Sabtu, 30 Juli 2016

Ibu Kota #part3

Hari-hari terus berganti. Sekarang ditambah lagi dengan masa lalu yang menjelma bagai angin, berbisik dan merayu untuk dicari lagi. Rupanya, bukan hanya luka yang terasa namun sisa-sisa kenangan itu masih berceceran di jalan basah. Dia kembali tanpa atau dengan yang lalu. Tatapan mata itu masih yang kurasa sama. Aku sudah mulai pulih, haruskan ia kembali?

Andai ia tahu bahwa melupakan itu butuh tenaga yang banyak, butuh kerja keras yang luar biasa. Butuh acting yang professional untuk menyembunyikan mimik wajah yang sebenarnya sendu. Aku paling takut untuk merasa sendiri dalam keramaian lalu mengenang seakan sebatang kara. Yang ia tahu hanyalah, aku baik-baik saja dan semua berjalan normal, tawaku masih memantul dari sudut ke sudut. Rasanya aku ingin berteriak di samping telinganya, stupid!

Matahari diganti bulan, begitu terus sampai esok dan esoknya lagi.  Aku hanya sedang menutup mata hati dengan tidak ingin tertarik lagi oleh ceritamu. Langkahku sudah mantap untuk hari ini dengan baju putih bersih bercorak batik di pergelangan tangannya dan terbordir nama, Alexa Margaretha.

“Sudah siap ujian praktek hari ini, Al?”

“Yups! Bismillah..”

“OK! Good luck, chef!”

Hatiku sudah tertatar dengan sigap untuk terfokus pada sesuatu hal yang penting saja. Aku tidak ingin mengotori nilaiku dengan kata remedial. Sebenarnya aku sedikit panik karena ini bukan passion-ku—masakan Asia.

***
“Alexa Margaretha.”

“Siap, chef.”

“Saya tahu kalau kamu jago banget soal pastry, cake, atau dessert lainnya. Dan saya tahu kalau kamu akan selalu berusaha belajar dan belajar lagi, maka dari itu saya tunggu kamu besok lusa untuk masak lagi untuk saya. Maaf Alexa kamu harus mengulang.”

Aku menganggukkan kepala kepada Chef Darman. Ini pertama kali aku harus mengulang ujian praktek. Aku merasa kecewa dengan diri sendiri karena harus keluar dengan kekalahan.

Aku berjalan menuju masjid kampus, menunaikan ibadah solat Zuhur yang sudah diulur waktu setengah jam. Sambil menyegarkan wajah dengan air yang suci. Pada rakaat terakhir, kupanjangkan sujud, menyelipkan sebuah permohonan dengan pengharapan bahwa takdirku adalah apa yang aku inginkan. Bermohon ampunan atas semua pengandaian.

Besok lusa pasti bisa. Aku harus belajar lagi di rumah. Tidak akan ada kemenangan tanpa tercipta kegagalan. Ya Allah dampingi aku.

“Hi, Al.” terdengar sapa saat aku sedang memakai sepatu boots di pelataran masjid. Iya hai, aku menjawab tanpa melihat wajah orang itu.

“Ya ampun, Dika? Sudah selesai pertukaran pelajar ke Belanda? Satu tahun loh Dik kita nggak ketemu.”

“Kenapa, Al? Kangen ya? Iya aja deh. Hmm.. gimana kalau kita ngobrolnya di tempat biasa? Sambil kita nyanyi bareng, aku kangen sama suara kamu.”

Dika, seseorang yang sangat tahu perjalanan hidupku dari kecil sampai satu tahun yang lalu. Kita hampir tak bisa terpisahkan oleh waktu. Dia teman kecilku yang sangat aku sayangi. Meskipun sekolah kami berbeda tapi pada akhirnya kami bertemu di satu universitas yang sama. Tepat satu tahun yang lalu Dika meninggalkan aku untuk pertukaran pelajaran ke Belanda. Dia memang sangat cerdas.

Ini tempat kami biasa menghabiskan waktu bersama. Melepas penat dan berteriak ketika emosi tak dapat tertahan. Di tempat ini juga keteduhan terwujud karena hamparan air yang luas dan masih bersih, meskipun buatan tapi tempat ini indah untuk di Ibu Kota.

“Gimana kegiatan kamu di Jakarta, Al?”

“Baik-baik aja, Dik. Semua berjalan lancar tapi ada satu yang buat aku sedih hari ini. Aku harus ngulang ujian praktek Chef Darman besok lusa. Masakan Asia, Dik. Kamu kan tahu aku kurang mahir masak itu.”

“Hahaha.. Alexa kamu itu bisa tapi kamu nggak yakin. Itu yang menyebabkan kamu selalu gagal. Listen to me carefully, semua orang itu pasti bisa membunuh rasa takutnya, dengan begitu hal baik pasti akan datang. Fokus makanya, Al. Jangan mikirin aku terus, haha.”

Aku menatap ke arah Dika. Kata-katanya yang selalu menenangkan hati yang membuat aku tidak ingin kehilangannya. Aku tersenyum, “Ih kamu Dik, ngeledek aja ujung-ujungnya. Terus gimana sama Negara kincir angin? Menyenangkan dong? Setiap hari ketemu puluhan bule.”

“Belanda, Negara yang pernah menjajah Tanah Air. Indah tapi Indonesia lebih cantik. Banyak yang seksi di sana tapi di Ibu Kota ini ada yang lebih menarik untuk selalu ditengok dan begitu berharga untuk selalu dirindukan..” Dika berhenti berucap dan menarik nafas terlebih dahulu, “..kamu.”

“Hmm.. Dik, kamu udah ketemu Sally belum? Tadi aku lupa ninggalin dia. Aku mau cari Sally dulu ya.”

“Al, aku buat ini waktu masih di Belanda. Jangan lupa diliat.” Dika memberiku sebuah kepingan DVD.

Aku meninggalkan Dika dengan sangat sengaja. Walaupun aku tahu hal ini sangat jahat untuknya. Aku mengerti perasaannya tapi apa dayaku yang belum bisa membalas hal yang sama. Dan egoku yang tak ingin kehilangannya. Aku memang merindukannya tapi sebagai sahabatku. Aku hanya pasrah atas takdir Tuhan dan berharap semoga tidak ada yang merasa tersakiti atas segala keputusan.

Kemana sih Sally? Dari ruang ke ruang aku mencari sahabat cantikku itu tapi tak sedikit pun tanda-tanda bahwa ia ada di sekitar sini. Telephone aja deh… Ya ampun Sally nggak diangkat-angkat. Aku terdampar di depan ruang rektorat, berlindung dari sengatan matahari yang begitu tajam di siang menuju sore ini.

“Eh Rio, tunggu dulu deh. Kamu liat Sally nggak?” aku bertanya kepada salah satu teman sekelas Sally yang kebetulan lewat.”

“Tengok ke belakang deh, Al. Sally tuh lagi di ruang rektor dari tadi, nemuin Om-nya.” Jelas Rio.

“Om? Siapa?” tanyaku heran.

Aku memasuki ruang rektorat. Melihat dari luar Sally yang sedang bercakap-cakap dengan Bapak John. Jadi, Pak John itu.. aku mengetuk pintu ruangannya. Sally melihatku sedikit terkejut tapi Pak John berusaha menyembunyikan kepanikannya dan menyapaku. Aku membalas dengan senyum, lalu Sally mengajakku keluar ruangan Pak John.

“Aku harus ngulang ujian praktek besok lusa.”

"Ya ampun, Al. Kamu cuma lagi capek aja kok jadi kurang konsentrasi. Pokoknya kamu harus semangat belajar buat remedialnya ya."

"Mungkin aku memang nggak pantas kuliah di sini. Beasiswa aku lulus karena ada orang dalem. Iya kan, Sal? Pak John itu Om kamu, kan?"

"Gini Al, beliau emang Om aku tapi soal tes beasiswa kamu di sini..."

Belum selesai percakapan Sally, aku meninggalkannya begitu saja. Entah kenapa ada rasa kecewa dalam hati saat tahu bahwa Bapak rektorat itu adalah paman dari Sally. Dia sudah banyak membantuku dan keluarga. Dia menjadi sahabat setelah Dika. Hanya saja aku ingin berjuang dengan keringatku sendiri, bagaimana susahnya harus kuhajar semua rintangan dan kubunuh rasa takut. Bukan hanya berharap bantuan orang lain, meskipun dia adalah orang terdekatku.

Aku terus berjalan tanpa tahu arah. Begitu saja mengikuti kelokan dan kelokan lagi. Bibirku tak ingin bergumam, pandangan mataku kosong. Aku melihat Bramantio di dalam pendopo kampus sedang memainkan jemarinya di atas kamera DSLR. Ada Bramantio?Aku lewat di hadapannya begitu saja. Sesekali kuperhatikan ia sedang memotret seseorang di sebrang sana--wanitanya.

Berjuang dengan keringatku sendiri? Kenapa harus marah? Aku harus bisa! Kini saatnya aku akan membuktikan bahwa aku pantas di sini.

Diam dan berbalik arah menuju tempat yang tadi aku tinggalkan--Sally. Aku melewati Bramantio lagi, tapi sekarang ia menyadari keberadaannku. Wajahku menoleh sebentar ke arahnya lalu seolah tak peduli.

Alexa! Teriaknya, aku sungguh tak peduli. Mulai berlari kecil.

Sampai di tempat yang sama. Namun keadaan sudah berbeda. Kini bukan hanya Sally yang berada di sana tapi Rio pun nampak. Mereka beradu argumen, entah membahas apa, terdengar samar dari kejauhan.

Aku ingin mendekati mereka tapi rasa takut itu mulai memutar memori kelam. Alexa, bunuh rasa takut itu, lihat sahabatmu yang sedang membutuhkanmu. Ayo maju, Alexa! Bisikkan hati kecil mulai bergemuruh, mendorong kedua kaki yang berjalan dengan ragu. Tapi harus kumantapkan nafas, Sal aku datang.

"Halah! Cuma bisa berlindung di balik keluarga lo yang cerdas-cerdas itu. Sedangkan lo? Akademik aja payah banget!"

"Kalau lo emang cerdas lebih dari gue dan lo adalah pria sejati, harusnya mulut lo jangan kaya banci!"

"Shit!"

"Sally awas!" PRAK! Tamparan itu.

***

"Kamu ini ngurus rumah aja nggak becus! Gimana anak kamu itu mau bener?! Hah!"

"Tapi Mas.. Aku kan juga kerja. Maafin aku Mas." tangis suara Ibu terdengar. Pukulan demi pukulan yang sangat rigan dari tangan seorang yang kupanggil Ayah terus melayang mengenai kulit Ibu.

Ibu menangis tersedu-sedu menahan rasa sakitnya sembari mengikhlaskan dalam hatinya. Hanya menangis yang bisa kulakukan, di balik pintu sambil memegang erat kedua kaki yang terlipat. Aku takut, aku ingin melakukan sesuatu, tapi apa?

Akhirnya entah keberanian apa yang merasuk ke dalam tubuh. Aku berdiri dari rasa takut, aku bangkit dari keterpurukan. Aku membuka pintu kamar sedikit demi sedikit dengan memperlihatkan mata yang sembab.

"Ayah, cukup!" untuk pertama kalinya aku berteriak dengan lantang ke arah Ayah. Dia kaget mendengarku berkata seperti itu karena yang Ayah kenal, aku adalah sosok anak yang tak pernah ikut campur masalah dalam keluarga kecil kami.

Ayah hilang kendali karena emosinya. "Diam kamu!" PRAK! Dan ini pertama kalinya aku merasakan tamparan tangannya.  

Tubuhku terjatuh begitu saja. Dengan lemas, aku meninggalkan senyum untuknya lalu kemudian mulutku berucap, aku rindu Ayah.  Mataku tertutup. Tak sadarkan diri. Tangannya yang begitu keras mendarat di pipiku. Kata Ibu, aku koma empat hari.

Kejadian itu seperti tidak mau keluar dari kepalaku. Sejak saat itu aku tahu bahwa rasa traumaku terus saja kembali menghantui. Kenangan kelam itu terlalu melekat di otakku. Satu-satunya obat adalah aku—.

***

Al.. Al.. Alexa.. Bangun Al.. Please bertahan, Al..

Suara itu yang memanggil-manggil namaku tapi apa daya,  aku tak bisa membuat mata terbuka untuk memastikan aku tidak sendiri.

Ya Tuhan, aku tak ingin terus terbelenggu dalam masa lalu kelam ini. Aku mohon untuk biarkan aku hidup untuk beberapa saat lagi. Aku ingin membahagiakan Ibu dan semua orang yang aku sayang dan menyayangiku. Ya Tuhan, aku tidak ingin memohon agar diringankan bebanku tapi jika Engkau memberiku kesempatan untuk tetap tinggal di bumi-Mu yang indah ini, aku akan berharap agar kuatkan bahuku.

"Al.. Harusnya kamu nggak usah balik lagi." aku mendengar tangis Sally.




Sabtu, 23 Juli 2016

Ibu Kota #part2

Terkadang, aku terlalu takut pada malam. Gelap, kataku. Bahkan bayang pun tak nampak. Karena disaat berjalan sendiri hanya bayangan yang menjadi teman setia. Gelap, kataku. Tapi mengapa aku masih bisa melihat ke depan? Masih bisa melihat lampu jalanan, masih bisa melihat pohon-pohon yang mengelilingi, masih bisa melihat rumah-rumah yang berjajar, masih bisa melihat jalanan yang kosong, kenapa?

[I]
Jangan melamun, sayang
Jangan kau tengok ujung tombak itu
terlalu jauh
Mari kita berbincang sebentar
Meraba masa depan yang dekat ini
di sampingmu

***
Sebuta ini garpu dan sendok sudah bercengkrama dengan santai. Namun tetap saja sepi di dalam gubuk ini. Aku tidak bisa berbohong pada diri bahwa aku menyesali saat ini. Sebenarnya hatiku berontak! Andai waktu bisa kuputar seperti jam diniding yang sudah mati. Andai waktu itu aku dapat memberhentikan waktu dan memulainya lagi dari awal, sampai begitu saja seterusnya.

Aku iri pada langit yang tak pernah kehilangan awan, tak pernah kehilangan matahari dan bulan, begitu pun bintang. Aku iri pada pepohonan, yang tak pernah kehilangan daun, tak pernah kehilangan ranting begitu pun batangnya, yang tak pernah kehilangan akar sebagai jantungnya, kadang ia memiliki bunga yang cantik. Aku iri pada semesta yang tak pernah senyap.

Ya Allah maafkan aku yang tidak hentinya mengeluh.

“Alexa, ada Sally.” Ibu memanggil dari ruang makan.

Sally? Pagi-pagi begini mau apa dia? Aku keluar dari kamar dengan piama yang masih lusuh juga kaca mata yang terpasang agak miring. Aku menemui dia di meja makan dengan roti isi daging buatan Ibu di tangannya. Sally kebiasaan numpang sarapan!

“Al, kamu pokoknya buruan siap-siap ke kampus! Aku mau tunjukin kamu sesuatu.” Kata Sally dengan mulutnya yang penuh roti.

“Mau ada apa sih Sal? Bapak satpam juga baru bangun bobo jam segini mah.”

“Please banget ya Al jangan banyak tanya. Buruannn!” Sally bangun dari kursinya dan mendorongku menuju kamar mandi.

Sambil menggaruk-garuk kepala yang tidak gatal, aku menuruti maunya Sally. Aku tak menggubris apa yang dimaksud Sally. Masih melakukan aktivitas hari ini dengan normal. Sambil mendengar Sally dengan asyik bercerita kepada Ibu tentang kejadian kemarin malam di Café Coklat.

“Al, cepetan dong!” Sally mulai merajuk.

“Iya bawel!” Aku mengambil sepatu dan bergegas memakainya di depan pintu rumah. “Sal, hujan nih. Nanti aja ya. Kita kan nggak ada kelas hari ini.”

Sally menunjukkan muka masamnya. Hujan tiba-tiba deras membasahi aspal. Kalau Ibu Kota diguyur hujan, itu tandanya berkah datang. Gersang mulai sirna. Daun yang menguning sudah digantikan yang baru. Namun wajah sahabatku yang satu ini seperti tak ingin merasakan berkahnya. Ia mematung memperhatikan air yang ramai itu sambil harap-harap cemas oleh waktu.

Hujan kadang menjebak aku pada masa lalu atau simbol atas sebuah nostalgia yang seharusnya sudah terhapus oleh kaki-kaki yang lain. Temanku pernah bertanya, kenapa setiap kegalauan selalu diartikan dengan hujan? Pertama, aku menjawab dengan sebuah tawa singkat. Aku suka hujan, mereka bisa membuatku teduh dan damai oleh nyanyiannya. Iya, aku sebut dengan nyanyian hujan. Bukan tentang sebuah kegalauan saja, kataku. Hanya kenangan yang masih tersimpan rapi di memori dan saat hujan turun lalu hanya hati dan kepala yang menyatu, disitulah semua kejadian masa lalu terbuka kembali—nostalgia.

Ya ampun Alexa, hubungi Pak Andreas! Aku teringat bahwa hari ini honor sebagai penyanyi di Café Coklat akan turun.

“Sal, aku baru ingat kalau sore ini aku harus nyanyi di Café Coklat.”

Sally berbalik badan dan membelakangi hujan yang sedaritadi ia perhatikan. Dia menghampiriku dengan muka yang sumringah. “Nah! Kita ke kampus dulu, setelah itu aku antar kamu ke Café Coklat. Aku titip motor di rumah kamu ya Al. Kita naik taxi aja. OK?”

“Siap Bu boss!”

Dari balik kaca taxi aku memperhatikan rinaian gerimis terus menetes, membuat embun-embun yang menempel. Tanganku menopang dagu. Aku lebih suka diam dan menikmati gerimis. Kulihat beberapa anak jalanan yang bermain di kobangan air, suka-cita mereka menikmati anugerah Tuhan yang nikmatnya luar biasa. Sebagian lagi menjajakan jasa lap kaca mobil, sembari membersihkannya dengan sabun cuci. Sebagian lagi rela kuyup karena si empunya payung memayungi orang lain—ojek payung. Sebagian yang lainnya berteduh dengan pakaian badutnya.

Mungkin mentari sedang lelah berpijar hari ini. Mungkin langit ingin berdansa dengan tangisnya. Mungkin awan sedang berkumpul membicarakan sesuatu tentang bumi di kemudian hari. Mungkin langit tahu ada yang sedang bersedih, sehingga ia menutup kepedihan itu dengan berisiknya air yang turun dari atas. Atau mungkin, Tuhan ingin umat-Nya beristirahat sejenak dengan berdoa kepada-Nya, menangis di hadapan-Nya—di balik hujan. Mungkin..

Sesampainya di kampus, Sally menarik tanganku berlari menuju mading yang sudah dikerubuni para mahasiswanya. Ada nilai yang baru keluar ya? Rame banget. Sally membuka jalan untuk aku melihat sebenarnya apa yang sedang dibaca teman-teman kami itu.

“Sally, kenapa puisi aku bisa ditempel di sini?” tanyaku heran.

“Puisi kamu lolos audisi antar mahasiswa, Al! Uangnya lumayan loh Al, bisa buat nambah-nambah biaya praktek.”

“Duh, Sally.. tapi aku kan malu. Itu puisi kaya curahan hati aku aja. Nggak ada yang istimewa.”

“Dengerin aku ya Al, kamu itu punya bakat jangan disimpen sendiri. Kalau puisi kamu jelek, ngapain bisa lolos audisi gitu? Diomongin banyak orang juga, sampe nih ya Al ada yang jadiin puisi kamu itu display picture-nya. Ohiya satu lagi, kalau puisi kamu nggak bagus, kenapa majalah sastra itu yang dulu pernah kamu coba sampai berani majang puisi kamu dan membayarnya?”

“Udah ah, pokoknya aku nggak mau kalau kamu nyolong puisi aku kaya gini lagi. Apa pun alasannya, aku bakal marah.”

Semua orang yang sedang membaca mading tiba-tiba memperhatikan aku dengan wajah yang bertanya-tanya. Aku memang tidak popular di kampus, bahkan satu kelas pun ada yang tidak mengenalku. Mungkin karena aku jarang berkomunikasi dengan mereka, habis selesai jam kampus langsung kabur ke café buat nyanyi atau membantu Ibu di rumah atau ngerjain tugas kuliah atau..

Aku pergi meninggalkan mading itu, masih tak percaya bahwa salah satu karyaku lolos audisi perlombaan karya sastra antar mahasiswa. Padahal itu hanya curahan hati ala anak remaja, tidak ada yang spesial.

Gerimis masih enggan untuk padam. Aku dan Sally berjalan pelan menuju gerbang kampus untuk memberhentikan taxi yang akan membawaku ke Café Coklat. Belum sampai gerbang, seseorang memanggilku dari kejauhan. Suara bass yang sangat kukenal. Kami berdua menoleh ke belakang.

“Bram? Ada apa?” tanyaku.

Bramantio berhenti di hadapanku, ia tak berkata apa pun. Membuka tasnya dan mengeluarkan topi, kemudian memakaikannya di kepalaku dengan tiba-tiba. Aku menarik nafas karena ingin bertanya lagi tapi belum sempat mengeluarkan kata, ia membalap omonganku.

“Sorry kalau saya pakaikan kamu topi, tapi ini sedang hujan. Saya cuma mau protes sama penulis di blog ini, kenapa harus nama saya yang dipakai?” blog yang ditunjukkan Bramantio adalah milikku. Salah satu cerita lama yang ditulis di sana memakai namanya, tapi cerita itu kan aku buat sebelum mengenal Bram.

Bramantio hanya berkata seperti itu lalu kemudian meninggalkan kami berdua di tengah hujan. Juga topinya yang sekarang berada di atas kepalaku. Dia berjalan dengan pasti ke depan tanpa menoleh ke belakang dan dia tidak penasaran tentang penjelasanku atas nama di blog itu.

“Bram! Alexa mau nyanyi di Café Coklat sore ini. Datang ya!” Sally tiba-tiba berteriak.

Apa-apaan sih anak yang satu ini. Aku melanjutkan perjalanan, meninggalkan Sally yang masih berisik mengalahkan suara hujan berteriak ke arah Bramantio. Sally terus saja menggodaku tentang Bram. Aku sama sekali tidak memperdulikannya.

“Al, kamu seneng kan Bramantio perhatian sama kamu? Ayo ngaku.”

“Enggak!”

“Ah bohong kamu Al, buktinya topinya Bram masih kamu pakai, padahal ini kan sudah di dalam taxi.”

Oh iya aku lupa melepas topinya Bram, sial! Aku menengok ke arah Sally dan melepas topinya Bram. Sally tidak mau memberhentikan tawanya yang penuh dengan ledekan. Sesekali aku pukul ia dengan tas. Sampai di café Sally masih tertawa sambil mengeluarkan kata-kata ledekannya. Aku meninggalkannya ke kamar ganti untuk bergegas bernyanyi menghibur para pengunjung Café Coklat.

Aku memakai dress warna merah jambu dengan perpaduan biru tua dan sentuhan putih. Seperti biasa, kulepas kaca mata dan digantikan softlent yang warnanya serupa dengan bola mataku—cokelat.

[II]
Jangan melamun, sayang
Bilamana aku tak kunjung datang menemanimu
Kerlipan cahaya bintang akan menyambutmu dengan seksama
Jangan melamun, sayang
Bilamana gerimis memberimu dingin
Ingatlah aku yang lebih gigil tanpa pelukmu

“Hallo selamat sore para pengunjung Café Coklat yang berbahagia. Wah, Jakarta sedang hujan seharian ini. Makadari itu, saya akan menghangatkan kalian dengan lagu dan melodi dari sebuah penyanyi yang legendaris, Chrisye dan sudah di-recycle oleh Abdul The Coffee Theory, Untukmu.”

Adakah rindu kian melanda
Disaat jauh dari sisiku
Cintaku, kuingin selalu bersamamu
Sampai roda dunia tak berputar

Selesai tugas menghibur para pengunjung, aku seperti melihat ada sosok Bramantio terselip di keramaian. “Alexa, ke rungan Bapak sekarang ya.” Ah, rupanya tak ada waktu untuk memastikan apakah itu Bram atau bukan. Aku dan teman-teman band yang lain memasuki ruangan Bapak Andreas. Kami dibagikan honor.

Al, ada Bramantio. Kamu cepat ke sini ya.

“Kamu liat aku nyanyi tadi?”

“Saya ke sini cuma mau ambil topi. Jangan ke-pedean.”

“Ini topi kamu. Oh iya, kamu juga jangan ke-pe-de-an tentang blog saya ada nama kamu di sana karena cerita pendek itu saya buat jauh sebelum saya kenal sama kamu.”

Bramantio lagi-lagi tidak menggubris omonganku. Ia hanya mengambil topi dan langsung menaiki vespa modern-nya dan pergi—tanpa menoleh. Kamu adalah masa lalu Bram, tidak sepantasnya kamu hadir lagi bila hanya meninggalkan hujan lebat.

“Al, kamu baik-baik aja kan? Mulutmu itu bisa berbohong kapan pun kamu mau tapi matamu yang terlalu bagus itu tidak bisa berbohong walaupun hanya setetes seperti gerimis malam ini. Perasaan kamu sama Bram nggak pernah berubah kan, Al?”

[III]
Jangan melamun, sayang
Malam akan tetap gelap dan menakutkan
bila saja kau tak kunjung memejamkan mata
Pergilah tidur!

Akan kutaruh sayapmu yang diberi cuma-cuma 

Sabtu, 16 Juli 2016

Ibu Kota #part1

“Aku kemakan omongan sendiri ya Al?”

“Hahaha.. Makanya kamu tuh emang udah cocok jadi designer.”

“Tapi kan katanya kalau mau sukses harus keluar dari comfort zone-nya.”

“Iya tapi nggak semua harus seperti itu, Sally. Kalau kamu yakin sama comfort zone-nya kamu, kenapa nggak? Sekarang terbukti kan.”

“Iya, OK, Alexa yang cantiknya masyaallah..”

“Haha apaan sih kamu Sal. Kamu tunggu di sini ya, aku mau cari toilet umum dulu.”

Hal yang pertama aku tahu dari Ibu Kota adalah kerasnya beradaptasi, tapi hal yang pertama aku rasakan dari Ibu Kota adalah nyamannya persahabatan—Sally. Saat bosan aku menunggu kemacetan dari padatnya metromini, ada motor matic yang mengajakku dengan klaksonnya untuk menyalip dari sela-sela puluhan roda—Sally. Dari teriknya matahari yang seperti sejengkal di atas kepala, selalu ada dingin yang tiba-tiba menempel di pipi, tentu membuat kaget tapi setelah itu tawa yang menggelegar akan menyejukkan siangnya hari.

“Berapa, Pak?”

“Dua ribu sajalah neng.”

Dimana-mana jadi tukang jaga toilet saja emasnya berderet, ucapku dalam hati. Kalau aku jadi juragan toilet di Jakarta, bisa sampai beli toko emasnya kali ya? Haha.. harus aku ceritakan kepada Sally rencana gilaku ini!

Aku meninggalkan toilet umum itu sembari memikirkan hal yang sama, menjadi juragan toilet di Jakarta. Kupercepat pergerakan kakiku, tak sabar menceritakan kepada Sally. Tapi kakiku terhenti sejenak, ada suara yang membuyarkan ide gilaku itu. Suara tangis yang terisak-isak dan bentakan yang menembus sore ini.

“Jalan aja mbak, sudah biasa situasi di gang ini, memang seperti itu.” Tiba-tiba ada yang menepak bahuku dari belakang. Lelaki tua yang memainkan asap rokoknya ke udara, dengan terkadang tersangkut di hidungku, setelah beres ucapannya dia pergi.  

Bodohnya, aku membalikkan badan, menoleh ke sumber suara itu berada. Dan, PRAK! Tamparan tangan itu membuat telingaku sakit. Kepalaku terasa sangat sakit. Aku menutup ke dua telingaku, berusaha berjalan namun sayang, lututku sudah mulai terasa lemas. Bersandar pada tembok-tembok yang berbau lumut. Sally, cepat kesini, aku membutuhkan kamu, segera!

“Ya ampun, Alexa! Kamu kenapa? Ini pakai tisu, hidung kamu mimisan. Sekarang kita ke dokter!”

Sally bergegas mencarikanku taxi. Kami berangkat menuju rumah sakit yang biasa menanganiku. Aku masih menutup kedua telingaku dan Sally terus membersihkan darah yang sulit berhenti dari hidungku. Pikiranku melayang pada masa lalu, trauma yang kualami bertahun-tahun seperti sukar untuk dilupakan dan bekasnya sangat terasa pada keadaan saat ini.

Seperti biasa, Ibu Kota dengan jam pulang kantor, yang padatnya luar biasa. Di dalam taxi saat aku sudah mulai tenang, Sally pelan-pelan bertanya apa yang terjadi.

“Harusnya tadi aku abaikan aja suara itu, Sal.. Ha.. rusnya..” aku menjawab dengan terpenggal-penggal oleh tangisku—ketakutan.

“Pelan-pelan, Al. Tadi kamu lihat apa? Jangan takut Al, ada aku.”

Aku menarik nafas panjang, kutenangkan hati ini, kuatur nafas, “Tadi aku lagi jalan keluar gang itu, terus aku dengar suara anak kecil nangis sama bentakan suara laki-laki. Entah kenapa pikiranku kosong tiba-tiba. Pas banget waktu aku nengok ke belakang.. pas banget waktu aku nengok.. laki-laki itu.. laki-laki itu nampar anak kecilnya.” Sesak sudah aku menceritakannya.

“Udah Al, udah lewat kok.” Sally menenangkanku. “Pak, tolong dipercepat ya, kalau bisa cari jalan tikus aja biar lebih cepat ke rumah sakitnya.”

“Baik, mbak.” Kata Bapak supir taxi itu.

Keadaan masa lalu itu memang kejam, Al. Trauma yang sampai sekarang kamu rasakan rasanya ingin kubakar habis-habis, agar kamu tenang dengan hidupmu yang baru. Orang itu yang kamu panggil ‘Ayah’ rasanya ingin aku jebloskan ke jeruji besi, andai kau mengizinkan, Al. Tapi aku tak tahu hatimu terbuat dari mutiara atau embun pagi—kau masih memaafkannya.

“Nona Alexa Margaretha, silahkan masuk ke ruang dokter.”

Dokter menjelaskan tentang keadaan telingaku yang terhubung ke syaraf otak. Aku sudah mulai tenang, apa pun katanya sudah biasa bagiku. Sally pun mendengarkan dengan serius. Dokter Anna yang masih satu keluarga dengan Sally, sangat membantuku, begitupun dengan biaya rumah sakit yang mahalnya kadang tidak kira-kira. Aku hanya membayar obatnya, meskipun kata Dokter Anna semuanya bisa gratis tapi aku tidak menerimanya. Sudah banyak Sally membantuku.

“Alexa, everything gonna be OK. Jangan takut, hapus semua memori masa lalu yang bisa membuat sakitmu muncul lagi. Kamu bisa sembuh, Al. Kamu harus tetap tenang. Jangan lupa minum vitaminnya ya sayang.” Kata Dokter Anna.

Tidak sampai dua jam kami menunggu antrian obat. Mimisan yang tadi sempat merepotkan sudah tidak keluar lagi. Hanya saja jilbabku bertambah corak merah yang mulai kecoklatan.

Sampai di pintu keluar rumah sakit, kami memberhentikan taxi di pinggir jalan. Sally sudah menyebutkan alamat yang kita tuju—rumahku. Tapi aku teringat sesuatu, “Sal, aku harus nyanyi di Café Coklat satu jam lagi. Ya ampun aku bisa lupa gini.”

“Aduh, nggak deh Al. Kamu harus istirahat.”

“Aku udah baik-baik aja kok, Sal. Lagi pula aku udah bawa baju gantinya di tas. Sal, plis izininin ya, aku harus bayar ujian praktek besok lusa karena minggu depan aku sudah harus ujian.”

“Pakai uang aku aja dulu, Al.” Sally melihatku menggeleng-gelengkan kepala. “OK, aku tahu kamu nggak akan mau dikasih bantuan. Tapi aku ikut liat kamu nyanyi. Pak, kita ke Café Coklat ya.”

Malam itu, tepat pukul delapan, aku sudah berganti pakaian dengan make-up seadanya menutupi pucat pasi akibat kejadian tadi sore. Sudah tugasku menghibur para pengunjung Café Coklat. Karena hanya ini yang bisa kulakukan untuk meringankan beban Ibu.

Suaraku yang tidak terlalu bagus, dengan mengambil nada-nada aman agar fals-nya tidak terlalu terdengar oleh para pengunjung. Mungkin ada baiknya aku bernyanyi lagu yang slow malam ini.

“Hallo, selamat malam. Selamat menikmati hidangan kami di café ini dan saya akan berusaha menghibur kalian semua dengan suara yang apa adanya. Ini dia Chrisye, Lilin Lilin Kecil”

Woooooo!! Alexa!! Yeaaayyy!

 
Engkau lilin-lilin kecil
Sanggupkah kau mengganti
Sanggupkah kau memberi seberkas cahaya
Engkau lilin-lilin kecil
Sanggupkah kau berpijar
Sanggupkah kau menyengat seisi dunia

PROK! PROK! PROK!

Semua orang berdiri dari bangkunya untuk bertepuk tangan kepadaku. Tak terkecuali Sally yang terus bersorak ria. Aku sangat merasa terhibur dengan mereka yang menyukai suaraku—dengan situasi ini. Setelah itu aku bernyanyi dua lagu lagi. Lagu terakhir yang beraliran jazz membuat badan para pengunjung bergoyang mengikuti irama musik.

“Wahh, Alexa kamu keren banget!”

“Sorry, boleh gabung di meja ini?” tiba-tiba seorang Bapak yang sudah terlihat tua datang menghampiri kami. Dahi Sally sudah mengrenyit menampakkan ketidaksukaannya. Tapi aku coba untuk membalas senyum.

“Begini, saya Andrea manager dari Purple Café, saya suka sama karakter suara kamu yang terdengar ramah terhadap orang. Kalau kamu mau, saya ada job yang sama, nyanyi. Ini kartu nama saya.” Bapak itu memberikan kartu namanya.

“Boleh Pak, saya juga tidak setiap hari nyanyi disini. Mungkin ada part-time lain yang bisa saya ambil. Besok atau lusa saya ke café Bapak.”

“Tapi begini Nona Alexa, saya sangat senang jika rambutmu terurai, saya yakin kamu punya rambut yang sangat indah.”

“Wah, itu namanya penghinaan, Pak!” Sally naik pitam.

Hatiku miris mendengar ucapan terakhir Bapak itu. Rasanya aku yang sudah sangat senang dengan tawaran pekerjaannya, harus sengaja dijatuhkan oleh ucapan halusnya sampai-sampai menusuk duri. Sally memang tidak bisa menahan amarahnya kalau-kalau ada yang menyakitiku atau dirinya sendiri. Mengapa banyak orang yang menawarkan pekerjaan dengan harus menjual apa yang sebenarnya wajib ditutup? Aku menjual suaraku, bukan tubuhku. Aku mencoba untuk tetap tenang dan tersenyum.

“Oh begitu ya Pak? Kalau begitu dengan sangat saya sayangkan, saya mohon maaf karena tidak bisa menjadi penyanyi di café Bapak. Ini kartu nama Bapak saya kembalikan, terimakasih atas tawarannya, Pak.”

“Simpan saja kartu nama saya, siapa tahu kamu berubah pikiran. Gaji yang saya tawarkan pasti lebih besar dari café ini.”

Sally langsung menarik tanganku keluar café, sepertinya dia sudah tidak tahan dengan omongan Bapak Andrea tadi. Sepanjang jalan Sally terus mengoceh, mengeluarkan amarahnya dan aku hanya tertawa di sampingnya. Sampai-sampai kami menjadi pusat perhatian banyak orang. Tapi aku tak peduli—kami.

“Kamu tuh harusnya marah tau Al sama Bapak tadi. Dia udah melecehkan kamu, masa kamu harus lepas jilbab kamu? Café Coklat aja mau nerima kamu. Karena ya emang suara kamu bagus, iya kan, Al?”


“Terus.. kamu kapan mau hijrah pakai jilbab kaya aku, Sal?” aku tersenyum kepada Sally.