Hari-hari terus berganti. Sekarang ditambah lagi dengan masa lalu
yang menjelma bagai angin, berbisik dan merayu untuk dicari lagi. Rupanya,
bukan hanya luka yang terasa namun sisa-sisa kenangan itu masih berceceran di
jalan basah. Dia kembali tanpa atau dengan yang lalu. Tatapan mata itu masih
yang kurasa sama. Aku sudah mulai pulih, haruskan ia kembali?
Andai ia tahu bahwa melupakan itu butuh tenaga yang banyak, butuh
kerja keras yang luar biasa. Butuh acting yang professional untuk menyembunyikan
mimik wajah yang sebenarnya sendu. Aku paling takut untuk merasa sendiri dalam
keramaian lalu mengenang seakan sebatang kara. Yang ia tahu hanyalah, aku
baik-baik saja dan semua berjalan normal, tawaku masih memantul dari sudut ke
sudut. Rasanya aku ingin berteriak di samping telinganya, stupid!
Matahari diganti bulan, begitu terus sampai esok dan esoknya
lagi. Aku hanya sedang menutup mata hati
dengan tidak ingin tertarik lagi oleh ceritamu. Langkahku sudah mantap untuk
hari ini dengan baju putih bersih bercorak batik di pergelangan tangannya dan
terbordir nama, Alexa Margaretha.
“Sudah siap ujian praktek hari ini, Al?”
“Yups! Bismillah..”
“OK! Good luck, chef!”
Hatiku sudah tertatar dengan sigap untuk terfokus pada sesuatu hal
yang penting saja. Aku tidak ingin mengotori nilaiku dengan kata remedial.
Sebenarnya aku sedikit panik karena ini bukan passion-ku—masakan Asia.
***
“Alexa Margaretha.”
“Siap, chef.”
“Saya tahu kalau kamu jago banget soal pastry, cake, atau dessert lainnya.
Dan saya tahu kalau kamu akan selalu berusaha belajar dan belajar lagi, maka
dari itu saya tunggu kamu besok lusa untuk masak lagi untuk saya. Maaf Alexa
kamu harus mengulang.”
Aku menganggukkan kepala kepada Chef Darman. Ini pertama kali aku
harus mengulang ujian praktek. Aku merasa kecewa dengan diri sendiri karena
harus keluar dengan kekalahan.
Aku berjalan menuju masjid kampus, menunaikan ibadah solat Zuhur
yang sudah diulur waktu setengah jam. Sambil menyegarkan wajah dengan air yang
suci. Pada rakaat terakhir, kupanjangkan sujud, menyelipkan sebuah permohonan
dengan pengharapan bahwa takdirku adalah apa yang aku inginkan. Bermohon
ampunan atas semua pengandaian.
Besok lusa pasti bisa. Aku harus belajar lagi di rumah. Tidak akan
ada kemenangan tanpa tercipta kegagalan. Ya Allah dampingi aku.
“Hi, Al.” terdengar sapa saat aku sedang memakai sepatu boots di
pelataran masjid. Iya hai, aku menjawab tanpa melihat wajah orang itu.
“Ya ampun, Dika? Sudah selesai pertukaran pelajar ke Belanda? Satu
tahun loh Dik kita nggak ketemu.”
“Kenapa, Al? Kangen ya? Iya aja deh. Hmm.. gimana kalau kita
ngobrolnya di tempat biasa? Sambil kita nyanyi bareng, aku kangen sama suara
kamu.”
Dika, seseorang yang sangat tahu perjalanan hidupku dari kecil
sampai satu tahun yang lalu. Kita hampir tak bisa terpisahkan oleh waktu. Dia
teman kecilku yang sangat aku sayangi. Meskipun sekolah kami berbeda tapi pada
akhirnya kami bertemu di satu universitas yang sama. Tepat satu tahun yang lalu
Dika meninggalkan aku untuk pertukaran pelajaran ke Belanda. Dia memang sangat
cerdas.
Ini tempat kami biasa menghabiskan waktu bersama. Melepas penat dan
berteriak ketika emosi tak dapat tertahan. Di tempat ini juga keteduhan
terwujud karena hamparan air yang luas dan masih bersih, meskipun buatan tapi
tempat ini indah untuk di Ibu Kota.
“Gimana kegiatan kamu di Jakarta, Al?”
“Baik-baik aja, Dik. Semua berjalan lancar tapi ada satu yang buat
aku sedih hari ini. Aku harus ngulang ujian praktek Chef Darman besok lusa.
Masakan Asia, Dik. Kamu kan tahu aku kurang mahir masak itu.”
“Hahaha.. Alexa kamu itu bisa tapi kamu nggak yakin. Itu yang
menyebabkan kamu selalu gagal. Listen to me carefully, semua orang itu pasti
bisa membunuh rasa takutnya, dengan begitu hal baik pasti akan datang. Fokus
makanya, Al. Jangan mikirin aku terus, haha.”
Aku menatap ke arah Dika. Kata-katanya yang selalu menenangkan hati
yang membuat aku tidak ingin kehilangannya. Aku tersenyum, “Ih kamu Dik,
ngeledek aja ujung-ujungnya. Terus gimana sama Negara kincir angin?
Menyenangkan dong? Setiap hari ketemu puluhan bule.”
“Belanda, Negara yang pernah menjajah Tanah Air. Indah tapi
Indonesia lebih cantik. Banyak yang seksi di sana tapi di Ibu Kota ini ada yang
lebih menarik untuk selalu ditengok dan begitu berharga untuk selalu
dirindukan..” Dika berhenti berucap dan menarik nafas terlebih dahulu,
“..kamu.”
“Hmm.. Dik, kamu udah ketemu Sally belum? Tadi aku lupa ninggalin
dia. Aku mau cari Sally dulu ya.”
“Al, aku buat ini waktu masih di Belanda. Jangan lupa diliat.” Dika
memberiku sebuah kepingan DVD.
Aku meninggalkan Dika dengan sangat sengaja. Walaupun aku tahu hal
ini sangat jahat untuknya. Aku mengerti perasaannya tapi apa dayaku yang belum
bisa membalas hal yang sama. Dan egoku yang tak ingin kehilangannya. Aku memang
merindukannya tapi sebagai sahabatku. Aku hanya pasrah atas takdir Tuhan dan
berharap semoga tidak ada yang merasa tersakiti atas segala keputusan.
Kemana sih Sally? Dari ruang ke
ruang aku mencari sahabat cantikku itu tapi tak sedikit pun tanda-tanda bahwa
ia ada di sekitar sini. Telephone aja deh… Ya ampun Sally nggak
diangkat-angkat. Aku terdampar di depan ruang rektorat, berlindung dari
sengatan matahari yang begitu tajam di siang menuju sore ini.
“Eh Rio, tunggu dulu deh. Kamu liat Sally nggak?” aku bertanya
kepada salah satu teman sekelas Sally yang kebetulan lewat.”
“Tengok ke belakang deh, Al. Sally tuh lagi di ruang rektor dari
tadi, nemuin Om-nya.” Jelas Rio.
“Om? Siapa?” tanyaku heran.
Aku memasuki ruang rektorat. Melihat dari luar Sally yang sedang
bercakap-cakap dengan Bapak John. Jadi, Pak John itu.. aku mengetuk
pintu ruangannya. Sally melihatku sedikit terkejut tapi Pak John berusaha
menyembunyikan kepanikannya dan menyapaku. Aku membalas dengan senyum, lalu Sally
mengajakku keluar ruangan Pak John.
“Aku harus ngulang ujian praktek besok lusa.”
"Ya ampun, Al. Kamu cuma lagi capek aja kok jadi kurang
konsentrasi. Pokoknya kamu harus semangat belajar buat remedialnya ya."
"Mungkin aku memang nggak pantas kuliah di sini. Beasiswa aku
lulus karena ada orang dalem. Iya kan, Sal? Pak John itu Om kamu, kan?"
"Gini Al, beliau emang Om aku tapi soal tes beasiswa kamu di
sini..."
Belum selesai percakapan Sally, aku meninggalkannya begitu saja. Entah
kenapa ada rasa kecewa dalam hati saat tahu bahwa Bapak rektorat itu adalah paman
dari Sally. Dia sudah banyak membantuku dan keluarga. Dia menjadi sahabat
setelah Dika. Hanya saja aku ingin berjuang dengan keringatku sendiri,
bagaimana susahnya harus kuhajar semua rintangan dan kubunuh rasa takut. Bukan hanya
berharap bantuan orang lain, meskipun dia adalah orang terdekatku.
Aku terus berjalan tanpa tahu arah. Begitu saja mengikuti kelokan
dan kelokan lagi. Bibirku tak ingin bergumam, pandangan mataku kosong. Aku
melihat Bramantio di dalam pendopo kampus sedang memainkan jemarinya di atas
kamera DSLR. Ada Bramantio?Aku lewat di hadapannya begitu saja. Sesekali
kuperhatikan ia sedang memotret seseorang di sebrang sana--wanitanya.
Berjuang dengan keringatku sendiri? Kenapa harus marah? Aku harus
bisa! Kini saatnya aku akan membuktikan bahwa aku pantas di sini.
Diam dan berbalik arah menuju tempat yang tadi aku tinggalkan--Sally.
Aku melewati Bramantio lagi, tapi sekarang ia menyadari keberadaannku. Wajahku
menoleh sebentar ke arahnya lalu seolah tak peduli.
Alexa! Teriaknya, aku sungguh tak peduli. Mulai berlari kecil.
Sampai di tempat yang sama. Namun keadaan sudah berbeda. Kini bukan
hanya Sally yang berada di sana tapi Rio pun nampak. Mereka beradu argumen,
entah membahas apa, terdengar samar dari kejauhan.
Aku ingin mendekati mereka tapi rasa takut itu mulai memutar memori
kelam. Alexa, bunuh rasa takut itu, lihat sahabatmu yang sedang
membutuhkanmu. Ayo maju, Alexa! Bisikkan hati kecil mulai bergemuruh,
mendorong kedua kaki yang berjalan dengan ragu. Tapi harus kumantapkan nafas, Sal
aku datang.
"Halah! Cuma bisa berlindung di balik keluarga lo yang
cerdas-cerdas itu. Sedangkan lo? Akademik aja payah banget!"
"Kalau lo emang cerdas lebih dari gue dan lo adalah pria
sejati, harusnya mulut lo jangan kaya banci!"
"Shit!"
"Sally awas!" PRAK! Tamparan itu.
***
"Kamu ini ngurus rumah aja nggak becus! Gimana anak kamu itu
mau bener?! Hah!"
"Tapi Mas.. Aku kan juga kerja. Maafin aku Mas." tangis
suara Ibu terdengar. Pukulan demi pukulan yang sangat rigan dari tangan seorang
yang kupanggil Ayah terus melayang mengenai kulit Ibu.
Ibu menangis tersedu-sedu menahan rasa sakitnya sembari
mengikhlaskan dalam hatinya. Hanya menangis yang bisa kulakukan, di balik pintu
sambil memegang erat kedua kaki yang terlipat. Aku takut, aku ingin
melakukan sesuatu, tapi apa?
Akhirnya entah keberanian apa yang merasuk ke dalam tubuh. Aku berdiri
dari rasa takut, aku bangkit dari keterpurukan. Aku membuka pintu kamar sedikit
demi sedikit dengan memperlihatkan mata yang sembab.
"Ayah, cukup!" untuk pertama kalinya aku berteriak dengan
lantang ke arah Ayah. Dia kaget mendengarku berkata seperti itu karena yang
Ayah kenal, aku adalah sosok anak yang tak pernah ikut campur masalah dalam
keluarga kecil kami.
Ayah hilang kendali karena emosinya. "Diam kamu!" PRAK!
Dan ini pertama kalinya aku merasakan tamparan tangannya.
Tubuhku terjatuh begitu saja. Dengan lemas, aku meninggalkan senyum
untuknya lalu kemudian mulutku berucap, aku rindu Ayah. Mataku tertutup. Tak sadarkan diri. Tangannya
yang begitu keras mendarat di pipiku. Kata Ibu, aku koma empat hari.
Kejadian itu seperti tidak mau keluar dari kepalaku. Sejak saat itu
aku tahu bahwa rasa traumaku terus saja kembali menghantui. Kenangan kelam itu
terlalu melekat di otakku. Satu-satunya obat adalah aku—.
***
Al.. Al.. Alexa.. Bangun Al.. Please bertahan, Al..
Suara itu yang memanggil-manggil namaku tapi apa daya, aku tak bisa membuat mata terbuka untuk memastikan
aku tidak sendiri.
Ya Tuhan, aku tak ingin terus terbelenggu dalam masa lalu kelam
ini. Aku mohon untuk biarkan aku hidup untuk beberapa saat lagi. Aku ingin
membahagiakan Ibu dan semua orang yang aku sayang dan menyayangiku. Ya Tuhan,
aku tidak ingin memohon agar diringankan bebanku tapi jika Engkau memberiku
kesempatan untuk tetap tinggal di bumi-Mu yang indah ini, aku akan berharap agar
kuatkan bahuku.
"Al.. Harusnya kamu nggak usah balik lagi." aku mendengar
tangis Sally.