Tubuhku melayang didrong tangan-tangan yang
ketakutan. Banyak roda-roda kecil di bawahnya. Ada satu tangan yang
mencengkram, dingin dan berkeringat, sangat erat seakan tak ingin kehilangan.
Ada isak tangis yang dikuatkan oleh hati, terdengar jelas di telinga. Sembilu
nyeri berdayu-dayu di kepala—tak sadar. Ada pintu yang ditutup paksa, ada suara
yang tertahan di luar sana memaksa masuk. Ada sesuatu yang mengalir dari
hidung, tak dapat kuhentikan. Sal, Bu, Dik, kalian dimana? Aku berada di
ruang kosong tanpa penghuni, tanpa pintu untuk keluar dari sini, bahkan tanpa
jendela untuk lompat dari ruangan ini.
Maafkan Ayah ya, Lexa.
Ayah, Lexa takut. Ayah! Hilang, entah
kemana, mungkin itu hanya halusinasi. Aku berada dalam ruangan kedap suara
tanpa warna—imaji—infusan—pembaringan.
Semua terjadi begitu cepat, bukan lagi kereta yang bergerak dengan kecepatan
lebih dari dua ratus kilo meter per jam, bahkan secepat angin puyuh menyapu semua
debu. Aku adalah seorang yang bahagia dengan keluarga kecil. Ayah selalu mengurusku,
mengajak bermain meski peluh belum kering di tubuhnya. Tak ada kegaduhan, yang aku
kenal hanyalah canda dan tawa.
Apa yang salah, Tuhan? Apa aku yang menyebabkan semua ini terjadi? Sikap
diam Ayah yang tidak pernah aku ketahui. Atau mungkin, kami yang tidak peka terhadap
rasa lelah Ayah? Maafkan aku. Ibu bekerja yang waktunya tidak tentu, kadang
berangkat pagi sampai pagi lagi atau berangkat siang sampai tengah malam—dunia entertain
di belakang layar. Oh, sikap membisu itu berubah menjadi batu dan dingin.
Semakin pilu, sahut menyahut nada tinggi yang menampakkan urat. Kecaman
kata-kata yang tak patut dikeluarkan. Aku tak bisa menyalahkan orang tuaku sendiri!
Kupukul habis-habisan diriku di balik pintu itu. Sampai lebam kusembunyikan
di balik balutan kain. Satu pukulannya itu berarti satu luka di tubuhku. Satu amarahnya
berarti satu goresan di dahiku. Aku tak bisa menyalahkan mereka! Bahkan aku
sampai tak tahu bagaimana caranya menangis dengan air mata. Habis sudah!
Aku ingin berteriak. Aku marah. Aku kesal. Aku kecewa. Kutengok teman-temanku
di luar sana, digandeng tangan kanan dan kiri oleh Raja dan Ratu kerajaannya. Sedang
aku, seolah sebatangkara dari negeri antah-brantah.
Sampai pada beberapa waktu berikutnya, jendela kamar dipenuhi tulisan
berwarna-warni. Jangan takut, Alexa. Diikuti boneka yang terbuat dari kaos
kaki dengan mata dan mulut yang bentuknya tidak karuan, bergerak di balik kaca.
Aku tahu itu siapa, iya, aku tahu! Mendekatlah aku ke jendela kamar, aku
melihat dia muncul dari bawah, tersenyum dengan tulus menunjukkan susunan gigi yang
rumpang di tengah-tengah. Sayangnya aku tak bisa keluar atau bahkan meloloskan diri
dari kamar ini, ada teralis besi yang memagari dengan kokoh. Ditunjukkannya lagi
tulisan berwarna-warni itu, jangan takut Alexa. Lalu ia menyuruhku lebih
mendekat lagi. Dia mengusap mataku—dari balik kaca. Dia membuat senyum di bibirku
dengan telunjuknya—dari balik kaca. Dia memelukku dari balik kaca—memeluk boneka
dari kaos kaki itu.
Lututku lemas, aku terjatuh, menutup wajahku lalu menangis lagi. Tapi
bibirku tersenyum. Dia mengetuk-ngetuk jendela itu agar aku tahu bahwa ia masih
di sini—menemaniku. Tangannya berkata, jangan menangis lagi Alexa.
Bertahun-tahun sudah kulalui masa-masa kelam. Sudah sangat terbiasa
aku dengan hal semacam ini. sampai akhirnya aku memberanikan diri keluar dari
persembunyianku lalu berakhir di rumah sakit. Kata Ibu aku tak sadarkan diri
beberapa hari. Saat mata ini terbuka aku tidak pernah tahu Ayah pergi
kemana. Seorang laki-laki yang selalu aku banggakan, yang selalu membuatku
tertawa ceria, Ayah aku merindukanmu.
Bila saja Ibu Kota sekejam ini, bagaimana bisa? Disebutnya Ibu namun
mengapa sulit mendapatkan kasih sayang?
Lexa, Lexa.. Sini temani Ayah.
Ayah! Ayah kemana aja? Ayah aku kangen banget sama Ayah.
Lexa, temani Ayah ya. Ayah sayang Lexa selalu.
Aku memeluknya. Iya! Aku memeluknya di ruang kedap suara ini. Di
ruang dengan lorong waktu. Hallo! Apa ini masa depanku? Kudekap Ayah
erat-erat, kupejamkan mata sembari menikmati aroma tubuhnya. Sampai tak terasa
hangatnya lagi, kubuka perlahan—lalu hilang.
Al, ayo bangun. Ikut Ibu ya sayang.
Ibu? Ibuuu!!
Di sana, agak jauh dan buram namun terdengar sangat nyaring, Ibu sedang
menghadap kiblat dan duduk di atas sajadah sambil melantunkan ayat-ayat suci
Al-Qur’an. Suaranya merdu sekali. Namun kedua matanya bercucuran air mata. Ibu
kenapa? Ada Alexa di sini.
***
“Bu, jari Alexa bergerak!”
Aku membuka mata perlahan-lahan. Redup dan terang lalu padam lagi.
Banyak orang mengelilingiku. Wajahku masih kaku untuk bergerak, hanya kedua
mata yang sanggup bergerak kanan-kiri. Aku melihat Sally yang tersenyum lebar
dengan air matanya dan Ibu yang tetap cantik sambil membawa Al-Qur’an kecil di
tangannya. Juga Dika yang menunggu aku berucap sepatah kata.
“Alhamdulillah, Tante periksa dulu ya sayang.” Kata Tante Anna yang
berucap sangat lembut. Aku membuang nafas lega diakhiri senyum selebar mungkin.
Lalu, baru kulihat Dika yang ikut tersenyum melihatku. Dika
memegang lipatan kertas yang sudah mulai lusuh termakan waktu. Ia mebuka kertas
itu bertuliskan, jangan takut Alexa. Tulisan yang berwarna-warni.
Tulisan dari tangan Dika kecil. Aku semakin tenang.
Sehabis Dokter Anna memeriksa keadaanku, dia mundur ke belakang,
melihat dari kejauhan dan membiarkan Ibu juga Sally mendekati aku. Ibu
mengusap-ngusap keningku. Sally mencengkram tanganku, masih dingin dan
berkeringat. Rupanya ia belum bisa memaafkan dirinya sendiri, ini kecelakaan
Sal, tidak apa-apa. Dika masih saja melebarkan tulisannya, matanya terfokus
ke arahku, sepertinya kamu melamun ya Dik? Aku hanya terus tersenyum ke
rahnya.
Tiba-tiba pintu ruanganku terbuka dengan kencang tanpa ada ketukan
terlebih dahulu. ”Mah, Alexa baik-baik aja?”
“Dia baru sadar, Bram.” Jawab Dokter Anna—Tante Sally.
Bramantio mendekatiku, wajahnya terlihat cemas. Kamu baru jenguk
aku, Bram? Tapi rupanya kepalaku mencari Dika. Dia menutup kertas itu dan
melihatku lalu menganggukkan kepalanya dengan singkat, membalikkan badan dan
keluar dari ruangan. Disusul Dokter Anna.
“Bu..” kata pertamaku setelah terbangun dari tidur yang panjang.
“.. Sebenarnya Ayah kemana?”
Ibu tidak menjawab pertanyaanku. Dia langsung tertunduk. Memegang
telapak tanganku dan mengepalkan dengan tangannya, kemudian menaruhnya di dahi
sebagai penopang kepalanya yang sedang tertunduk.
“Bu, maafin Lexa. Tapi sejujurnya Lexa rindu Ayah.”
Aku paham rasa sakit Ibu bukan hanya ada di tubuhnya, bahkan ada
bekas luka yang tidak bisa hilang karena terlalu dalam. Namun ada luka yang
permanen, bahkan jahitan pun tidak akan mampu memberhentikan darahnya—hati Ibu.
Tapi mau bagaimana pun juga aku adalah anak dari Ibu dan Ayah. Darah mereka
mengalir deras di tubuhku. Sebenci-bencinya hati ini namun rasa sayang kepada
seorang Ayah pasti lebih besar.
Ibu menaikkan kepalanya, “Nanti kalauu kamu sudah sehat, Ibu ajak
kamu bertemu Ayah ya, Lexa.”
Aku menganggukkan kepala pelan-pelan dan selalu di akhiri dengan
senyum. Karena kata Ayah dulu, tersenyumlah sesakit apa pun yang kamu
rasakan karena keajaiban dari senyuman adalah bisa menghilangkan rasa itu
walaupun sedikit demi sedikit.
Ibu keluar dari ruangan, izin cuci muka sebentar dan mencari
makanan untuk teman-temanku. Kini kami tinggal bertiga, aku, Sally, dan
Bramantio. Entah kemana perginya Dika yang dari tadi sudah keluar rungan
terlebih dahulu tanpa pamit.
“Sal, bantu aku buat duduk ya.”
Sally membantu tempat pembaringanku agar nyaman saat aku duduk.
Setelah itu ia memelukku sangat kencang, sampai badanku terasa sangat linu.
Sally menangis tak henti-hentinya, aku mengusap punggungnya. Sambil terus
menerus meminta maaf padaku atas tamparan Rio yang mengenai pipiku. Ia juga
terus-terusan menyalahkan dirinya sendiri. Sal, ini bukan salah kamu.
“Aku minta maaf Al. Harusnya aku aja yang koma. Bukan kamu. Al..
maafin aku ya.”
“Sal, aku sesak nafas nih. Jangan kencang-kencang peluknya.”
Jawabku sambil bercanda.
Sally melepaskan pelukannya dan masih memperlihatkan air matanya.
“Mau aku maafin nggak? Tapi ada syaratnya.”
“Iya, apa? Aku kabulin semua permintaan yang kamu mau.”
“Aku pinjam laptop kamu ya Sal. Terus tolong ambilin kepingan DVD
yang ada di dalam tasku.”
Sally
bergegas mengambilkan barang yang aku sebutkan tadi. Aku langsung memutar DVD
pemberian Dika. Semua orang yang ada di ruangan mendengar, tak terkecuali
Bramantio. Sally langsung menarik kursi dan mendekatinya kepadaku. Sudah tak
ada lagi tangisannya, yang tertinggal hanyalah bekas dari air mata dan rasa
penasarannya. Bramantio agak menjauh dan memilih duduk di sofa seberang sambil
tetap mendengarkan.
Hai
Alexa Margaretha, goedemorgen. Kamu bisa lihat matahari di belakang aku kan? Di
sini masih pagi, mataharinya belum sampai atas. Baru bangun tidur dan belum
mandi, hehe.. Entah kenapa ya Al aku mau bikin video kaya gini. Tapi kamu
tenang aja, video yang berdurasi puluhan menit ini isinya nggak akan muka aku
yang belum mandi semua kok. Aku bakal kasih lihat ke kamu indahnya Belanda.
Semoga kamu suka. Ohiya, Al.. Sebelumnya aku mau bilang sesuatu dulu. Hmm..
Alexa..
Dug!
Wajahku
dan Sally sepontan melihat ke arah Bramantio yang sengaja menutup paksa laptopnya.
Muka Bram sama sekali tidak menunjukkan rasa bersalahnya.
"Aku
tuh kasian sama badan kamu yang nggak bisa capek, malah nonton video kaya gitu."
"Kasian?
Bram, aku nggak minta kamu buat kasihanin aku. Lagian aku cuma nonton video
dari Dika."
"Ikut
gue Bram!" Sally menarik tangan Bramantio keluar ruangan. Samar-samar
terdengar dari balik pintu yang tidak tertutup rapat.
Aku acuh
dengan pertengkaran mereka. Rupanya lelahku sudah sampai di permukaan untuk meladeni
omongan Bramantio. Lelaki yang bisa menutup kilaunya Dika. Lelaki yang aku
bangga-banggakan. Atau mungkin bisa membuatku buta dengan pengharapannya. Aku
membuka laptop Sally lagi, berniat untuk menonton sisa video yang masih berdurasi
lima puluh enam menit.
"Al,
Bram bener kok kamu itu harusnya istirahat dulu. Video dari aku nanti aja kamu
lihatnya ya." Dika tiba-tiba masuk, ternyata dia masih nunggu di depan
pintu.
"Tapi
aku penasaran, Dik."
"Al,
aku mau ngomong sama kamu serius. Tolong banget kali ini kamu dengerin
aku." Dika mendekati kursinya ke arahku, tepat di samping kepala.
"Al,
kamu tahu kan aku baru pulang dari Belanda. Dan ini hari ke-3 aku di Indonesia,
di Jakarta. Sayangnya kamu harus terbaring dan nggak lihat aku selama ini. Aku
cuma ada waktu seminggu disini, Al. Aku harus balik lagi ke Belanda. Dan nggak
tahu pulangnya kapan karena aku kerja di sana."
"Tapi
kamu nggak pernah bilang sama aku sebelumnya, Dik. Kamu bakal ninggalin Ibu
Kota? Di sini tempat kita, Dik. Rumah kita. Kamu berjuang di sini. Terus..
Kamu.." air mataku tak terbendung lagi, rupanya hal terbesar dalam hidupku
adalah, aku tidak ingin kehilangan orang yang aku sayang—lagi.
"Maafin
aku ya, Al. Kita cari Ayah kamu ya di
sisa hari aku ini. Aku udah niat kalau aku akan ngejaga kamu selama aku masih di
Jakarta."
Al,
kalau aja kamu takut kehilangan aku, kamu salah. Aku yang lebih takut
kehilangan kamu. Melihat kamu suatu saat yang mungkin bersanding selain dengan
aku. Kepergian pertukaran pelajar setahun yang lalu juga salah satu caraku
mencoba terbiasa tanpa kamu, Al. Tapi sekeras aku melupakan, rupanya wajah kamu
bersikeras memutar di kepala. Al, sesungguhnya aku membiarkanmu bebas tanpa aku.
Tapi di sini aku ada untukmu, Al. Percayalah..
Hari
telah berganti. Seiring daun yang berguguran dari pohon tua. Angin yang
berhilir mudik mengabarkan duka kepergian. Hati yang cemas akan masa depan
tanpa kaki kanan yang melengkapi kirinya. Tak ada lagi coretan warna-warni yang
mendamaikan tekanan atau kegaduhan. Hari ini, hari ke lima Dika di Indonesia—Ibu
Kota.
Dika
mengemudikan mobil sedannya dengan mulus. Sesekali ia mmenatapku yang tidak
berkata, hanya melihat ke depan. Dika tahu apa yang harus ia lakukan.
"Jakarta..
Jakarta.. Macet dimana-mana." keluh Dika pelan.
"Nikmatin
aja, Dik. Kamu bakal rindu suasana seperti ini." ucapku datar tanpa
melihat ke arah Dika.
"Al,
sebelum kita sampai ke sana. Aku mau tanya dulu sama kamu. Apa kamu udah yakin
dengan kondisi Ayah kamu sekarang?"
"Inshallah..
Hati aku udah mantap, Dik. Momen ini yang aku tunggu-tunggu, bertemu Ayah bagaimana
pun ia sekarang."
Akhirnya
kami sampai di sebuah rumah sakit tempat Ayah tinggal selama ini. Rumah sakit
yang sebelumnya tidak pernah aku sambangi. Bodohnya, aku seringkali lewat rumah
sakit ini tapi aku tak pernah menyadari bahwa sebenarnya dekat dengan Ayah. Aku
hanya tak ingin lagi menyalahkan keadaan.
Kami
diantar oleh pegawai rumah sakit itu menuju ruangan dokter. Sembari petugas itu
menjemput Ayah ke sini. Aku dan Dika berbincang-bincang dengan dokter yang
menangani Ayah.
"Nah,
itu Ayah Nona Alexa." kata Dokter.
"Ayah?
Ini Alexa Yah." kataku sambil mendekatinya.
"Alexa?
Kaya nama anak saya tuh." jawab Ayah yang matanya tak fokus melihatku,
bibirnya tersenyum-senyum. Iya, syaraf Ayah terganggu saat mengetahui
tamparannya beberapa tahun lalu yang membuat aku tak sadarkan diri berhari-hari—koma.
"Anak
saya itu udah meninggal. Dia nggak bangun-bangun.. Haha.. Iya dia saya tampar
pipinya. Haha.."
"Ayah,
ini aku anak Ayah, Alexa Margaretha. Ayah coba lihat aku."
Ayah
melihatku, menatapku lekat-lekat. Tangannya terangkat seperti ingin mengusap
pipiku. Dia menangis, mengeluarkan air mata. Aku meraih tangannya yang dingin.
Memegangnya erat dengan kedua tanganku. Meyakinkan sepenuh hati bahwa aku
adalah anaknya, Alexa, dan aku masih hidup.
"Enggak,
anak saya sudah mati. Saya yang bunuh. Ya Allah.." Ayah sangat menyesal
dengan perbuatannya, dia menyebut nama Tuhan dengan penuh rasa bersalah. Aku
tak kuasa membendung air mataku. Jatuh lagi dan semakin deras. Rasanya aku
ingin memeluknya dan tak ingin kulepas tapi apa daya Ayah sudah harus istirahat,
dia tidak boleh terlalu lama dengan kesedihannya. Namun aku berjanji pada
diriku untuk selalu menengoknya di sini.
Sehabis
dari rumah sakit, Dika mengantarku pulang ke rumah. Aku masih dibayang-bayang
rasa cemas dan takut. Bagaimana mungkin aku bisa menghadapi semua ini tanpa
Dika? Tapi aku harus bisa, demi Ayah.
"Kamu
jadi berangkat ke Belanda besok lusa?"
"Inshaallah
jadi, Al."
"Dik,
sekarang aku yang mohon sama kamu. Aku nggak akan bisa ngatasin semua ini
sendirian. Kamu bakal balik lagi ke Jakarta, kan?"
"Kasih
aku alasan kenapa aku harus balik lagi ke sini."
"Aku."
Al,
kalau aku udah pergi nanti, kalau kamu rindu aku, putar aja video ini
berkali-kali. Jangan cari aku ya. Aku yakin kalau kamu emang buat aku, kita
bakal dipertemukan lagi. Aku mau nyari kesuksesan aku dulu di sini, doain aku terus
ya Al, seperti aku selalu menyebut nama kamu dalam sujud terakhirku. Suatu saat
kamu udah jadi chef yang hebat dan kerja di kapal pesiar, kita akan bertemu di
Amsterdam. Alexa, ik hou van jou. Pesan terakhir
dalam video Dika.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar