Sabtu, 31 Desember 2016

Kembali

Kadang teduh membuatku heran, mengapa ia membuat nyaman para penikmatnya? Kadang teduh membuatku heran, mengapa ia bisa ditunggu semua orang yang merasa kegelisahan? Kadang teduh membuatku heran, mengapa ia bisa membuat orang lupa waktu untuk bercerita di bawahnya? Kadang teduh membuatku heran, tentang sebuah lamunan masa silam yang mengendap di kepala.

Ada malam yang tak bisa diganggu. Ada bintang yang berserakan. Bukan, bukan di langit sana, tapi di sini, di bingkai yang kayunya sudah mulai lapuk. Tawa yang membeku dari lensa kamera tukang foto itu selalu terpajang gagah di meja belajar sederhana ini. Tentang kita yang membuatku selalu merasa berarti lebih dari apa pun—kalian.

Hati meringis saat rindu yang tidak mampu tertahan akan sebuah celotehan lucu yang terpantul kesana-kemari, yang entah tujuannya kemana. Saat semua masalah terasa membuncah di ubun-ubun, lalu begitu saja terlupakan ketika banyak tangan terulur di depan mata, ketika bahu-bahu kosong terpasang di depan sana. Hilang kelabu, hilang semua ketakutan itu.

Ada malam yang tak bisa diganggu. Saat kaki ingin berlari sekencang-kencangnya, saat badan lemas dan ingin memaksa untuk menangkapnya kembali. Ada malam yang tak bisa diganggu! Ada perasaan yang tidak bisa dijelaskan, kau mengerti tentang sebuah rindu yang tak bisa disampaikan? Ini lebih dari itu! Kemudian, diri ini baru terbangun dari kebutaan bahwa dia lah tempat berteduh tanpa harus ditunggu, tanpa harus diminta.

Ketika waktu sengaja kuberhentikan. Ketika hanya lamunan dari pajangan yang diimajinasikan, ketika hanya mampu menatap senyuman beku yang direkayasa, dan saat itu lah aku kembali pada memori yang selalu ingin diulang.

“Rere! Joe! Hormat sana di depan tiang bendera!” teriakan guru yang sedang serius mengajar itu terdengar begitu nyaring, membuat satu kelas tertuju padaku dan Joe. “Kalian ini bisanya hanya main kartu saja di dalam kelas.” Lanjutnya.

“Main remi Bu..” Joe bergumam sambil jalan keluar kelas bersamaku.

Kata orang masa putih abu-abu itu menyenangkan. Kata orang masa putih abu-abu itu mengenal cinta pertama. Kan hanya kata orang. Masa putih abu-abu itu merasakan teriknya matahari yang hanya sejengkal dari ujung kepala. Aku rasa pasti Joe sependapat denganku.

Masa silam, berbincang dengan memori itu terkadang hanya senyum di bibir yang dapat kulakukan untuk mengingatnya. Aku dan Joe mungkin murid paling ternakal, menjengkelkan, dan tidak bisa diatur, karena kami punya aturan main sendiri. Jangankan merasa panasnya matahari, merasakan aspal yang keras saja kedua kaki ini sudah biasa, sampai betis berotot.

“Peraturan untuk dilanggar, Joe.”

“Sekolah ini banyak banget aturannya sih, ketauan banget kan berarti murid-muridnya banyak yang nggak disiplin.”

“Iya kaya kita, hahaha.”

Dari kejauhan, Ibu Nike yang baru selesai mengajar di kelasku dan Joe terlihat menuju ke arah kami. Kedua matanya yang tajam terus memperhatikan, dengan postur tubuh yang tinggi dan tegap, tidak lupa kacamata yang menggantung di lehernya, rambut yang diikat habis dan sangat rapi sudah cukup memperlihatkan sosok yang sangat disiplin. Huf! Aku kira ingin ditegur lagi. Eh, tapi sampai kapan berdiri seperti ini?

“Ish kalian ini bikin ribut aja terus. Nih minum dulu.”

“Farida memang selalu pengertian, sahabat nih baru.” Kata Joe.

“Kata Bu Nike, waktu bel masuk kelas hukuman kalian selesai.”

“Siap Bapak Tono!” ucap Rere.

Banyak hal yang dapat menjadi kenangan, tentang sebuah perhatian kecil sampai kesetiaan untuk selalu menunggu. Dan aku belajar dari mereka yang tak pernah meninggalkan, seburuk apa pun sifat ini, sejelek apa pun rupa ini, sehancur apa pun hati ini.

Saat lelah menghalangi aku melangkah, saat lelah menunda untuk tubuh ini bergerak. Terpaku pada suasana yang di bekukan—masih. Saat itu lah aku baru tersadar bahwa betapa rapuhnya hati ini, betapa lemahnya kaki ini yang tidak bisa menopang kerasnya dunia seorang diri—tanpa kalian. Aku hanya batang pohon yang sulit untuk bertahan hidup tanpa adanya akar, yang dijauhi orang karena tidak adanya daun-daun rindang.

Sepagi ini hanya ada secangkir kopi hitam yang kusajikan sendiri, di rumah yang terlalu luas untuk wanita sepertiku. Kedua mata ini rindu untuk melihat seorang lelaki tua yang selalu bersiap di depan pintu, menungguku kembali mengetuk rumah di tengah malam. Kedua tangan ini rindu untuk mengambilkan koran di depan pintu yang selalu diserahkan kepadanya. Mulut ini rindu untuk bercengkrama dengan lelaki tua dengan banyak pengetahuan itu. Bahkan, air mata ini rindu saat amarahnya terpantul dari setiap dinding.

Ada sepasang roti yang masih kusajikan sendiri dengan selai strawberi di dalamnya. Dengan rasa yang berbeda. Kedua telingaku bergetar seakan masih terdengar dentuman tapak kaki seorang wanita tua yang kesana-kemari, sibuk menyiapkan sarapan untuk keluarga kecilnya. Jemari ini pun ikut bersaut kesal karena sudah lama tanpa sentuhan wanita yang sangat penyayang itu. Lalu aku bisa apa? Bahkan hati ini sesak saat selalu menyadari hilangnya teriakan Ibu agar sorang Rere menjadi wanita yang baik.

“Rereeee!” teriak Farida dari jauh.

Aku menoleh ke belakang. Kulihat keempat sahabatku, Farida, Tono, Joe, dan Doni. Mereka memang tahu tempat menyendiriku, di bukit yang tidak terlalu tinggi ini hanya untuk melihat senja, hanya untuk menunggu guratan jingganya, dan hanya unuk melepas emosi jiwa yang terpendam.

“Kenapa sih preman cantik kita yang satu ini?” ledek  Joe.

“Ngerasa nggak berguna aja, nggak bisa apa-apa, cuma bisa bikin ulah, dan jadi bahan keluhan orang tua sendiri.”

“Jangan bilang kaya gitu, Re. Kamu itu berarti buat kita. Kamu itu orang baik.” Ucap Farida sambil memeluk tubuh dinginku.

“Re, semua orang itu pasti berproses. Enggak usah khawatir tentang semua ini, mungkin kamu hanya lagi menikmati masa muda, tapi ya jangan terlalu let it flow. You have to move!” support Doni.

“Re, kamu pernah nggak sih berfikir kalau kamu itu punya banyak kelebihan. Kamu kuat, kamu bebas mau kemana pun yang kamu ingin, kamu punya orang tua yang terus kasih idenya buat kamu menjadi lebih baik, kamu berkecukupan. Ohiya, dan kamu punya bakat! Dan aku percaya kalau kamu yakin sama bakat itu, kamu belajar terus pasti suatu saat kamu bakal sukses dan pastinya orang tua kamu bangga banget!” jelas Farida.

“Hmm.. kalau dipikir-pikir aneh juga ya, orang urakan kaya Rere malah jago design interior.” Ledek Joe.

“Eh, dari pada lo preman bukan, maco juga nggak!” teriak Rere.

“Ssstt! Udah udah, sini duduk berjajar, lihat mataharinya turun. Indahnya ciptaan Tuhan.” Ujar Tono.

 Semua orang berhak bahagia, semua orang berhak untuk hidup damai, semua orang berhak untuk menikmati hidupnya. Namun kadang kala kita yang tidak bisa mensyukuri apa yang telah Tuhan titipkan. Kadang kala, ketika kita dinyamankan oleh suatu hal yang sangat diinginkan dan saat itu logika tidak bekerja secara sempurna, lalu kita lupa dengan siapa yang telah menciptakan semua itu, lalu kita lupa dengan siapa yang sudah membuat mimpi itu menjadi nyata. Dan kadang kala semua itu hanyalah ujian seberapa tangguh hati ini berlapang dada untuk berbagi kebahagiaan dengan orang di sekitar. Semua orang berhak bahagia dengan kemampuan yang dimiliki, tentunya semua orang bisa bahagia dengan ke-ikhlasan hatinya—Farida.

Senja, suasana itu selalu membuat aku kembali pada kehangatan yang selalu bisa kunikmati seorang diri. mungkin mereka tak ada lagi di sini, mungkin mereka sudah entah kemana pergi, atau mungkin sedang singgah di pelabuhan apa yang aku pun tak tahu. Meskipun bayangnya juga tak nampak namun sisa-sisa jejak langkah mereka bersamaku masih di sini, di pelukanku.

Masih kuputar-putar telunjuk sebelah kanan di pinggiran cangkir kopi di meja yang sudah tak pagi lagi. Dengan harapan yang sama kalian ada di sini meramaikan meja makan seperti tahun-tahun lalu. Celotehan, ledekan, hingga tawa yang menggema sampai seluruh isi dunia tahu, bahwa kami bahagia, bahwa kami sahabat sejati.

“Sayang banget ya si Farida nggak bisa nginep di rumah Rere. Pokoknya nanti kalau Farida datang, gw bakal ceritain si Doni yang tidurnya mendengkur keras banget. Hahaha.” Ledek Tono.

“Aduh.. Bapak Tono ini bisa juga ngeledek. Dikirain cuma bisa ceramah, hahaha.” Saut Joe.

“Haiiiii kaliannn! Selamat pagi!” teriak Farida yang berlari kecil menuju meja makan. “Hallo Tante!” sapa Farida kepada Mama.

“Hallo cantiknya Tante, gabung sana sarapan.” Kata Mama, ramah.

Wajah riang seorang Farida selalu terkenang dalam ingatan. Saat jenuh melanda otak kami karena penatnya tugas sekolah yang menumpuk atau pun bayaran sekolah yang belum lunas, dan bahkan keluhan tentang rumah, seakan hilang dengan suara manja seorang Farida yang bisa saja membuat tawa. Walaupun dia tak bisa bersama kami dua puluh empat jam.

Begitu saja dengan canda yang tak ada henti-hentinya. Tono semakin asyik dengan ledekannya terhadap Doni. Farida  tidak bisa berhenti tertawa mendengar ledekan Tono dan melihat wajah Doni yang semakin merah padam, mungkin malu bercampur kesal.  Joe juga tidak mau kalah, dia ikut tertawa melihat Farida yang kegelian dengan cerita temannya itu.

“Farida.. Farida..” Joe memanggil Farida yang masih tertawa kecil. Tono memberhentikan ceritanya dan semua pun memasang wajah cemas menatap Farida.

“Kok berhenti ketawanya? Tono ayo ceritakan lagi.” Kata Farida.

Aku bergegas mengambil tisu dan mengelap hidung Farida yang terus mimisan. “Oh, ini nggak apa-apa kok, hehe.” Kata Farida.

“Kamu sakit, Da?” tanya Rere.

“Enggak kok Re. Mungkin aku hanya terlalu senang, jadi mimisan.” Kata Farida sambil menghapus terus darahnya. “Ih apaan sih kalian jangan begitu melihatnya, biasa saja. Jadi malu, hahaha.” Lanjut Farida dengan diakhiri senyumannya.

Bertahun-tahun kami main bersama tapi baru kali ini kulihat Farida serapuh itu. Ada sesuatu yang disembunyikannya dari kami. Tapi tetap saja dia tersenyum dan memaksa Tono untuk melanjutkan cerita konyolnya itu. Tono melanjutkannya meskipun aku tahu dia sudah tidak berselera walau mengucap satu kata pun, aku tahu dia pasti memikirkan keadaan sahabatnya itu. Kami pun sudah tidak ikut tertawa lagi, pandangan saat ini hanya tertuju pada Farida. Namun entahlah Farida masih saja tertawa.
Tono, Doni, Rere, juga Joe, aku selalu bangga punya kalian, bahkan aku enggak peduli kalian bangga atau enggak punya aku. Kadang aku enggak suka liburan sekolah yang terlalu lama karena itu bisa membuat aku jauh dari kalian. Suka nangis aja sendiri di dalam kamar kalau lagi kangen, haha. Hmm, hidup hanya sekali terjadi, aku nggak mau menyia-nyiakan hal itu. Aku pastiin selalu ada buat kalian selagi aku mampu, selagi aku bisa, dan selagi aku kuat. Dan inget kan janji kita? Kita harus sukses walaupun pada hari yang berbeda atau pada pekerjaan yang berbeda. Aku juga mau kaya Rere jadi wanita yang kuat—Farida.

“Gimana Lombok? Jadi nggak nih?” tanya Doni.

“Gass lahh!” Kata Joe semangat.

“Guys, aku nggak bisa ikut ya. Eh tapi kalau kalian mau ke Lombok, nggak apa-apa kok. Nanti kita video call aja.” Kata Farida.

“Kita yang bakal izin ke orang tua Farida ya, tenang aja.” Kata Tono.

“Eh jangan, aku enggak mau nanti kalian yang di judge jelek sama Ayah.”

“Satu nggak ikut, semua batal. Gw nggak peduli tentang Lombok, karena ini bukan soal jalan-jalan tapi soal kebersamaan. Hari-hari kita udah banyak yang kelewat tanpa adanya Farida, terus kita mau ke Lombok tanpa Farida juga?” ujar Rere.

“Maaf ya kalau Farida selalu jadi alasan acara kita batal.” Ucap murung Farida.

“Yaelah jangan gitu Farida. Santai aja, lagian Ayah Farida itu cuma mau jagain Farida dari bahaya, kita paham kok. Joe suka iri sama Farida yang setiap kali dihubungin sama Ayah, kalau Joe? Enggak tau kemana Ayahnya Joe. Apa kabar dia, apa kabar Ayah, lagi apa Ayah, apa Ayah sekarang lagi mikirin Joe juga? Hahaha.” Kata Joe sambil menundukkan kepala dengan tangan yang lurus mengepal ke depan di atas meja makan dan diakhiri tawa sedihnya.

Memang usang meja makan ini, lapuk dimakan rayap tapi tetap aku tak mau menggantinya. Biar saja berdiri sampai benar-benar roboh sendiri. Berjuta kisah yang masih menempel di rumah ini. Dengan selalu adanya kasih sayang yang membuatku kembali.

Kami berhasil lulus dengan hasil memuaskan. Mama dan Papa akhirnya dapat tersenyum lebar dengan keberhasilan dari usaha yang telah aku perjuangkan. Namun begitulah hidup yang selalu berputar dan akan terus seperti itu. Mungkin ini ujian Tuhan selanjutnya, menguji seberapa hebatnya kita menahan rindu. Aku orang pertama yang meninggalkan sahabat-sahabatku, terbang ke Belanda untuk belajar design interior lebih dalam lagi. Meskipun berat rasanya tapi satu janji dalam hati ini, aku akan kembali dengan keberhasilan agar semua sahabatku dan orang tuaku merasa bangga mempunyai aku.

Kami memang tak lepas kontak, aku sengaja tidak pulang sebelum aku lulus. Dua tahun aku sudah tidak mencium aroma Indonesia. Sampai tahun ketiga aku baru pulang dengan membawa kebanggaan. Mama, Papa yang semakin keriput telah menyambutku di bandara. Tidak ketinggalan Tono, Doni, Joe, dan.. kemana Farida?

Tidak lama kemudian telepon genggamku berbunyi, pertanda ada pesan masuk, dari Farida. “Hai semua!! Eh aku dapat pesan dari Farida, sebentar ya.” aku ingat betapa bahagianya aku saat mendapatkan pesan dari Farida karena ia tidak melupakan sahabatnya ini.

Congratulation, Rere!! Sudah kubilang kan kamu pasti bisa! Aku bangga sama kamu Re dan aku aykin pasti orang tua kamu lebih bangga lagi punya kamu. Jangan mengecewakan mereka ya dan jangan mengecewakan aku juga loh, inget! Re, maaf ya aku enggak bisa datang buat menyambut kepulangan kamu ke Indonesia, aku minta maaf kalau selama hidup aku cuma bisa bikin kamu susah. Sekali lagi, kamu adalah sahabat terbaik aku, Re. Aku mau ngerepotin kamu lagi nih, hehe.. aku minta doa yang ikhlas dari kamu ya. Re, kamu adalah sahabat terbaik aku yang enggak akan aku lupain. Jangan sedih ya sama pesan terakhir aku ini dan jangan marah sama Tono, Joe atau pun Tono, karena ini semua aku yang minta. Aku engga mau kamu keganggu sama sakit yang ada di tubuhku ini. ONCE MORE, I AM SO PROUD OF YOU!

Dan aku masih ingat betapa marahnya aku kepada dunia, betapa kecewanya aku tentang keegoisan diri ini yang tidak sekali pun menengok sahabat-sahabatku. Tiga tahun aku belajar di negeri orang dan tiga tahun juga aku meninggalkan Indonesia dan isinya. Farida meninggalkan kami saat aku menginjak tahun kedua di Belanda dan tidak ada satu orang pun yang memberi kabar tentang semua ini.

“Bilang sama Rere siapa yang balesin chat aku sama Farida?” aku bertanya sambil menangis kepada semua sahabatku. “Jawab!”

“Gw Re, Farida yang titip handphone-nya ke gw buat balesin chat lo. Maafin Re, ini pesan terakhirnya Farida.” Kata Tono.

“Halah bullshit! Ton, lo yang paling bijak di antara kita berlima tapi kenapa lo bersikap bodoh, hah?! Nggak punya perasaan lo semua!”

Sejak saat itu aku tak ingin bertemu dengan mereka. Semua abu-abu, seperti hidup sendiri. Meskipun aku sudah merintis karir di sebuah perusahaan properti ternama di Indonesia, orang tuaku pun sudah merasa sangat bahagia. Kesedihanku berlanjut, satu persatu orang yang kucintai pergi, Mama lalu Papa.

Sempat putus asa, pikiran bodoh jaman dulu pun datang kembali. sudah cukup aku tidak berarti lagi! Hanya Farida yang dapat menguatkan, tapi kemana ia dibawa Tuhan? Tono, Doni, dan Joe masih terus berusaha menghubungiku, menjengukku di rumah, namun tetap hati ini masih merasa kecewa.

***
“Misi, ada kiriman paket.” Terdengar suara kurir dari balik pintu. Kopi hitam di atas meja ini juga sudah tinggal ampas yang menumpuk.
“Dengan mbak Rere?”

“Iya, saya sendiri.”

“Ini mbak ada kiriman paket. Bisa tanda tangan di sini ya.”

“Ohiya, makasih ya.”

Sebuah kotak kecil yang dibungkus rapi berwarna cokelat. Teruntuk Rere tapi tidak ada nama pengirimnya. Kubuka perlahan-lahan kotak itu, DVD? Aku bergegas mengambil laptop untuk menonton isi dari DVD itu. Kuputar DVDnya, duduk santai di meja makan sambil menyantap roti isi selai strawberi yang harusnya kumakan pada saat sarapan tapi ini sudah jam makan siang.

Re, kita tahu kita salah. Tapi ini sudah terlampau lama Re. Kita engga bisa kaya begini terus. Biarin kita menghibur lo.

Rereeeee! Gw kangen sama lo, sumpah! Gw kangen main remi lagi sama lo.

Re, kita bikin video ini karena kita tahu pasti lo juga kangen kan sama kita. Re, lo harus tahu kalau lo enggak pernah sendiri. Please maafin kita Re. Gw yakin pasti Farida sedih ngeliat kita jauh kaya gini.

Ohiya Re, satu lagi! Gw nih sahabat lo yang bukan preman dan nggak maco ini mau NIKAH!! Re, gw mau lo termasuk jadi bagian yang direpotin sama gw. Nih undangannya, tuh gw namain ‘Kepada Yth, Rere cantik banget’. Sengaja nggak gw pakein ‘dan partner’ karena gw yakin lo belum punya gebetan, oops!

Video ini yang membuatku sadar bahwa aku telah bodoh meninggalkan mereka yang selalu mengisi hari-hari sepi. Bahkan orang lain pun perlu waktu lama untuk menggantikan posisi mereka tau mungkin tidak bisa tergantikan. Aku menangis bahagia di meja makan ini dan aku yakin kalau Farida akan senang jika aku mengikhlaskan kepergiannya. Seperti pesannya dulu, bahagia itu bisa dibuat dengan hati yang ikhlas. Farida tidak akan sendiri di sana, aku tidak perlu khawatir karena ada Mama dan Papa yang menemani. Aku rindu kalian!

Tidak pernah ada waktu yang sepi, tidak pernah ada waktu yang usang, tidak pernah ada kesedihan, jika saja waktu tidak disia-siakan. Manusia memang tak ada yang sempurna namun sekelilingmu dapat menyempurnakannya. Memang raga akan lapuk dan menghilang tapi kebaikan yang dikemas rapi sebagai kenangan akan selalu abadi, lalu kembali sebagai sesuatu yang sangat dirindukan. Aku sedang kembali dari manisnya masa silam. Aku sedang kembali untuk berlari menuju kesetiaan.

“Rereee!”


“Hah?! Tono, Doni, Joe?”

Jumat, 19 Agustus 2016

Ibu Kota #part5

Especially for you
I want to tell you I was feeling that way too
And if dreams were wings, you know
I would have flown to you
To be where you are
No matter how far
And now that I’m next to you

Malam bertengger di atas kepala. Purnama terakhir telah tiba di kibaran depan mata bendera merah-putih. Aku akan rindu tanah air namun aku bahagia karena akan menyebrang samudera, mencari untuk menepati janji. Andai kau masih menunggu dengan satu tekad yang sama.

Ibu kota, tempat semua bahasa ada di sini, tempat berbagai pengalaman diceritakan di tempat ini, tempat dimana tangis tak pernah sudah, tempat dimana emosi sangat rentan terjadi, dan juga alasanku untuk tertawa melupakan pedih. Belajar dari semua peristiwa yang lalu-lalang begitu saja tapi satu keyakinanku, Tuhan tidak akan memberikan ujian di luar batas kemampuan umat-Nya.

Ayah, bagaimana pun kau saat ini aku akan selalu menjagamu karena Ayah adalah nafasku. Menjaga tanpa pamrih—tulus. Meskipun begitu kau adalah alasan utamaku bertahan hidup di sini. Dan aku sudah merasa sangat bahagia karena Ayah bisa melihatku bernyanyi secara langsung di panggung ini.

“Terima kasih semuanya yang selalu setia menunggu suara sumbang saya. Mungkin persembahan lagu dari Mymp yang berjudul Especially For You tadi adalah lagu terakhir karena besok inshaallah saya akan berangkat ke Belanda untuk bekerja di sana. Dan terima kasih juga untuk Café Cokelat yang telah memberikan kesempatan selama bertahun-tahun untuk saya bekerja di sini.”

Bertahun-tahun aku belajar tentang kehidupan. Di kelilingi semua orang yang sangat menyayangiku, menjagaku, menghibur di saat lelah melanda, dan memberi uluran tangan ketika aku terjatuh, juga mendoakan keselamatanku tanpa harus aku memohon. Dan sekarang saatnya aku mewujudkan mimpi.

Aku menuruni panggung yang akan sangat kurindukan. Tersenyum bibirku menatap semua orang yang berarti dalam hidupku. Ada Ayah, Ibu, Sally, dan Bram. Meskipun pandangan mata Ayah masih belum fokus menatapku tapi aku yakin dalam hati kecilnya, ia tahu.

Aku menatap mata Ibu dalam-dalam, tersenyum padanya. Mata Ibu tertuju padaku sampai mengalahkan sinar rembulan mala mini, aku akan rindu senyuman Ibu, akan rindu ketegaran mata Ibu. Lalu kedua tangannya menangkapku, memelukku erat-erat seakan tak ingin ini semua menjadi akhir.

Semua hanyut dalam tangis, larut dalam malam yang tak berujung. Sally ikut memelukku dari belakang. Aku membiarkan tanah yang kami injak ini sebagai saksi bisu. Kubiarkan air mata menjadi lautan kenangan yang membahagiakan, yang selalu dirindukan sebagai alasan kembali lagi.
Kurenggangkan pelukan, “Jangan sedih Sal.”

“Enggak bisa, chef..” kata Sally terisak.

Tiba-tiba tanganku dicengkram erat. Terasa sangat dingin. Kutengok dari arah lengan itu, kemudian yang lain mengikuti kepalaku yang memutar. Kulihat mata Ayah yang mengeluarkan air mata, walaupun wajahnya masih sama saja. Aku percaya, hati kecil selalu berbicara jujur—Ayah. Langsung kupeluk ia erat-erat, aku merasa lega karena perlahan Ayah pulih dengan sempurna. Tangan Ayah juga memelukku dan menepuk-nepuk punggungku.

“Ayah, restui aku pergi.”

Sally mulai tersenyum dan menggandeng tangan Ibu juga kepalanya ikut bersandar di bahu. Ibu yang sudah menganggap Sally sebagai anaknya juga, tidak segan-segan untuk mengusap kepala Sally. Sementara itu, Bram hanya terdiam melihat kami diselimuti haru dan rasa takut tentang sebuah kehilangan.

“Sorry, Al, boleh kita bicara berdua?” Bram akhirnya angkat suara.

Aku melihat ke arah Bram, menganggukkan kepala pertanda bahwa aku setuju. Kami berjalan sedikit mencari tempat yang tidak terlalu ramai karena sepertinya Bram ingin membicarakan hal yang sangat serius. Kami menepi pada balkon Café Cokelat dengan semua bintang berhamburan di angkasa sana.

“Al, aku yakin mau sekeras apa pun aku bilang jangan pergi, itu enggak akan bisa membuat kamu merubah keputusan untuk kerja di Belanda. Tapi aku harap ketika kamu rindu Ibu Kota, itu berarti kamu rindu aku juga.”

“Bram, aku juga yakin kalau selama ini kamu sudah merasakan ada rindu yang mengambang di langit-langit. Ada semangat yang selalu berteriak-teriak di balik labirin, kemudian menggema, aku yakin kamu mendengar. Selalu ada pelukan hangat yang terasa lewat panjatan doa yang diucapkan cuma-cuma. Tapi kamu hanya membiarkan itu hanya lewat saja, hanya terbuang sia-sia, tanpa mengucapkan kalau kamu tidak butuh semua itu. You just save me with uncertainty.”

“Aku tahu semua itu jahat, Al. Tapi sekarang aku memilih kamu. Please, forgive me.”

“Aku yang minta maaf, Bram. Maaf, aku bukan pilihan.”

Bila ada cinta yang nyata, mengapa harus kau cari yang fana? Bila kau kecewa pada pelangi yang warnanya sesaat, mengapa masih saja kau tunggu? Padahal kau tahu hanya sesuka hati saja ia menampakkan pesonanya. Bila ada cinta nyata, mengapa harus kau cari yang fana?

Sejenak, kubiarkan angin memainkan gaun hitamku. Menyeka air mata yang mulai menetes, cukup! Memang terkadang perasaan itu timbul berawal dari kehilangan namun mengapa harus menunggu? Mengapa tak kau sadarkan saja sesegera mungkin sebelum semuanya terlambat?

Biarkan aku pergi hanya sekali—tanpa mengingat kau yang pergi berkali-kali. Dan aku larut di dalam angan tanpa bisa kumemohon untuk hanya tinggal di sini. Semoga kau mendapatkan bidadari yang bisa menunggumu sadar lebih lama dari aku, Bram.

***
“Al, kamu yakin mau kerja di Belanda?”

“Insha Allah, Sal. Sebentar lagi aku akan terbang ke sana. Lagi pula, aku bekerja di restaurant bukan kapal pesiar. Aku akan sesering mungkin pulang ke Jakarta.”

“Pulang sama Dika?”

“Hampir 3 tahun Dika pergi dan aku enggak tahu kabar dia. Semoga doaku sampai padanya. Seperti kata Dika, kita akan bertemu di Amsterdam.”

Sally memelukku, aku yakin kalian berjodoh Al. Aku akan jaga Ibu dan Ayah kamu, tenang aja ya Al.

Sally memang memutuskan untuk membuka butik di Jakarta. Dia tidak ingin menyusahkan orang tuanya lagi. Sally membuka usahanya dari kecil dan bermimpi untuk go international. Aku yakin Sally dapat mewujudkannya.

Aku melamun di balik kaca pesawat yang sedang terbang tinggi. Kutatap awan-awan yang berhimpit dan berjalan cepat, juga ada yang mengiringi perjalananku. Di satu sisi, aku masih tak percaya bahwa akan bekerja di Negara orang. Mungkin ini takdirku yang tidak pernah aku rencanakan. Mungkin ada doa Dika yang dikabulkan Tuhan.

This is for you, Al. The red rose.

Women like a rose, Dik. So beautiful when blossom. But slowly, it would be the old and withered. If I rose, will you keep me until I really die? Will you love me although I didn’t beautiful as the first?

Pukul delapan malam lewat dua puluh lima menit waktu Belanda, Amsterdam Airport Schiphol. Aku sudah disambut oleh beberapa orang dari tempat dimana aku akan bekerja. Sebagian dari mereka adalah asli orang Belanda. Mereka sangat ramah.  

Dik, aku sedang berada di sini, Amsterdam! Apa kita akan bertemu?

Aku sangat beruntung mendapatkan pekerjaan ini dengan fasilitas yang sangat mencukupi. Rumah singgah yang cukup besar untuk seorang diri, dan menjadi Chef  di restaurant mewah.

Perlahan aku mengerti beberapa bahasa Belanda, meskipun aku masih memakai bahasa Inggris untuk berkomunikasi namun pekerja di sini sangat memaklumi hal itu. Aku tidak merasa asing di sini karena ada beberapa pekerja yang berasal dari Asia juga.

“Alexa, you can break 1 hour.”

“Ok, dank, Chef!”
Sudah hampir sebelas bulan aku di sini tapi belum kutemui Dika. Hanya wajahnya yang kusimpan di dalam memori handphone—video. Aku tidak pernah bosan terus mengulang dari setiap durasi. Seperti ini saja sudah membuatku bisa senyum-senyum sendiri.

“Al, what are you doing?”

“O my god, Sonya! I was surprised. I am just watching video from my friend.”

“Sorry. Hmm.. I want to know about your friend. Could you tell me, Alexa?”

“Haha.. for what? Ok, about him. He is miracle for me. And now, I really miss him. I hope he know.”

Sonya teman baruku di Belanda. Dia satu profesi denganku, menjadi Chef tapi hanya kami yang tidak menggunakan embel-embel ‘Chef’ untuk mengobrol ataupun sedang bekerja di dapur karena menurut Sonya itu akan menjadi sangat kikuk untuk lebih dekat. Aku juga mengajak Sonya untuk tinggal bersamaku di rumah singgah karena aku belum terbiasa untuk tinggal sendiri di Negara orang. Sonya juga mengajakku berkeliling ke tempat-tempat bersejarah di Belanda.

Satu tahun sudah berlalu, waktunya aku pulang ke Indonesia. Aku diberi libur dua minggu setelah itu harus kukerjakan kewajiban lagi. Namun berat rasanya aku meninggalkan Negara ini meski aku sangat rindu Ibu Kota—Dika. Belum kutemui ia sama sekali. Bahkan aku tidak tahu alamat ia bekerja dimana atau tinggal dimana selama di Belanda. Berarti genap sudah empat tahun kita tidak berjumpa, Dik. Mengapa sekarang ada ragu yang timbul?

Bandara Soekarno-Hatta, Jakarta, Indonesia. Aku sengaja tidak ingin dijemput oleh siapa pun. Aku ingin mereka menunggu di rumah saja. Kutengok sekeliling bandara ini, tak ada perubahan. Jalan menuju taxi yang akan membawaku pulang.

Hamparan lalu lintas yang belum berubah. Kenangan itu pun masih tercecer di jalan abu. Kemacetan sekarang kuhadapi dengan senyum. Lampu merah masih sama berwarnanya dengan di tambah anak jalanan yang bersenandung riang. Tidak peduli suaranya sumbang atau senar ukulelenya putus satu, yang penting bisa hidup di Jakarta.

“Misi ka.. Aku yang dulu bukanlah yang sekarang, dulu disayang sekarang kuditendang..” salah satu pengamen kecil itu bernyanyi di balik kaca taxi-ku, lagu yang dipelesetkan dari lirik aslinya membuatku tertawa kecil dan menggeleng-gelengkan kepala.

Aku membuka kaca mobil, “Dek, ini uang Belanda. Kalau kamu tukar ke bank, bisa buat beli sesepda baru.”

“Wah, beneran kak?” bocah itu langsung berlari menuju teman-temannya yang lain dan berteriak-teriak, “Asyikkkk!! Sepeda baru pakai uang dari Belanda!”

Aku tersenyum melihat pengamen kecil itu bersorak-sorai bahagia. Taxi-ku melaju lagi tanpa hambatan kemacetan lalu lintas. Sampai di depan pagar rumah, aku disambut oleh Ibu, Ayah, dan juga Sally. Aku lari ke arah mereka dan memeluknya satu persatu.

Kata Sally ada kejutan di dalam kamar tidurku. Tak sabar, aku langsung masuk dan melihat ada kejutan apa yang sudah disiapkan Sally untukku. Kubuka pintu kamar..

“Taraaaa!! Bunga mawar merah. Your favorite flower!” banyak tangkai bunga yang disusun rapi di atas tempat tidurku. “Yah, kamu enggak suka ya Al? Kok muka kamu jadi sedih?”

“Aku suka kok, banget. Aku Cuma keinget sama Dika. Aku belum berhasil ketemu sama dia. Mungkin aku sama dia bukan…”

“Sssttt! Udah mendingan kamu ikut aku ke Café Cokelat. Aku juga udah buatin kamu gaun plus jilbabnya. Pokoknya kamu harus cantik, pasti kamu kangen dong sama Café Cokelat?”

Aku taruh tangkai-tangkai mawar itu di dalam botol kaca yang berisi air agar tidak cepat layu. Langsung kubersihkan tubuhku dan memakai gaun buatan designer cantikku itu. Aku berputar di depan cermin, Sally bertepuk tangan merasa senang melihatku memakainya dan ukuran yang sangat pas di tubuhku.

Di Café Cokelat aku langsung disambut hangat oleh Bapak Manager, Bapak Andreas. Kami diberi tempat duduk yang langsung berhadapan dengan panggung. Bapak Andreas juga ikut berbincang-bincang denganku dan Sally.

“Sekarang, kamu yang akan jadi penonton ya Al. Selamat menikmati penyanyi baru kami.” Kata Bapak Andreas yang kemudian pergi membiarkan aku dan Sally.

No more dreaming about tomorrow
Forget the loneliness and the sorrow
I’ve got to say
It’s all because of you
And now were back together, together
I want to show you my heart is oh so true
And all the love I have is
Especially for you

“Sal, itu lagu Especially For You  kan? Terus kenapa penyanyinya harus pakai topeng gitu sih?”

“Udah dengerin aja Al. Keren ya suaranya. Bisa main gitar juga lagi.”

“Selamat malam semuanya. Di sini sebenarnya saya bukan penyanyi baru tapi saya diizinkan untuk bernyanyi satu lagu untuk seseorang yang sedang berada tepat di depan saya. If you rose, I will keep you until I can’t breathe again. Because I know I am not perfect and with your love I will be perfect. I am yours, Alexa.”

Dika!

Aku tahu cinta akan berlabuh di waktu yang tepat. Rindu akan berbisik pada langit dan doa akan selalu menjadi jembatan penghubung antara kita. Dan sekarang, aku bisa membuktikan padamu kalau jodoh, jarak hanya wacana. Meskipun kamu terus mendayung sampan terlalu jauh tapi sebenarnya aku yang kau tuju. Ketika kau lelah berlari menapaki jejak yang samar, aku lah pohon rindang sebagai tempat beristirahat. Ketika seseorang meninggalkanmu, bukan berarti ia ingin dikejar, bukan berarti ia lelah, namun sebenarnya ia ingin membiarkanmu bebas terbang tanpa harus ada yang kau fikirkan untuk dijaga perasaannya. Alexa, cinta yang sesungguhnya adalah cinta yang dapat membuat hidupmu lebih baik lagi, bukan hanya kau yang mengejar seorang diri. Akan tetapi, biarlah itu berlalu. Ada aku di Ibu Kota. Jika kita bertemu di sini, maka biarkan aku men-khitbah-mu di sini pula—Ibu Kota. –Dika Wibisana.

“Kata kamu kita bakal ketemu di Amsterdam? Kamu bohong ya Dik?”

“Aku enggak bohong. Aku memang ketemu kamu di sana. Dan aku juga yang minta agar kamu bekerja di restaurant yang berada di kota Amsterdam, itu milik aku Al. Kamu pasti kenal Sonya, kan?”

“Dikaaaaa! Jahat kan.”

“Hahaha.. manjanya keluar deh.”

Ik hou van jou, Alexa.