Jumat, 19 Agustus 2016

Ibu Kota #part5

Especially for you
I want to tell you I was feeling that way too
And if dreams were wings, you know
I would have flown to you
To be where you are
No matter how far
And now that I’m next to you

Malam bertengger di atas kepala. Purnama terakhir telah tiba di kibaran depan mata bendera merah-putih. Aku akan rindu tanah air namun aku bahagia karena akan menyebrang samudera, mencari untuk menepati janji. Andai kau masih menunggu dengan satu tekad yang sama.

Ibu kota, tempat semua bahasa ada di sini, tempat berbagai pengalaman diceritakan di tempat ini, tempat dimana tangis tak pernah sudah, tempat dimana emosi sangat rentan terjadi, dan juga alasanku untuk tertawa melupakan pedih. Belajar dari semua peristiwa yang lalu-lalang begitu saja tapi satu keyakinanku, Tuhan tidak akan memberikan ujian di luar batas kemampuan umat-Nya.

Ayah, bagaimana pun kau saat ini aku akan selalu menjagamu karena Ayah adalah nafasku. Menjaga tanpa pamrih—tulus. Meskipun begitu kau adalah alasan utamaku bertahan hidup di sini. Dan aku sudah merasa sangat bahagia karena Ayah bisa melihatku bernyanyi secara langsung di panggung ini.

“Terima kasih semuanya yang selalu setia menunggu suara sumbang saya. Mungkin persembahan lagu dari Mymp yang berjudul Especially For You tadi adalah lagu terakhir karena besok inshaallah saya akan berangkat ke Belanda untuk bekerja di sana. Dan terima kasih juga untuk Café Cokelat yang telah memberikan kesempatan selama bertahun-tahun untuk saya bekerja di sini.”

Bertahun-tahun aku belajar tentang kehidupan. Di kelilingi semua orang yang sangat menyayangiku, menjagaku, menghibur di saat lelah melanda, dan memberi uluran tangan ketika aku terjatuh, juga mendoakan keselamatanku tanpa harus aku memohon. Dan sekarang saatnya aku mewujudkan mimpi.

Aku menuruni panggung yang akan sangat kurindukan. Tersenyum bibirku menatap semua orang yang berarti dalam hidupku. Ada Ayah, Ibu, Sally, dan Bram. Meskipun pandangan mata Ayah masih belum fokus menatapku tapi aku yakin dalam hati kecilnya, ia tahu.

Aku menatap mata Ibu dalam-dalam, tersenyum padanya. Mata Ibu tertuju padaku sampai mengalahkan sinar rembulan mala mini, aku akan rindu senyuman Ibu, akan rindu ketegaran mata Ibu. Lalu kedua tangannya menangkapku, memelukku erat-erat seakan tak ingin ini semua menjadi akhir.

Semua hanyut dalam tangis, larut dalam malam yang tak berujung. Sally ikut memelukku dari belakang. Aku membiarkan tanah yang kami injak ini sebagai saksi bisu. Kubiarkan air mata menjadi lautan kenangan yang membahagiakan, yang selalu dirindukan sebagai alasan kembali lagi.
Kurenggangkan pelukan, “Jangan sedih Sal.”

“Enggak bisa, chef..” kata Sally terisak.

Tiba-tiba tanganku dicengkram erat. Terasa sangat dingin. Kutengok dari arah lengan itu, kemudian yang lain mengikuti kepalaku yang memutar. Kulihat mata Ayah yang mengeluarkan air mata, walaupun wajahnya masih sama saja. Aku percaya, hati kecil selalu berbicara jujur—Ayah. Langsung kupeluk ia erat-erat, aku merasa lega karena perlahan Ayah pulih dengan sempurna. Tangan Ayah juga memelukku dan menepuk-nepuk punggungku.

“Ayah, restui aku pergi.”

Sally mulai tersenyum dan menggandeng tangan Ibu juga kepalanya ikut bersandar di bahu. Ibu yang sudah menganggap Sally sebagai anaknya juga, tidak segan-segan untuk mengusap kepala Sally. Sementara itu, Bram hanya terdiam melihat kami diselimuti haru dan rasa takut tentang sebuah kehilangan.

“Sorry, Al, boleh kita bicara berdua?” Bram akhirnya angkat suara.

Aku melihat ke arah Bram, menganggukkan kepala pertanda bahwa aku setuju. Kami berjalan sedikit mencari tempat yang tidak terlalu ramai karena sepertinya Bram ingin membicarakan hal yang sangat serius. Kami menepi pada balkon Café Cokelat dengan semua bintang berhamburan di angkasa sana.

“Al, aku yakin mau sekeras apa pun aku bilang jangan pergi, itu enggak akan bisa membuat kamu merubah keputusan untuk kerja di Belanda. Tapi aku harap ketika kamu rindu Ibu Kota, itu berarti kamu rindu aku juga.”

“Bram, aku juga yakin kalau selama ini kamu sudah merasakan ada rindu yang mengambang di langit-langit. Ada semangat yang selalu berteriak-teriak di balik labirin, kemudian menggema, aku yakin kamu mendengar. Selalu ada pelukan hangat yang terasa lewat panjatan doa yang diucapkan cuma-cuma. Tapi kamu hanya membiarkan itu hanya lewat saja, hanya terbuang sia-sia, tanpa mengucapkan kalau kamu tidak butuh semua itu. You just save me with uncertainty.”

“Aku tahu semua itu jahat, Al. Tapi sekarang aku memilih kamu. Please, forgive me.”

“Aku yang minta maaf, Bram. Maaf, aku bukan pilihan.”

Bila ada cinta yang nyata, mengapa harus kau cari yang fana? Bila kau kecewa pada pelangi yang warnanya sesaat, mengapa masih saja kau tunggu? Padahal kau tahu hanya sesuka hati saja ia menampakkan pesonanya. Bila ada cinta nyata, mengapa harus kau cari yang fana?

Sejenak, kubiarkan angin memainkan gaun hitamku. Menyeka air mata yang mulai menetes, cukup! Memang terkadang perasaan itu timbul berawal dari kehilangan namun mengapa harus menunggu? Mengapa tak kau sadarkan saja sesegera mungkin sebelum semuanya terlambat?

Biarkan aku pergi hanya sekali—tanpa mengingat kau yang pergi berkali-kali. Dan aku larut di dalam angan tanpa bisa kumemohon untuk hanya tinggal di sini. Semoga kau mendapatkan bidadari yang bisa menunggumu sadar lebih lama dari aku, Bram.

***
“Al, kamu yakin mau kerja di Belanda?”

“Insha Allah, Sal. Sebentar lagi aku akan terbang ke sana. Lagi pula, aku bekerja di restaurant bukan kapal pesiar. Aku akan sesering mungkin pulang ke Jakarta.”

“Pulang sama Dika?”

“Hampir 3 tahun Dika pergi dan aku enggak tahu kabar dia. Semoga doaku sampai padanya. Seperti kata Dika, kita akan bertemu di Amsterdam.”

Sally memelukku, aku yakin kalian berjodoh Al. Aku akan jaga Ibu dan Ayah kamu, tenang aja ya Al.

Sally memang memutuskan untuk membuka butik di Jakarta. Dia tidak ingin menyusahkan orang tuanya lagi. Sally membuka usahanya dari kecil dan bermimpi untuk go international. Aku yakin Sally dapat mewujudkannya.

Aku melamun di balik kaca pesawat yang sedang terbang tinggi. Kutatap awan-awan yang berhimpit dan berjalan cepat, juga ada yang mengiringi perjalananku. Di satu sisi, aku masih tak percaya bahwa akan bekerja di Negara orang. Mungkin ini takdirku yang tidak pernah aku rencanakan. Mungkin ada doa Dika yang dikabulkan Tuhan.

This is for you, Al. The red rose.

Women like a rose, Dik. So beautiful when blossom. But slowly, it would be the old and withered. If I rose, will you keep me until I really die? Will you love me although I didn’t beautiful as the first?

Pukul delapan malam lewat dua puluh lima menit waktu Belanda, Amsterdam Airport Schiphol. Aku sudah disambut oleh beberapa orang dari tempat dimana aku akan bekerja. Sebagian dari mereka adalah asli orang Belanda. Mereka sangat ramah.  

Dik, aku sedang berada di sini, Amsterdam! Apa kita akan bertemu?

Aku sangat beruntung mendapatkan pekerjaan ini dengan fasilitas yang sangat mencukupi. Rumah singgah yang cukup besar untuk seorang diri, dan menjadi Chef  di restaurant mewah.

Perlahan aku mengerti beberapa bahasa Belanda, meskipun aku masih memakai bahasa Inggris untuk berkomunikasi namun pekerja di sini sangat memaklumi hal itu. Aku tidak merasa asing di sini karena ada beberapa pekerja yang berasal dari Asia juga.

“Alexa, you can break 1 hour.”

“Ok, dank, Chef!”
Sudah hampir sebelas bulan aku di sini tapi belum kutemui Dika. Hanya wajahnya yang kusimpan di dalam memori handphone—video. Aku tidak pernah bosan terus mengulang dari setiap durasi. Seperti ini saja sudah membuatku bisa senyum-senyum sendiri.

“Al, what are you doing?”

“O my god, Sonya! I was surprised. I am just watching video from my friend.”

“Sorry. Hmm.. I want to know about your friend. Could you tell me, Alexa?”

“Haha.. for what? Ok, about him. He is miracle for me. And now, I really miss him. I hope he know.”

Sonya teman baruku di Belanda. Dia satu profesi denganku, menjadi Chef tapi hanya kami yang tidak menggunakan embel-embel ‘Chef’ untuk mengobrol ataupun sedang bekerja di dapur karena menurut Sonya itu akan menjadi sangat kikuk untuk lebih dekat. Aku juga mengajak Sonya untuk tinggal bersamaku di rumah singgah karena aku belum terbiasa untuk tinggal sendiri di Negara orang. Sonya juga mengajakku berkeliling ke tempat-tempat bersejarah di Belanda.

Satu tahun sudah berlalu, waktunya aku pulang ke Indonesia. Aku diberi libur dua minggu setelah itu harus kukerjakan kewajiban lagi. Namun berat rasanya aku meninggalkan Negara ini meski aku sangat rindu Ibu Kota—Dika. Belum kutemui ia sama sekali. Bahkan aku tidak tahu alamat ia bekerja dimana atau tinggal dimana selama di Belanda. Berarti genap sudah empat tahun kita tidak berjumpa, Dik. Mengapa sekarang ada ragu yang timbul?

Bandara Soekarno-Hatta, Jakarta, Indonesia. Aku sengaja tidak ingin dijemput oleh siapa pun. Aku ingin mereka menunggu di rumah saja. Kutengok sekeliling bandara ini, tak ada perubahan. Jalan menuju taxi yang akan membawaku pulang.

Hamparan lalu lintas yang belum berubah. Kenangan itu pun masih tercecer di jalan abu. Kemacetan sekarang kuhadapi dengan senyum. Lampu merah masih sama berwarnanya dengan di tambah anak jalanan yang bersenandung riang. Tidak peduli suaranya sumbang atau senar ukulelenya putus satu, yang penting bisa hidup di Jakarta.

“Misi ka.. Aku yang dulu bukanlah yang sekarang, dulu disayang sekarang kuditendang..” salah satu pengamen kecil itu bernyanyi di balik kaca taxi-ku, lagu yang dipelesetkan dari lirik aslinya membuatku tertawa kecil dan menggeleng-gelengkan kepala.

Aku membuka kaca mobil, “Dek, ini uang Belanda. Kalau kamu tukar ke bank, bisa buat beli sesepda baru.”

“Wah, beneran kak?” bocah itu langsung berlari menuju teman-temannya yang lain dan berteriak-teriak, “Asyikkkk!! Sepeda baru pakai uang dari Belanda!”

Aku tersenyum melihat pengamen kecil itu bersorak-sorai bahagia. Taxi-ku melaju lagi tanpa hambatan kemacetan lalu lintas. Sampai di depan pagar rumah, aku disambut oleh Ibu, Ayah, dan juga Sally. Aku lari ke arah mereka dan memeluknya satu persatu.

Kata Sally ada kejutan di dalam kamar tidurku. Tak sabar, aku langsung masuk dan melihat ada kejutan apa yang sudah disiapkan Sally untukku. Kubuka pintu kamar..

“Taraaaa!! Bunga mawar merah. Your favorite flower!” banyak tangkai bunga yang disusun rapi di atas tempat tidurku. “Yah, kamu enggak suka ya Al? Kok muka kamu jadi sedih?”

“Aku suka kok, banget. Aku Cuma keinget sama Dika. Aku belum berhasil ketemu sama dia. Mungkin aku sama dia bukan…”

“Sssttt! Udah mendingan kamu ikut aku ke Café Cokelat. Aku juga udah buatin kamu gaun plus jilbabnya. Pokoknya kamu harus cantik, pasti kamu kangen dong sama Café Cokelat?”

Aku taruh tangkai-tangkai mawar itu di dalam botol kaca yang berisi air agar tidak cepat layu. Langsung kubersihkan tubuhku dan memakai gaun buatan designer cantikku itu. Aku berputar di depan cermin, Sally bertepuk tangan merasa senang melihatku memakainya dan ukuran yang sangat pas di tubuhku.

Di Café Cokelat aku langsung disambut hangat oleh Bapak Manager, Bapak Andreas. Kami diberi tempat duduk yang langsung berhadapan dengan panggung. Bapak Andreas juga ikut berbincang-bincang denganku dan Sally.

“Sekarang, kamu yang akan jadi penonton ya Al. Selamat menikmati penyanyi baru kami.” Kata Bapak Andreas yang kemudian pergi membiarkan aku dan Sally.

No more dreaming about tomorrow
Forget the loneliness and the sorrow
I’ve got to say
It’s all because of you
And now were back together, together
I want to show you my heart is oh so true
And all the love I have is
Especially for you

“Sal, itu lagu Especially For You  kan? Terus kenapa penyanyinya harus pakai topeng gitu sih?”

“Udah dengerin aja Al. Keren ya suaranya. Bisa main gitar juga lagi.”

“Selamat malam semuanya. Di sini sebenarnya saya bukan penyanyi baru tapi saya diizinkan untuk bernyanyi satu lagu untuk seseorang yang sedang berada tepat di depan saya. If you rose, I will keep you until I can’t breathe again. Because I know I am not perfect and with your love I will be perfect. I am yours, Alexa.”

Dika!

Aku tahu cinta akan berlabuh di waktu yang tepat. Rindu akan berbisik pada langit dan doa akan selalu menjadi jembatan penghubung antara kita. Dan sekarang, aku bisa membuktikan padamu kalau jodoh, jarak hanya wacana. Meskipun kamu terus mendayung sampan terlalu jauh tapi sebenarnya aku yang kau tuju. Ketika kau lelah berlari menapaki jejak yang samar, aku lah pohon rindang sebagai tempat beristirahat. Ketika seseorang meninggalkanmu, bukan berarti ia ingin dikejar, bukan berarti ia lelah, namun sebenarnya ia ingin membiarkanmu bebas terbang tanpa harus ada yang kau fikirkan untuk dijaga perasaannya. Alexa, cinta yang sesungguhnya adalah cinta yang dapat membuat hidupmu lebih baik lagi, bukan hanya kau yang mengejar seorang diri. Akan tetapi, biarlah itu berlalu. Ada aku di Ibu Kota. Jika kita bertemu di sini, maka biarkan aku men-khitbah-mu di sini pula—Ibu Kota. –Dika Wibisana.

“Kata kamu kita bakal ketemu di Amsterdam? Kamu bohong ya Dik?”

“Aku enggak bohong. Aku memang ketemu kamu di sana. Dan aku juga yang minta agar kamu bekerja di restaurant yang berada di kota Amsterdam, itu milik aku Al. Kamu pasti kenal Sonya, kan?”

“Dikaaaaa! Jahat kan.”

“Hahaha.. manjanya keluar deh.”

Ik hou van jou, Alexa.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar