Jalanan
Tentang
jalanan. Jalanan adalah aku, aku yang bercermin padanya. Skenario Tuhan yang
sangat jelas terlihat. Tidak pernah ada yang ditutupi dari panjangnya jalan
raya yang tak berujung, kalau tidak lurus, pasti berbelok. Jalanan, berarti
belajar tentang kesabaran. Jalanan, berarti belajar tentang ketegaran. Jalanan,
berarti belajar tentang pilihan. Kemudian, pilihan pasti berujung konsekuensi,
berujung manis atau pahit, berujung indah atau pedih, berujung hidup atau mati.
Jalanan, belum pernah kurasakan kejenuhan, ketika berja;an terus meski tanpa
arah, aku selalu merasakan rasa syukur dalam dada.
Saat
hati begitu penuh oleh keadaan yang menggencet lapisan, saat hati begitu sesak
sehingga aku harus berteriak sekencang-kencangnya, saat aku lelah dan
benar-benar payah untuk tak sanggup lagi tersenyum, saat aku butuh seseorang
untuk menopang kakiku sendiri, saat aku (sebenarnya) butuh bahu untuk sejenak
bersandar, saat aku (sebenarnya) butuh seseorang untuk menyeka tangisku, saat
aku (sebenarnya) butuh seseorang untuk memelukku hangat, saat aku butuh
seseorang untuk menghentikan ucapan ‘aku sudah lelah’, saat aku
(sebenarnya) butuh seseorang untuk terus menghibur kesedihan, saat aku
(sebenarnya) butuh seseorang untuk menghapus mega menjadi warna, saat aku
(sebenarnya) butuh seseorang untuk mengusir mendung sehingga hujan tak datang. Aku
takkan memohon, aku takkan berbicara, aku takkan bergumam, aku memilih diam dan
kembali pada jalan.
Sungguh,
aku hanya tak ingin menjadi beban untuk hidup orang lain. Hanya saja aku
mengerti bahwa setiap orang pasti memiliki masalah dalam hidupnya, dan mungkin
saja, masalahnya lebih berat dibanding aku. Tapi aku senang ketika aku
dipercaya untuk menjadi pendengar yang baik, itu bisa menjadi pengobat lara
untuk diri sendiri, bisa membuat rasa syukurku kembali. Dan untuk semua
kepenatanku, akan kuserahkan semua cerita pada jalanan. Aku berbisik pada langit,
aku bersenandung pada bumu, lalu kutunggu hujan untuk menghapus lara.
Hingga
pada suatu hari, aku menemukan seorang tukang cukur di persimpangan jalan. Wajahnya
pucat pasi, kepalanya hampir botak, penampilannya layu, dan matanya yang
menatap kosong. Saat itu panas begitu sangat terik, aku berteduh di bawah teras
si tukang cukur sambil sesekali meminum air mineral. Sedikit obrolanku yang
berawal ringan.
“Pak,
numpang neduh dari panas ya. Hehe..”
“Ohiya
mbak, silahkan saja. Memang akhir-akhir ini kemarau tidak berhenti-berhenti.”
“Aneh
ya Pak, padahal disebutnya kota hujan.”
“Ya
Tuhan itu kan adil mbak, kadang harus merasakan hujan tapi kadang harus
merasakan panas.”
Tak lama
kemudian Bapak si tukang cukur itu berdiri dari tempat duduknya dan berjalan ke
dalam untuk mengambil kursi untukku. Sambil jalan sedikit tergopoh-gopoh.
“Ini
duduk mbak, silahkan saja.”
“Iya
Pak terimakasih. Bapak lagi sakit?”
“Saya
setiap hari memang seperti ini mbak. Saya sudah lama sakit gagal ginjal yang
setiap 2 mimggu sekali harus cuci darah.”
“Terus
Bapak kerja jadi tukang cukur rambut sendiri saja? Maksud saya ada asisten atau
apa gitu?”
“Saya
sendiri saja mbak, ya hitung-hitung mengisi kekosongan selama masih bertahan
buat hidup. Saya sudah divonis dokter beberapa kali bahwa umur saya sudah tidak
lama lagi, tapi Tuhan berkata lain, mungkin Tuhan ingin saya menghabiskan
dosa-dosa yang telah saya perbuat. Ya seperti dikasih kesempatan hidup lebih
lama.”
Seketika
aku hanya duduk terdiam mendengar cerita si Bapak.
“Istri
saya itu mbak orang yang hebat. Dia engga pernah mengenluh tentang sakit yang
saya derita, dia selalu setia menemani saya cuci darah ke rumah sakit. Walah..
bener-bener cantik luar dalam. Dia yang bikin saya terus semangat buat hidup.”
“Beruntung
banget ya Pak punya pendamping kaya istri Bapak. Jaman sekarang kan susah cari
orang yang baik hati tanpa pamrih kaya gitu.”
“Iya
mbak saya sangat beruntung. Dulu, saya sempet gak kenal Tuhan, tapi istri saya
itu selalu saja meyakinkan saya, dia gak pernah marah, dia sabar banget buat
mengingatkan saya tentang Tuhan. Pokoknya kaya judul film apa tuh mbak? Yang ada
sayap-sayapnya..”
“Hmm..
Oh! Malaikat tanpa sayap, ya Pak?”
“Nah
iya itu mbak. Saya doakan ya mbak, semoga mbak mendapatkan jodoh yang bisa
membawa mbak lebih baik lagi.”
Ternyata,
jalanan sedang membuka mata dan hatiku tentang bagaimana cara mensyukuri hidup
dan tidak menyia-nyiakan tubuh yang sehat. Jalanan juga sedang mengayunkan
tubuhku pada senandung cinta. Cinta, lengkapi kekuranganku dan terima
kelebihanku.
Terlepas
dari kota hujan, aku menyebrangi jalanan ke Ibu Kota. Berjalan di bawah langit
terik yang lama-lama menghanguskan kulit. Aku melihat setiap orang yang
berjalan di trotoar pasti tergesa-gesa. Ya, begitulah Ibu Kota, siapa cepat dia
yang dapat.
Sudah
tak sanggup lagi berjalan, aku mencoba untuk menaiki bajaj. Kendaraan roda tiga
ini yang sudah beralih warna menjadi biru yang dulu berwarna merah. Sudah berovolusi
sehingga tak ada asap knalpot yang membuat sesak paru-paru. Tak ada
tawar-menawar, karena kurasa harga yang ditawarkan cukup sepadan dengan
perjalanan menuju tempat yang ingin kutuju. Bukan uangku berlebih, tapi aku
tahu bagaimana rasanya kekurangan. Sampai pada perempatan yang sangat macet, ya
namanya juga Ibu Kota.
“Aduh
Jakarta langganannya macet. Yang sabar ya dek.”
“Iya
gapapa Pak. Sambil menikmati jalan Ibu Kota.”
“Masih
kuliah apa sudah kerja dek?”
“Kuliah
Pak, tapi sambil nyari sambilan buat jajan-jajan.”
“Wah,
hebat juga ya dek. Saya juga punya anak cowok, dia baru lulus S1 setahun lalu,
pas ngelamar kerja Alhamdulillah langsung ketrima.”
“Hebatan
anak bapak dong ya? Hehe..”
“Sama
saja dek, semua orang itu pasti hebat. Ini saja bajaj peninggalan anak saya. Dia
dulu kuliah sambil narik bajaj. Tapi Allah sayang banget sama anak saya jadi
dipanggil duluan.”
“Innalillahi
wainnailaihi rojiun.. maaf ya Pak saya gak bermaksud. Turut berduka cita.”
“Gapapa
dek, kan Bapak duluan yang cerita. Baru beberapa bulan kerja dia tertabrak truk
sehabis pulang ngantor, nyawanya tidak tertolong. Saya Cuma bisa ngelus dada. Dia
itu anaknya baik, lulusan pondok pesantren juga di Jawa. Namanya juga takdir, kit
amah ya Cuma bisa manut aja.”
Kawan,
kita tidak akan pernah tahu kapan takdir akan menjemput, kapan Tuhan begitu
sangat merindukan kita kembali kepangkuan-Nya. Kita sebagai makhluk hidup tidak
bisa melawan takdir apa lagi lari, percuma, kalau sudah waktunya, kita hanya
mempertanyakan, ‘apakah aku mati membawa imanku?’.
Hidup
ini pilihan dan mempertaruhkan teapat atau terlambat. Kadang terlintas di
pikiran, aku lebih baik kehilangan masa muda dibandingkan harus kehilangan
masa depan. Karena aku tahu, hidup di dunia hanya sebagai kontrakan, yang
sewaktu-wakltu kita akan diusir dan harus pindah ke tempat lain. Aku tidak
pernah tahu kapan Tuhan akan memanggilku, kapan malaikat-Nya menjemput ruhku. Di
sini, aku sedang berusaha menata masa depan untuk semua orang yang aku sayangi,
aku tak peduli masa mudaku akan sedikit gompal karena terus berkutik untuk
cita-cita. Yang penting, saat aku benar-benar pergi dan takkan kembali, semua
tugasku sudah tuntas.
Lebih
baik aku kehilangan masa mudaku dari pada harus meninggalkan orang yang aku
sayangi. Tak masalah untukku, senang-senang bisa
kucari, tapi saat Ibu atau Ayahku sedang terbaring sakit (meski hanya tergigit
semut) aku harus tetap merawatnya. Karena, mungkin itu adalah detik terakhir
yang akan kuberikan. Entah aku yang akan ditinggalkan atau aku yang akan
meninggalkan. Kita takkan pernah tahu takdir.
Aku tidak
sempurna, banyak kekurangan dalam diriku yang menjadi sisi lemahku. Tapi aku
tahu, bahwa ada cinta dalam hati yang selalu menguatkan dalam setiap langkah. Meski
sulit rasanya ikhlas, namun harus kulakukan, karena saat hati merasa ikhlas dan
di saat itulah rasa syukur muncul, lalu akan menjadi ketentraman jiwa. Jalanan,
selalu mengajariku banyak hal. Kemudian, kutulis dalam bait dan paragraph.
Untuk
semua orang yang sedang merasakan sakit, percayalah itu takdir Tuhan yang
sangat indah. Berarti, Tuhan begitu menyayangimu, Tuhan ingin kau kembali
pada-Nya dengan bersih dan suci, dengan mengugurkan dosa-dosamu. Bersabarlah dalam
rasa nyeri yang mau rasakan. Kamu tidak pernah sendiri dalam berjuang melawan
sakitmu, ada aku dan kita yang senantiasa berdoa agar kamu selalu kuat. Percayalah..
Untuk
seseorang yang sudah terlanjur dalam hati, aku tak pernah main-main untuk
masalah yang sangat sensitive ini. Aku membutuhkanmu untuk melengkapi
kekuranganku, lalu tolong terimalah kelebihanku. Aku akan merasa senang jika
kamu mengizinkanku untuk menjadi saksi perjuangan menuju pencapaian suksesmu. Aku
akan merasa bahagia ketika kamu memperbolehkanku untuk belajar bersamamu
menjadi pribadi yang lebih baik. Aku akan merasa sangat terhormat ketika kamu
tak menyentuhku dan menjaga hatimu sampai khitbahmu muncul di depan keluargaku.
Aku akan sangat merasa sangat bahagia ketika doaku terkabul, yaitu, kamu.
Dari
jalanan, aku melampiaskan kejenuhan lewat cerita panjang orang-orang. Dari jalanan,
aku berteriak sekencang-kencangnya tanpa ada orang tahu. Dari jalanan, aku
menangis tanpa berbekas. Dari jalanan, aku belajar menipu kepedihan lewat
senyum.