Ranting jatuh karena
rapuh. Keropos dalamnya lalu mengalah pada waktu, seperti ikhlas terjun bebas
dari ketinggian yang ia pertahankan untuk tetap di atas. Tanpa atau dengan
terusik angin. Ranting memang tak pernah kokoh seperti induknya namun ia melengkapi
rimbunnya daun, teduhnya yang menangkal panas matahari. Semua sudah pada
porsinya, tak perlu disamakan atau dibeda-bedakan. Tuhan selalu adil dengan ciptaan-Nya. Begitu juga aku, jika yang kau
cari tidak ada di aku, biar saja begitu, apa adanya. Sederhanakan saja, tak
perlu banyak teori, kita melengkapi.
Hari-hari itu jauh dari
terang, namun juga tak hujan. Rasanya, aku baik tapi ada yang hilang. Ada yang
mesti kuikhlaskan, ada yang harus kurelakan, ada yang harus kumatikan, ada yang
harus kutinggalkan. Masa-masa sulit memang sudah kulewati, waktunya pahit,
rasanya hambar, tapi harus kutelan bulat-bulat. Hanya doa yang tersirat dalam
dada, semoga ada penggantinya.
Aku pernah berdoa pada
Tuhan agar bisa kubalas semua kasih mereka yang menghampiri. Karena aku tahu
berjalan dengan satu kaki memang tak mudah, berlari seorang diri memang tak
akan bahagia. Namun rupanya Tuhan masih mengatakan, belum waktunya. Aku berdoa lagi pada Tuhan, semoga aku hanya
dijatuhkan hati pada ia yang memang takdirku.
Ada masa dimana aku ingin
menutup hati dari semua yang menghampiri dan terbenam dalam dada. Hanya ingin
benar-benar terbebas dari semua hal yang membuat gelisah. Kata orang, kamu harus punya penggantinya. Dalam
hati, aku tak butuh. Sebenarnya hati
hanya butuh tenang yang muncul dari ketegaran dan keikhlasan. Kemudian seorang
sahabat berbisik, buka mata jangan
menutup hati terlalu lama karena bisa jadi yang kamu cari sebenarnya ada namun
tersembunyi oleh masa lalumu.
Begitu saja hari yang
kulalui sama, bercengkrama bersama teman-teman dan bersendagurau bersama
bersama sepi yang kusembunyikan sendiri. Aku keluar dari zona nyaman dari
mereka yang menyayangiku tapi tak ingin kusakiti hatinya. Aku merasa berbeda,
merasa ini bukan aku namun masih harus kujalani. Sampai sudah tersirat, aku tidak percaya cinta.
Beberapa detik kemudian,
ada ketidaksengajaan yang entah darimana ia berasal. Ada bahagia yang kutemukan
dari seorang pria yang sama sekali tak kuinginkan tapi aku mengenalnya. Senang itu
muncul dengan sendirinya, mengalir begitu saja tanpa rekayasa. Sayangnya, aku
masih menutup diri dan membohongi hati. Rasa takut tentang tempo lalu masih
saja menggelitik di fikiran. Tentang bagaimana rasanya luka saat menjaga tulus
kasih namun bodoh karena bertahan seorang diri, padahal hati butuh utuh bukan separuh.
Dia yang saat ini menetap
dibenakku, yang masih kupertanyakan, apa
benar tentang rasa ini? Secepat ini? Aku menunggu sampai akhirnya dia
mengungkapkan, aku mengerti tapi aku masih memilih diam. Maaf, aku masih ragu. Kabar darinya mulai bermunculan tanpa aku
minta dan aku bujuk untuk diceritakan. Kicauan tentang ‘kekasihnya’ yang dulu
atau masih sampai saat ini entah benar atau tidak, aku hanya tidak tahu mana
yang benar mana yang dusta. Hanya butuh
diyakinkan.
Dia meyakinkan kembali. Kini kau berhasi membuatku mencari, berhasil
membuatku menunggu, berhasil membuatku cemburu. Meski dia takkan pernah
tahu. Ragu itu perlahan pudar dengan bagaimana dia menjaga tubuh ini agar tetap
hangat, tentang bagaimana dia membuat agar aku baik-baik saja, tentang
bagaimana genggaman halus tak terlepas. Hujan itu jatuh deras tak tertahankan. Aku
yang beralasan sebenarnya hanya ingin ada di belakangnya, mendampinginya, tapi
ternyata hanya membebaninya. Dari sepenggal
kisah itu aku baru yakin kau nyata dan aku tak buta.
Kubilang, bersabarlah, tunggu. Dia bertanya lagi
dan aku hanya tidak ingin kehilangan pertanyaan itu. Kupastikan agar taka da bimbang
dan hadir ketenangan tanpa ada pertanyaan yang mengantuinya. Tuhan baik padaku,
selalu saja kudiberi hadiah istimewa setiap tahun saat usia bertambah. Bukan barang
limited edition, bukan bunga yang
semerbak wanginya, juga bukan barang yang sedang booming di kalangan masyarakat. Kamu
adalah hadiah termanis yang Tuhan beri untukku.
Aku memberinya jeda
berfikir bukan mengulur karena tentang rasa semua orang mesti yakin untuk
menerimanya. Saat komitmen itu terucap, hidupmu, masalahmu dan senangmu
tandanya sudah milik berdua. Jangan takut untuk berdiri tanpa satu kaki, karena
ada aku. Jangan takut tertawa sendiri karena ada aku. Dan dia mengatakan, jangan takut, ada aku.
Bunga bertebaran
dimana-mana, begitu kata si yang punya cinta. Dunia terasa milik berdua, begitu
kata yang punya cinta. Namun dia berhasil menyederhanakan, dan aku bahagia. Percayalah,
akan ada banyak badai di sana, yang kita perlu hanya masih saling menggenggam
dan percaya semua akan baik-baik saja.
Untuk dia, kamu merebahkan badan di atas kursi, kau
menyuruhku bersandar di sebelahmu, kau bawa kepalaku beristirahat di dadamu,
aku dengarkan lantunan deta jantungmu yang tidak beraturan itu. Katamu, itu
gara-gara aku. Aku teduh, damai saat itu meski aku tak mengatakan tapi kuyakin
kau tahu. Kau melantunkan nada-nada dari senar gitarmu, kau bernyanyi, kubilang
itu tak merdu tapi aku tak meninggalkamu karena apapun yang ada pada dirimu
adalah pelengkap aku.
Kemudian,
kau membawaku melihat bintang, menatap langit malam dan menikmatinya. Kau bertanya,
apa aku bosan? Dengan tegas kujawab, tidak. Percayalah, aku mengerti kau
gelisah karena sesuatu dan rasa kecewamu tentang suatu hal yang aku tak tahu.
Ada
hobiku yang baru. Aku suka melihat wajahmu, aku suka saat kedua tanganmu
merebahkan untuk menyambut aku ada di dekapmu. Aku suka mengusap punggungmu
saat kau keluhkan pegal. Aku suka mendengarmu memetik gitar itu, lalu aku
bernyanyi. Aku suka menemanimu. Aku suka ada di belakangmu saat lelah itu tidak
bisa kau sembunyikan lagi. Aku suka saat wajah cemasmu itu terlihat karena kau
tahu aku banyak yang menggoda. Aku suka saat kau berkeluh kesah denganku. Aku suka
saat kau memintaku menemanimu.
Aku
hanya berdoa semoga doaku yang terakhir pada Tuhan itu benar-benar dikabul.