Senin, 23 Desember 2013

Perjalanan Waktu (Cerpen Motivasi)


Mengejar Matahari

Aku hanya memanggilmu Ayah
Di saat kukehilangan arah
Aku hanya mengingatmu Ayah
Jika aku t’lah jauh darimu

Perjalanan hidupku masih panjang. Tak kan kuikuti jejak hidupmu atau dia. Namun aku masih menghargai setiap peluh yang bercucuran saat dua pilihan disebut (hidup atau mati). Walau biarlah aku berjuang sendiri demi masa depanku. Hanya do’amu dan dia yang hanya dapat mengantarkan aku dalam menghadapi kegelisahan dunia yang fana ini.

“Biarin Candra dan Nino sama Ibu! Kalau kamu mau pergi, pergi aja sana! Jangan bawa mereka.” Sentak Nenek.

“Tapi Bu, mereka itu anak-anakku. Jadi aku yang berhak untuk merawat mereka.” Pinta Ibu.

“Halah… mau dikasih makan apa Candra sama Nino kalau kamu yang urus? Mau tinggal dimana? Tempat klabing? Hah!” bentak Nenek.

Pertengkaran yang sangat menegangkan itu, sudah harus kudengar sejak aku berumur empat tahun dan Nino masih berumur dua tahun. Aku hanya tersudut di balik meja bundar bekas peninggalan kakek semasa hidupnya.

Ibu dan Ayah, mereka berpisah. Entah apa yang terjadi saat itu, aku masih tak mengerti. Namun sepertinya, Nenek sangat benci Ibu. Mereka merebutkan aku dan Nino, adikku. Sungguh, sebenarnya bayang-bayang kejadian yang sangat menakutkan itu masih terbayang jelas di pancaran terdalam bola mataku.

Ayah, yang seharusnya hadir di tengah kejadian tempo lalu, namun entah kemana dia menghilang. Aku dan Nino tinggal di rumah Nenek dan Ibu tak pernah mengunjungi kami berdua. Perasaan murungku selalu menyelimuti dunia.

Om Ferdy, adik kandung Ayah yang setia mendukung, sampai sekarang menjadi panutan dalam hidup kami terutama aku. Menjaga seperti anaknya sendiri, seperti bukan keponakannya lagi. Sekalipun dia sudah menikah dan  mempunyai anak.

Ibu, aku menyayangimu, sungguh. Aku merindukan hadirmu disaat aku butuh pelukan hangatmu. Ibu, apa yang telah terjadi padamu dan Ayah? Apakah kau tega membiarkan aku dan Nino menghabiskan waktu kecil tanpa bimbingan keluarga yang lengkap? Ibu, andai kau tahu betapa aku sangat mengharap belaian hangatmu yang tak pernah kau tinggal walau hanya sebagian kecil.

Lambat laun, sejalan dengan melupakan semua hal kelam yang sedang melanda hati. Dari tahun ke tahun aku dan Nino berusaha untuk membanggakan Nenek dan Om Ferdy dengan prestasi yang kami buat. Walau hanya dengan selembar kertas dan angka yang tercantum di sana, mereka sudah cukup bangga dengan semua peningkatan nilai-nilai kami.

Sudah beranjak masa putih abu-abu, mulai kuhirup masa-masa pendewasaanku. Walau Nino masih memakai putih biru. Aku mulai mencari penghasilan sendiri, walau Nenek sebenarnya masih bisa menghidupi aku dan Nino dengan hasil pensiunan dia dan Kakek. Walau Om Ferdy masih membiayai aku dan Nino sekolah, dan Tante Mira masih membelikan kami perlengkapan sekolah.

“Candra.. Nino..” panggil Om Ferdy.

“Kenapa Om?” jawabku.

“Begini Om mau bilang, kalau Om dan Tante Mira mau pindah rumah. Jadi nanti kita engga tinggal di sini lagi. Tapi kamu sama Nino kalau mau main ke rumah Om dan Tante, main aja. Oke.” Jelas Om Ferdy.

Sesungguhnya, aku merasa sangat kehilangan saat itu. Aku takut untuk menopang kakiku sendiri, lagi. Setelah bertahun-tahun rasa sesak itu aku tahan yang ternyata masih membekas setelah kepindahan Om Ferdy dan istrinya ke rumah baru.

“Maafin Tante ya sayang. Kamu belajar yang bener ya, kalau ada apa-apa ke rumah Tante sama Om aja. Oke ganteng?” sanggah Tante Mira.

Kepalaku hanya mengangguk pelan, menerawang begitu jauh, menatap kosong tanpa arti. Sungguh, ini di luar dugaan hatiku. Aku merasa belum siap. Aku masih rapuh, aku masih takut. Aku merasa seperti kembali diumurku yang keempat tahun.

Terbayang lagi wajah-wajah malaikat yang menjagaku beberapa hari yang lalu. Satu minggu sudah mereka pindah ke rumah barunya itu. Melihat Nenek yang sudah semakin tua, menengok adikku yang masih kecil dan melihat Ayah yang hanya luntang lantung entah mencari apa.

Mataku mulai mencari sisi dunia yang lain, pikiranku mulai bekerja pada sebuah misteri yang akan ditunjukkan Tuhan. Aku bangkit demi mereka yang menyayangiku, sungguh aku beranjak dari masa laluku yang begitu kelam!

Beberapa strategi belajar yang ditunjukkan Om Ferdy sudah kulakukan dengan sempurna hanya untuk menyelesaikan study-ku dengan nilai yang memuaskan. Aku mencari beasiswa, aku berusaha dan berdo’a agar suatu saat nanti setelah aku lulus, aku akan mendapatkan kuliah di Universitas Negeri dengan jalur tanpa tes.

Sekarang, aku sekolah di SMA terkemuka di kotaku, Bogor. Biarkanlah walau biasanya masa-masa putih abu-abu itu adalah masa-masa asmara, masa-masa virus merah jambu mulai menyebar. Tapi bukan untukku, aku takkan menghancurkan semuanya.

Ujian kelulusan tinggal beberapa hari lagi, aku masih sibuk bulak-balik mengunjungi rumah teman-temanku untuk meminjam buku-buku pelajaran. Dengan tanpa rasa malu, aku meminjam bukunya agar bisa diphoto copy. Menginap sana sini hanya untuk dapat belajar, karena yang aku tahu buku-buku itu sangat mahal harganya. Tak perlu lah aku meminta kepada Nenek atau Om Ferdy. Aku pakai dengan caraku sendiri. Aku selalu tanamkan, jika aku anak bangsa yang ingin maju! Aku anak bangsa yang mempunyai semangat belajar dengan tanpa disuruh! Hingga Ibu dapat melihatku sukses. Hingga Ayah bangga dengan dengan anaknya sendiri. Aku dan Nino yang setia menunggu mereka kembali, walau aku tahu penantian yang mungkin akan sia-sia saja.

Disisa-sisa waktu yang telah terlewatkan. Ujian menanati di ujung bola mata. Ternyata, tak pernah kuduga, pernyataan Ayah begitu memperkeruh suasana rumah Nenek. Aku hanya tak habis pikir tentang apa yang sebenarnya ada di dalam kepalanya.

“Heh! Kamu mau kemana?” tanya Nenek.

“Aku mau nikah lagi Bu, udah Ibu di sini aja jaga anak-anak saya.” Jawab Ayah.

“Yasudah sana pergi! Jangan kembali lagi ke sini!” bentak Nenek.

Ayah pergi dari rumah dengan alasan ingin meikah lagi, tak tahu dengan siapa. Lagi pula, Ayah tak memiliki pekerjaan apapun dan di mana Ayah akan tinggal? Ayah tak punya tempat tinggal. Aku tak peduli lagi, yang aku pedulikan hanyalah Nenek dan Nino adikku.

“Loh, Nino? Kamu ngapain di jembatan ini?” tanyaku.

“Abang… Ayah Bang… Ayah pergi dari rumah, katanya mau nikah lagi. Abang pulang yuk Bang..” tangis Nino.

“Yasudah, kamu yang sabar ya. Abang ambil buku-buku dulu di rumah temen Abang ya Nino. Kamu tenang, oke.” Jelasku.

Aku dan Nino pulang ke rumah Nenek. Nenek sudah lemas tak berdaya di atas tempat duduknya. Entah apa yang terjadi padanya. Mungkinkah penyakit jantung itu kumat lagi akibat bertengkar dengan Ayah? Sungguh, aku benar-benar merasa bersalah karena aku tak ada di rumah Nenek. Ya, aku mencari buku-buku pinjaman.

Dengan rasa tenang, aku memanggil ketua RT setempat untuk membantuku membawa Nenek ke rumah sakit, juga menghubungi Om Ferdy untuk segera menyusul. Tangisan Nino terus mengeras dan tak ada habisnya, dia begitu kaget dengan perlakuan Ayah terhadap Nenek. Aku masih terlihat tegar, walau sebenarnya aku rapuh dan sangat rapuh. Namun aku harus kuat demi adikku Nino.

Setelah beberapa hari sudah Nenek dirawat di rumah sakit, Nenek diizinkan untuk pulang, tapi dengan syarat Ia tidak boleh memikirkan hal-hal berat. Senangnya bisa berkumpul seperti biasa lagi.

Semangat belajarku belum padam. Buku-buku yang menganggur buru-buru aku buka dan kubaca sampai habis. Kini, persiapan untuk kelulusan putih abu-abu sudah sangat matang. Walau beribu-ribu kunci jawaban berterbangan di mana-mana, aku takkan mengambilnya, bahkan untuk meliriknya pun aku tak ingin. Untuk apa aku belajar selama tahun-tahun, kalau ujung-ujungnya nyontek juga? Lagi pula, itu hal yang sangat licik, bukan? Pekikku dalam hati.

Seminggu sudah lembaran-lembaran pertanyaan itu kuisi dengan sebaik-baiknya. Hanya tinggal menunggu pengumuman hasil kelulusan.

Tak lama kemudian, telepon rumah Nenek berdering. Ternyata, yang menghubungiku kepala Tata Usaha sekolah. Yang ada di pikiranku saat itu adalah pembayaran tunggakan sekolah bulan ini. Dengan sedikit kepanikan, aku menghubungi Om Ferdy menggunakan handphone Nino.

“Kenapa Nino?” tanya Om Ferdy.

“Aku Candra. Om, aku ditelepon kepala Tata Usaha katanya disuruh ke sekolah, ada yang penting. Aku takut ditagih uang bulanan bulan ini Om. Gimana dong?” jelasku.

“Bayaran sekolah kamu sudah Om bayar kok, Candra. Ya sudah, begini aja, kamu tunggu dulu di rumah, nanti Om jemput ya.” Jawab bijak Om Ferdy.

Tidak lebih dari satu jam, Om Ferdy datang dengan avanza putihnya. Dia bergegas menemuiku di dalam rumah, sambil mengecek keadaan Nenek setelah pulang dari rumah sakit tempo lalu. Aku dan Om Ferdy berpamitan kepada Nenek, senyumnya yang selalu menyemangati setiap napas hidupku. Itu juga yang membuat aku bersemangat untuk masuk Universitas Negeri dengan jalur tanpa tes.

Tak ada sosok Ibu yang kukenal selain Nenek. Senyumnya yang selalu menyemangati setiap jejak napas hidupku. Aku berjuang demi Beliau, demi masa depanku membahagiakannya, karena aku tak ingin menyakiti perasaannya seperti dua orang yang seakan telah menghianati hidupnya. Aku berjuang dengan halal, Insyaallah. Aku kembali untukmu, Nenek.

Sampai di sekolah. Om Ferdy berjalan paling depan dan aku di belakangnya, seakan tak akan terjadi hal apa pun. Langkah Om Ferdy yang meyakinkan hatiku untuk tetap tenang. Sampai di pintu ruang Tata Usaha.

“Permisi..” Ucap Om Ferdy.

“Iya, silahkan Pak.” Ramah salah satu staf ruang Tata Usaha.

“Ini Bu, saya mau tanya. Katanya keponakan saya, Candra dipanggil disuruh menghadap Tata Usaha. Ada apa ya?” tanya Om Ferdy.

“Oh iya Pak, betul. Jadi begini, sebelumnya saya mohon maaf karena sudah merepotkan Bapak untuk jauh-jauh datang ke sekolah, sebenarnya Candra saja juga tak jadi masalah. Tempo lalu, Candra daftar menjadi peserta Universitas Negeri tanpa tes, dan Alhamdulillah Candra lolos, Pak. Jadi, setelah kelulusan nanti, Candra sudah aman untuk masuk kuliah.” Jelas salah satu staf Tata Usaha.

Sungguh, aku merasa hari-hari yang selama ini aku jalani bukan sia-sia. Dan senyum Nenek membuktikan bahwa semuanya akan baik-baik saja dan akan berujung manis. Om Ferdy bangga denganku, aku pun sama. Walau aku tak kan berhenti sampai di sini saja, sungguh aku akan terus berjuang hingga aku merasa ini sudah cukup.

Inilah jawaban dari kepastian langkah Om Ferdy. Ketenangan jiwa selalu menjadi saksi bisu perjalanan hidupnya. Aku bergegas untuk menemui Nenek di rumah. Tak sabar untuk membagi kisah ini padanya.

Sepanjang jalan kutatap satu persatu mobil dan motor. Dari tembok penyangga antara jalan raya dengan rumah-rumah penduduk. Ada satu bendera kuning yang tertancap di ujung jalan menuju rumah. Rencanaku setelah bertemu Nenek, aku akan segera menengok ke rumah yang sedang berduka cita.

Beberapa langkah dari ujung jalan tadi. Tubuhku berputar arah, aku menyadari bahwa aku berjalan seorang diri. Kemana Om Ferdy? Ucapku dalam hati. Om Ferdy tertahan pada bendera kuning itu, dia membaca nama orang yang meninggal dunia. Aku menghampirinya dengan atau tanpa sadar.

“Sabar ya Candra.” Ucap Om Ferdy perlahan. Aku tak mengerti apa maksud dari perkataannya. Aku juga tak tahu apa maksud dari air mata yang menetes perlahan dari pelupuk matanya. Aku baru ingat, Nenek! Aku berlari sekencang-kencangnya, tak kuhiraukan walau banyak batu terjal yang sudah siap membuatku terjatuh.

Sampai di depan gerbang rumah Nenek, mataku merekam semua kejadian yang menimpa keluarga ini lagi. Aku melihat seorang bocah kecil melipat dan memeluk kedua kakinya, terperangkap oleh air matanya. Sungguh aku tidak menyangka hal ini akan terjadi pada Nino.

“Kamu kenapa? Mana Nenek?” tanyaku panik.

“Nenek Bang, Nenek meninggal. Jantungnya kumat, aku engga tau harus kaya gimana. Aku panggil Pak RT buat nolongin Nenek, aku udah menghubungi Abang tapi engga nyambung-naymbung. Aku juga udah sms Om Ferdy tapi engga ada jawaban.” Tangis Nino.

“Iya maaf Dek, handphone-nya Abang jual buat nambah-nambahin keperluan sekolah.” Jelasku.

Langkahku tertuju kepada Nenek, mataku menatap kosong lagi. Surat yang kubawa seperti tak ada artinya lagi tanpa kehadiran Nenek, tanpa senyumnya yang selalu menjadi sebuah kenyataan.

Tangisku membuncah saat kulihat Nenek terbaring lemas tak berdaya, seakan nyawaku telah habis separuh hidup. Apa artinya kebahagiaan ini? Kemana lagi akan kucari senyum keajaiban itu? Baru kureguk kenikmatan dalam hidup yang selama ini kucari. Baru kutatap dunia dengan seluruh pengharapanku. Baru kutata masa depan. Kemana lagi akan kucari senyummu? Nenek.

Rumah yang kini begitu usang, bahkan nyawanya pun telah menghilang, terbang dan melayang, menantang langit dunia yang penuh cucuran peluh. Bahkan anaknya pun acuh dengan kepergian sosok seorang yang telah mempertaruhkan nyawanya itu. Ayah. Kemanakah batang hidungmu? Wahai pria pengecut yang tak bertanggung jawab! Bahkan untuk dirimu sendiri. Selalu kubiarkan rasa penyesalan itu hilang, selalu kubiarkan kau akan tetap menjadi Ayahku. Aku selalu menunggumu kembali. Apa aku harus mencarimu? Kemana! Tak sadar kah kau telah menampar dirimu sendiri?! Ayah… apa aku tetap memanggilmu Ayah?

Sudah hampir dua tahun Nenek pergi, tapi masih kusempatkan untuk selalu mengunjungi rumah terakhirnya. Berdoa kepada sang Ilahi Robbi agar ditenangkan jasadnya dan ditempatkan disisi-Nya.

Menghadapi skripsi. Aku akan terus berjuang seperti janjiku terhadap Nenek, sambil bekerja sebagai seorang penulis amatiran yang hanya iseng-iseng mengirim naskah cerpen atau puisi ke salah satu penerbit majalah terkemuka di Indonesia. Aku juga mendapatkan beasiswa yang uangnya cukup untuk membiayaiku dan Nino. Aku juga masih dikirimi uang setiap bulannya oleh Om Ferdy dan Tante Mira. Di rumah tua ini, hanya ada aku dan Nino, kami tak ingin pindah dari sini. Rumah ini saksi bisu perjalanan hidup kami, bukan untuk mengenang Nenek, tapi untuk meneruskan perjuangan Nenek selama puluhan tahun.

Beberapa buku berserakan di mana-mana, kertas HVS bertebaran di awang-awang. Photo copy-an juga begitu tebal, tertumpuk di pojok dekat lemari. Tidur tepat waktu dan bangun pukul dua, solat tahajud, lalu membuka buku, sudah menjadi rutinitasku selama setahun ini. Aku hanya tak ingin mengecewakan banyak orang. Aku juga harus sukses demi Nino, adikku.

Tiga hari kemudian. Sidang skripsi tinggal menunggu detik. Semua sudah kupersiapkan dengan sesempurna-sempurnanya. Dengan langkah sigap aku memasuki ruang sidang. Kujawab dengan pasti dan yakin semua pertanyaan-pertanyaan dari para senior dosen. Karena menurutku mempertanggungjawabkan makalah tidak akan sesulit mempertanggungjawabkan dosaku kelak.

Kehilangan kedua orang tua bukan menjadi suatu alasan untuk kehilangan masa depanku juga. Karena sebenarnya, aku tak sendiri, karena sebenarnya aku dilindungi. Karena semangat dan senyum dari seluruh orang yang menyayangiku, aku hidup. Karena cinta aku bangkit. Walau biarlah tak pernah kureguk kebahagiaan masa kecil dengan hangatnya pelukan Ibu atau Ayah. Aku tak mau menyesali semua kejadian yang ada dihidupku. Karena aku yakin, Tuhan ada untukku. Tuhan takkan memeberikan ujian kepada umat-Nya jika ia tak mampu, bukan? Ya, inilah jawaban mengapa aku harus kuat dan tegar. Bukan hanya aku seorang lelaki, bukan hanya aku seorang kakak untuk adikku Nino, tapi aku selalu menghargai tentang suatu perjalanan waktu yang diberikan Tuhan.

Bintang pun tak sempurna, tahu kenapa? Bintang takkan bersinar jika tak ada tempat yang gelap. Untuk itu, bintang butuh langit malam untuk tetap ia bersinar. Aku pun sama, takkan menjadi manusia berguna jika tak ada seorang wanita tua renta yang selalu memberikan senyum keajaibannya itu. Walau sayang, dia belum melihtaku memakai toga kebesaranku. Walau sayang, saat-saatku bermimpi untuk berfoto dengannya disaat aku membuka kemenangan tidak bersamanya. Aku tak mau menyesali keadaanku, aku masih dapat merasakan hangatnya peluk wanita itu bersamaku ketika aku benar-benar butuh dirinya. Aku tahu dia tersenyum di sana, karena aku berjuang demi masa depanku, menjadi mahasiswa yang mendapat nilai terbaik di bidang mata kuliahku.

Ibu, sungguh aku menyayangimu. Aku tak peduli kau seperti apa sekarang. Aku ingin kau kembali padaku. Ibu, berkat do’amu aku bisa seperti ini, karena kau melahirkanku, aku bisa menghidupi adikku Nino. Ayah, apa kau bahagia dengan keluarga barumu? Sehingga kau benar-benar meulupakan aku dan Nino juga Nenek. Rasa iri kadang menghampiri, ketika mataku menangkap hangatnya keluarga untuk menemani putra putrinya menghadapi kesuksesan. Kembalilah, aku merindukan kalian, sungguh.
Kata mereka diriku selalu dimanja
Kata mereka diriku selalu ditimang
Oh, Bunda ada dan tiada dirimu kan selalu
Ada di dalam hatiku
Seventeen – Ayah
Melly Goeslaw - Bunda

Jumat, 13 Desember 2013

Perjalanan Waktu (masih putih abu-abu)


Berbagi Gerimis


Cause I was born to tell you I love you
And I am torn to do what I have to
To make you mine
Stay with me to night

“Bay, ada lomba buat rakit komputer loh. Mau ikut engga? Aku daftarin ya?” ajak Olive.

“Engga ah Liv. Aku belum siap, aku mau ikutan festival akustik aja. Ada engga?” tanya Bayu.

“Oh gitu, yaudah nanti aku cariin.” Semangat Olive.

Waktumu adalah waktuku yang berharga, cita-citamu adalah cita-citaku yang hilang. Aku mencari anganmu yang terpendam di balik awan. Walau biarlah pencarian hatimu tak sempurna yang kuimpikan.

Tak sampai beberapa bulan, penerangan menuju angan bercahaya. Pencarian Olive berjelajah di dunia maya atau keliling dunia dengan satelit cinta. Mencari dan mencatat yang dia temukan di sana. Menunjukkan pada Bayu alamat mana yang akan  dikunjungi, hanya untuk berbagi inspirasi lewat petikan senar melodi meraka. Melangkah pasti, aku ada di belakangmu, aku menggenggam bayangmu dengan erat. Karena aku mencintaimu, karena kita sahabat putih abu-abu.

“Bayuuuu….” Teriak Olive.

“Apaan Liv? Semangat banget, apa-apa?” tanya Bayu penasaran.

“Ini ada audisi, ikutan ya? Engga jauh kok tempat audisinya. Gimana? Mau ya? Ayolah..” Paksa Olive.

“Hmmm.. mau engga ya…?” ledek Bayu.

“Mau lah mau…” Rayu Olive.

“Iya iya mau deh, kapan audisinya? Pendaftarannya urusin ya? Hehe..” Rayu Bayu.

“Audisinya bulan depan, nanti kamu tinggal dateng aja. Aku yang daftarin deh, semuanya beres.” Jelas Olive.

Tiba-tiba semua hening, diguyur hujan pertanda akan turun lama. Ternyata, petang telah membisukan suara kita sejenak. Setelah akhirnya mata kita bertemu dan berbagi tawa sejenak. Hujan terus menari di atas kepala, mengiringi perjalanan waktu disisa napas yang masih terasa mengendap di dalam hidung dan paru-paru.

“Liv, aku mau nanya serius.” Kata Bayu.

“Apa? Jangan bikin penasaran deh Bay.” Tanya Olive penasaran.

“Kamu kenapa sampe segininya si?” tanya Bayu.

“Segini gimana? Aku engga ngerti Bay.” Kata Olive.

“Ya, perhatian kamu. Semangat kamu buat aku, bahkan aku aja belum pernah ngeliat kamu nangis atau galau gitu.” Jelas Bayu.

“Oh itu, ya bagus dong Bay. Udah ah, biasa aja kali Bay, kita kan sahabat. Ya itu juga kalo kamu menganggap aku ini sahabat kamu loh.” Jelas Olive.

“Tapi aku engga menganggap kamu sahabat, gimana dong Liv?” Sanggah Bayu.

“Maksut kamu?” penasaran Olive.

“Kamu itu bukan sahabat aku, tapi…… hahahaha.” Ledek Bayu.

“Ih, kamu jahat banget sih malah ketawa. Udah ah aku marah!”

Percakapan singkat yang terus menjadi kenangan terindah. Entah apa yang sedang ada di pikiran mereka saat itu. Yang jelas, Olive tak ingin kehilangan Bayu. Dia yakin bahwa semangat Bayu ada ditangannya. Motivasi yang terus mengalir utuk Bayu tak akan pernah lepas dalam genggamannya.
Satu minggu sebelum audisi, Olive dan Bayu menyempatkan untuk berlatih bersama. Dan lagi, petang dan guratan jingga menimpa mereka. Mengiringi sentuhan tangan Bayu yang memetik senar-senar usang menjadi melodi cinta.

“Bay, pulang yuk.” Ajak Olive.

“Yaudah sana pulang.” Jawab Olive.

“Loh, kamu?” tanya Olive, heran.

“Aku nanti aja.” Jawab Bayu.

“Kenapa engga bareng aja?”

Bayu bungkam seribu bahasa, entah apa yang membuatnya begitu dingin akhir-akhir ini. Walau seingat Olive, dia tak pernah berbuat kesalahan apa pun terhadap Bayu. Awal pertama Olive membelah gerimis seorang diri, menatap langit dengan tatapan kosong yang penuh tanda tanya di atas kepalanya. Kebiasaan menyendirinya telah hilang sejak setahun ini karena ada Bayu yang selalu setia menemani kesendirian itu.
Tak kan pernah terlintas di pikiran Olive hal ini akan berjalan lama atau sampai selamanya. Walaupun seperti itu, Olive masih setia untuk membagi semangatnya lewat pesan singkat atau bertatap muka langsung yang terkadang tak ada balasan positif dari raut wajah Bayu.

Olive tak pernah peduli, dia selalu menyemangati semua kegiatan Bayu yang menurutnya dapat menyalurkan bakat Bayu. Audisi tinggal menghitung hari, hari minggu nanti Olive dan Bayu berencana berangkat bareng. Planning yang mereka rencanakan sejak awal pendaftaran.

Olive duduk di pelataran masjid sekolahnya, tatapan mata Olive masih terasa tak penuh arti dengan kesendirian hari yang harus dia rangkai ulang. Dengan langkah ragu, Olive berjalan menuju kantin sekolah untuk membeli sebotol air mineral.

“Bay?” Sapa Olive.

“Eh, Liv. Ngapain?” tanya Bayu polos.

“Aku mau beli air mineral. Yaudah ya, aku duluan Bay.” Jelas Olive.

Jum’at yang menyesakkan. Sekarang Olive mengerti maksud tolakan Bayu tempo lalu. Mungkinkah Olive dan Bayu akan merajut Minggu pagi yang sudah direncanakannya? Atau mungkin sebaiknya harus Olive kubur angan itu. Pikiran Olive kacau dan sangat kacau. Olive tak pernah membuat rencana bagaimana melupakan Bayu. Yang sekarang ada di dalam pikiran Olive adalah bagaimana cara menyemangati hatinya sendiri. Ternyata tak semudah menyemangati Bayu, Olive butuh teman, Olive butuh seseorang untuk mengeluarkan air matanya dengan ikhlas. Olive tetaplah Olive, wanita yang berpura-pura tegar, wanita yang terus berpura-pura tersenyum, tak mengapa walau palsu. Tak mengapa asal Bayu bahagia, pekik Olive dalam hati.

Bel pulang sekolah terdengar begitu nyaring di telinga murid-murid. Olive berlari kencang menuju kelas Bayu, seakan tak ingin ketinggalan wanita yang tadi bersama Bayu di kantin sekolah.

“Bayu!” teriak Olive dari kejauhan.

“Kenapa Liv? Penting banget kayanya.” Tanya Bayu.

“Iya ini penting banget, tentang audisi besok.” Jelas Olive.

“Kenapa audisinya? Dibatalin? Diundur?” tanya Bayu penasarn.

“Engga, bukan bukan. Salah semua, aku cuma mau nanya besok Minggu kita jadi berangkat bareng kan Bay?” Jelas Olive.

“Ya ampun, dikira apaan. Iya jadi Liv, jadi. Kita janjian di stasiun jam delapan pagi.” Jelas Bayu.

Pikiran Olive sedikit lega dengan perkataan Bayu beberapa detik lalu. Walau dia harus pulang sendiri lagi, karena Olive tak akan mengajak seseorang untuk menjawab hal yang sama kepadanya. Olive mencoba merasa tegar dengan apa yang telah terjadi. Lagi pula aku sudah terbiasa jalan sendiri, semangat Olive lirih dalam hati.

Malam minggu ini tidak akan seperti biasanya. Perdebatan kecil yang menjadi besar dan berujung dengan tawa, tak akan dirasakan Olive lagi. Handphone-nya masih saja membisu. Tangannya pun tak berani untuk menyentuh layar iphone-nya itu. Hal-hal yang sudah tak lazim bagi para jomblo mengecek timeline-nya disaat malam minggu. Penasaran, untuk yang pertama kalinya Olive membuka twitter Bayu. Hal yang mengejutkan, sungguh. Tapi harus dibiasakan Olive untuk ke depannya.

Di balik hujan, aku ingin bersamamu berteduh di kedai kopi. Walau hanya ingin menghangatkan tubuh, Citra.

Kau melengkapi setahunku yang selama ini kucari. Citra.

Minggu pagi Olive. Olive bangun dengan tepat waktu, bergegas merapikan dirinya untuk audisi bersama Bayu. Dengan baju yang terbaik, penampilan yang terbaik dan langkah yang pasti menuju stasiun kereta api.
Pukul delapan pagi mereka bertemu di stasiun, dengan mengantongi dua buah karcis di saku celana Bayu. Namun ada yang berbeda, kebersamaan mereka kali ini begitu kikuk dan tak bersuara, bahkan hampir lenyap ditambah lagi dengan kebisingan omongan orang-orang yang ada di dalam kerata.

Sesampainya di tempat audisi, mata Bayu mencari seseorang. Bahkan Olive dia hiraukan, dia langsung memilih tempat duduk. Beberapa menit kemudian Bayu datang dengan Citra. Citra menempati tubuhnya diantara Bayu dan Olive. Memperhatikan pementasan audisi akustik. Sekarang waktunya Bayu untuk maju ke atas panggung. Bayu bernyanyi dan memainkan gitranya dengan pasti, menatap Citra bukan Olive. Lagu I’m Yours yang dipopulerkan oleh Jason Mraz ini begitu pas dengan hati Bayu saat ini.

“Bayu..” Panggilan Olive sudah tak akan didengar Olive lagi. Turun dari panggung, Bayu langsung menghampiri Citra. Juga tak ketinggalan, Citra memberikan pelukan selamatnya untuk Bayu. Olive hanya tersenyum kecil. Ya, Olive wanita hebat. Dia masih bisa mempertontonkan senyum betapa dia sangat bahagia bila Bayu bahagia.

“Udah kan Liv? Aku mau jalan-jalan dulu, kamu mau ikut apa langsung pulang?” tanya Bayu.

“Kamu duluan aja, Bay.” Jawab Olive.

Perbincangan itu masih berlangsung, tapi nama Olive sudah dipanggil panitia untuk naik ke atas panggung dan ikut audisi.

“Liv, kamu?” tanya Bayu heran.

“Iya Bay, aku ikut audisi juga. Niat aku bukan audisi, tapi aku cuma mau menyapaikan isi hati aku aja.” Jelas Olive.

Bayu dan Citra duduk kembali ke tempat duduknya semula. Walau Bayu terus menerka-nerka tentang apa yang dimaksud oleh Olive. Sementara itu, langkah Olive yang sedikit ragu untuk melangkah. Di samping itu, petikan senar Olive belum sesempurna Bayu atau peserta yang lainnya.

“Lagu ini, aku persembahkan buat orang yang sangat aku harapkan. Makasih buat kamu yang udah menyelamatkan kesedirian selama setahun ini.” Jelas Olive.

Cause I was born to tell you I love you
And I am torn to do what I have to
To make you mine
Stay with me to night

Lagu secondhand serenade yang berjudul Your Call ini, selalu menjadi saksi bisu perjalanan menuju hati Bayu.

Seharusnya kita berbagi gerimis disetiap jalan abu, bukan? Seharusnya aku senang melihatmu terbit atau saat petang mempesona. Sungguh, entah apa yang membuatku tak berani menoleh ke barat atau timur. Bahkan saat gerimis mempertemukan kita membelah langit untuk menampakkan pesona senja dan membaginya dengan tatapan hangatmu. Tapi sudahlah, kita sudah cukup baik melewatkannya. Bersama setahunmu yang kelam sudah membuatku cukup bahagia, menemani temaram kekecewaanmu. Karena sekarang, kau tak lagi membagi gerimis itu bersama mataku. Bahkan kau tak lagi membagi senjamu yang dulu padam untukku. Sudahlah, aku tak ingin menyesali hadirmu di hidupku. Aku ini kawanmu, bukan? Seandainya aku hanya kehilanganmu, tapi bukan Om Badut-ku, aku tak akan bersedih seperti ini. Hadirku mengganggumu akhir-akhir ini. Tak apa, aku mengerti. Kamu tak ingin membuatnya berpikir aneh-aneh tentang kita, bukan? Untuk itu, aku perlahan menghilang dengan waktu yang selalu menunggu kepastian. Entahlah, apa aku masih tetap di belakangmu seperti setahun ini atau benar-benar tanpa bayanganku.