Minggu, 22 April 2018

The Sweetest Gift in March


Ranting jatuh karena rapuh. Keropos dalamnya lalu mengalah pada waktu, seperti ikhlas terjun bebas dari ketinggian yang ia pertahankan untuk tetap di atas. Tanpa atau dengan terusik angin. Ranting memang tak pernah kokoh seperti induknya namun ia melengkapi rimbunnya daun, teduhnya yang menangkal panas matahari. Semua sudah pada porsinya, tak perlu disamakan atau dibeda-bedakan. Tuhan selalu adil dengan ciptaan-Nya. Begitu juga aku, jika yang kau cari tidak ada di aku, biar saja begitu, apa adanya. Sederhanakan saja, tak perlu banyak teori, kita melengkapi.

Hari-hari itu jauh dari terang, namun juga tak hujan. Rasanya, aku baik tapi ada yang hilang. Ada yang mesti kuikhlaskan, ada yang harus kurelakan, ada yang harus kumatikan, ada yang harus kutinggalkan. Masa-masa sulit memang sudah kulewati, waktunya pahit, rasanya hambar, tapi harus kutelan bulat-bulat. Hanya doa yang tersirat dalam dada, semoga ada penggantinya.

Aku pernah berdoa pada Tuhan agar bisa kubalas semua kasih mereka yang menghampiri. Karena aku tahu berjalan dengan satu kaki memang tak mudah, berlari seorang diri memang tak akan bahagia. Namun rupanya Tuhan masih mengatakan, belum waktunya. Aku berdoa lagi pada Tuhan, semoga aku hanya dijatuhkan hati pada ia yang memang takdirku.

Ada masa dimana aku ingin menutup hati dari semua yang menghampiri dan terbenam dalam dada. Hanya ingin benar-benar terbebas dari semua hal yang membuat gelisah. Kata orang, kamu harus punya penggantinya. Dalam hati, aku tak butuh. Sebenarnya hati hanya butuh tenang yang muncul dari ketegaran dan keikhlasan. Kemudian seorang sahabat berbisik, buka mata jangan menutup hati terlalu lama karena bisa jadi yang kamu cari sebenarnya ada namun tersembunyi oleh masa lalumu.

Begitu saja hari yang kulalui sama, bercengkrama bersama teman-teman dan bersendagurau bersama bersama sepi yang kusembunyikan sendiri. Aku keluar dari zona nyaman dari mereka yang menyayangiku tapi tak ingin kusakiti hatinya. Aku merasa berbeda, merasa ini bukan aku namun masih harus kujalani. Sampai sudah tersirat, aku tidak percaya cinta.

Beberapa detik kemudian, ada ketidaksengajaan yang entah darimana ia berasal. Ada bahagia yang kutemukan dari seorang pria yang sama sekali tak kuinginkan tapi aku mengenalnya. Senang itu muncul dengan sendirinya, mengalir begitu saja tanpa rekayasa. Sayangnya, aku masih menutup diri dan membohongi hati. Rasa takut tentang tempo lalu masih saja menggelitik di fikiran. Tentang bagaimana rasanya luka saat menjaga tulus kasih namun bodoh karena bertahan seorang diri, padahal hati butuh utuh bukan separuh.

Dia yang saat ini menetap dibenakku, yang masih kupertanyakan, apa benar tentang rasa ini? Secepat ini? Aku menunggu sampai akhirnya dia mengungkapkan, aku mengerti tapi aku masih memilih diam. Maaf, aku masih ragu. Kabar darinya mulai bermunculan tanpa aku minta dan aku bujuk untuk diceritakan. Kicauan tentang ‘kekasihnya’ yang dulu atau masih sampai saat ini entah benar atau tidak, aku hanya tidak tahu mana yang benar mana yang dusta. Hanya butuh diyakinkan.

Dia meyakinkan kembali. Kini kau berhasi membuatku mencari, berhasil membuatku menunggu, berhasil membuatku cemburu. Meski dia takkan pernah tahu. Ragu itu perlahan pudar dengan bagaimana dia menjaga tubuh ini agar tetap hangat, tentang bagaimana dia membuat agar aku baik-baik saja, tentang bagaimana genggaman halus tak terlepas. Hujan itu jatuh deras tak tertahankan. Aku yang beralasan sebenarnya hanya ingin ada di belakangnya, mendampinginya, tapi ternyata hanya membebaninya. Dari sepenggal kisah itu aku baru yakin kau nyata dan aku tak buta.

Kubilang, bersabarlah, tunggu. Dia bertanya lagi dan aku hanya tidak ingin kehilangan pertanyaan itu. Kupastikan agar taka da bimbang dan hadir ketenangan tanpa ada pertanyaan yang mengantuinya. Tuhan baik padaku, selalu saja kudiberi hadiah istimewa setiap tahun saat usia bertambah. Bukan barang limited edition, bukan bunga yang semerbak wanginya, juga bukan barang yang sedang booming di kalangan masyarakat. Kamu adalah hadiah termanis yang Tuhan beri untukku.

Aku memberinya jeda berfikir bukan mengulur karena tentang rasa semua orang mesti yakin untuk menerimanya. Saat komitmen itu terucap, hidupmu, masalahmu dan senangmu tandanya sudah milik berdua. Jangan takut untuk berdiri tanpa satu kaki, karena ada aku. Jangan takut tertawa sendiri karena ada aku. Dan dia mengatakan, jangan takut, ada aku.

Bunga bertebaran dimana-mana, begitu kata si yang punya cinta. Dunia terasa milik berdua, begitu kata yang punya cinta. Namun dia berhasil menyederhanakan, dan aku bahagia. Percayalah, akan ada banyak badai di sana, yang kita perlu hanya masih saling menggenggam dan percaya semua akan baik-baik saja.  

Untuk dia, kamu merebahkan badan di atas kursi, kau menyuruhku bersandar di sebelahmu, kau bawa kepalaku beristirahat di dadamu, aku dengarkan lantunan deta jantungmu yang tidak beraturan itu. Katamu, itu gara-gara aku. Aku teduh, damai saat itu meski aku tak mengatakan tapi kuyakin kau tahu. Kau melantunkan nada-nada dari senar gitarmu, kau bernyanyi, kubilang itu tak merdu tapi aku tak meninggalkamu karena apapun yang ada pada dirimu adalah pelengkap aku.

Kemudian, kau membawaku melihat bintang, menatap langit malam dan menikmatinya. Kau bertanya, apa aku bosan? Dengan tegas kujawab, tidak. Percayalah, aku mengerti kau gelisah karena sesuatu dan rasa kecewamu tentang suatu hal yang aku tak tahu.

Ada hobiku yang baru. Aku suka melihat wajahmu, aku suka saat kedua tanganmu merebahkan untuk menyambut aku ada di dekapmu. Aku suka mengusap punggungmu saat kau keluhkan pegal. Aku suka mendengarmu memetik gitar itu, lalu aku bernyanyi. Aku suka menemanimu. Aku suka ada di belakangmu saat lelah itu tidak bisa kau sembunyikan lagi. Aku suka saat wajah cemasmu itu terlihat karena kau tahu aku banyak yang menggoda. Aku suka saat kau berkeluh kesah denganku. Aku suka saat kau memintaku menemanimu.

Aku hanya berdoa semoga doaku yang terakhir pada Tuhan itu benar-benar dikabul.