Rabu, 30 Desember 2015

FINISH

Kabar duka, ketika ada seseorang yang dalam raganya telah mangatakan 'aku sudah selesai, semua sudah berakhir, kini bukan masaku lagi.'. Namun apalah daya, kita tak tahu, tak dapat mendengar, berdesir di balik angin yang berhalu-lalang. Bahkan tak dapat merasakan, perubahan apa yang terjadi? Apalah daya, ketika Tuhan telah berkehendak, ketika Tuhan telah mengutus malaikat pencabut nyawa-Nya berdiri di hadapan manusia. Apa yang dapat kita lakukan? Tak ada kawan.. Tak ada! Hanya keimanan yang menjadi penolong. Lalu, kapan kau (kita) akan memperbaiki diri?

Ketika kau (kita) diperlihatkan tentang sebuah akhir, bahagialah, karena Tuhan sayang kepadamu, karena Dia ingin kau (kita) berubah menjadi lebih baik, atau berarti kau (kita) kuat untuk menyeka air matamu. Ikhlaskan.. Diamlah, jangan bicarakan seseorang yang telah terbujur kaku. Doakan, kesunggugan lantunan yang suci dari dalam hatimu yang kau (kita) panjatkan kepada Tuhan, itu akan membuatnya merasa damai. Jangan tangisi, biarlah ia yang telah tiada berjalan tanpa hambatan menuju tempat yang mulia-sisi Tuhan-Nya. Ketika kau tak diizinkan waktu untuk menengoknya di hari terakhir napasnya, aku mohon, jangan kau sesali, jangan kau salahkan masa lalu. Takdir Tuhan yang menjalankannya. Tuhan pun sayang padamu, Dia hanya tak ingin melihatmu terpuruk meratapi kesakitannya. Belajarlah untuk kuat, belajarlah untuk ikhlas.

Tak pernah ada yang menyangka tentang sebuah takdir, kematian, jodoh, dan kelahiran. Lalu kapan kau (kita) akan berubah menjadi yang lebih baik? Mari, jangan menunggu pintu rumah diketuk petugas Tuhan. Dan, takdir takkan menunggumu.

Senin, 16 November 2015

Lirih

Aku membaca di balik sepasang lensa, melihat ke arah kejauhan, menembus lorong waktu masa lalu. Kemudian, kupejamkan mata, merasakan desir angin yang terus membelai lembut tubuh. Perlahan, kuberanikan diri membuka mata. Aku berdiri di kelilingi anak sungai yang terus mengalir, meski tak lurus, kadang mereka berliuk-liuk mengikuti kawanannya, tak pernah mengeluh meski tersentak oleh bebatuan kecil di tepinya.

Setiap detik napas yang kurasakan dengan penuh syukur, terimakasih Tuhan karena Engkau masih memberikanku kesempatan untuk memperbaiki diri. Hampir tak ada yang tahu di balik sisi lain jiwaku. Aku belajar tentang sebongkah kesabaran dari sebuah rasa sakit, aku belajar sebuah keikhlasan dari sesabit senyuman, aku belajar mencintai dari sebuah tangisan di masa lalu. Dan pada akhirnya, kesadaran ini muncul saat aku terlalu lugu untuk secepat ini mengenalmu.

***

Tik.. tik.. tik.. Rinai hujan terus membasahi jalan abu. Aku benar-benar kuyup dibuatnya. Cipratan air dari sana-sini menambah lembab pakaiannku. Aku teringat hujan beberapa tahun silam, saat semuanya indah, yang terlihat hanya pelangi atau matahari yang menghangtkan, bukan badai yang menutupi jalan. Aku teringat hujan beberapa tahun lalu, ketika mantel bulu yang mendarat di punggungku tiba-tiba, terkejut jantungku, namun bergetar denyut nadiku.

“Hallo! Selamat Malam para setia radio gaul Bogor. Hari ini full day hujan terus ya. Maklum lah, namanya juga Bogor si Kota Hujan. Ketemu lagi bersama gue Clarisa disini yang bakal nemenin kalian semua sampai dua jam ke depan. Ohya, sebentar ada kiriman masuk nih, dari panitia SMA Harapan, dia bilang kalau mau diadain reuni akbar angkatan 2013 di rumah cupcake…” Bahas lebar pembukaan penyiar radio.

Ya ampun, siapa yang ngadain reuni dadakan gini? Pekikku dalam hati. sudah hampir satu tahun lebih aku tak bertemu semua kawan lama, hanya beberapa orang dari mereka yang sudah kuanggap sebagai sahabat, kita masih menyempatkan waktu untuk sekedar hang out  minum kopi, berbagi cerita, dan berkomentar perubahan yang sudah mulai terlihat belakangan ini.

“Hallo, Gif?” Aku menelpon sahabat terdekatku.

“Iya An, ada apa? Oh aku tahu, pasti kamu mau ngomongin soal reuni itu kan?” Tebak Giffari dari kejauhan sana.

“Aduh dasar paranormal, pasti aja tahu. Iya, kenapa reuninya dadakan gitu sih?”

“Engga dadakan, kamu aja yang jarang aktif di grup alumni. Kenapa sih? Masih takut ketemu si ‘Prince’?” Ledekan Giffari membuatku kesal, tapi aku harus tenang.

“Besok ketemuan yuk! Nanti aku ajak yang lain juga Gif.” Singkatku menjawab dengan mengabaikan pertanyaan yang mulai menyangkut masa lalu.

“Oke. Ditempat dan jam yang sama ya. Besok aku jemput di kampus, aku bakal bawa 2 jaket  biar kamu enggak kedinginan.”  

Selalu seperti itu, Giffari adalah salah satu sahabat lamaku sewaktu di SMA. Dia menjagaku seperti adiknya sendiri, singkat cerita dia pernah mengatakan aku ini manja seperti almarhumah adiknya. Terkadang, aku memanggilnya dengan sebutan ‘abang’. Orang tuaku pun sudah mengenalnya dan mereka menganggap Giffari seperti anaknya sendiri. walaupun aku suka merasa canggung dengan kekasihnya.

Keesokan harinya di café tempat biasa kita kongkow, sudah ada dua orang sahabat kami yang menunggu, Riri dan Brilian, kami disambut hangat oleh mereka berdua. Dengan berjabat tangan khas cara kita, senyum lebar, dan mata yang berbinar seakan berbicara bahwa aka nada banyak cerita di meja ukuran untuk enam orang ini.

“Kurang satu ya?” Tanya Riri sebagai pembukaan.

“Biasa itu mah, sahabat karibnya Anna, sibuk enggak pernah ada waktu, bahkan hanya sekedar chat di grup kita.” Jawab Brilian.

Aku hanya membalas tersenyum. Memang, aku mempunyai sahabat yang lebih dulu mengenalku sebelum mereka bertiga yang sekarang ada di hadapanku. Dia sahabat yang selalu ada untukku, bahkan semua masalah yang menimpaku, seseorang yang pernah atau sekedar lewat di hidupku, sampai pada akhirnya kita bergabung, dan dia yang memulai janji bahwa kita akan sukses bersama-sama semuda mungkin, tapi entahlah apa yang terjadi beberapa tahun lalu sebelum perpisahan sekolah, seakan menjauh.

Tak ada yang lebih berarti dari seorang sahabat, bahkan kekasih yang belum mengikat pun akan tertinggal jauh disana demi seorang sahabat. Andai aku dan kita tahu apa salah kami? Bahkan begitu miris ketika hanya mengucap ‘Hai, apa kabar?’ pun tak muncul. Tangan-tangan kami tidak terlepas darimu, terus menarikmu kembali untuk pulang kepada dekapan, namun apa daya keegoanmu sungguh terlalu besar. Kadang kau sempat meminta maaf, tapi apa cukup? Sahabat, janji yang dimuali darimu akan selalu kami genggam, dimana pun dirimu, kami akan selalu berdoa yang tenggelam dalam sujud. Kembalilah pulang pada masanya, kami menunggu.

“Udah pada pesan makanan?” tanyaku.

“Belum nih An, sekalian dong pesenin.” Balas Riri.

“Mba!” aku memanggil seorang pelayan yang sedari tadi memperhatikan kami untuk dipanggil menawarkan makanan dan minuman.

“Iya silahkan, mau pesan apa?” tanya pelayan itu dengan ramah.

“Saya mau 2 hot chocolate sama 2 sandwich ya. Tapi yang satunya dibungkus terus tolong kasihkan sama anak di luar sana ya mba.” Aku menunjuk keluar café, seorang anak kecil yang duduk bersandar di balik kaca tebal. Sedangkan dilanjut yang lainnya untuk memesan makanan.

“Ya ampun Anna, bener ya kata Prince kamu, kaya bidadari.” Ledek Giffari.

“Eh, hati-hati loh, nanti Giffari suka beneran lagi sama Anna.” Lanjut Brilian meledek.

Kami semua tertawa, begitu pun aku, hanya dengan senyum menanggapinya. Guyonan mereka yang membuatku selalu semangat dalam menghadapi hidup. Karena mereka adalah bagian dari keluarga di dalam hatiku.

Bukan karena iba aku memberikan bocah kecil itu sedikit makanan dan minuman, tapi karena aku ingin bersyukur atas apa yang Tuhan telah berikan untukku. Bahkan seharusnya hanya memberi sedikit makanan dan secangkir coklat panas itu tidak cukup. Aku bersyukur karena Tuhan masih mengizinkanku untuk makan di tempat senyaman ini bersama sahabat-sahabat lamaku dan aku juga ingin semua orang yang ada di sekelilingku bahagia, seperti bocah kecil itu, yang sekarang sedang makan dengan lahap di luar sana. Setidaknya itu bisa mengganjal laparnya.

“Oh iya, kemarin aku denger di radio tempat Anna kerja, ada reuni SMA kita?” tanya Riri.

“Kenapa yang nyiarin bukan Anna? Bukannya jadwal kamu siaran ya An?” sambung pertanyaan Brilian.

“Iya harusnya aku, tapi biasalah orang penyakitan, abis keujanan eh malah drop, yaudah aku minta ganti deh. Aku juga baru tahu kalau SMA kita mau adain reuni akbar.” Jelasku.

“Kamu masih suka check up?” tanya Riri lagi.

Aku hanya mengganguk, lalu dijawab oleh Giffari yang menyerobot pertanyaan Riri, “Makanya Ri, ini anak harus dijagain, badan ringkih begitu lagian. Payah!” dengan wajah tersenyum meledekku halus.

Semua orang tertawa melihatku. Aku memasang muka jengkel saat Giffari terus-menerus meledekku habis-habisan. Terkadang, perkumpulan kita ini hanya membuatku menjadi bahan olok-olokkan mereka. Dan sialnya, itu lah yang membuatku merasa rindu. Di samping aku yang terkena bullying tapi mereka sangat menjagaku dari apa pun, bahkan mereka pernah melepas jaktenya saat kami terjebak hujan, hanya untuk mengahangatkan tubuhku, termasuk Ulfah, sahabat lama kami.

“Okey guys, terus kita semua pada join kan di reuni nanti? Seminggu lagi loh.” Tanya Brilian.

“Seperti biasa, satu ikut pasti semua ikut.” Jawabku.

“An, Prince kamu itu kan udah jadi musisi loh. Denger-denger sih, dia udah muali terkenal di beberapa daerah di Jogja sama Semarang. You know that, Ann?” tanya Riri.

Yups! I know that. Jadi waktu itu grup akustik dia diundang ke radio tempat aku kerja. Harusnya aku yang jadi penyiarnya, tapi entah kenapa ya Ri, hati ini terlalu berat buat nemuin dia lagi. Setelah sekian lama kita gak ketemu. Rasanya belum siap. Yaudah aku bermohon-mohon sama Clarisa buat gantiin jam aku. Ternyata besoknya, aku nemuin bingkisan yang tertutup kado, besar banget, di depannya Cuma ada sekotak surat yang tulisannya ‘Happy Birthday Anna, maaf telat banget buat ngasih kadonya. Dari orang yang kamu kenal.’. Aku coba hubungin dia, tapi engga ada jawaban. Dia memang selalu ngasih harapan kosong kan?” jawabku dengan jelas.

“Udahlah Ann, kita harus tetap datang di reuni nanti. Kita selalu jagain kamu kok, tenang aja.” Brilian dengan suaranya yang tegas dan diakhiri sneyuman yang lembut, selalu membuatku merasa lebih baik.

Malam kian menampakkan wujudnya, gelap, hanya lampu jalanan yang kini bisa terlihat. Cahaya bulan pun seakan redup, mendung hati ini saat teringat masa lalu. Aku ingin menceritakan ini kepada sahabatku yang lama tak kunjung jumpa, namun kini kami seakan terbatas dinding yang sangat kuat dan tinggi. Giffari mengantarku sampai depan pintu dan berpamitan kepada Ayah dan Ibuku.

Sampai di kamar, aku disambut oleh boneka yang sangat besar berwarna pink yang entah dari siapa dia hadir. Mungkinkah itu pemberianmu, Faris? Desahku dalam senyap. Aku memeluknya erat, sampai tak sadar bahwa air mataku menetes sedikit demi sedikit, kaca mataku berembun. Khayalanku melayang pada kisah kita yang berakhir semu, meski tak ada ikatan apa pun, namun dial ah segalanya. Andai kau masih ingat hujan beberapa tahun lalu, sungguh aku merindukanmu. Aku bukan siapa-siapa bahkan aku tak bisa apa-apa untuk mencegahmu pergi, Faris.

Mataku terpejam dengan masih memeluk boneka yang sangat besar itu, sampai aku mencium bau zat besi. Kepalaku pusing tak karuan, rasanya lemas. Yang terdengar hanyalah jam dinding yang berdetak di setiap detiknya. Dengan berat kubuka mata sekuat yang aku bisa, aku melihat beberapa bagian bonekaku sudah berubah warna menjadi merah kental. Hidungku keluar banyak darah. Aku tak sadarkan diri.

***

Aku sedang terjaga di hadapanmu, bidadariku. Aku sedang memandangmu dalam-dalam, menatapmu tertidur lelap. Kau semakin cantik dibanding beberapa tahun lalu, bidadariku. Bangunlah, aku menunggumu, bisikku.

Aku mencengkram tangannya kuat-kuat, aku tak ingin lagi membohongi perasaanku yang selalu aku tahan, hingga pernah aku berpikir untuk membuangnya saja. Namun semua itu percuma. Aku pergi karena aku ingin memperbaiki kehidupanku, aku ingin kembali padamu dengan kesuksesanku, agar kau bangga, agar kau tak usah mengkhawatirkan aku.

Anna, sesungguhnya kau harus tahu bahwa aku yang mengadakan reuni akbar itu. Aku ingin bertemu denganmu. Sebenarnya itu bukan acara reuni yang kau bayangkan, maafkan aku Anna aku tak memberi kabar padamu, maafkan aku yang seakan tak pernah menganggapmu ada. Kau bukan siapa-siapa bagiku, itu dulu, saat aku malu untuk mengatakannya, saat aku rasa aku jauh dari sempurna untumu, meski kau selalu meyakinkanku dengan cara lembutmu.

Anna, aku masih ingat semua kenangan kita dulu, hujan yang indah di beberapa tahun lalu yang selalu kau bayangkan. Aku pun tidak akan pernah lupa. Anna, sesungguhnya bukan kamu yang sangat mengkhawatirkan aku, tapi aku yang lebih mengkhawatirkanmu. Aku bangkit Ann, aku bangkit dari masa kelamku, karena semangatmu yang tak pernah padam. Aku berdoa pada Tuhan, jika saja kita dijodohkan maka dekatkan kita di waktu yang tepat namun jika tidak, biarlah waktu yang memisahkan kita secara perlahan-lahan, dan bahagiakan kita meski masing-masing.

Anna, aku percaya bahwa cinta takkan sekejam yang aku bayangkan. Meski jauh namun doa akan menjadi jembatannya. Anna, sahabat-sahabatmu sudah tahu perihal reuni itu. Sebenarnya, aku ingin melamarmu.

Anna, bangunlah, aku mohon.

Lirih dalam jiwaku saat ini, hatiku menangis, hanya menatapmu dingin. Acara itu bersisa beberapa hari lagi. Hari dimana kupikir akan menyenangkan dan membuatmu terkejut, tapi ternyata aku yang sedang terkejut saat ini.

***

Dua hari sebelum acara reuni dimulai, aku mulai tersadar dari tidur panjangku. Penyakit yang bersarang di otakku sudah mulai memperluas ke hampir seluruh saraf. Rasanya begitu sakit. Aku tak ingin mengeluh, biarlah senyumku menjadi penawar rasa sakit itu. Meski semua sahabatku hadir di hadapanku dengan beberapa tetes air mata, aku tetap tersenyum.

“Ann, maafin aku yang baru sempat menjengukmu dan tak pernah mengabarimu. Aku malu padamu, Ann.” Tiba-tiba seorang wanita seumuranku menjatuhkan badannya, memegang tanganku erat, menangis, dialah sahabat lamaku, Ulfah.

Bibir dan lidahku masih kelu, aku hanya membalas dengan menggenggam kembali tangannya erat. Kau tetap sahabatku, karena sahabat takkan terlupa dan terganti, kataku dalam hati. disusul Riri yang memeluk kami berdua. Brilian dan Giffari menatap kami dengan tangis bahagia.

Ya Tuhan, sungguh ini anugerah-Mu yang sangat indah. Kami dapat berkumpul bersama lagi setelah bertahun-tahun semua bisu tanpa salam. Eratkan persahabatn kami sampai hayat tertutup oleh waktu. Jaga mereka Ya Tuhan, seperti Engkau selalu menjagaku.

Tubuhku kembali sempurna, berangsur pulih seperti sedia kala. Aku siap untuk ke acara reuni. 

Dengan wajah yang sedikit memucat, seperti biasa, didampingi oleh sahabat-sahabatku, kali ini semuanya lengkap.

Aku merasa ada yang janggal dari acara reuni kali ini. Semua berpkaian serba putih dan hanya aku yang memakai gaun berwarna merah muda, permintaan sahabat-sahabatku. Saat aku datang, semua orang memandangi wajahku dengan penuh kebahagiaan.

“Ada yang aneh dari penampilanku?” Tanyaku berbisik.

“Kamu paling cantik disini Ann.” Jawab Giffari.

Tiba-tiba kejutan datang, sebuah layar lebar terbuka dengan video aku dan Faris semasa SMA. Canda dan tawa kita menggelegar di ruangan ini. Foto-foto yang diambil secara sembunyi-sembunyi entah oleh siapa terus berputar pada layar. Aku tak menyangka, mana Faris? Dimana dia?! Aku menangis, air mataku berhamburan, aku mencari dimana Faris?

Kejutan baru datang, sebuah sedan berwarna hitam muncul di balik pintu masuk. Kutengok ke belakang, lalu keluar dua orang paruh baya yang sangat aku kenal, orang tuaku. Mereka berjalan ke arahku, menggandeng kedua tanganku, dan mengajakku berjalan ke depan. Aku masih tak mengerti, ada apa ini?

Seorang lelaki yang umurnya satu tahun diatasku keluar dengan setelan jas berwarna hitam, membawa rangkaian bunga segar berwana merah muda seperti gaun yang sedang aku kenakan, di belakangnya diikuti oleh kedua orang tuanya. Ya Tuhan, kejutan apa lagi yang akan kau sampaikan?
“Selamat datang Anna, di acara kita. Apa kau masih mengenaliku? Pakailah kaca matamu Ann, karena itu yang membuatmu lebih sempurna.. Aku tahu ini mengejutkan, tapi ini adalah jawaban atas doa-doaku. Dulu, kau yang selalu mengkhawatirkanku, namun saat ini aku yang sedang mengkhawatirkanmu, sejak kemarin aku menemanimu yang tak sadarkan diri. Ann, aku tak ingin berbicara panjang lebar, aku tahu kau tak suka basa-basi. Aku ingin melamarmu menjadi kekasih seumur hidupku. Ann, will you marry me?”

Aku tak bisa berucap, sama sekali, terasa indah dengan sejuknya linangan air mata. Semua pertanyaanku kini sudah terjawab.

***

Teruntuk Anna,

Ternyata bagian rumpang dari puzzle-ku adalah milikmu. Tentang semua semangatmu yang tak pernah lepas, tentang semua doamu yang kurasa dalam perjalananku. Kita sama-sama mencari ada apa dengan kisah kita? Aku yang tak sempurna, berusaha untuk merubah keburukanku. Ann, seandainya kau lelah untuk menuntunku beberapa tahun lalu, mungkin aku tak akan bisa berdiri tegak, mungkin aku hanya menjadi sampah jalanan dengan rumitnya dunia. Kau memang bidadari yang Tuhan kirimkan untukku, dengan segala kesederhanaanmu, segala ketulusanmu. Terimakasih Ann, karena kau yang telah mengajariku sebuah kesetiaan.

Rabu, 21 Oktober 2015

Indahnya Takdir-Mu

Tersihir polusi dunia
Yang menyesakkan dada
Skenario hidup yang tak hentinya kujalani
Terseret waktu yang membawa pilu

Aku berjalan menatap matahari, namun kutak bisa
Aku tak mampu
Engkau Maha Segalanya
Ketika terus menerus aku mengeluh
Rinai hujan turun untuk mendamaikan hati

Oh Tuhan, senjataku hanyalah doa untuk-Mu
Malamku tempat mengadu
Riuhnya gemuruh hati
Tangisku adalah sebuah penyesalan terberat dari dosa-dosa

Melawan takdir-Mu, namun kutak bisa
Aku tak mampu
Engkau Maha Segalanya
Ketika terus menerus aku mengeluh
Rinai hujan turun untuk mendamaikan hati

Oh Tuhan, senjataku hanyalah doa untuk-Mu
Malamku tempat mengadu
Riuhnya gemuruh hati
Tangisku adalah sebuah penyesalan terberat dari dosa-dosa

Bersimpuh menghadap-Mu ya Tuhanku,
Aku tak mampu menanggung pedih-Mu
Dan hanya rasa syukur sebagai penenang hati

Kamis, 08 Oktober 2015

Lorong Kelas

Ini dia masa remajaku yang sebentar lagi akan kutinggalkan, aku berjalan perlahan selangkah demi selangkah, melihat sekeliling kelas yang berjajar di sisi kanan dan kiri. Banyak anak tangga yang mungkin akan kulewati, entah kapan. Aku tak berniat untuk mencari teman baru atau apalah itu, biar saja semua mengalir apa adanya, sesederhana mungkin. Lalu, aku terjaga di depan lift.

“Mah, pokoknya aku gak mau naik angkot! Panas!” Bentakan suara itu menggema di dalam lift yang baru saja kumasuki. Seorang perempuan muda yang mungkin sebaya denganku, dia mengeluh kepada Ibunya. Sepertinya tak pantas kalau seorang anak membentak Ibunya sendiri di tempat umum, gumamku dalam hati.

“Maaf dek, bisa tunggu sebentar?” Tiba-tiba tangan Ibu itu menarik pergelangan tanganku dengan halus setelah keluar dari lift.

“Iya? Ada yang bisa saya bantu?” Jawabku.

“Ade tahu kelas ini dimana? Anak saya kelasnya disini.”

“Oh itu satu kelas sama Saya, Tante. Kita bisa sama-sama kok kesananya.” Jawabku diakhiri senyum sapa.

Kita berjalan bersama-sama menuju kelas yang dimaksud, lantai tiga nomer dua satu lima, dimana para calon arsitek berkumpul. Sepanjang lorong kelas aku melihat para Mahasiswa Baru dengan berbagai ekspresi dan kebanyakan para lelaki menatap perempuan muda tadi yang bersmaku di dalam lift. Ya, dia cantik, tinggi, putih, rambutnya panjang dan halus, lalu aku? Sudahlah, tak menjadi masalah jika tak dapat teman, pikirku dalam hati.

Akhirnya kita sampai pada kelas yang dimaksud. Ibu tadi berpamitan kepadaku dan perempuan muda itu juga berpamitan kepada Ibunya. Aku mengajak dia untuk duduk di dalam kelas. Tepat di bawah pendingin ruangan, sampai-sampai tubuhku menggigil tak karuan, padahal aku memakai kemeja panjang dan celana jeans panjang. Itu lah style yang selalu kukenakan, memang tak seperti perempuan pada umumnya, aku juga sama sekali tak menggunakan make up.

“Namaku Chindy..” Sejenak aku terdiam karena melihat perempuan muda itu menyodorkan tangannya untuk berkenalan denganku.

“Oh, hai Chindy, aku Rachel.”

Aku tak menyangka kalau Chindy akan membuka pembicaraan terlabih dahulu. Dan entah apa yang ada dipikirannya sampai secepat itu mempercayaiku untuk bercerita banyak hal pada beberapa jam pertemuan kita. Di tengah percakapan yang mulai berubah menjadi garing, aku mendengar petikan gitar di balik tembok kelas, tepatnya di lorong yang tadi aku injak.

“Chind, lihat keluar yuk! Mungkin kita bisa gabung?” Ajakku.

Terkadang, aku jatuh cinta pada petikan gitar melodi bahkan ketika aku belum melihat siapa yang memainkannya. Aku suka musik meskipun aku tidak terlalu mahir dalam memainkannya. Sempat belajar bermain gitar dan alhasil aku bisa memainkan beberapa lagu dengan menggunakan kunci dasar saja.

“Engga ah, pasti duduknya di bawah, kotor.” Jawab Chindy.

Dahiku sedikit merengut, aku tidak ingin berprasangka buruk, akhirnya aku tinggalkan dia di kelas dan aku mencari keberadaan petikan gitar itu. Kuintip dari arah kanan ke kiri. Ternyata ada di ujung lorong kelas, segerombolan Mahasiswa baru yang sedang berdendang ria sambil mengenal teman-teman baru.

“Hei! Gabung kesana aja dari pada ngintip!” Saat aku sedang mengintip segerombolan orang tadi, seseorang menepuk pundakku, laki-laki yang keluar dari dalam kelas yang sama. Dengan tidak menampakkan wajahnya, dia langsung berjalan ke arah berlawanan, kukira dia mau ikut gabung di ujung lorong sana, huh!

***

Semua mata kuliah akhirnya selesai, diakhiri tugas-tugas yang tersenyum lebar menunggu untuk segera dikerjakan. Masih di ujung lorong sana, tetap orang yang sama namun jumlahnya mungkin berkurang, sehabis jam kuliah selesai mereka langsung berdendang lagi, seakan tak ada beban dengan tugas-tugas kuliah.

Aku berjalan pulang bersama Chindy, teman sekelasku yang baru. Ternyarta dia dijemput oleh supir pribadi yang sudah stand by di dekat lift. Chindy melambaikan tangannya ke arahku sambil mengucapkan, “See you..”. Aku tetap berjalan seorang diri.

Baru beberapa langkah aku keluar kelas, sorotan mataku terhenti pada seorang laki-laki yang tadi pagi menepuk pundakku. Dia sedang duduk di bangku kampus yang telah disediakan, sambil memegang kertas gambar dan pensilnya. Duh, nanya gak ya? gemuruh dalam jiwa. Aku melewatinya namun baru selangkah dan akhirnya aku berjalan mundur ke arahnya.

“Hei, boleh gabung?” tanyaku sambil malu-malu.

“Eh yang tadi ngintip di depan kelas ya? Duduk aja, bangkunya kosong kok.” Jawabnya dengan suara bass laki-laki.

“Masih inget aja, hehe.. Serius banget, lagi gambar apa?”

“Sebelum nanya jauh, kenalan dulu. Aku Rifki, kamu?”

“Panggil aja Rachel.”

Perkenalan yang sangat singkat, dia lanjut untuk menggambar, lebih tepatnya membuat design gambar bangunan. Rumah sederhana yang kelihatannya elegan. Aku tak tahu menilai design itu terlihat elegan dari sisi mana, tapi mataku berkata demikian.

Pembicaraan yang kulakukan dengannya terasa sangat menarik, sampai-sampai kami tak sadar bahwa matahari telah membentangkan senjanya. Lorong kelas pun sudah dinyalakan lampu-lampunya. Aku terpaku pada perkataannya, terpikat pada jiwanya. Dan aku tak pernah percaya tentang sindrom jatuh cinta pada pandangan pertama.

“Design yang kamu buat bagus, Ki. Kamu bisa buat itu setenang mungkin.” Kataku.

“Design itu sama aja kaya gambar, seni yang mengalir dari dalam jiwa. Seni yang tidak bisa dilakukan saat hati emosi. Dan dari sini, kamu bisa lihat kejujuran yang dimiliki oleh orang lain. Dari cara gambarnya, sifat seseorang dapat diartikan, lewat gambar kita bisa tahu seberapa tenang hati kita sebenarnya.” Jawabannya yang diakhiri dengan senyuman ke arahku.

Bibirku bungkam, tak berkata, hanya melempar senyum balasan untuknya. Ah, lorong kelas baru yang menyebalkan! Aku dibuat seperti patung yang terbuat dari lilin lalu terkena sinar matahari yang terik.

“Oiya, ada lagi. Seni sangat mudah diciptakan jika penciptanya sedang jatuh cinta.” Lanjutnya.


Aku hanya tertawa.. 

Selasa, 29 September 2015

Sesingkat Pagi & Sore

Dari setiap hari yang semu, ketika berminggu-minggu sangat singkat, bagai pagi dan sore. Kita yang terpaksa untuk saling bertatap, terpaksa untuk saling berjalan bersama, terpaksa membelah hujan bahkan tertutup kabut saat gerimis. Apa lagi? Terpaksa untuk saling menyapa hingga ternyesum. Namun hidup tetaplah sesingkat pagi dan sore.

Berdansa mengikuti detik yang memanjakan, atau tak memberi kesempatan pada waktu untuk hanya sekedar berbicara lewat mata? Entahlah.. Bahkan ketika kau sudah mengerti bahwa hidup hanya sesingkat pagi dan sore, matamu hanya terpaku pada detak jam dinding yang menertawakanmu. Ataukah kita hanya memanjakan waktu?

Dari hening yang terus merayu untuk berdansa bersama pena, lalu kutulis sebuah rangkaian kata yang enatah dari mana ia berada. Kau tahu? Itu isi hatiku yang tak dapat tersirat. Atau hanya lelah dalam jiwa yang menggebu? Tapi setelah itu, aku damai. Aku tak ingin berandai-andai jikalau waktu bisa saja kukembalikan saat mengingat atau sekedar rindu. Aku takkan merengek meminta kau kembali pulang, meski aku tahu bahwa hidup hanya sesingkat pagi dan sore..

Rasanya, ah!

Aku ingin teriak sekencang mungkin dan mengatakan bahwa...

Minggu, 26 April 2015

Diam-Diam

Aku adalah seorang penulis muda yang baru saja menata karir untuk menggapai cita. Inspirasi yang kudapat begitu sangat mudah karena orang-orang disekelilingku. Mereka menjadi inspirasi terbesarku untuk menulis, memilih kata, menyusunnya, dan merangkai kalimat-kalimat indah. Bahkan tentang cinta dan mendeskripsikan perasaan lewat kata-kata itu adalah bakat utamaku. Namun, ada seseorang yang sulit aku deskripsikan menjadi lantunan kata indah. Ya, hanya dia yang bisa, hanya dia orangnya.
            Beri aku nafas sejenak, beri aku ruang untuk melangkah bebas, beri aku jalan yang mulus untuk mencapainya, beri aku penerangan dengan cahaya langit yang damai, menuju hatimu. Kita sudah mengenal cukup lama, sejak dua tahun yang lalu. Mengetahui satu sama lain dengan cara yang tidak biasa.
            Tiba-tiba aku terkejut saat kertas ulangan harianku meluncur di atas meja dengan nama pemeriksa dan tulisan I love you, Bagas . Aku tahu itu bukan tulisan si pemilik nama. Aku tahu pasti pemilik nama itu sedang dikerjai teman-teman sekelasnya. Tak menanggapi hal itu, sungguh. Tapi sahabat satu mejaku mencari tahu. Akhirnya, kita cukup dekat sampai sekarang. Aku mengagumimu, perlahan-lahan.
            Aku merindukanmu, entahlah apa yang sedang kurasakan saat ini. Kita sudah tak jumpa beberapa bulan ini sejak kau meninggalkan sekolah ini dengan kelulusanmu. Dia seniorku. Berada tepat di depan kelasmu dulu, di pelataran mushola sekolah kita. Bayang-bayangku terus melayang bebas, memutar semua memori yang terlukis jelas di mata coklat ini. Kita memang tak pernah bertegur sapa, bahkan melihatku saja kau malu. Semua hal itu yang membuatku merindu, sikapmu.
Melangkah pulang melewati gerbang tinggi yang menjulang sampai ke langit. Apa lagi yang kutemui? Wajahmu, aku ingat saat kau bermain futsal di lapangan olahraga sekolah. Aku yang hanya bisa berdiri tegak sambil menontonmu seorang diri di pinggir lapangan. Sedangkan teman-temanmu memperhatikanku dan ada yang membicarakan keberadaanku disina. Mulai mengagumi diam-diam. Entahlah, aku pun tak mengerti apa yang sedang kutunggu? Bahkan sampai senja tiba menyelimuti lapangan futsal sekolah. Aku senang melihat senyum dan tawamu. Memperhatikan, diam-diam.
Ah sudahlah! Hanya hayalanku saja! Gemuruh dalam hati. Detik itu juga kuabaikan semua khayalanku tentangnya. Biarkan kuanggap semua pertemuan kita hanyalah angin lalu yang takkan pernah terbalas. Aku berusaha untuk melupakan kisah indah itu. Melanjutkan perjalanan senja ini seorang diri, menari-nari di atas bumi dengan kegalauan hati. Meredam rasa yang sebenarnya aku ingin. Maafkan aku Tuhan, aku sedang membohongi perasaan ini, aku hanya takut.
Malam takkan berpijak menjadi teduh karena keheningan para manusia yang beristirahat. Waktu akan terus bergulir, berganti hari-hari yang fana, menyambut asa dan harap, menentramkan jiwa lalu membalikkannya kembali pada kebahagiaan. Malam tempatku berbagi cerita kepada seluruh bumi dan langit dengan leluasa tanpa ada siapapun yang tahu. Lembaran kata, untaian kalimat, sampai puluhan cerita. Sisanya, aku bertanya dalam sepi, apa kabar dirimu? Seseorang yang aku kagumi belakangan ini. Aku berlari sambil menanti. Seperti gerimis, aku mencintaimu perlahan-lahan.
“Sebentar lagi Ujian Nasional, jaga kondisi ya Kak. Jangan mikirin yang lain-lain dulu.” Ucap Ibu sebelum berangkat sekolah dini hari.
Aku berhenti dari piring nasi ketika mendengar Ibu berucap seperti itu. Mengingat janjiku pada diri sendiri yang tidak ingin mengulangi kesalahan untuk kedua kali karena mengecewakan Ibu dan Ayah untuk Ujian Nasional tahun ini. Aku hanya bisa terdiam, bibirku membisu dan hanya anggukan kepala yang dapat kulakukan.
Rasanya, aku ingin menghubunginya kalau aku akan Ujian Nasional. Tapi, apa itu penting baginya? Gumamku dalam hati. Tiba-tiba handphoneku bergetar. Kubuka kunci pengamannya, lalu kubaca notification yang terlihat jelas di layarnya. Seketika aku langsung menghubungi seseorang yang dekat denganku sejak lama.
“Hallo, Kak? Nanti kita ketemu jam 4 sore di tempat biasa ya. Ajak Kak Fahri juga. Ok!” Kataku.
Hari ini kulihat awan membentuk wajahmu lagi. Angin yang datang terus menggoda hati lagi. Rasanya semua itu kembali. Tapi aku masih menyimpannya secara diam-diam. Aku bagai sungai yang mendamba samudera kali ini. Namun aku percaya pasti selalu ada makna dibalik pertanda. Ini hanya rindu atau rambu-rambu lampu kuning? Ah, aku tak peduli! Aku berlari lagi.
Entahlah apa yang kurasakan saat ni. Perasaan itu hadir kembali. Candu-candu asmara yang sangat menggoda dan menggelitik. Aku tahu ini sedikit berlebihan tapi aku selalu yakin bahwa dewi cinta pasti menancapkan panahnya tepat pada jantung hati pujaanku. Ingin cepat hari-hari penantianku berlalu dan Ujian Nasional nanti akan kulalui dengan mulus dan lancar. Semangat ini terus merajuk khayalan.
“Yolanda!” Kak Fahri dan Kak Firda mengagetkanku dari belakang.
“Aduh! Mengagetkan saja!” ujarku.
“Ada apa nih manggil kita berdua? Pasti mau ngomongin Kaaaaaa..” ledek Kak Fahri.
Ah sial! Rupanya Kak Fahri dapat menebak isi hatiku! Gumamku dalam hati. Aku menjelaskan apa yang akan kulakukan sehabis Ujian Nasional berakhir. Dari situ aku menyusun semua acara yang akan kita upayakan bersama. Jantungku tak henti-hentinya berdetak sangat cepat dan senyum di bibirku tak mau pudar. Kami menghabiskan senja di tempat makan ini.
Semalaman aku memikirkan kegalauan dalam hati, aku ingin menghubungi Ka Bagas tapi aku takut. Rasa takut yang terus membodohi pikiranku dan rasa rindu yang terus menjerumuskan aku dalam suasanan merah jambu. Virus ini rupanya menyebar ke seluruh tubuh dengan begitu cepat sehingga aku tidak bisa menahannya.
Perlahan-lahan kuberanikan diri untuk membuka handphone, kutarik napas yang mulai tak karuan pelan-pelan dengan ragu kuketik namanya pada kontak Blackbery Massanger kukatakan apa yang terselip di hati. “Bismillah.. send!” Pesan singkat itu terkirim tinggal kutunggu balasannya.
            Duhai malam, kau tahu tidak? Sebenarnya aku tidak mengerti apa yang sedang kurasakan kini. Menatap matanya pun aku belum pernah, berbicara padanya juga belum sampai. Gila! Otakku berputar tak karuan. Semoga rasa ini bukan hanya rasa yang ingin memiliki. Malam, kau harus tahu bahwa aku tak dapat menulis kata-kata indah tentangnya. Seakan berjalan di jalan yang sempit lalu terhalang oleh tembok yang semakin menggencet tubuh. Duhai malam, temani aku untuk menunggunya hadir.
            Kulihat jam dinding yang kokoh berdiri di dinding kamar. Sudah hampir tengah malam dia tak kunjung membalas pesanku, bahkan membacanya pun belum. Akhirnya, kuputuskan untuk mengambil buku dan membacanya sambil menunggu kabar dari Kakak seniorku itu. Meskipun Ayah selalu berucap kalau malam minggu bukan waktunya belajar.
            Kepalaku mulai terjatuh perlahan-lahan, tubuh ini begitu sangat lemas, mata yang mulai memerah tapi aku tak ingin terlewat oleh balasan pesan darinya. Kutengok jam dinding lagi, tepat pukul dua pagi. Kupasang alarm di handphone karena aku takut bangun terlalu siang. Kuputuskan untuk bermimpi saja.
            Beginilah rasanya menanti sambil berlari. Lelah, bukan kaki. Sakit, bukan fisik. Tapi hati. Kadang rindu menyiksa ketika tak dapat diungkapkan (tak berani) tapi hanya dapat dirasakan. Seperti hamparan bunga yang kau lihat begitu indah tapi wanginya tak tercium karena semua itu hanya bunga tidur. Seperti senja yang kau anggap milikmu sendiri, padahal kau tahu bahwa senja memeluk setiap orang di bawahnya. Semua hal dapat berubah karena cinta. Semoga bukan hanya rasa ingin memiliki tapi ingin berbagi kasih sayang.
            “Kak bangun! Solat subuh dulu!” Teriakan Ayah menghiasi dini hari.
            Pergilah kakiku ke kamar mandi lalu ke tempat berwudhu. Menyegarkan wajah karena baru terlelap tiga jam. Kuhamparkan sajadah terbaik. Kudirikan Sholat dengan rasa ikhlas dan teduh. Sujud demi sujud aku berdoa kepada Sang Maha Pencipta untuk kebaikan hidupku. Rasanya damai.
            Sebelum menyiapkan sarapan untuk keluarga kecil ini aku cek handphone, ternyata belum muncul juga balasan pesan darinya. Aku makin gelisah seperti tak ada harapan lagi untukku. Sudahlah, semoga aku tak mengharapkannya lagi. Kuletakkan kembali pada tempatnya.
            Aku harus fokus Ujian Nasional beberapa hari ini. Tidak boleh ada yang aku pikirkan selain ujian. Aku juga sudah meniatkan untuk tidak memegang handphone beberapa hari ini. Akhirnya, kumatikan handphone-ku dan kusimpan di dalam lemari baju.
            Derai-derai asmara mulai mengejekku seakan mengatakan, “Cintamu bukan dia. Hapuskan saja, lupakan! Hahaha!” Hati ini mulai berdesir mengiris waktu yang tersisa. Apa aku salah merindunya? Apa aku salah mengharapnya? Ya Tuhan, bantu aku, bantu aku menemukan celah hatinya atau bantu aku untuk mengikhlaskannya. Aku seperti berada di sebuah gurun pasir yang panasnya begitu menyengat lalu aku melihat lebarnya danau padahal aku tahu itu hanya fatamorgana! Ah, rasa bodoh apa lagi yang aku rasakan? Aku takkan mencoba untuk melangkah maju, aku juga takkan mundur karena aku sudah berlari sejauh ini. Dewi cinta, aku terjebak menuju hatinya.
            “Hey Yolanda! Mau ada rencana apa setelah ini? Kita jadi pengangguran nih.” Kata teman sekelasku, Lily.
            “Kayanya aku bakal nulis lagi di blog terus nerusin buku yang baru jadi sinopsisnya aja.” Jawabku.
            “Oiya, aku tunggu tulisan terbaru kamu ya. Adik aku nanyain terus tuh tulisan kamu di blog. Katanya dia kangen sama kata-kata romantis kamu.”
            “Hehe.. biasa aja kok. Makasih, salamin ya buat adik kamu.”
            Berbicara tentang rindu aku jadi ingat. Aku langsung pulang ke rumah dan menyalakan handphone yang sduah sangat dingin karena tidak kunyalakan beberapa hari ini. Banyak pesan yang masuk untuk menyemangati Ujian Nasionalku kemarin tapi tak ada satu pun dari orang yang kunanti.
            Kurasa aku batalkan saja acaranya, kataku dalam hati. Baru kuketik nama Kak Fahri dan Kak Firda untuk memberitahu akan kubatalkan acaranya, tiba-tiba ada satu pesan yang belakangan datangnya. Kubuka perlahan-lahan namun tak mengharapkan pesan itu dari orang yang kunanti. Dan, Aaaaaaaa!!!!!! Teriakku dalam hati. Seseorang yang kunanti akhirnya tiba,
            Maaf ya baru balas pesan kamu, aku baru pulang kerja tadi tengah malam lalu aku langsung tidur.
            Hey, kamu mau Ujian Nasional ya? Semangat ujiannya ya. Jangan lupa baca do’a dulu loh.. Pasti bisa!
            Dua pesan darinya yang membuatku sangat bahagia. Kuurungkan niatku untuk membatalkan acara itu. Kubalas pesan darinya dengan bahasa sederhana yang aku bisa. Kita berkomunikasi lewat chat di BBM. Disetiap pesannya yang masuk pasti selalu ada tawa yang menggemaskan. Kuhargai waktunya yang sibuk untuk bekerja dan beristirahat. Takkan kusia-siakan waktu luangnya.
            Senja, kau harus tahu! Kali ini kau adalah milikku. Pelangi, kau juga harus tahu! Bahwa warnamu itu kalah dengan warna-warna dalam hatiku saat ini. Biarkan gerimis turun membasuh relung jiwa. Ketika dia menyapa ruang hati yang telah tertutup lama, lalu biarkanlah hati kecilmu bicara dan aku siap untuk menata. Aku takkan pernah berhenti untuk selalu percaya. Takkan kupaksa, biarkanlah mengalir apa adanya. Aku akan menunggu karena waktu takkan berkhianat, kau jadi bagian hidupku.
            “Hallo Dek? Gimana kadonya udah siap?” Kata Ka Firda menelponku.
            “Udah kok Kak, aku mau beli kue dulu ya. Kak Fahri sama Kak Firda tunggu aja di dekat rumahnya, 15 menit lagi aku sampai disitu.” Kataku.
            Acara yang sudah kusiapkan sejauh ini harus sukses dan lancar. Hari ini ulang tahun Kak Bagas, orang yang kusukai entah dari sisi mananya. Jantung ini sangat berdebar cepat, sangat cepat. Aku tahu dia hanyalah temanku dan mungkin dia hanya menganggapku sebagai adik kelasnya. Maka dari itu aku sangat takut dia tidak senang atau menganggapku yang aneh-aneh.
            Tiba di tempat toko kue langgananku. Memilih dan memilah kue mana yang kira-kira cocok untuk kuberikan kepada Kak Bagas. Baru saja aku ingin keluar dari toko itu hujan deras pun turun membasahi jalan abu. Tiba-tiba ada pesan dari Kak Firda, Dek, tunggu hujannya reda saja dulu. Kita tetap tunggu kamu di dekat rumahnya Kak Bagas ya. Jangan hujan-hujanan nanti kamu sakit. Tenang saja.
            Sudah sore aku menunggu hujan ini reda. Kira-kira hampir tiga jam aku berdiri di depan toko ini. Alhasil, aku menerobos hujan dan mencari angkutan umum yang kosong. Sampai di dekat rumah Kak Bagas aku menemui Kak Firda dan Kak Fahri yang sedang menungguku dengan setia di tempat itu dengan tubuhku yang sudah kuyup dan kardus kue yang agak basah.
            Kami bertiga memasuki gang ke arah rumahnya tapi rumah itu kosong dan ada bacaannya ‘Dikontrakkan’. Wajahku terlihat murung dan rasa tidak enak kepada kakak-kakakku karena sudah merepotkan. Kak Fahri bertanya kepada tetangganya tentang keberadaan Kak Bagas. Kami pun langsung ke lokasi, aku dan Kak Firda menaiki angkutan umum lalu Kak Fahri mengendarai motornya.
            Tepat di jalan rumahnya Kak Bagas kami tak tahu arahnya lagi. Mau tidak mau kejutan yang aku rencanakan gagal karena aku menghubungi Kak Bagas untuk menjemputku di depan jalan arah rumahnya. Aku gugup, sangat gugup. Ini pertama akli aku berbicara kepadanya walau hanya lewat telpon. Kak Bagas dengan tidak percaya terus tertawa dari jauh sana.
            Kejutan yang kubuat dan kurencanakan gagal seketika. Yang ada hari ini adalah kebahagiaan dengan canda dan tawa. Kami berempat diajak ke restoran yang tak jauh dari jalan tadi. Diam, candaan, tawa karena gugup, berfoto bersama, dan yang paling penting berbicara padanya secara langsung.
            Petang, terimakasih karena sudah mengizinkanku menatap senyum dan tawanya lagi. Terimakasih karena telah mengizinkanku bercengkrama dengannya secara langsung. Wahai malam, aku masih bersamanya. Kita membelah malam dan memeluk angin yang begitu dingin. Sungguh, aku tak ingin bangun dari mimpi indahku ini. Aku menatap bintang yang berserakan di langit yang begitu cerah, tersenyum pada setiap perkataannya, bercuri pandang, dan.. Ah! Aku tak dapat mengungkapkan perasaan ini dengan lantunan kalimat seperti biasanya. Ya Tuhan, aku tak ingin ini berakhir. Aku takut ini menjadi yang terakhir meskipun aku harap ini adalah awal dari kebahagiaanku. Ya Tuhan, tepat di depan pagar rumahku adalah kenangan pertama yang dia berikan. Izinkan aku merasakannya lagi. Rasa ini sungguh nyata. Semoga bukan hanya dalam mimpi indahku. Seperti malam, aku mendambanya diam-diam.