Minggu, 26 April 2015

Diam-Diam

Aku adalah seorang penulis muda yang baru saja menata karir untuk menggapai cita. Inspirasi yang kudapat begitu sangat mudah karena orang-orang disekelilingku. Mereka menjadi inspirasi terbesarku untuk menulis, memilih kata, menyusunnya, dan merangkai kalimat-kalimat indah. Bahkan tentang cinta dan mendeskripsikan perasaan lewat kata-kata itu adalah bakat utamaku. Namun, ada seseorang yang sulit aku deskripsikan menjadi lantunan kata indah. Ya, hanya dia yang bisa, hanya dia orangnya.
            Beri aku nafas sejenak, beri aku ruang untuk melangkah bebas, beri aku jalan yang mulus untuk mencapainya, beri aku penerangan dengan cahaya langit yang damai, menuju hatimu. Kita sudah mengenal cukup lama, sejak dua tahun yang lalu. Mengetahui satu sama lain dengan cara yang tidak biasa.
            Tiba-tiba aku terkejut saat kertas ulangan harianku meluncur di atas meja dengan nama pemeriksa dan tulisan I love you, Bagas . Aku tahu itu bukan tulisan si pemilik nama. Aku tahu pasti pemilik nama itu sedang dikerjai teman-teman sekelasnya. Tak menanggapi hal itu, sungguh. Tapi sahabat satu mejaku mencari tahu. Akhirnya, kita cukup dekat sampai sekarang. Aku mengagumimu, perlahan-lahan.
            Aku merindukanmu, entahlah apa yang sedang kurasakan saat ini. Kita sudah tak jumpa beberapa bulan ini sejak kau meninggalkan sekolah ini dengan kelulusanmu. Dia seniorku. Berada tepat di depan kelasmu dulu, di pelataran mushola sekolah kita. Bayang-bayangku terus melayang bebas, memutar semua memori yang terlukis jelas di mata coklat ini. Kita memang tak pernah bertegur sapa, bahkan melihatku saja kau malu. Semua hal itu yang membuatku merindu, sikapmu.
Melangkah pulang melewati gerbang tinggi yang menjulang sampai ke langit. Apa lagi yang kutemui? Wajahmu, aku ingat saat kau bermain futsal di lapangan olahraga sekolah. Aku yang hanya bisa berdiri tegak sambil menontonmu seorang diri di pinggir lapangan. Sedangkan teman-temanmu memperhatikanku dan ada yang membicarakan keberadaanku disina. Mulai mengagumi diam-diam. Entahlah, aku pun tak mengerti apa yang sedang kutunggu? Bahkan sampai senja tiba menyelimuti lapangan futsal sekolah. Aku senang melihat senyum dan tawamu. Memperhatikan, diam-diam.
Ah sudahlah! Hanya hayalanku saja! Gemuruh dalam hati. Detik itu juga kuabaikan semua khayalanku tentangnya. Biarkan kuanggap semua pertemuan kita hanyalah angin lalu yang takkan pernah terbalas. Aku berusaha untuk melupakan kisah indah itu. Melanjutkan perjalanan senja ini seorang diri, menari-nari di atas bumi dengan kegalauan hati. Meredam rasa yang sebenarnya aku ingin. Maafkan aku Tuhan, aku sedang membohongi perasaan ini, aku hanya takut.
Malam takkan berpijak menjadi teduh karena keheningan para manusia yang beristirahat. Waktu akan terus bergulir, berganti hari-hari yang fana, menyambut asa dan harap, menentramkan jiwa lalu membalikkannya kembali pada kebahagiaan. Malam tempatku berbagi cerita kepada seluruh bumi dan langit dengan leluasa tanpa ada siapapun yang tahu. Lembaran kata, untaian kalimat, sampai puluhan cerita. Sisanya, aku bertanya dalam sepi, apa kabar dirimu? Seseorang yang aku kagumi belakangan ini. Aku berlari sambil menanti. Seperti gerimis, aku mencintaimu perlahan-lahan.
“Sebentar lagi Ujian Nasional, jaga kondisi ya Kak. Jangan mikirin yang lain-lain dulu.” Ucap Ibu sebelum berangkat sekolah dini hari.
Aku berhenti dari piring nasi ketika mendengar Ibu berucap seperti itu. Mengingat janjiku pada diri sendiri yang tidak ingin mengulangi kesalahan untuk kedua kali karena mengecewakan Ibu dan Ayah untuk Ujian Nasional tahun ini. Aku hanya bisa terdiam, bibirku membisu dan hanya anggukan kepala yang dapat kulakukan.
Rasanya, aku ingin menghubunginya kalau aku akan Ujian Nasional. Tapi, apa itu penting baginya? Gumamku dalam hati. Tiba-tiba handphoneku bergetar. Kubuka kunci pengamannya, lalu kubaca notification yang terlihat jelas di layarnya. Seketika aku langsung menghubungi seseorang yang dekat denganku sejak lama.
“Hallo, Kak? Nanti kita ketemu jam 4 sore di tempat biasa ya. Ajak Kak Fahri juga. Ok!” Kataku.
Hari ini kulihat awan membentuk wajahmu lagi. Angin yang datang terus menggoda hati lagi. Rasanya semua itu kembali. Tapi aku masih menyimpannya secara diam-diam. Aku bagai sungai yang mendamba samudera kali ini. Namun aku percaya pasti selalu ada makna dibalik pertanda. Ini hanya rindu atau rambu-rambu lampu kuning? Ah, aku tak peduli! Aku berlari lagi.
Entahlah apa yang kurasakan saat ni. Perasaan itu hadir kembali. Candu-candu asmara yang sangat menggoda dan menggelitik. Aku tahu ini sedikit berlebihan tapi aku selalu yakin bahwa dewi cinta pasti menancapkan panahnya tepat pada jantung hati pujaanku. Ingin cepat hari-hari penantianku berlalu dan Ujian Nasional nanti akan kulalui dengan mulus dan lancar. Semangat ini terus merajuk khayalan.
“Yolanda!” Kak Fahri dan Kak Firda mengagetkanku dari belakang.
“Aduh! Mengagetkan saja!” ujarku.
“Ada apa nih manggil kita berdua? Pasti mau ngomongin Kaaaaaa..” ledek Kak Fahri.
Ah sial! Rupanya Kak Fahri dapat menebak isi hatiku! Gumamku dalam hati. Aku menjelaskan apa yang akan kulakukan sehabis Ujian Nasional berakhir. Dari situ aku menyusun semua acara yang akan kita upayakan bersama. Jantungku tak henti-hentinya berdetak sangat cepat dan senyum di bibirku tak mau pudar. Kami menghabiskan senja di tempat makan ini.
Semalaman aku memikirkan kegalauan dalam hati, aku ingin menghubungi Ka Bagas tapi aku takut. Rasa takut yang terus membodohi pikiranku dan rasa rindu yang terus menjerumuskan aku dalam suasanan merah jambu. Virus ini rupanya menyebar ke seluruh tubuh dengan begitu cepat sehingga aku tidak bisa menahannya.
Perlahan-lahan kuberanikan diri untuk membuka handphone, kutarik napas yang mulai tak karuan pelan-pelan dengan ragu kuketik namanya pada kontak Blackbery Massanger kukatakan apa yang terselip di hati. “Bismillah.. send!” Pesan singkat itu terkirim tinggal kutunggu balasannya.
            Duhai malam, kau tahu tidak? Sebenarnya aku tidak mengerti apa yang sedang kurasakan kini. Menatap matanya pun aku belum pernah, berbicara padanya juga belum sampai. Gila! Otakku berputar tak karuan. Semoga rasa ini bukan hanya rasa yang ingin memiliki. Malam, kau harus tahu bahwa aku tak dapat menulis kata-kata indah tentangnya. Seakan berjalan di jalan yang sempit lalu terhalang oleh tembok yang semakin menggencet tubuh. Duhai malam, temani aku untuk menunggunya hadir.
            Kulihat jam dinding yang kokoh berdiri di dinding kamar. Sudah hampir tengah malam dia tak kunjung membalas pesanku, bahkan membacanya pun belum. Akhirnya, kuputuskan untuk mengambil buku dan membacanya sambil menunggu kabar dari Kakak seniorku itu. Meskipun Ayah selalu berucap kalau malam minggu bukan waktunya belajar.
            Kepalaku mulai terjatuh perlahan-lahan, tubuh ini begitu sangat lemas, mata yang mulai memerah tapi aku tak ingin terlewat oleh balasan pesan darinya. Kutengok jam dinding lagi, tepat pukul dua pagi. Kupasang alarm di handphone karena aku takut bangun terlalu siang. Kuputuskan untuk bermimpi saja.
            Beginilah rasanya menanti sambil berlari. Lelah, bukan kaki. Sakit, bukan fisik. Tapi hati. Kadang rindu menyiksa ketika tak dapat diungkapkan (tak berani) tapi hanya dapat dirasakan. Seperti hamparan bunga yang kau lihat begitu indah tapi wanginya tak tercium karena semua itu hanya bunga tidur. Seperti senja yang kau anggap milikmu sendiri, padahal kau tahu bahwa senja memeluk setiap orang di bawahnya. Semua hal dapat berubah karena cinta. Semoga bukan hanya rasa ingin memiliki tapi ingin berbagi kasih sayang.
            “Kak bangun! Solat subuh dulu!” Teriakan Ayah menghiasi dini hari.
            Pergilah kakiku ke kamar mandi lalu ke tempat berwudhu. Menyegarkan wajah karena baru terlelap tiga jam. Kuhamparkan sajadah terbaik. Kudirikan Sholat dengan rasa ikhlas dan teduh. Sujud demi sujud aku berdoa kepada Sang Maha Pencipta untuk kebaikan hidupku. Rasanya damai.
            Sebelum menyiapkan sarapan untuk keluarga kecil ini aku cek handphone, ternyata belum muncul juga balasan pesan darinya. Aku makin gelisah seperti tak ada harapan lagi untukku. Sudahlah, semoga aku tak mengharapkannya lagi. Kuletakkan kembali pada tempatnya.
            Aku harus fokus Ujian Nasional beberapa hari ini. Tidak boleh ada yang aku pikirkan selain ujian. Aku juga sudah meniatkan untuk tidak memegang handphone beberapa hari ini. Akhirnya, kumatikan handphone-ku dan kusimpan di dalam lemari baju.
            Derai-derai asmara mulai mengejekku seakan mengatakan, “Cintamu bukan dia. Hapuskan saja, lupakan! Hahaha!” Hati ini mulai berdesir mengiris waktu yang tersisa. Apa aku salah merindunya? Apa aku salah mengharapnya? Ya Tuhan, bantu aku, bantu aku menemukan celah hatinya atau bantu aku untuk mengikhlaskannya. Aku seperti berada di sebuah gurun pasir yang panasnya begitu menyengat lalu aku melihat lebarnya danau padahal aku tahu itu hanya fatamorgana! Ah, rasa bodoh apa lagi yang aku rasakan? Aku takkan mencoba untuk melangkah maju, aku juga takkan mundur karena aku sudah berlari sejauh ini. Dewi cinta, aku terjebak menuju hatinya.
            “Hey Yolanda! Mau ada rencana apa setelah ini? Kita jadi pengangguran nih.” Kata teman sekelasku, Lily.
            “Kayanya aku bakal nulis lagi di blog terus nerusin buku yang baru jadi sinopsisnya aja.” Jawabku.
            “Oiya, aku tunggu tulisan terbaru kamu ya. Adik aku nanyain terus tuh tulisan kamu di blog. Katanya dia kangen sama kata-kata romantis kamu.”
            “Hehe.. biasa aja kok. Makasih, salamin ya buat adik kamu.”
            Berbicara tentang rindu aku jadi ingat. Aku langsung pulang ke rumah dan menyalakan handphone yang sduah sangat dingin karena tidak kunyalakan beberapa hari ini. Banyak pesan yang masuk untuk menyemangati Ujian Nasionalku kemarin tapi tak ada satu pun dari orang yang kunanti.
            Kurasa aku batalkan saja acaranya, kataku dalam hati. Baru kuketik nama Kak Fahri dan Kak Firda untuk memberitahu akan kubatalkan acaranya, tiba-tiba ada satu pesan yang belakangan datangnya. Kubuka perlahan-lahan namun tak mengharapkan pesan itu dari orang yang kunanti. Dan, Aaaaaaaa!!!!!! Teriakku dalam hati. Seseorang yang kunanti akhirnya tiba,
            Maaf ya baru balas pesan kamu, aku baru pulang kerja tadi tengah malam lalu aku langsung tidur.
            Hey, kamu mau Ujian Nasional ya? Semangat ujiannya ya. Jangan lupa baca do’a dulu loh.. Pasti bisa!
            Dua pesan darinya yang membuatku sangat bahagia. Kuurungkan niatku untuk membatalkan acara itu. Kubalas pesan darinya dengan bahasa sederhana yang aku bisa. Kita berkomunikasi lewat chat di BBM. Disetiap pesannya yang masuk pasti selalu ada tawa yang menggemaskan. Kuhargai waktunya yang sibuk untuk bekerja dan beristirahat. Takkan kusia-siakan waktu luangnya.
            Senja, kau harus tahu! Kali ini kau adalah milikku. Pelangi, kau juga harus tahu! Bahwa warnamu itu kalah dengan warna-warna dalam hatiku saat ini. Biarkan gerimis turun membasuh relung jiwa. Ketika dia menyapa ruang hati yang telah tertutup lama, lalu biarkanlah hati kecilmu bicara dan aku siap untuk menata. Aku takkan pernah berhenti untuk selalu percaya. Takkan kupaksa, biarkanlah mengalir apa adanya. Aku akan menunggu karena waktu takkan berkhianat, kau jadi bagian hidupku.
            “Hallo Dek? Gimana kadonya udah siap?” Kata Ka Firda menelponku.
            “Udah kok Kak, aku mau beli kue dulu ya. Kak Fahri sama Kak Firda tunggu aja di dekat rumahnya, 15 menit lagi aku sampai disitu.” Kataku.
            Acara yang sudah kusiapkan sejauh ini harus sukses dan lancar. Hari ini ulang tahun Kak Bagas, orang yang kusukai entah dari sisi mananya. Jantung ini sangat berdebar cepat, sangat cepat. Aku tahu dia hanyalah temanku dan mungkin dia hanya menganggapku sebagai adik kelasnya. Maka dari itu aku sangat takut dia tidak senang atau menganggapku yang aneh-aneh.
            Tiba di tempat toko kue langgananku. Memilih dan memilah kue mana yang kira-kira cocok untuk kuberikan kepada Kak Bagas. Baru saja aku ingin keluar dari toko itu hujan deras pun turun membasahi jalan abu. Tiba-tiba ada pesan dari Kak Firda, Dek, tunggu hujannya reda saja dulu. Kita tetap tunggu kamu di dekat rumahnya Kak Bagas ya. Jangan hujan-hujanan nanti kamu sakit. Tenang saja.
            Sudah sore aku menunggu hujan ini reda. Kira-kira hampir tiga jam aku berdiri di depan toko ini. Alhasil, aku menerobos hujan dan mencari angkutan umum yang kosong. Sampai di dekat rumah Kak Bagas aku menemui Kak Firda dan Kak Fahri yang sedang menungguku dengan setia di tempat itu dengan tubuhku yang sudah kuyup dan kardus kue yang agak basah.
            Kami bertiga memasuki gang ke arah rumahnya tapi rumah itu kosong dan ada bacaannya ‘Dikontrakkan’. Wajahku terlihat murung dan rasa tidak enak kepada kakak-kakakku karena sudah merepotkan. Kak Fahri bertanya kepada tetangganya tentang keberadaan Kak Bagas. Kami pun langsung ke lokasi, aku dan Kak Firda menaiki angkutan umum lalu Kak Fahri mengendarai motornya.
            Tepat di jalan rumahnya Kak Bagas kami tak tahu arahnya lagi. Mau tidak mau kejutan yang aku rencanakan gagal karena aku menghubungi Kak Bagas untuk menjemputku di depan jalan arah rumahnya. Aku gugup, sangat gugup. Ini pertama akli aku berbicara kepadanya walau hanya lewat telpon. Kak Bagas dengan tidak percaya terus tertawa dari jauh sana.
            Kejutan yang kubuat dan kurencanakan gagal seketika. Yang ada hari ini adalah kebahagiaan dengan canda dan tawa. Kami berempat diajak ke restoran yang tak jauh dari jalan tadi. Diam, candaan, tawa karena gugup, berfoto bersama, dan yang paling penting berbicara padanya secara langsung.
            Petang, terimakasih karena sudah mengizinkanku menatap senyum dan tawanya lagi. Terimakasih karena telah mengizinkanku bercengkrama dengannya secara langsung. Wahai malam, aku masih bersamanya. Kita membelah malam dan memeluk angin yang begitu dingin. Sungguh, aku tak ingin bangun dari mimpi indahku ini. Aku menatap bintang yang berserakan di langit yang begitu cerah, tersenyum pada setiap perkataannya, bercuri pandang, dan.. Ah! Aku tak dapat mengungkapkan perasaan ini dengan lantunan kalimat seperti biasanya. Ya Tuhan, aku tak ingin ini berakhir. Aku takut ini menjadi yang terakhir meskipun aku harap ini adalah awal dari kebahagiaanku. Ya Tuhan, tepat di depan pagar rumahku adalah kenangan pertama yang dia berikan. Izinkan aku merasakannya lagi. Rasa ini sungguh nyata. Semoga bukan hanya dalam mimpi indahku. Seperti malam, aku mendambanya diam-diam.






Minggu, 19 April 2015

*Tanpa Judul*

Kita, bukan aku dan kamu saja tapi aku dan mereka. Datang bersama dengan tujuan yang sama namun bercita-cita berbeda. Kita melangkah beriringan, seperti sejalan namun tak. Kita berlari mengikuti roda yang berputar pada porosnya. Ya, roda, mau sejauh apapun melarikan diri pasti tetap bertemu.

Lalu, langit biru mempersatukan semua persamaan-persamaan yang kita miliki tanpa mengenalnya terlebih dahulu. Menyatukan semua perbedaan-perbedaan yang berawal sebuah perselisihan karena kita fikir itu aneh. Sampai akhirnya, kita menyadari bahwa semua perbedaan lambat laun memberikan warna yang begitu megesankan. Bahkan, pelangi pun kalah. Karena warna yang kita berikan tidak hanya sesaat tapi untuk selamanya.

Kau tahu kan matahari? Ya, cahaya yang berpijar panas berbentuk lingkaran itu. Memang ia menghangatkan tapi kadang membuat gerah dan berkeringat. Tapi kita harus tahu, bahwa pertemuan dan perkenalan ini hanya untuk menghangatkan jiwa bukan untuk menjadi panas hingga gerah dan tak betah.

Bersama-sama memiliki janji yang terikat, berteguh dalam dada, bernyawa dalam langkah, bersatu dalam pegangan tangan yang tidak bisa terlepas meskipun tertarik arus gelombang kesana-kesini. Kau pernah mengatakan, "Kita harus SUKSES muda ya kawan! Kita harus janji!". Maka kata-kata sederhanamu selalu terbayang hingga saat ini. Seketika, kita tersenyum bersama-sama, disaksikan bumi tua beserta langitnya. Kemudian aku menjawab, "Ya! Aku pastikan kita akan SUKSES muda bersama-sama. Asalkan kita selalu memberikan semangat. Jangan lepaskan pegangan erat ini. Jangan takut untuk berharap, kita akan gapai bintang itu walaupun setinggi apapun. Percayalah, kawan."

Sejak saat itu, aku percaya bahwa kita bisa. Ya, aku dan mereka, kita. Namun ada satu hal ketakutan yang tersembunyi dalam dada. Aku takut melepaskan genggaman kuat itu. Bukan, bukan aku ingin pergi sendiri atau ingin berhenti sampai disini. Tapi aku takut tidak mampu sampai senjaku.

Sahabat, rindu tidak akan hanya bisa terbalas oleh ucapan. Rindu hanya bisa terbalas oleh pertemuan walaupun hanya sedetik senyum yang terpancar di bibir manismu. Jika aku menutup buku perjalanan kita terlebih dahulu maka maafkanlah aku. Sungguh, aku tidak bermaksud untuk menutupnya dengan paksa tapi aku tak bisa melawan takdir.

Sahabat, terimakasih karena kalian telah menghargai setiap detik waktu bersamaku, menjagaku dengan tulus, menghapus air mata yang tercecer habis pada kotak ubin yang lembab, melindungi pagiku, dan menghapus mendung di wajahku sebelum lebatnya hujan mengurung diri.

Tak pernah kusiakan waktu yang tersisa. Bahkan bertahun-tahun lamanya aku bertahan bersama keceriaan kita. Berdendang dengan suara dan nada fals, menceritakan hal-hal yang sebenarnya absurd tapi terdengar euforia karena ada ketulusan karena ada cinta di sekeliling kita.

Maaf kawan, jika aku melepaskan genggaman kuat itu. Maaf karena aku sudah tidak bisa muncul di hadapan kalian. Tapi aku janji, terus melihat kebersamaan kalian dari jauh sana. Dari tempat yang tenang dari kehidupan yang sebenarnya. Jika rindu denganku, doakanlah aku. Kini, kenangan kebersamaan kita kutinggalkan dan membekas pada lembaran peristiwa yang dibekukan.

Selamat malam bloggers yang udah setia dan nunggu tulisan saya. Maaf sebelumnya baru ngepost lagi. Ini adalah sinopsis singkat, saya mau mencoba buat nulis lagi setelah kemarin vakum karena ada ujian. Rencananya mau bikin cerita panjang. Tapi dibocorin sinopsisnya dulu ya, hehe.. Kritik dan sarannya silahkan bisa disini atau langsung ke kontak saya (yang punya) minta doanya juga ya untuk kesuksesan kita bersama ^_^ Terimakasih, semoga terhibur. Salam cspm ;)