Ini
dia masa remajaku yang sebentar lagi akan kutinggalkan, aku berjalan perlahan
selangkah demi selangkah, melihat sekeliling kelas yang berjajar di sisi kanan
dan kiri. Banyak anak tangga yang mungkin akan kulewati, entah kapan. Aku tak
berniat untuk mencari teman baru atau apalah itu, biar saja semua mengalir apa
adanya, sesederhana mungkin. Lalu, aku terjaga di depan lift.
“Mah,
pokoknya aku gak mau naik angkot! Panas!” Bentakan suara itu menggema di dalam lift
yang baru saja kumasuki. Seorang perempuan muda yang mungkin sebaya
denganku, dia mengeluh kepada Ibunya. Sepertinya tak pantas kalau seorang
anak membentak Ibunya sendiri di tempat umum, gumamku dalam hati.
“Maaf
dek, bisa tunggu sebentar?” Tiba-tiba tangan Ibu itu menarik pergelangan
tanganku dengan halus setelah keluar dari lift.
“Iya?
Ada yang bisa saya bantu?” Jawabku.
“Ade
tahu kelas ini dimana? Anak saya kelasnya disini.”
“Oh
itu satu kelas sama Saya, Tante. Kita bisa sama-sama kok kesananya.” Jawabku
diakhiri senyum sapa.
Kita
berjalan bersama-sama menuju kelas yang dimaksud, lantai tiga nomer dua satu
lima, dimana para calon arsitek berkumpul. Sepanjang lorong kelas aku melihat
para Mahasiswa Baru dengan berbagai ekspresi dan kebanyakan para lelaki menatap
perempuan muda tadi yang bersmaku di dalam lift. Ya, dia cantik, tinggi,
putih, rambutnya panjang dan halus, lalu aku? Sudahlah, tak menjadi masalah
jika tak dapat teman, pikirku dalam hati.
Akhirnya
kita sampai pada kelas yang dimaksud. Ibu tadi berpamitan kepadaku dan
perempuan muda itu juga berpamitan kepada Ibunya. Aku mengajak dia untuk duduk
di dalam kelas. Tepat di bawah pendingin ruangan, sampai-sampai tubuhku
menggigil tak karuan, padahal aku memakai kemeja panjang dan celana jeans
panjang. Itu lah style yang selalu kukenakan, memang tak seperti
perempuan pada umumnya, aku juga sama sekali tak menggunakan make up.
“Namaku
Chindy..” Sejenak aku terdiam karena melihat perempuan muda itu menyodorkan
tangannya untuk berkenalan denganku.
“Oh,
hai Chindy, aku Rachel.”
Aku
tak menyangka kalau Chindy akan membuka pembicaraan terlabih dahulu. Dan entah
apa yang ada dipikirannya sampai secepat itu mempercayaiku untuk bercerita
banyak hal pada beberapa jam pertemuan kita. Di tengah percakapan yang mulai
berubah menjadi garing, aku mendengar petikan gitar di balik tembok kelas,
tepatnya di lorong yang tadi aku injak.
“Chind,
lihat keluar yuk! Mungkin kita bisa gabung?” Ajakku.
Terkadang,
aku jatuh cinta pada petikan gitar melodi bahkan ketika aku belum melihat siapa
yang memainkannya. Aku suka musik meskipun aku tidak terlalu mahir dalam
memainkannya. Sempat belajar bermain gitar dan alhasil aku bisa memainkan
beberapa lagu dengan menggunakan kunci dasar saja.
“Engga
ah, pasti duduknya di bawah, kotor.” Jawab Chindy.
Dahiku
sedikit merengut, aku tidak ingin berprasangka buruk, akhirnya aku tinggalkan
dia di kelas dan aku mencari keberadaan petikan gitar itu. Kuintip dari arah
kanan ke kiri. Ternyata ada di ujung lorong kelas, segerombolan Mahasiswa baru
yang sedang berdendang ria sambil mengenal teman-teman baru.
“Hei!
Gabung kesana aja dari pada ngintip!” Saat aku sedang mengintip segerombolan
orang tadi, seseorang menepuk pundakku, laki-laki yang keluar dari dalam kelas
yang sama. Dengan tidak menampakkan wajahnya, dia langsung berjalan ke arah
berlawanan, kukira dia mau ikut gabung di ujung lorong sana, huh!
***
Semua
mata kuliah akhirnya selesai, diakhiri tugas-tugas yang tersenyum lebar
menunggu untuk segera dikerjakan. Masih di ujung lorong sana, tetap orang yang
sama namun jumlahnya mungkin berkurang, sehabis jam kuliah selesai mereka
langsung berdendang lagi, seakan tak ada beban dengan tugas-tugas kuliah.
Aku berjalan
pulang bersama Chindy, teman sekelasku yang baru. Ternyarta dia dijemput oleh
supir pribadi yang sudah stand by di dekat lift. Chindy
melambaikan tangannya ke arahku sambil mengucapkan, “See you..”. Aku tetap berjalan
seorang diri.
Baru
beberapa langkah aku keluar kelas, sorotan mataku terhenti pada seorang
laki-laki yang tadi pagi menepuk pundakku. Dia sedang duduk di bangku kampus
yang telah disediakan, sambil memegang kertas gambar dan pensilnya. Duh,
nanya gak ya? gemuruh dalam jiwa. Aku melewatinya namun baru selangkah dan
akhirnya aku berjalan mundur ke arahnya.
“Hei,
boleh gabung?” tanyaku sambil malu-malu.
“Eh
yang tadi ngintip di depan kelas ya? Duduk aja, bangkunya kosong kok.” Jawabnya
dengan suara bass laki-laki.
“Masih
inget aja, hehe.. Serius banget, lagi gambar apa?”
“Sebelum
nanya jauh, kenalan dulu. Aku Rifki, kamu?”
“Panggil
aja Rachel.”
Perkenalan
yang sangat singkat, dia lanjut untuk menggambar, lebih tepatnya membuat design
gambar bangunan. Rumah sederhana yang kelihatannya elegan. Aku tak tahu
menilai design itu terlihat elegan dari sisi mana, tapi mataku berkata
demikian.
Pembicaraan
yang kulakukan dengannya terasa sangat menarik, sampai-sampai kami tak sadar
bahwa matahari telah membentangkan senjanya. Lorong kelas pun sudah dinyalakan
lampu-lampunya. Aku terpaku pada perkataannya, terpikat pada jiwanya. Dan aku
tak pernah percaya tentang sindrom jatuh cinta pada pandangan pertama.
“Design
yang kamu buat bagus, Ki. Kamu bisa buat itu setenang mungkin.” Kataku.
“Design
itu sama aja kaya gambar, seni yang mengalir dari dalam jiwa. Seni yang tidak
bisa dilakukan saat hati emosi. Dan dari sini, kamu bisa lihat kejujuran yang
dimiliki oleh orang lain. Dari cara gambarnya, sifat seseorang dapat diartikan,
lewat gambar kita bisa tahu seberapa tenang hati kita sebenarnya.” Jawabannya
yang diakhiri dengan senyuman ke arahku.
Bibirku
bungkam, tak berkata, hanya melempar senyum balasan untuknya. Ah, lorong
kelas baru yang menyebalkan! Aku dibuat seperti patung yang terbuat dari lilin
lalu terkena sinar matahari yang terik.
“Oiya,
ada lagi. Seni sangat mudah diciptakan jika penciptanya sedang jatuh cinta.” Lanjutnya.
Aku
hanya tertawa..