Rabu, 21 Oktober 2015

Indahnya Takdir-Mu

Tersihir polusi dunia
Yang menyesakkan dada
Skenario hidup yang tak hentinya kujalani
Terseret waktu yang membawa pilu

Aku berjalan menatap matahari, namun kutak bisa
Aku tak mampu
Engkau Maha Segalanya
Ketika terus menerus aku mengeluh
Rinai hujan turun untuk mendamaikan hati

Oh Tuhan, senjataku hanyalah doa untuk-Mu
Malamku tempat mengadu
Riuhnya gemuruh hati
Tangisku adalah sebuah penyesalan terberat dari dosa-dosa

Melawan takdir-Mu, namun kutak bisa
Aku tak mampu
Engkau Maha Segalanya
Ketika terus menerus aku mengeluh
Rinai hujan turun untuk mendamaikan hati

Oh Tuhan, senjataku hanyalah doa untuk-Mu
Malamku tempat mengadu
Riuhnya gemuruh hati
Tangisku adalah sebuah penyesalan terberat dari dosa-dosa

Bersimpuh menghadap-Mu ya Tuhanku,
Aku tak mampu menanggung pedih-Mu
Dan hanya rasa syukur sebagai penenang hati

Kamis, 08 Oktober 2015

Lorong Kelas

Ini dia masa remajaku yang sebentar lagi akan kutinggalkan, aku berjalan perlahan selangkah demi selangkah, melihat sekeliling kelas yang berjajar di sisi kanan dan kiri. Banyak anak tangga yang mungkin akan kulewati, entah kapan. Aku tak berniat untuk mencari teman baru atau apalah itu, biar saja semua mengalir apa adanya, sesederhana mungkin. Lalu, aku terjaga di depan lift.

“Mah, pokoknya aku gak mau naik angkot! Panas!” Bentakan suara itu menggema di dalam lift yang baru saja kumasuki. Seorang perempuan muda yang mungkin sebaya denganku, dia mengeluh kepada Ibunya. Sepertinya tak pantas kalau seorang anak membentak Ibunya sendiri di tempat umum, gumamku dalam hati.

“Maaf dek, bisa tunggu sebentar?” Tiba-tiba tangan Ibu itu menarik pergelangan tanganku dengan halus setelah keluar dari lift.

“Iya? Ada yang bisa saya bantu?” Jawabku.

“Ade tahu kelas ini dimana? Anak saya kelasnya disini.”

“Oh itu satu kelas sama Saya, Tante. Kita bisa sama-sama kok kesananya.” Jawabku diakhiri senyum sapa.

Kita berjalan bersama-sama menuju kelas yang dimaksud, lantai tiga nomer dua satu lima, dimana para calon arsitek berkumpul. Sepanjang lorong kelas aku melihat para Mahasiswa Baru dengan berbagai ekspresi dan kebanyakan para lelaki menatap perempuan muda tadi yang bersmaku di dalam lift. Ya, dia cantik, tinggi, putih, rambutnya panjang dan halus, lalu aku? Sudahlah, tak menjadi masalah jika tak dapat teman, pikirku dalam hati.

Akhirnya kita sampai pada kelas yang dimaksud. Ibu tadi berpamitan kepadaku dan perempuan muda itu juga berpamitan kepada Ibunya. Aku mengajak dia untuk duduk di dalam kelas. Tepat di bawah pendingin ruangan, sampai-sampai tubuhku menggigil tak karuan, padahal aku memakai kemeja panjang dan celana jeans panjang. Itu lah style yang selalu kukenakan, memang tak seperti perempuan pada umumnya, aku juga sama sekali tak menggunakan make up.

“Namaku Chindy..” Sejenak aku terdiam karena melihat perempuan muda itu menyodorkan tangannya untuk berkenalan denganku.

“Oh, hai Chindy, aku Rachel.”

Aku tak menyangka kalau Chindy akan membuka pembicaraan terlabih dahulu. Dan entah apa yang ada dipikirannya sampai secepat itu mempercayaiku untuk bercerita banyak hal pada beberapa jam pertemuan kita. Di tengah percakapan yang mulai berubah menjadi garing, aku mendengar petikan gitar di balik tembok kelas, tepatnya di lorong yang tadi aku injak.

“Chind, lihat keluar yuk! Mungkin kita bisa gabung?” Ajakku.

Terkadang, aku jatuh cinta pada petikan gitar melodi bahkan ketika aku belum melihat siapa yang memainkannya. Aku suka musik meskipun aku tidak terlalu mahir dalam memainkannya. Sempat belajar bermain gitar dan alhasil aku bisa memainkan beberapa lagu dengan menggunakan kunci dasar saja.

“Engga ah, pasti duduknya di bawah, kotor.” Jawab Chindy.

Dahiku sedikit merengut, aku tidak ingin berprasangka buruk, akhirnya aku tinggalkan dia di kelas dan aku mencari keberadaan petikan gitar itu. Kuintip dari arah kanan ke kiri. Ternyata ada di ujung lorong kelas, segerombolan Mahasiswa baru yang sedang berdendang ria sambil mengenal teman-teman baru.

“Hei! Gabung kesana aja dari pada ngintip!” Saat aku sedang mengintip segerombolan orang tadi, seseorang menepuk pundakku, laki-laki yang keluar dari dalam kelas yang sama. Dengan tidak menampakkan wajahnya, dia langsung berjalan ke arah berlawanan, kukira dia mau ikut gabung di ujung lorong sana, huh!

***

Semua mata kuliah akhirnya selesai, diakhiri tugas-tugas yang tersenyum lebar menunggu untuk segera dikerjakan. Masih di ujung lorong sana, tetap orang yang sama namun jumlahnya mungkin berkurang, sehabis jam kuliah selesai mereka langsung berdendang lagi, seakan tak ada beban dengan tugas-tugas kuliah.

Aku berjalan pulang bersama Chindy, teman sekelasku yang baru. Ternyarta dia dijemput oleh supir pribadi yang sudah stand by di dekat lift. Chindy melambaikan tangannya ke arahku sambil mengucapkan, “See you..”. Aku tetap berjalan seorang diri.

Baru beberapa langkah aku keluar kelas, sorotan mataku terhenti pada seorang laki-laki yang tadi pagi menepuk pundakku. Dia sedang duduk di bangku kampus yang telah disediakan, sambil memegang kertas gambar dan pensilnya. Duh, nanya gak ya? gemuruh dalam jiwa. Aku melewatinya namun baru selangkah dan akhirnya aku berjalan mundur ke arahnya.

“Hei, boleh gabung?” tanyaku sambil malu-malu.

“Eh yang tadi ngintip di depan kelas ya? Duduk aja, bangkunya kosong kok.” Jawabnya dengan suara bass laki-laki.

“Masih inget aja, hehe.. Serius banget, lagi gambar apa?”

“Sebelum nanya jauh, kenalan dulu. Aku Rifki, kamu?”

“Panggil aja Rachel.”

Perkenalan yang sangat singkat, dia lanjut untuk menggambar, lebih tepatnya membuat design gambar bangunan. Rumah sederhana yang kelihatannya elegan. Aku tak tahu menilai design itu terlihat elegan dari sisi mana, tapi mataku berkata demikian.

Pembicaraan yang kulakukan dengannya terasa sangat menarik, sampai-sampai kami tak sadar bahwa matahari telah membentangkan senjanya. Lorong kelas pun sudah dinyalakan lampu-lampunya. Aku terpaku pada perkataannya, terpikat pada jiwanya. Dan aku tak pernah percaya tentang sindrom jatuh cinta pada pandangan pertama.

“Design yang kamu buat bagus, Ki. Kamu bisa buat itu setenang mungkin.” Kataku.

“Design itu sama aja kaya gambar, seni yang mengalir dari dalam jiwa. Seni yang tidak bisa dilakukan saat hati emosi. Dan dari sini, kamu bisa lihat kejujuran yang dimiliki oleh orang lain. Dari cara gambarnya, sifat seseorang dapat diartikan, lewat gambar kita bisa tahu seberapa tenang hati kita sebenarnya.” Jawabannya yang diakhiri dengan senyuman ke arahku.

Bibirku bungkam, tak berkata, hanya melempar senyum balasan untuknya. Ah, lorong kelas baru yang menyebalkan! Aku dibuat seperti patung yang terbuat dari lilin lalu terkena sinar matahari yang terik.

“Oiya, ada lagi. Seni sangat mudah diciptakan jika penciptanya sedang jatuh cinta.” Lanjutnya.


Aku hanya tertawa..