubuhku.
Pertemuan antara kedua keluarga akan dilaksanakan malam ini. Aku harus kuat!
Aku harus sehat! Ini salah satu mimpiku.
Aku memakai baju kebaya sederhana berwarna merah jambu yang
dipadukan dengan biru tua. Mas Rifki memakai batik yang seragam dengan kedua
orang tuanya juga adiknya. Wajahku berbinar sambil sesekali mengatur napas, aku
tahu aku sedang tak sehat. Mas Rifki dan ayahnya membuka obrolan
sebagaimana tradisi melamar.
“Bagaimana Nak Rosse bersedia dilamar oleh Rifki dan akan menjadi
istrinya?” kata Ayah Mas Rifki.
Aku melirik ke arah Ayah dan Ibuku, mereka tersenyum seakan berkata
jika kau merasa bahagia dengannya makan Ibu dan Ayah akan merestuimui. “Bismillahirahmanirrahim..
Iya saya bersedia dikhitbah dan disunting Mas Rifki.”
Semua orang yang hadir merasa bahagia saat jawaban keluar dari
mulutku. Lalu, si gadis pelayan itu yang sengaja aku undang juga datang membawa
sketsa yang sebenarnya di pajang di kedai kopi. Sketsa seseorang dalam
bayangan. Pelayan itu memberikan padaku.
“Itu sebenarnya sketsa siapa?” tanya Mas Rifki.
“Kamu Mas.” Jawabku singkat.
“Tapi enggak mirip.”
“Coba kamu pakai kopiahmu, lalu rapikan rambutmu. Kemudian bercermin.”
Dia mengikuti apa yang aku pinta. Dia bercermin dan
membanding-bandingkan sketsa itu dengan wajah aslinya. Lalu iya tersenyum malu,
“Iya Rosse, mirip denganku. Kenapa kamu bisa menerkanya?”
“Karena kamu ada dalam hatiku, aku hanya bisa menerka sketsamu wajahmu
dulu, tapi tidak bisa menerka hatimu.” Jawabku.
“Eh kamu sudah pandai merangkai kata.”
“Mas, aku selalu berdoa semoga kita dipersatukan oleh ikatan ijab Kabul.
Tapi aku minta maaf padamu jika aku tak sanggup. Kamu tahu aku memiliki
penyakit jantung bawaan sejak lahir, bukan? Kapan saja aku akan meninggalkanmu
Mas. Aku takut.”
“Rosse, semua orang pasti akan meninggalkan dunia ini. sekalipun
aku yang terlihat sehat tapi kita tidak bisa melawan takdir Tuhan. Tuhan punya
rencana yang indah, percayalah. Kalau kita tidak dipertemukan di dunia, maka
sebaiknya kita berdoa agar dipertemukan di akhirat nanti. Rosse, aku ingin kamu
lah yang menjadi bidadari surgaku kelak.”
Masa depan bagai sketsa yang hanya dilukis oleh pensil bertinta
abu. Seakan bayangan yang terus mengikuti kemanapun kamu berjalan. Teruslah bermimpi
dan wujudkan satu-persatu, jemput takdirmu. Meski tangan tak sampai setidaknya
kamu telah berusaha yang terbaik. Katakana perasaanmu walaupun hanya tersirat
dari sketsa atau sebuah tulisan. Biarkan seni yang berbicara akan kesetiaan
hatimu.
Dari para seniman, biarkan kami mati tapi bukan karya kami. Bukan hanya
nama yang terukir dalam batu nisan, tapi kami ingin karya kami dikenang dan
menjadi saksi bisu perjalanan hidup kami. Karena hanya dengan barisan kata dan
goresan di kanvas kami bisa mengutarakan perasaan dan menceritakan kepada
dunia. Kami takkan menangis dalam keluasan dunia, biarkan hanya hujan yang
menjadi tirai akan sebuah kegalauan hati. Kami seniman, biarkan kami hidup
dalam karya kami.