Aku adalah seorang penulis muda yang baru saja menata karir untuk
menggapai cita. Inspirasi yang kudapat begitu sangat mudah karena orang-orang
disekelilingku. Mereka menjadi inspirasi terbesarku untuk menulis, memilih
kata, menyusunnya, dan merangkai kalimat-kalimat indah. Bahkan tentang cinta
dan mendeskripsikan perasaan lewat kata-kata itu adalah bakat utamaku. Namun,
ada seseorang yang sulit aku deskripsikan menjadi lantunan kata indah. Ya,
hanya dia yang bisa, hanya dia orangnya.
Beri aku nafas
sejenak, beri aku ruang untuk melangkah bebas, beri aku jalan yang mulus untuk
mencapainya, beri aku penerangan dengan cahaya langit yang damai, menuju
hatimu. Kita sudah mengenal cukup lama, sejak dua tahun yang lalu. Mengetahui
satu sama lain dengan cara yang tidak biasa.
Tiba-tiba aku
terkejut saat kertas ulangan harianku meluncur di atas meja dengan nama
pemeriksa dan tulisan I love you, Bagas . Aku tahu itu bukan tulisan si
pemilik nama. Aku tahu pasti pemilik nama itu sedang dikerjai teman-teman
sekelasnya. Tak menanggapi hal itu, sungguh. Tapi sahabat satu mejaku mencari
tahu. Akhirnya, kita cukup dekat sampai sekarang. Aku mengagumimu,
perlahan-lahan.
Aku merindukanmu,
entahlah apa yang sedang kurasakan saat ini. Kita sudah tak jumpa beberapa
bulan ini sejak kau meninggalkan sekolah ini dengan kelulusanmu. Dia seniorku. Berada
tepat di depan kelasmu dulu, di pelataran mushola sekolah kita. Bayang-bayangku
terus melayang bebas, memutar semua memori yang terlukis jelas di mata coklat
ini. Kita memang tak pernah bertegur sapa, bahkan melihatku saja kau malu.
Semua hal itu yang membuatku merindu, sikapmu.
Melangkah pulang melewati gerbang tinggi yang menjulang sampai ke
langit. Apa lagi yang kutemui? Wajahmu, aku ingat saat kau bermain futsal di
lapangan olahraga sekolah. Aku yang hanya bisa berdiri tegak sambil menontonmu
seorang diri di pinggir lapangan. Sedangkan teman-temanmu memperhatikanku dan
ada yang membicarakan keberadaanku disina. Mulai mengagumi diam-diam. Entahlah,
aku pun tak mengerti apa yang sedang kutunggu? Bahkan sampai senja tiba
menyelimuti lapangan futsal sekolah. Aku senang melihat senyum dan tawamu.
Memperhatikan, diam-diam.
Ah sudahlah! Hanya hayalanku saja! Gemuruh dalam hati. Detik itu juga kuabaikan semua khayalanku
tentangnya. Biarkan kuanggap semua pertemuan kita hanyalah angin lalu yang
takkan pernah terbalas. Aku berusaha untuk melupakan kisah indah itu. Melanjutkan
perjalanan senja ini seorang diri, menari-nari di atas bumi dengan kegalauan
hati. Meredam rasa yang sebenarnya aku ingin. Maafkan aku Tuhan, aku sedang
membohongi perasaan ini, aku hanya takut.
Malam takkan berpijak menjadi teduh karena keheningan para manusia
yang beristirahat. Waktu akan terus bergulir, berganti hari-hari yang fana,
menyambut asa dan harap, menentramkan jiwa lalu membalikkannya kembali pada
kebahagiaan. Malam tempatku berbagi cerita kepada seluruh bumi dan langit
dengan leluasa tanpa ada siapapun yang tahu. Lembaran kata, untaian kalimat,
sampai puluhan cerita. Sisanya, aku bertanya dalam sepi, apa kabar dirimu?
Seseorang yang aku kagumi belakangan ini. Aku berlari sambil menanti. Seperti
gerimis, aku mencintaimu perlahan-lahan.
“Sebentar lagi Ujian Nasional, jaga kondisi ya Kak. Jangan mikirin
yang lain-lain dulu.” Ucap Ibu sebelum berangkat sekolah dini hari.
Aku berhenti dari piring nasi ketika mendengar Ibu berucap seperti
itu. Mengingat janjiku pada diri sendiri yang tidak ingin mengulangi kesalahan
untuk kedua kali karena mengecewakan Ibu dan Ayah untuk Ujian Nasional tahun
ini. Aku hanya bisa terdiam, bibirku membisu dan hanya anggukan kepala yang
dapat kulakukan.
Rasanya, aku ingin menghubunginya kalau aku akan Ujian Nasional.
Tapi, apa itu penting baginya? Gumamku
dalam hati. Tiba-tiba handphoneku bergetar. Kubuka kunci pengamannya,
lalu kubaca notification yang terlihat jelas di layarnya. Seketika aku
langsung menghubungi seseorang yang dekat denganku sejak lama.
“Hallo, Kak? Nanti kita ketemu jam 4 sore di tempat biasa ya. Ajak
Kak Fahri juga. Ok!” Kataku.
Hari ini kulihat awan membentuk wajahmu lagi. Angin yang datang
terus menggoda hati lagi. Rasanya semua itu kembali. Tapi aku masih menyimpannya
secara diam-diam. Aku bagai sungai yang mendamba samudera kali ini. Namun aku
percaya pasti selalu ada makna dibalik pertanda. Ini hanya rindu atau
rambu-rambu lampu kuning? Ah, aku tak peduli! Aku berlari lagi.
Entahlah apa yang kurasakan saat ni. Perasaan itu hadir kembali. Candu-candu
asmara yang sangat menggoda dan menggelitik. Aku tahu ini sedikit berlebihan
tapi aku selalu yakin bahwa dewi cinta pasti menancapkan panahnya tepat pada
jantung hati pujaanku. Ingin cepat hari-hari penantianku berlalu dan Ujian
Nasional nanti akan kulalui dengan mulus dan lancar. Semangat ini terus merajuk
khayalan.
“Yolanda!” Kak Fahri dan Kak Firda mengagetkanku dari belakang.
“Aduh! Mengagetkan saja!” ujarku.
“Ada apa nih manggil kita berdua? Pasti mau ngomongin Kaaaaaa..”
ledek Kak Fahri.
Ah sial! Rupanya Kak Fahri dapat menebak isi hatiku! Gumamku dalam hati. Aku menjelaskan apa yang akan kulakukan sehabis
Ujian Nasional berakhir. Dari situ aku menyusun semua acara yang akan kita
upayakan bersama. Jantungku tak henti-hentinya berdetak sangat cepat dan senyum
di bibirku tak mau pudar. Kami menghabiskan senja di tempat makan ini.
Semalaman aku memikirkan kegalauan dalam hati, aku ingin
menghubungi Ka Bagas tapi aku takut. Rasa takut yang terus membodohi pikiranku
dan rasa rindu yang terus menjerumuskan aku dalam suasanan merah jambu. Virus
ini rupanya menyebar ke seluruh tubuh dengan begitu cepat sehingga aku tidak
bisa menahannya.
Perlahan-lahan kuberanikan diri untuk membuka handphone,
kutarik napas yang mulai tak karuan pelan-pelan dengan ragu kuketik namanya
pada kontak Blackbery Massanger kukatakan apa yang terselip di hati.
“Bismillah.. send!” Pesan singkat itu terkirim tinggal kutunggu balasannya.
Duhai malam, kau
tahu tidak? Sebenarnya aku tidak mengerti apa yang sedang kurasakan kini.
Menatap matanya pun aku belum pernah, berbicara padanya juga belum sampai.
Gila! Otakku berputar tak karuan. Semoga rasa ini bukan hanya rasa yang ingin
memiliki. Malam, kau harus tahu bahwa aku tak dapat menulis kata-kata indah
tentangnya. Seakan berjalan di jalan yang sempit lalu terhalang oleh tembok
yang semakin menggencet tubuh. Duhai malam, temani aku untuk menunggunya hadir.
Kulihat jam dinding yang kokoh berdiri di dinding kamar. Sudah
hampir tengah malam dia tak kunjung membalas pesanku, bahkan membacanya pun
belum. Akhirnya, kuputuskan untuk mengambil buku dan membacanya sambil menunggu
kabar dari Kakak seniorku itu. Meskipun Ayah selalu berucap kalau malam minggu
bukan waktunya belajar.
Kepalaku mulai
terjatuh perlahan-lahan, tubuh ini begitu sangat lemas, mata yang mulai memerah
tapi aku tak ingin terlewat oleh balasan pesan darinya. Kutengok jam dinding
lagi, tepat pukul dua pagi. Kupasang alarm di handphone karena aku takut
bangun terlalu siang. Kuputuskan untuk bermimpi saja.
Beginilah
rasanya menanti sambil berlari. Lelah, bukan kaki. Sakit, bukan fisik. Tapi
hati. Kadang rindu menyiksa ketika tak dapat diungkapkan (tak berani) tapi
hanya dapat dirasakan. Seperti hamparan bunga yang kau lihat begitu indah tapi
wanginya tak tercium karena semua itu hanya bunga tidur. Seperti senja yang kau
anggap milikmu sendiri, padahal kau tahu bahwa senja memeluk setiap orang di
bawahnya. Semua hal dapat berubah karena cinta. Semoga bukan hanya rasa ingin
memiliki tapi ingin berbagi kasih sayang.
“Kak bangun! Solat subuh dulu!” Teriakan Ayah menghiasi dini hari.
Pergilah kakiku ke
kamar mandi lalu ke tempat berwudhu. Menyegarkan wajah karena baru terlelap
tiga jam. Kuhamparkan sajadah terbaik. Kudirikan Sholat dengan rasa ikhlas dan
teduh. Sujud demi sujud aku berdoa kepada Sang Maha Pencipta untuk kebaikan
hidupku. Rasanya damai.
Sebelum menyiapkan
sarapan untuk keluarga kecil ini aku cek handphone, ternyata belum
muncul juga balasan pesan darinya. Aku makin gelisah seperti tak ada harapan
lagi untukku. Sudahlah, semoga aku tak mengharapkannya lagi. Kuletakkan
kembali pada tempatnya.
Aku harus fokus
Ujian Nasional beberapa hari ini. Tidak boleh ada yang aku pikirkan selain
ujian. Aku juga sudah meniatkan untuk tidak memegang handphone beberapa
hari ini. Akhirnya, kumatikan handphone-ku dan kusimpan di dalam lemari
baju.
Derai-derai asmara
mulai mengejekku seakan mengatakan, “Cintamu bukan dia. Hapuskan saja, lupakan!
Hahaha!” Hati ini mulai berdesir mengiris waktu yang tersisa. Apa aku salah
merindunya? Apa aku salah mengharapnya? Ya Tuhan, bantu aku, bantu aku
menemukan celah hatinya atau bantu aku untuk mengikhlaskannya. Aku seperti
berada di sebuah gurun pasir yang panasnya begitu menyengat lalu aku melihat
lebarnya danau padahal aku tahu itu hanya fatamorgana! Ah, rasa bodoh apa lagi
yang aku rasakan? Aku takkan mencoba untuk melangkah maju, aku juga takkan
mundur karena aku sudah berlari sejauh ini. Dewi cinta, aku terjebak menuju
hatinya.
“Hey Yolanda! Mau
ada rencana apa setelah ini? Kita jadi pengangguran nih.” Kata teman sekelasku,
Lily.
“Kayanya aku bakal
nulis lagi di blog terus nerusin buku yang baru jadi sinopsisnya aja.” Jawabku.
“Oiya, aku tunggu
tulisan terbaru kamu ya. Adik aku nanyain terus tuh tulisan kamu di blog.
Katanya dia kangen sama kata-kata romantis kamu.”
“Hehe.. biasa aja
kok. Makasih, salamin ya buat adik kamu.”
Berbicara tentang
rindu aku jadi ingat. Aku langsung pulang ke rumah dan menyalakan handphone yang
sduah sangat dingin karena tidak kunyalakan beberapa hari ini. Banyak pesan
yang masuk untuk menyemangati Ujian Nasionalku kemarin tapi tak ada satu pun
dari orang yang kunanti.
Kurasa aku
batalkan saja acaranya, kataku dalam hati. Baru kuketik nama Kak Fahri dan
Kak Firda untuk memberitahu akan kubatalkan acaranya, tiba-tiba ada satu pesan
yang belakangan datangnya. Kubuka perlahan-lahan namun tak mengharapkan pesan
itu dari orang yang kunanti. Dan, Aaaaaaaa!!!!!! Teriakku dalam hati.
Seseorang yang kunanti akhirnya tiba,
Maaf ya baru
balas pesan kamu, aku baru pulang kerja tadi tengah malam lalu aku langsung
tidur.
Hey, kamu mau
Ujian Nasional ya? Semangat ujiannya ya. Jangan lupa baca do’a dulu loh.. Pasti
bisa!
Dua pesan darinya
yang membuatku sangat bahagia. Kuurungkan niatku untuk membatalkan acara itu.
Kubalas pesan darinya dengan bahasa sederhana yang aku bisa. Kita berkomunikasi
lewat chat di BBM. Disetiap pesannya yang masuk pasti selalu ada
tawa yang menggemaskan. Kuhargai waktunya yang sibuk untuk bekerja dan
beristirahat. Takkan kusia-siakan waktu luangnya.
Senja, kau
harus tahu! Kali ini kau adalah milikku. Pelangi, kau juga harus tahu! Bahwa
warnamu itu kalah dengan warna-warna dalam hatiku saat ini. Biarkan gerimis
turun membasuh relung jiwa. Ketika dia menyapa ruang hati yang telah tertutup
lama, lalu biarkanlah hati kecilmu bicara dan aku siap untuk menata. Aku takkan
pernah berhenti untuk selalu percaya. Takkan kupaksa, biarkanlah mengalir apa
adanya. Aku akan menunggu karena waktu takkan berkhianat, kau jadi bagian
hidupku.
“Hallo Dek? Gimana
kadonya udah siap?” Kata Ka Firda menelponku.
“Udah kok Kak, aku
mau beli kue dulu ya. Kak Fahri sama Kak Firda tunggu aja di dekat rumahnya, 15
menit lagi aku sampai disitu.” Kataku.
Acara yang sudah
kusiapkan sejauh ini harus sukses dan lancar. Hari ini ulang tahun Kak Bagas,
orang yang kusukai entah dari sisi mananya. Jantung ini sangat berdebar cepat,
sangat cepat. Aku tahu dia hanyalah temanku dan mungkin dia hanya menganggapku
sebagai adik kelasnya. Maka dari itu aku sangat takut dia tidak senang atau
menganggapku yang aneh-aneh.
Tiba di tempat
toko kue langgananku. Memilih dan memilah kue mana yang kira-kira cocok untuk
kuberikan kepada Kak Bagas. Baru saja aku ingin keluar dari toko itu hujan
deras pun turun membasahi jalan abu. Tiba-tiba ada pesan dari Kak Firda, Dek,
tunggu hujannya reda saja dulu. Kita tetap tunggu kamu di dekat rumahnya Kak Bagas ya. Jangan hujan-hujanan nanti kamu sakit. Tenang saja.
Sudah sore aku menunggu hujan ini reda. Kira-kira hampir tiga jam
aku berdiri di depan toko ini. Alhasil, aku menerobos hujan dan mencari
angkutan umum yang kosong. Sampai di dekat rumah Kak Bagas aku menemui Kak
Firda dan Kak Fahri yang sedang menungguku dengan setia di tempat itu dengan
tubuhku yang sudah kuyup dan kardus kue yang agak basah.
Kami bertiga
memasuki gang ke arah rumahnya tapi rumah itu kosong dan ada bacaannya
‘Dikontrakkan’. Wajahku terlihat murung dan rasa tidak enak kepada
kakak-kakakku karena sudah merepotkan. Kak Fahri bertanya kepada tetangganya
tentang keberadaan Kak Bagas. Kami pun langsung ke lokasi, aku dan Kak Firda
menaiki angkutan umum lalu Kak Fahri mengendarai motornya.
Tepat di jalan
rumahnya Kak Bagas kami tak tahu arahnya lagi. Mau tidak mau kejutan yang aku
rencanakan gagal karena aku menghubungi Kak Bagas untuk menjemputku di depan
jalan arah rumahnya. Aku gugup, sangat gugup. Ini pertama akli aku berbicara
kepadanya walau hanya lewat telpon. Kak Bagas dengan tidak percaya terus
tertawa dari jauh sana.
Kejutan yang
kubuat dan kurencanakan gagal seketika. Yang ada hari ini adalah kebahagiaan dengan
canda dan tawa. Kami berempat diajak ke restoran yang tak jauh dari jalan tadi.
Diam, candaan, tawa karena gugup, berfoto bersama, dan yang paling penting
berbicara padanya secara langsung.
Petang,
terimakasih karena sudah mengizinkanku menatap senyum dan tawanya lagi.
Terimakasih karena telah mengizinkanku bercengkrama dengannya secara langsung.
Wahai malam, aku masih bersamanya. Kita membelah malam dan memeluk angin yang
begitu dingin. Sungguh, aku tak ingin bangun dari mimpi indahku ini. Aku menatap
bintang yang berserakan di langit yang begitu cerah, tersenyum pada setiap
perkataannya, bercuri pandang, dan.. Ah! Aku tak dapat mengungkapkan perasaan
ini dengan lantunan kalimat seperti biasanya. Ya Tuhan, aku tak ingin ini
berakhir. Aku takut ini menjadi yang terakhir meskipun aku harap ini adalah
awal dari kebahagiaanku. Ya Tuhan, tepat di depan pagar rumahku adalah kenangan
pertama yang dia berikan. Izinkan aku merasakannya lagi. Rasa ini sungguh
nyata. Semoga bukan hanya dalam mimpi indahku. Seperti malam, aku mendambanya
diam-diam.