Minggu, 21 Februari 2016

Dari Jalanan

Jalanan

Tentang jalanan. Jalanan adalah aku, aku yang bercermin padanya. Skenario Tuhan yang sangat jelas terlihat. Tidak pernah ada yang ditutupi dari panjangnya jalan raya yang tak berujung, kalau tidak lurus, pasti berbelok. Jalanan, berarti belajar tentang kesabaran. Jalanan, berarti belajar tentang ketegaran. Jalanan, berarti belajar tentang pilihan. Kemudian, pilihan pasti berujung konsekuensi, berujung manis atau pahit, berujung indah atau pedih, berujung hidup atau mati. Jalanan, belum pernah kurasakan kejenuhan, ketika berja;an terus meski tanpa arah, aku selalu merasakan rasa syukur dalam dada.

Saat hati begitu penuh oleh keadaan yang menggencet lapisan, saat hati begitu sesak sehingga aku harus berteriak sekencang-kencangnya, saat aku lelah dan benar-benar payah untuk tak sanggup lagi tersenyum, saat aku butuh seseorang untuk menopang kakiku sendiri, saat aku (sebenarnya) butuh bahu untuk sejenak bersandar, saat aku (sebenarnya) butuh seseorang untuk menyeka tangisku, saat aku (sebenarnya) butuh seseorang untuk memelukku hangat, saat aku butuh seseorang untuk menghentikan ucapan ‘aku sudah lelah’, saat aku (sebenarnya) butuh seseorang untuk terus menghibur kesedihan, saat aku (sebenarnya) butuh seseorang untuk menghapus mega menjadi warna, saat aku (sebenarnya) butuh seseorang untuk mengusir mendung sehingga hujan tak datang. Aku takkan memohon, aku takkan berbicara, aku takkan bergumam, aku memilih diam dan kembali pada jalan.

Sungguh, aku hanya tak ingin menjadi beban untuk hidup orang lain. Hanya saja aku mengerti bahwa setiap orang pasti memiliki masalah dalam hidupnya, dan mungkin saja, masalahnya lebih berat dibanding aku. Tapi aku senang ketika aku dipercaya untuk menjadi pendengar yang baik, itu bisa menjadi pengobat lara untuk diri sendiri, bisa membuat rasa syukurku kembali. Dan untuk semua kepenatanku, akan kuserahkan semua cerita pada jalanan. Aku berbisik pada langit, aku bersenandung pada bumu, lalu kutunggu hujan untuk menghapus lara.

Hingga pada suatu hari, aku menemukan seorang tukang cukur di persimpangan jalan. Wajahnya pucat pasi, kepalanya hampir botak, penampilannya layu, dan matanya yang menatap kosong. Saat itu panas begitu sangat terik, aku berteduh di bawah teras si tukang cukur sambil sesekali meminum air mineral. Sedikit obrolanku yang berawal ringan.

“Pak, numpang neduh dari panas ya. Hehe..”

“Ohiya mbak, silahkan saja. Memang akhir-akhir ini kemarau tidak berhenti-berhenti.”

“Aneh ya Pak, padahal disebutnya kota hujan.”

“Ya Tuhan itu kan adil mbak, kadang harus merasakan hujan tapi kadang harus merasakan panas.”
Tak lama kemudian Bapak si tukang cukur itu berdiri dari tempat duduknya dan berjalan ke dalam untuk mengambil kursi untukku. Sambil jalan sedikit tergopoh-gopoh.

“Ini duduk mbak, silahkan saja.”

“Iya Pak terimakasih. Bapak lagi sakit?”

“Saya setiap hari memang seperti ini mbak. Saya sudah lama sakit gagal ginjal yang setiap 2 mimggu sekali harus cuci darah.”

“Terus Bapak kerja jadi tukang cukur rambut sendiri saja? Maksud saya ada asisten atau apa gitu?”

“Saya sendiri saja mbak, ya hitung-hitung mengisi kekosongan selama masih bertahan buat hidup. Saya sudah divonis dokter beberapa kali bahwa umur saya sudah tidak lama lagi, tapi Tuhan berkata lain, mungkin Tuhan ingin saya menghabiskan dosa-dosa yang telah saya perbuat. Ya seperti dikasih kesempatan hidup lebih lama.”

Seketika aku hanya duduk terdiam mendengar cerita si Bapak.

“Istri saya itu mbak orang yang hebat. Dia engga pernah mengenluh tentang sakit yang saya derita, dia selalu setia menemani saya cuci darah ke rumah sakit. Walah.. bener-bener cantik luar dalam. Dia yang bikin saya terus semangat buat hidup.”

“Beruntung banget ya Pak punya pendamping kaya istri Bapak. Jaman sekarang kan susah cari orang yang baik hati tanpa pamrih kaya gitu.”

“Iya mbak saya sangat beruntung. Dulu, saya sempet gak kenal Tuhan, tapi istri saya itu selalu saja meyakinkan saya, dia gak pernah marah, dia sabar banget buat mengingatkan saya tentang Tuhan. Pokoknya kaya judul film apa tuh mbak? Yang ada sayap-sayapnya..”

“Hmm.. Oh! Malaikat tanpa sayap, ya Pak?”

“Nah iya itu mbak. Saya doakan ya mbak, semoga mbak mendapatkan jodoh yang bisa membawa mbak lebih baik lagi.”

Ternyata, jalanan sedang membuka mata dan hatiku tentang bagaimana cara mensyukuri hidup dan tidak menyia-nyiakan tubuh yang sehat. Jalanan juga sedang mengayunkan tubuhku pada senandung cinta. Cinta, lengkapi kekuranganku dan terima kelebihanku.

Terlepas dari kota hujan, aku menyebrangi jalanan ke Ibu Kota. Berjalan di bawah langit terik yang lama-lama menghanguskan kulit. Aku melihat setiap orang yang berjalan di trotoar pasti tergesa-gesa. Ya, begitulah Ibu Kota, siapa cepat dia yang dapat.

Sudah tak sanggup lagi berjalan, aku mencoba untuk menaiki bajaj. Kendaraan roda tiga ini yang sudah beralih warna menjadi biru yang dulu berwarna merah. Sudah berovolusi sehingga tak ada asap knalpot yang membuat sesak paru-paru. Tak ada tawar-menawar, karena kurasa harga yang ditawarkan cukup sepadan dengan perjalanan menuju tempat yang ingin kutuju. Bukan uangku berlebih, tapi aku tahu bagaimana rasanya kekurangan. Sampai pada perempatan yang sangat macet, ya namanya juga Ibu Kota.

“Aduh Jakarta langganannya macet. Yang sabar ya dek.”

“Iya gapapa Pak. Sambil menikmati jalan Ibu Kota.”

“Masih kuliah apa sudah kerja dek?”

“Kuliah Pak, tapi sambil nyari sambilan buat jajan-jajan.”

“Wah, hebat juga ya dek. Saya juga punya anak cowok, dia baru lulus S1 setahun lalu, pas ngelamar kerja Alhamdulillah langsung ketrima.”

“Hebatan anak bapak dong ya?  Hehe..”

“Sama saja dek, semua orang itu pasti hebat. Ini saja bajaj peninggalan anak saya. Dia dulu kuliah sambil narik bajaj. Tapi Allah sayang banget sama anak saya jadi dipanggil duluan.”

“Innalillahi wainnailaihi rojiun.. maaf ya Pak saya gak bermaksud. Turut berduka cita.”

“Gapapa dek, kan Bapak duluan yang cerita. Baru beberapa bulan kerja dia tertabrak truk sehabis pulang ngantor, nyawanya tidak tertolong. Saya Cuma bisa ngelus dada. Dia itu anaknya baik, lulusan pondok pesantren juga di Jawa. Namanya juga takdir, kit amah ya Cuma bisa manut aja.”

Kawan, kita tidak akan pernah tahu kapan takdir akan menjemput, kapan Tuhan begitu sangat merindukan kita kembali kepangkuan-Nya. Kita sebagai makhluk hidup tidak bisa melawan takdir apa lagi lari, percuma, kalau sudah waktunya, kita hanya mempertanyakan, ‘apakah aku mati membawa imanku?’.

Hidup ini pilihan dan mempertaruhkan teapat atau terlambat. Kadang terlintas di pikiran, aku lebih baik kehilangan masa muda dibandingkan harus kehilangan masa depan. Karena aku tahu, hidup di dunia hanya sebagai kontrakan, yang sewaktu-wakltu kita akan diusir dan harus pindah ke tempat lain. Aku tidak pernah tahu kapan Tuhan akan memanggilku, kapan malaikat-Nya menjemput ruhku. Di sini, aku sedang berusaha menata masa depan untuk semua orang yang aku sayangi, aku tak peduli masa mudaku akan sedikit gompal karena terus berkutik untuk cita-cita. Yang penting, saat aku benar-benar pergi dan takkan kembali, semua tugasku sudah tuntas.

Lebih baik aku kehilangan masa mudaku dari pada harus meninggalkan orang yang aku sayangi. Tak masalah untukku, senang-senang bisa kucari, tapi saat Ibu atau Ayahku sedang terbaring sakit (meski hanya tergigit semut) aku harus tetap merawatnya. Karena, mungkin itu adalah detik terakhir yang akan kuberikan. Entah aku yang akan ditinggalkan atau aku yang akan meninggalkan. Kita takkan pernah tahu takdir.

Aku tidak sempurna, banyak kekurangan dalam diriku yang menjadi sisi lemahku. Tapi aku tahu, bahwa ada cinta dalam hati yang selalu menguatkan dalam setiap langkah. Meski sulit rasanya ikhlas, namun harus kulakukan, karena saat hati merasa ikhlas dan di saat itulah rasa syukur muncul, lalu akan menjadi ketentraman jiwa. Jalanan, selalu mengajariku banyak hal. Kemudian, kutulis dalam bait dan paragraph.

Untuk semua orang yang sedang merasakan sakit, percayalah itu takdir Tuhan yang sangat indah. Berarti, Tuhan begitu menyayangimu, Tuhan ingin kau kembali pada-Nya dengan bersih dan suci, dengan mengugurkan dosa-dosamu. Bersabarlah dalam rasa nyeri yang mau rasakan. Kamu tidak pernah sendiri dalam berjuang melawan sakitmu, ada aku dan kita yang senantiasa berdoa agar kamu selalu kuat. Percayalah..

Untuk seseorang yang sudah terlanjur dalam hati, aku tak pernah main-main untuk masalah yang sangat sensitive ini. Aku membutuhkanmu untuk melengkapi kekuranganku, lalu tolong terimalah kelebihanku. Aku akan merasa senang jika kamu mengizinkanku untuk menjadi saksi perjuangan menuju pencapaian suksesmu. Aku akan merasa bahagia ketika kamu memperbolehkanku untuk belajar bersamamu menjadi pribadi yang lebih baik. Aku akan merasa sangat terhormat ketika kamu tak menyentuhku dan menjaga hatimu sampai khitbahmu muncul di depan keluargaku. Aku akan sangat merasa sangat bahagia ketika doaku terkabul, yaitu, kamu.


Dari jalanan, aku melampiaskan kejenuhan lewat cerita panjang orang-orang. Dari jalanan, aku berteriak sekencang-kencangnya tanpa ada orang tahu. Dari jalanan, aku menangis tanpa berbekas. Dari jalanan, aku belajar menipu kepedihan lewat senyum.  

Minggu, 07 Februari 2016

Itu Kamu

Tentang kamu yang entah  dimana-hatimu-someone far away. Tahun pertama sejak aku melihat matamu, berbinar senja yang teduh, mengiring langkah sabit di malam hari, tersenyum manja menatap layar kaca. Seolah kau menjadi sosok rahasia yang menjadi pertanyaan semua orang-dalam hatiku. Kau ini siapa? Yang seolah nyaman bersamaku namun mengabaikan semua teka-teki yang kau buat sendiri. Aku ini siapa? Yang tak hentinya meng-khawatirkanmu dalam denyut nadiku.

Tahun kedua, aku dibuat putus asa oleh waktu. Kita berjalan di tempat yang sama-kau menganggapku sama. Aku ini…

“Woy!” Dendi mengejutkanku dari belakang. “Curhat terus dek, buat orang yang sama? Setia banget sih adek abang yang paling cantik.” Ledeknya.

“Apaan sih bang? Semua wanita cantik tau’!”

“Hahaha.. handphone kamu tuh banjir chat kayanya.”

“Paling juga group, nanti aja deh, tanggung.”

“Eh, ada line tuh dari si..”

“Ehh jangan dibuka!!” Aku melompat dari tempat tidurku menuju handphone yang sedang berada di atas meja. Ketika aku mengecek pesan masuk, dan.. “… aahhhh abanggg! Dingin pipi aku!”

“Hahaha.. tapi bo’ong. Engga ada pesan dari si Angga. Minum tuh susunya, enak masih dingin. Bye my little sister!” Ledek abang Dendy.

Dendy adalah kakak kandungku satu-satunya, dia adalah abang sekaligus pengganti Ayah semenjak Ayah meninggal dunia sejak aku masih kecil. Bahkan, aku tak mengenal Ayahku seperti apa, hanya semua yang diceritakan Abang Dendy dan Ibu. Kata Abang Dendy wajahku mirip sekali dengan Ayah, makanya terkadang Ibu suka memanggilku anak Ayah.

… yang selalu ada di belakang layar. Meski hanya kutersenyum memandangmu dari jauh. Ada yang perlu kau tahu, sebuah rangkian kata spesial untukmu adalah ketika kedua tangan yang menjulang ke atas, terbuka lebar, bermohon untuk keselamatan hidupmu-doaku.

Tepat pukul delapan pagi, aku bergegas mandi untuk menepati janji pergi ke perpustakaan umum di daerah Jakarta Pusat. Sebelumnya aku menghubungi temanku yang akan kuajak ke tempat tersebut.

“Bang, aku izin mau ke perpustakaan yang ada di Cikini.” Kataku.

“Iya, jangan sore-sore pulangnya, jangan lupa makan siang.” Pesan Abang.

Aku berangkat dengan kereta listrik dari Bogor, aku tak sendiri, ditemani seorang teman baruku. Sebenarnya ini hutangku padanya untuk mengajak berkeliling Ibu Kota, tapi apa daya dengan jadwal yang semakin padat mungkin hanya beberapa tempat yang akan kami kunjungi.

Seperti tour guide, aku memperkenalkan satu persatu jalanan di Ibu Kota-yang kita lewati. Bahkan aku sudah menghapalkan sejarah beberapa bangunan tua yang menjadi icon Ibu Kota. Dua hari lalu sebelum keberangkatan hari ini, aku sudah bulak-balik internet untuk membaca tentang cerita singkat tempat yang akan kunjungi. Meski tidak semua yang kuingat.

Tempat tujuan pertama yang kami kunjungi adalah Perpustakaan Umum Taman Ismail Marzuki, dengan gedung yang berlantai tiga dan sangat nyaman untuk meng-eksplor satu persatu judul buku. Tak terasa, sudah berjam-jam kami asyik dengan segala jenis buku, sampai bertukar pikiran tentang sebuah filsafat, kadang gelak tawa akibat jaring-jaring otak mulai kusut karena rasa lapar yang hadir.

“Makasih banget loh Ann, kamu udah ngajak aku kesini. Asli keren banget!” kata Fiko.

“My pleasure..” jawabku.

“Oiya Ann, aku punya hadiah buat kamu, aku buat ini di Solo. Semoga kamu suka.” Fiko membuka ipad-nya dan melihatkan sebuah video yang ia buat sendiri, sambil memainkan sebuah gitar tua yang warnanya telah memudar.

This is how I feel
Whenever I’m with you
Everything is all about you
Too good to be true
Somehow I just can’t believe
You can lay your eyes on me
If this is a fairytale
I wish it will end happily

Lagu Ten2Five dengan judul Love Is You ini selanjutnya kita nyanyikan bedua dengan suara yang berdesah karena dilarang berisik di perpustakaan. Lagu ini termasuk lagu kesukaanku. Setiap aku menemukannya di dalam kelas beberapa tahun lalu, aku selalu merengek untuk memainkan gitar untukku. entah sihir apa yang telah merasuki jiwaku.

“Kamu suka Ann?” katanya.

“Sukaaa banget!” jawabku singkat, sambil tetap memutar ulang terus menerus video itu.

“Ann, aku takut..” sambungnya.

“Takut kenapa Fiko? Ada aku disini, hehe”. Jawabku tak serius karena asyik menonton video itu.

Aku takut setiap kali menatap matamu, aku takut sinar itu tak bisa lepas dari bola mataku, aku takut kau tak lagi bisa di sampingku, aku takut Ann.. aku takut mencintaimu-kehilanganmu.

Kau begitu tulus Ann, hatimu yang tidak diketahui banyak orang, kau yang selalu bisa dan sanggup menutupi kesedihanmu, aku tahu kau menangis Ann.. andai kau tahu-selalu ada untukmu. Ann, sejak saat itu, sejak aku menceritakan semua tentang kehidupanku, kau menatapku dalam, entah apa yang kau pikirkan namun terasa samapi relung hati ini. Ann, andai kau tahu, andai kau merasakan sejak saat itu aku sadar bahwa kenyamanan ada dalam dirimu.

Ann, aku takut jatuh cinta padamu-matamu-jangan tinggalkan aku-jadilah takdirku.

Aku sesekali mencuri pandang padanya. Matanya menatap tajam ke arah video yang ia buat sendiri tapi aku tahu pikirannya tak lagi disini. Aku tahu pandangannya kabur entah apa, yang jelas aku nyaman berada di dekatnya.

Kadang aku berpikir, kebodohan apa yang sedang kulakukan? Aku menjaga hati untuk seseorang yang jauh disana-hatinya. Dia benar-benar tak nyata untukku, angin yang tak dapat kulihat, bahkan arahnya bukan menujuku. Kebodohan apa yang sedang kulakukan? Aku hanya ingin tertawa ketika aku baru menyadari aku mengejar angin tanpa tahu siapa dan tak dapat digenggam.

Lalu, orang di sampingku ini siapa? Seseorang yang baru kukenal di sudut kelas sana. Aku sudah merasakan ada yang berbeda darinya, dia berbicara lewat petikan senar gitar yang mulai longgar, tak peduli, asal bebannya lepas.

Aku takut untuk jatuh cinta, aku menutup diriku untuk siapapun yang baru hadir. Tak mungkin kau terkecuali, entah mengapa. Jika salah, mengapa kita dipertemukan oleh waktu setelah berlayar pergi? Itu kamu.

“Fiko!”

“Aduh! Jangan bikin kaget, Ann.” Jawab Fiko ketus.

“Jangan berlamun gitu makanya, aku udah putar bulak-balik video kamu nih sampai 100 kali.”

“Hahaha.. berlebihan banget kamu Ann! Makan yuk! Aku yang traktir.”

“Traktir? Wahh.. asyik dong. Tapi ini gak jadi yang terakhir kan Fik?” hanyutku dalam bayang sendu.

“Ayo Ann, aku gak akan tarik tangan kamu kan?” Ledek Fiko sambil berjalan pelan meninggalkan bangku kita, belum muhrim Ann.

Kesadaranku makin mengental, aku takut kehilangannya. Hati ini cemas. Ada yang salah dari perjalanan kita hari ini. Kita berjalan samping-sampingan dan tanpa sadar kita sama-sama berlamun menatap langit yang mendung, tak ada basa-basi. Sampai lamunan itu buyar di depan tempat makan dengan harga promo.

Pelayan datang dengan ramah mencarikan posisi yang nyaman untuk dua orang. Ah pas banget! Dekat jendela di lantai dua yang langsung menghadap ke gedung-gedung pencakar langit sampai menembus awan. Kita memilih-milih makanan-benar-benar tak ada satu kata pun yang keluar.

“Mba saya mau yang ini!” aku dan Fiko membuka suara dengan bersama-sama. Pelayan itu tertawa kecil sambil menutup bibirnya dengan tangan putihnya itu.

“Fiko! Aku dulu!” kataku. Fiko hanya menganggukkan kepalanya.

Sambil menunggu makanan tiba, lagi-lagi kita tak bergumam sama sekali. Aku sibuk memandang langit ibu kota di balik kaca yang sangat bersih, sambil menopang dagu. Namun kurasa Fiko sedang memperhatikanku sesekali. Ayolah Fiko, ucapkan sesuatu.

“Eh!” lagi-lagi kita membuka percakapan yang bersamaan.

“Tuhkan samaan lagi.” Kata Fiko.

“Jodoh kali, eh!” dengan segera aku menutup bibirku dan setelah itu menggembungkan kedua pipiku.
Fiko hanya tersenyum kecil, “pipi kamu merah padam tuh, kaya kepiting.”

Akhirnya, makanan kami telah datang. Tepat disaat cacing-cacing di perutku berteriak karena sudah terlalu lapar. Aku makan dengan lahap dan Fiko makan dengan santai sambil sesekali menatpku dengan senyuman kecil di bibirnya.

“Habis ini aku mau ajak kamu ke suatu tempat, pasti kamu suka.” Kata Fiko. Aku hanya menganggukkan kepala karena amsih repot dengan makanan yang ada di mulutku.

Selesai makan Fiko benar-benar tidak memberiku ruang napas sedikit pun. Di membayar makanan ke kasir dan menungguku di tempat itu. Sungguh keterlaluan!

“Ikuti aku terus, jangan kemana-mana matanya. Nanti kamu tersesat.” Ucap Fiko dengan serius.  
Aku pikir Fiko tak bisa serius.

Kita berada di bawah langit yang mulai redup akibat petang. Aku sangat menikmati perjalanan ini, kulihat aspal jalanan yang dilukis warna-warni dengan berbagai makna yang tersirat. Aku seperti sedang menari-nari di atas pelangi.

“Fiko, masih lama? Aku pusing.” Ucapku berbisik. Fiko berbalik arah menghadapku.

***
Aku tersadar dari tidur singkatku. Tubuhku melemah, semua terasa kaku, hanya mata yang dapat kubuka perlahan-lahan. Sesekali aku mengedipkan mata dengan hati-hati, kepalaku terasa berat dan sakit. Yang kulihat saat ini bukan hanya Fiko, tapi Abang Dendy dan Ibu.

Aku menutup suanan kecemasan dengan senyuman. Semua orang yang ada di hadapanku melempar senyum berarti rasa lega bahwa aku baik-baik saja.

“Abang, jangan marah ya.” kataku bersuara parau dengan napas yang terengah-engah.

“Abang gak marah sama kamu, abang marahnya sama teman kamu.” ledek Abang Dendy.

“Abang jangan jahat, please..” suaraku memohon.

“Haha enggalah.. Dia yang gotong kamu sampai ada taxi tadi.”

Aku memberikan senyum pada Fiko yang berarti terimakasih. Fisikku memang lemah sejak kecil, lelah sedikit pasti langsung tumbang.

“Tadi aku mau nunjukin ini sama kamu.. “ Fiko membuka ipad-nya, “.. tapi karena kamu pingsan, jadi aku suruh teman-temanku merekam dan mengirimkannya aja deh buat kamu.”

Fiko memegang ipad-nya yang sedang diperlihatkan kepadaku. Sebuah permainan alat musik tradisional yang dipadukan dengan music masa kini dan lagu ber-genre pop dengan asyik dimainkan, juga anak-anak kecil di belakangnya yang menari-nari kecil. Video yang berdurasi dua puluh lima menit itu membuat mataku tak berkedip. Fiko selalu tahu apa yang kuinginkan.

“Fiko, mau kamu yang mainin gitarnya.” Rengekku manja.

Fiko menganggukkan kepala tanpa menjawab dengan kata, ia pergi keluar ruangan. Entah apa yang akan dia cari. Padahal aku tak meminta dengan serius. Sementara itu, sambil menunggu Fiko kembali, Abang Dendy terus mengusap kepalaku dan Ibu menggenggam tangan sambil meratapi wajahku dengan penuh kesedihan.

Akhirnya Fiko datang dengan membawa ukulele dan seorang anak kecil-ukulele miliknya. Aku tertawa kecil, apa-apaan sih Fiko, manusia ini selalu membuat kejutan. Fiko menyanyikan sebuah lagu Bruno Mars.

Cause’ your amazing
Just the way you are

Aku sudah bilang pada hatiku bahwa kau tulus, kau baik. Dari cerita singkatmu yang menunjukkan kau begitu menyayangi ibumu, aku seakan sudah menetapkan aku untumu. Fiko maafkan karena aku baru sadar sekarang.

Bukan hanya aku, Ibu dan Abang Dendy juga merasa terhibur oleh petikan ukulele yang dibawakan Fiko. Setelah lagu usai, Fiko berpamitan keluar untuk mengantarkan anak kecil itu kembali pulang.

“Cepet sembuh ya kakak cantik.” Kata anak kecil itu sambil tersenyum menunjukkan lesung pipinya.
Ann, semoga kamu senang. Kau tak usah mengatakan apapun, aku sudah bisa mengartikan senyummu. Cepatlah sehat, Ann. Kau harus kuat selagi aku tak ada.

“Ann, aku harus pergi. Aku berangkat ke Solo malam ini.” kata Fiko sambil menatapku dalam-dalam.

“Kamu gak mau menemani aku sampai aku sembuh?” kataku lirih, aku masih membutuhkanmu! Aku masih membutuhkanmu, Fiko!

“Ann, kata-katamu yang membuatku semangat untuk menjalani hidup. Aku selalu mengingatmu disaat aku malas bekerja. Ann, selain untuk Ibuku, aku bekerja untukmu.” Katanya berbisik.

Aku tak dapat berkata apapun, bibirku dibuat bungkam oleh kata-katanya. Kecemasan dan kegelisahanku selama ini seketika memudar. Aku menatapnya, menjawab penyataannya dengan bulir air mata kebahagiaan.

“Jangan menangis Ann, aku takkan mengusapnya sampai aku benar menjadi imammu. Tunggu aku datang bersama Ibuku. Berjanjilah kau harus kuat selama aku tak ada.” sambungnya lagi.

Fiko berpamitan pada Ibu dan Abang Dendy. Lalu mereka berbincang sebentar. Fiko melirikku dengan menyisakan senyumannya, melambaikan tangan, lalu pergi.

Ann, jauhkan kecemasan dan kegelisahan itu. Aku yang akan menghapuskannya untumu. Tidak banyak orang tahu hati tulusmu Ann. Kau begitu baik dengan kata-katamu. Senyummu yang selalu menampakkan kebahagiaan sehingga semua orang tertipu bahwa kau sebenarnya lemah. Aku akan menopang sakitmu Ann. Aku selalu berdoa semoga Tuhan menguatkanmu-untukku.

***
Kau lelaki yang menyihir mataku dengan petikan gitarmu. Raut wajahmu yang pertama kali aku lihat sedang memainkan melodi usang itu, aku sudah mengerti bahwa ada perasaan kecewa yang ingin kau keluarkan. Fiko, mungkinkah itu kamu?

Aku akan berjani, aku kuat untukmu. Kutunggu khitbahmu seperti yang kau ucapkan. Namun jika aku sudah tak kuasa, jika jiwaku akan terbang ke angkasa, maka kumohon maafkan aku. Kalau bukan aku, kamu pasti mendapatkan bidadari yang lebih indah dariku. Fiko, kau tahu aku tak secantik wanita disana, tapi terimakasih karena kau telah memilihku.

Fiko, mungkinkah itu kamu? Itu kamu!

Let me love you
With all my heart
You are the one for me
You are the light in my soul
Let me hold you
With my arms
I wanna feel love again
Cause’ I know
Love is you..


Ten2Five – Love is You







*Makasih buat teman baru aku yang sudah menyembuhkan blog Coretan si Pemuja Malam. Jadi bisa ngepost lagi deh.. Hatur nuhun kang..*