Selasa, 09 Agustus 2016

Ibu Kota #part4

Tubuhku melayang didrong tangan-tangan yang ketakutan. Banyak roda-roda kecil di bawahnya. Ada satu tangan yang mencengkram, dingin dan berkeringat, sangat erat seakan tak ingin kehilangan. Ada isak tangis yang dikuatkan oleh hati, terdengar jelas di telinga. Sembilu nyeri berdayu-dayu di kepala—tak sadar. Ada pintu yang ditutup paksa, ada suara yang tertahan di luar sana memaksa masuk. Ada sesuatu yang mengalir dari hidung, tak dapat kuhentikan. Sal, Bu, Dik, kalian dimana? Aku berada di ruang kosong tanpa penghuni, tanpa pintu untuk keluar dari sini, bahkan tanpa jendela untuk lompat dari ruangan ini.

Maafkan Ayah ya, Lexa.

Ayah, Lexa takut. Ayah! Hilang, entah kemana, mungkin itu hanya halusinasi. Aku berada dalam ruangan kedap suara tanpa  warna—imaji—infusan—pembaringan.

Semua terjadi begitu cepat,  bukan lagi kereta yang bergerak dengan kecepatan lebih dari dua ratus kilo meter per jam, bahkan secepat angin puyuh menyapu semua debu. Aku adalah seorang yang bahagia dengan keluarga kecil. Ayah selalu mengurusku, mengajak bermain meski peluh belum kering di tubuhnya. Tak ada kegaduhan, yang aku kenal hanyalah canda dan tawa.

Apa yang salah, Tuhan? Apa aku yang menyebabkan semua ini terjadi? Sikap diam Ayah yang tidak pernah aku ketahui. Atau mungkin, kami yang tidak peka terhadap rasa lelah Ayah? Maafkan aku. Ibu bekerja yang waktunya tidak tentu, kadang berangkat pagi sampai pagi lagi atau berangkat siang sampai tengah malam—dunia entertain di belakang layar. Oh, sikap membisu itu berubah menjadi batu dan dingin.

Semakin pilu, sahut menyahut nada tinggi yang menampakkan urat. Kecaman kata-kata yang tak patut dikeluarkan. Aku tak bisa menyalahkan orang tuaku sendiri! Kupukul habis-habisan diriku di balik pintu itu. Sampai lebam kusembunyikan di balik balutan kain. Satu pukulannya itu berarti satu luka di tubuhku. Satu amarahnya berarti satu goresan di dahiku. Aku tak bisa menyalahkan mereka! Bahkan aku sampai tak tahu bagaimana caranya menangis dengan air mata. Habis sudah!

Aku ingin berteriak. Aku marah. Aku kesal. Aku kecewa. Kutengok teman-temanku di luar sana, digandeng tangan kanan dan kiri oleh Raja dan Ratu kerajaannya. Sedang aku, seolah sebatangkara dari negeri antah-brantah.

Sampai pada beberapa waktu berikutnya, jendela kamar dipenuhi tulisan berwarna-warni. Jangan takut, Alexa. Diikuti boneka yang terbuat dari kaos kaki dengan mata dan mulut yang bentuknya tidak karuan, bergerak di balik kaca. Aku tahu itu siapa, iya, aku tahu! Mendekatlah aku ke jendela kamar, aku melihat dia muncul dari bawah, tersenyum dengan tulus menunjukkan susunan gigi yang rumpang di tengah-tengah. Sayangnya aku tak bisa keluar atau bahkan meloloskan diri dari kamar ini, ada teralis besi yang memagari dengan kokoh. Ditunjukkannya lagi tulisan berwarna-warni itu, jangan takut Alexa. Lalu ia menyuruhku lebih mendekat lagi. Dia mengusap mataku—dari balik kaca. Dia membuat senyum di bibirku dengan telunjuknya—dari balik kaca. Dia memelukku dari balik kaca—memeluk boneka dari kaos kaki itu.

Lututku lemas, aku terjatuh, menutup wajahku lalu menangis lagi. Tapi bibirku tersenyum. Dia mengetuk-ngetuk jendela itu agar aku tahu bahwa ia masih di sini—menemaniku. Tangannya berkata, jangan menangis lagi Alexa.

Bertahun-tahun sudah kulalui masa-masa kelam. Sudah sangat terbiasa aku dengan hal semacam ini. sampai akhirnya aku memberanikan diri keluar dari persembunyianku lalu berakhir di rumah sakit. Kata Ibu aku tak sadarkan diri beberapa hari. Saat mata ini terbuka aku tidak pernah tahu Ayah pergi kemana. Seorang laki-laki yang selalu aku banggakan, yang selalu membuatku tertawa ceria, Ayah aku merindukanmu.

Bila saja Ibu Kota sekejam ini, bagaimana bisa? Disebutnya Ibu namun mengapa sulit mendapatkan kasih sayang?

Lexa, Lexa.. Sini temani Ayah.

Ayah! Ayah kemana aja? Ayah aku kangen banget sama Ayah.

Lexa, temani Ayah ya. Ayah sayang Lexa selalu.

Aku memeluknya. Iya! Aku memeluknya di ruang kedap suara ini. Di ruang dengan lorong waktu. Hallo! Apa ini masa depanku? Kudekap Ayah erat-erat, kupejamkan mata sembari menikmati aroma tubuhnya. Sampai tak terasa hangatnya lagi, kubuka perlahan—lalu hilang.

Al, ayo bangun. Ikut Ibu ya sayang.

Ibu? Ibuuu!!

Di sana, agak jauh dan buram namun terdengar sangat nyaring, Ibu sedang menghadap kiblat dan duduk di atas sajadah sambil melantunkan ayat-ayat suci Al-Qur’an. Suaranya merdu sekali. Namun kedua matanya bercucuran air mata. Ibu kenapa? Ada Alexa di sini.

***
“Bu, jari Alexa bergerak!”

Aku membuka mata perlahan-lahan. Redup dan terang lalu padam lagi. Banyak orang mengelilingiku. Wajahku masih kaku untuk bergerak, hanya kedua mata yang sanggup bergerak kanan-kiri. Aku melihat Sally yang tersenyum lebar dengan air matanya dan Ibu yang tetap cantik sambil membawa Al-Qur’an kecil di tangannya. Juga Dika yang menunggu aku berucap sepatah kata.

“Alhamdulillah, Tante periksa dulu ya sayang.” Kata Tante Anna yang berucap sangat lembut. Aku membuang nafas lega diakhiri senyum selebar mungkin.

Lalu, baru kulihat Dika yang ikut tersenyum melihatku. Dika memegang lipatan kertas yang sudah mulai lusuh termakan waktu. Ia mebuka kertas itu bertuliskan, jangan takut Alexa. Tulisan yang berwarna-warni. Tulisan dari tangan Dika kecil. Aku semakin tenang.

Sehabis Dokter Anna memeriksa keadaanku, dia mundur ke belakang, melihat dari kejauhan dan membiarkan Ibu juga Sally mendekati aku. Ibu mengusap-ngusap keningku. Sally mencengkram tanganku, masih dingin dan berkeringat. Rupanya ia belum bisa memaafkan dirinya sendiri, ini kecelakaan Sal, tidak apa-apa. Dika masih saja melebarkan tulisannya, matanya terfokus ke arahku, sepertinya kamu melamun ya Dik? Aku hanya terus tersenyum ke rahnya.

Tiba-tiba pintu ruanganku terbuka dengan kencang tanpa ada ketukan terlebih dahulu. ”Mah, Alexa baik-baik aja?”

“Dia baru sadar, Bram.” Jawab Dokter Anna—Tante Sally.

Bramantio mendekatiku, wajahnya terlihat cemas. Kamu baru jenguk aku, Bram? Tapi rupanya kepalaku mencari Dika. Dia menutup kertas itu dan melihatku lalu menganggukkan kepalanya dengan singkat, membalikkan badan dan keluar dari ruangan. Disusul Dokter Anna.

“Bu..” kata pertamaku setelah terbangun dari tidur yang panjang. “.. Sebenarnya Ayah kemana?”

Ibu tidak menjawab pertanyaanku. Dia langsung tertunduk. Memegang telapak tanganku dan mengepalkan dengan tangannya, kemudian menaruhnya di dahi sebagai penopang kepalanya yang sedang tertunduk.

“Bu, maafin Lexa. Tapi sejujurnya Lexa rindu Ayah.”

Aku paham rasa sakit Ibu bukan hanya ada di tubuhnya, bahkan ada bekas luka yang tidak bisa hilang karena terlalu dalam. Namun ada luka yang permanen, bahkan jahitan pun tidak akan mampu memberhentikan darahnya—hati Ibu. Tapi mau bagaimana pun juga aku adalah anak dari Ibu dan Ayah. Darah mereka mengalir deras di tubuhku. Sebenci-bencinya hati ini namun rasa sayang kepada seorang Ayah pasti lebih besar.

Ibu menaikkan kepalanya, “Nanti kalauu kamu sudah sehat, Ibu ajak kamu bertemu Ayah ya, Lexa.”

Aku menganggukkan kepala pelan-pelan dan selalu di akhiri dengan senyum. Karena kata Ayah dulu, tersenyumlah sesakit apa pun yang kamu rasakan karena keajaiban dari senyuman adalah bisa menghilangkan rasa itu walaupun sedikit demi sedikit.

Ibu keluar dari ruangan, izin cuci muka sebentar dan mencari makanan untuk teman-temanku. Kini kami tinggal bertiga, aku, Sally, dan Bramantio. Entah kemana perginya Dika yang dari tadi sudah keluar rungan terlebih dahulu tanpa pamit.

“Sal, bantu aku buat duduk ya.”

Sally membantu tempat pembaringanku agar nyaman saat aku duduk. Setelah itu ia memelukku sangat kencang, sampai badanku terasa sangat linu. Sally menangis tak henti-hentinya, aku mengusap punggungnya. Sambil terus menerus meminta maaf padaku atas tamparan Rio yang mengenai pipiku. Ia juga terus-terusan menyalahkan dirinya sendiri. Sal, ini bukan salah kamu.

“Aku minta maaf Al. Harusnya aku aja yang koma. Bukan kamu. Al.. maafin aku ya.”
“Sal, aku sesak nafas nih. Jangan kencang-kencang peluknya.” Jawabku sambil bercanda.

Sally melepaskan pelukannya dan masih memperlihatkan air matanya.

“Mau aku maafin nggak? Tapi ada syaratnya.”

“Iya, apa? Aku kabulin semua permintaan yang kamu mau.”

“Aku pinjam laptop kamu ya Sal. Terus tolong ambilin kepingan DVD yang ada di dalam tasku.”

Sally bergegas mengambilkan barang yang aku sebutkan tadi. Aku langsung memutar DVD pemberian Dika. Semua orang yang ada di ruangan mendengar, tak terkecuali Bramantio. Sally langsung menarik kursi dan mendekatinya kepadaku. Sudah tak ada lagi tangisannya, yang tertinggal hanyalah bekas dari air mata dan rasa penasarannya. Bramantio agak menjauh dan memilih duduk di sofa seberang sambil tetap mendengarkan.

Hai Alexa Margaretha, goedemorgen. Kamu bisa lihat matahari di belakang aku kan? Di sini masih pagi, mataharinya belum sampai atas. Baru bangun tidur dan belum mandi, hehe.. Entah kenapa ya Al aku mau bikin video kaya gini. Tapi kamu tenang aja, video yang berdurasi puluhan menit ini isinya nggak akan muka aku yang belum mandi semua kok. Aku bakal kasih lihat ke kamu indahnya Belanda. Semoga kamu suka. Ohiya, Al.. Sebelumnya aku mau bilang sesuatu dulu. Hmm.. Alexa..

Dug!

Wajahku dan Sally sepontan melihat ke arah Bramantio yang sengaja menutup paksa laptopnya. Muka Bram sama sekali tidak menunjukkan rasa bersalahnya.

"Aku tuh kasian sama badan kamu yang nggak bisa capek, malah nonton video kaya gitu."

"Kasian? Bram, aku nggak minta kamu buat kasihanin aku. Lagian aku cuma nonton video dari Dika."

"Ikut gue Bram!" Sally menarik tangan Bramantio keluar ruangan. Samar-samar terdengar dari balik pintu yang tidak tertutup rapat.

Aku acuh dengan pertengkaran mereka. Rupanya lelahku sudah sampai di permukaan untuk meladeni omongan Bramantio. Lelaki yang bisa menutup kilaunya Dika. Lelaki yang aku bangga-banggakan. Atau mungkin bisa membuatku buta dengan pengharapannya. Aku membuka laptop Sally lagi, berniat untuk menonton sisa video yang masih berdurasi lima puluh enam menit.

"Al, Bram bener kok kamu itu harusnya istirahat dulu. Video dari aku nanti aja kamu lihatnya ya." Dika tiba-tiba masuk, ternyata dia masih nunggu di depan pintu.

"Tapi aku penasaran, Dik."

"Al, aku mau ngomong sama kamu serius. Tolong banget kali ini kamu dengerin aku." Dika mendekati kursinya ke arahku, tepat di samping kepala.

"Al, kamu tahu kan aku baru pulang dari Belanda. Dan ini hari ke-3 aku di Indonesia, di Jakarta. Sayangnya kamu harus terbaring dan nggak lihat aku selama ini. Aku cuma ada waktu seminggu disini, Al. Aku harus balik lagi ke Belanda. Dan nggak tahu pulangnya kapan karena aku kerja di sana."

"Tapi kamu nggak pernah bilang sama aku sebelumnya, Dik. Kamu bakal ninggalin Ibu Kota? Di sini tempat kita, Dik. Rumah kita. Kamu berjuang di sini. Terus.. Kamu.." air mataku tak terbendung lagi, rupanya hal terbesar dalam hidupku adalah, aku tidak ingin kehilangan orang yang aku sayang—lagi.   

"Maafin aku ya, Al. Kita cari Ayah kamu ya  di sisa hari aku ini. Aku udah niat kalau aku akan ngejaga kamu selama aku masih di Jakarta."

Al, kalau aja kamu takut kehilangan aku, kamu salah. Aku yang lebih takut kehilangan kamu. Melihat kamu suatu saat yang mungkin bersanding selain dengan aku. Kepergian pertukaran pelajar setahun yang lalu juga salah satu caraku mencoba terbiasa tanpa kamu, Al. Tapi sekeras aku melupakan, rupanya wajah kamu bersikeras memutar di kepala. Al, sesungguhnya aku membiarkanmu bebas tanpa aku. Tapi di sini aku ada untukmu, Al. Percayalah..

Hari telah berganti. Seiring daun yang berguguran dari pohon tua. Angin yang berhilir mudik mengabarkan duka kepergian. Hati yang cemas akan masa depan tanpa kaki kanan yang melengkapi kirinya. Tak ada lagi coretan warna-warni yang mendamaikan tekanan atau kegaduhan. Hari ini, hari ke lima Dika di Indonesia—Ibu Kota.

Dika mengemudikan mobil sedannya dengan mulus. Sesekali ia mmenatapku yang tidak berkata, hanya melihat ke depan. Dika tahu apa yang harus ia lakukan.

"Jakarta.. Jakarta.. Macet dimana-mana." keluh Dika pelan.

"Nikmatin aja, Dik. Kamu bakal rindu suasana seperti ini." ucapku datar tanpa melihat ke arah Dika.

"Al, sebelum kita sampai ke sana. Aku mau tanya dulu sama kamu. Apa kamu udah yakin dengan kondisi Ayah kamu sekarang?"

"Inshallah.. Hati aku udah mantap, Dik. Momen ini yang aku tunggu-tunggu, bertemu Ayah bagaimana pun ia sekarang."

Akhirnya kami sampai di sebuah rumah sakit tempat Ayah tinggal selama ini. Rumah sakit yang sebelumnya tidak pernah aku sambangi. Bodohnya, aku seringkali lewat rumah sakit ini tapi aku tak pernah menyadari bahwa sebenarnya dekat dengan Ayah. Aku hanya tak ingin lagi menyalahkan keadaan.

Kami diantar oleh pegawai rumah sakit itu menuju ruangan dokter. Sembari petugas itu menjemput Ayah ke sini. Aku dan Dika berbincang-bincang dengan dokter yang menangani Ayah.

"Nah, itu Ayah Nona Alexa." kata Dokter.

"Ayah? Ini Alexa Yah." kataku sambil mendekatinya.

"Alexa? Kaya nama anak saya tuh." jawab Ayah yang matanya tak fokus melihatku, bibirnya tersenyum-senyum. Iya, syaraf Ayah terganggu saat mengetahui tamparannya beberapa tahun lalu yang membuat aku tak sadarkan diri berhari-hari—koma.

"Anak saya itu udah meninggal. Dia nggak bangun-bangun.. Haha.. Iya dia saya tampar pipinya. Haha.."

"Ayah, ini aku anak Ayah, Alexa Margaretha. Ayah coba lihat aku."

Ayah melihatku, menatapku lekat-lekat. Tangannya terangkat seperti ingin mengusap pipiku. Dia menangis, mengeluarkan air mata. Aku meraih tangannya yang dingin. Memegangnya erat dengan kedua tanganku. Meyakinkan sepenuh hati bahwa aku adalah anaknya, Alexa, dan aku masih hidup.

"Enggak, anak saya sudah mati. Saya yang bunuh. Ya Allah.." Ayah sangat menyesal dengan perbuatannya, dia menyebut nama Tuhan dengan penuh rasa bersalah. Aku tak kuasa membendung air mataku. Jatuh lagi dan semakin deras. Rasanya aku ingin memeluknya dan tak ingin kulepas tapi apa daya Ayah sudah harus istirahat, dia tidak boleh terlalu lama dengan kesedihannya. Namun aku berjanji pada diriku untuk selalu menengoknya di sini.

Sehabis dari rumah sakit, Dika mengantarku pulang ke rumah. Aku masih dibayang-bayang rasa cemas dan takut. Bagaimana mungkin aku bisa menghadapi semua ini tanpa Dika? Tapi aku harus bisa, demi Ayah.

"Kamu jadi berangkat ke Belanda besok lusa?"

"Inshaallah jadi, Al."

"Dik, sekarang aku yang mohon sama kamu. Aku nggak akan bisa ngatasin semua ini sendirian. Kamu bakal balik lagi ke Jakarta, kan?"

"Kasih aku alasan kenapa aku harus balik lagi ke sini."

"Aku."

Al, kalau aku udah pergi nanti, kalau kamu rindu aku, putar aja video ini berkali-kali. Jangan cari aku ya. Aku yakin kalau kamu emang buat aku, kita bakal dipertemukan lagi. Aku mau nyari kesuksesan aku dulu di sini, doain aku terus ya Al, seperti aku selalu menyebut nama kamu dalam sujud terakhirku. Suatu saat kamu udah jadi chef yang hebat dan kerja di kapal pesiar, kita akan bertemu di Amsterdam. Alexa, ik hou van jou. Pesan terakhir dalam video Dika.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar