Sabtu, 30 Juli 2016

Ibu Kota #part3

Hari-hari terus berganti. Sekarang ditambah lagi dengan masa lalu yang menjelma bagai angin, berbisik dan merayu untuk dicari lagi. Rupanya, bukan hanya luka yang terasa namun sisa-sisa kenangan itu masih berceceran di jalan basah. Dia kembali tanpa atau dengan yang lalu. Tatapan mata itu masih yang kurasa sama. Aku sudah mulai pulih, haruskan ia kembali?

Andai ia tahu bahwa melupakan itu butuh tenaga yang banyak, butuh kerja keras yang luar biasa. Butuh acting yang professional untuk menyembunyikan mimik wajah yang sebenarnya sendu. Aku paling takut untuk merasa sendiri dalam keramaian lalu mengenang seakan sebatang kara. Yang ia tahu hanyalah, aku baik-baik saja dan semua berjalan normal, tawaku masih memantul dari sudut ke sudut. Rasanya aku ingin berteriak di samping telinganya, stupid!

Matahari diganti bulan, begitu terus sampai esok dan esoknya lagi.  Aku hanya sedang menutup mata hati dengan tidak ingin tertarik lagi oleh ceritamu. Langkahku sudah mantap untuk hari ini dengan baju putih bersih bercorak batik di pergelangan tangannya dan terbordir nama, Alexa Margaretha.

“Sudah siap ujian praktek hari ini, Al?”

“Yups! Bismillah..”

“OK! Good luck, chef!”

Hatiku sudah tertatar dengan sigap untuk terfokus pada sesuatu hal yang penting saja. Aku tidak ingin mengotori nilaiku dengan kata remedial. Sebenarnya aku sedikit panik karena ini bukan passion-ku—masakan Asia.

***
“Alexa Margaretha.”

“Siap, chef.”

“Saya tahu kalau kamu jago banget soal pastry, cake, atau dessert lainnya. Dan saya tahu kalau kamu akan selalu berusaha belajar dan belajar lagi, maka dari itu saya tunggu kamu besok lusa untuk masak lagi untuk saya. Maaf Alexa kamu harus mengulang.”

Aku menganggukkan kepala kepada Chef Darman. Ini pertama kali aku harus mengulang ujian praktek. Aku merasa kecewa dengan diri sendiri karena harus keluar dengan kekalahan.

Aku berjalan menuju masjid kampus, menunaikan ibadah solat Zuhur yang sudah diulur waktu setengah jam. Sambil menyegarkan wajah dengan air yang suci. Pada rakaat terakhir, kupanjangkan sujud, menyelipkan sebuah permohonan dengan pengharapan bahwa takdirku adalah apa yang aku inginkan. Bermohon ampunan atas semua pengandaian.

Besok lusa pasti bisa. Aku harus belajar lagi di rumah. Tidak akan ada kemenangan tanpa tercipta kegagalan. Ya Allah dampingi aku.

“Hi, Al.” terdengar sapa saat aku sedang memakai sepatu boots di pelataran masjid. Iya hai, aku menjawab tanpa melihat wajah orang itu.

“Ya ampun, Dika? Sudah selesai pertukaran pelajar ke Belanda? Satu tahun loh Dik kita nggak ketemu.”

“Kenapa, Al? Kangen ya? Iya aja deh. Hmm.. gimana kalau kita ngobrolnya di tempat biasa? Sambil kita nyanyi bareng, aku kangen sama suara kamu.”

Dika, seseorang yang sangat tahu perjalanan hidupku dari kecil sampai satu tahun yang lalu. Kita hampir tak bisa terpisahkan oleh waktu. Dia teman kecilku yang sangat aku sayangi. Meskipun sekolah kami berbeda tapi pada akhirnya kami bertemu di satu universitas yang sama. Tepat satu tahun yang lalu Dika meninggalkan aku untuk pertukaran pelajaran ke Belanda. Dia memang sangat cerdas.

Ini tempat kami biasa menghabiskan waktu bersama. Melepas penat dan berteriak ketika emosi tak dapat tertahan. Di tempat ini juga keteduhan terwujud karena hamparan air yang luas dan masih bersih, meskipun buatan tapi tempat ini indah untuk di Ibu Kota.

“Gimana kegiatan kamu di Jakarta, Al?”

“Baik-baik aja, Dik. Semua berjalan lancar tapi ada satu yang buat aku sedih hari ini. Aku harus ngulang ujian praktek Chef Darman besok lusa. Masakan Asia, Dik. Kamu kan tahu aku kurang mahir masak itu.”

“Hahaha.. Alexa kamu itu bisa tapi kamu nggak yakin. Itu yang menyebabkan kamu selalu gagal. Listen to me carefully, semua orang itu pasti bisa membunuh rasa takutnya, dengan begitu hal baik pasti akan datang. Fokus makanya, Al. Jangan mikirin aku terus, haha.”

Aku menatap ke arah Dika. Kata-katanya yang selalu menenangkan hati yang membuat aku tidak ingin kehilangannya. Aku tersenyum, “Ih kamu Dik, ngeledek aja ujung-ujungnya. Terus gimana sama Negara kincir angin? Menyenangkan dong? Setiap hari ketemu puluhan bule.”

“Belanda, Negara yang pernah menjajah Tanah Air. Indah tapi Indonesia lebih cantik. Banyak yang seksi di sana tapi di Ibu Kota ini ada yang lebih menarik untuk selalu ditengok dan begitu berharga untuk selalu dirindukan..” Dika berhenti berucap dan menarik nafas terlebih dahulu, “..kamu.”

“Hmm.. Dik, kamu udah ketemu Sally belum? Tadi aku lupa ninggalin dia. Aku mau cari Sally dulu ya.”

“Al, aku buat ini waktu masih di Belanda. Jangan lupa diliat.” Dika memberiku sebuah kepingan DVD.

Aku meninggalkan Dika dengan sangat sengaja. Walaupun aku tahu hal ini sangat jahat untuknya. Aku mengerti perasaannya tapi apa dayaku yang belum bisa membalas hal yang sama. Dan egoku yang tak ingin kehilangannya. Aku memang merindukannya tapi sebagai sahabatku. Aku hanya pasrah atas takdir Tuhan dan berharap semoga tidak ada yang merasa tersakiti atas segala keputusan.

Kemana sih Sally? Dari ruang ke ruang aku mencari sahabat cantikku itu tapi tak sedikit pun tanda-tanda bahwa ia ada di sekitar sini. Telephone aja deh… Ya ampun Sally nggak diangkat-angkat. Aku terdampar di depan ruang rektorat, berlindung dari sengatan matahari yang begitu tajam di siang menuju sore ini.

“Eh Rio, tunggu dulu deh. Kamu liat Sally nggak?” aku bertanya kepada salah satu teman sekelas Sally yang kebetulan lewat.”

“Tengok ke belakang deh, Al. Sally tuh lagi di ruang rektor dari tadi, nemuin Om-nya.” Jelas Rio.

“Om? Siapa?” tanyaku heran.

Aku memasuki ruang rektorat. Melihat dari luar Sally yang sedang bercakap-cakap dengan Bapak John. Jadi, Pak John itu.. aku mengetuk pintu ruangannya. Sally melihatku sedikit terkejut tapi Pak John berusaha menyembunyikan kepanikannya dan menyapaku. Aku membalas dengan senyum, lalu Sally mengajakku keluar ruangan Pak John.

“Aku harus ngulang ujian praktek besok lusa.”

"Ya ampun, Al. Kamu cuma lagi capek aja kok jadi kurang konsentrasi. Pokoknya kamu harus semangat belajar buat remedialnya ya."

"Mungkin aku memang nggak pantas kuliah di sini. Beasiswa aku lulus karena ada orang dalem. Iya kan, Sal? Pak John itu Om kamu, kan?"

"Gini Al, beliau emang Om aku tapi soal tes beasiswa kamu di sini..."

Belum selesai percakapan Sally, aku meninggalkannya begitu saja. Entah kenapa ada rasa kecewa dalam hati saat tahu bahwa Bapak rektorat itu adalah paman dari Sally. Dia sudah banyak membantuku dan keluarga. Dia menjadi sahabat setelah Dika. Hanya saja aku ingin berjuang dengan keringatku sendiri, bagaimana susahnya harus kuhajar semua rintangan dan kubunuh rasa takut. Bukan hanya berharap bantuan orang lain, meskipun dia adalah orang terdekatku.

Aku terus berjalan tanpa tahu arah. Begitu saja mengikuti kelokan dan kelokan lagi. Bibirku tak ingin bergumam, pandangan mataku kosong. Aku melihat Bramantio di dalam pendopo kampus sedang memainkan jemarinya di atas kamera DSLR. Ada Bramantio?Aku lewat di hadapannya begitu saja. Sesekali kuperhatikan ia sedang memotret seseorang di sebrang sana--wanitanya.

Berjuang dengan keringatku sendiri? Kenapa harus marah? Aku harus bisa! Kini saatnya aku akan membuktikan bahwa aku pantas di sini.

Diam dan berbalik arah menuju tempat yang tadi aku tinggalkan--Sally. Aku melewati Bramantio lagi, tapi sekarang ia menyadari keberadaannku. Wajahku menoleh sebentar ke arahnya lalu seolah tak peduli.

Alexa! Teriaknya, aku sungguh tak peduli. Mulai berlari kecil.

Sampai di tempat yang sama. Namun keadaan sudah berbeda. Kini bukan hanya Sally yang berada di sana tapi Rio pun nampak. Mereka beradu argumen, entah membahas apa, terdengar samar dari kejauhan.

Aku ingin mendekati mereka tapi rasa takut itu mulai memutar memori kelam. Alexa, bunuh rasa takut itu, lihat sahabatmu yang sedang membutuhkanmu. Ayo maju, Alexa! Bisikkan hati kecil mulai bergemuruh, mendorong kedua kaki yang berjalan dengan ragu. Tapi harus kumantapkan nafas, Sal aku datang.

"Halah! Cuma bisa berlindung di balik keluarga lo yang cerdas-cerdas itu. Sedangkan lo? Akademik aja payah banget!"

"Kalau lo emang cerdas lebih dari gue dan lo adalah pria sejati, harusnya mulut lo jangan kaya banci!"

"Shit!"

"Sally awas!" PRAK! Tamparan itu.

***

"Kamu ini ngurus rumah aja nggak becus! Gimana anak kamu itu mau bener?! Hah!"

"Tapi Mas.. Aku kan juga kerja. Maafin aku Mas." tangis suara Ibu terdengar. Pukulan demi pukulan yang sangat rigan dari tangan seorang yang kupanggil Ayah terus melayang mengenai kulit Ibu.

Ibu menangis tersedu-sedu menahan rasa sakitnya sembari mengikhlaskan dalam hatinya. Hanya menangis yang bisa kulakukan, di balik pintu sambil memegang erat kedua kaki yang terlipat. Aku takut, aku ingin melakukan sesuatu, tapi apa?

Akhirnya entah keberanian apa yang merasuk ke dalam tubuh. Aku berdiri dari rasa takut, aku bangkit dari keterpurukan. Aku membuka pintu kamar sedikit demi sedikit dengan memperlihatkan mata yang sembab.

"Ayah, cukup!" untuk pertama kalinya aku berteriak dengan lantang ke arah Ayah. Dia kaget mendengarku berkata seperti itu karena yang Ayah kenal, aku adalah sosok anak yang tak pernah ikut campur masalah dalam keluarga kecil kami.

Ayah hilang kendali karena emosinya. "Diam kamu!" PRAK! Dan ini pertama kalinya aku merasakan tamparan tangannya.  

Tubuhku terjatuh begitu saja. Dengan lemas, aku meninggalkan senyum untuknya lalu kemudian mulutku berucap, aku rindu Ayah.  Mataku tertutup. Tak sadarkan diri. Tangannya yang begitu keras mendarat di pipiku. Kata Ibu, aku koma empat hari.

Kejadian itu seperti tidak mau keluar dari kepalaku. Sejak saat itu aku tahu bahwa rasa traumaku terus saja kembali menghantui. Kenangan kelam itu terlalu melekat di otakku. Satu-satunya obat adalah aku—.

***

Al.. Al.. Alexa.. Bangun Al.. Please bertahan, Al..

Suara itu yang memanggil-manggil namaku tapi apa daya,  aku tak bisa membuat mata terbuka untuk memastikan aku tidak sendiri.

Ya Tuhan, aku tak ingin terus terbelenggu dalam masa lalu kelam ini. Aku mohon untuk biarkan aku hidup untuk beberapa saat lagi. Aku ingin membahagiakan Ibu dan semua orang yang aku sayang dan menyayangiku. Ya Tuhan, aku tidak ingin memohon agar diringankan bebanku tapi jika Engkau memberiku kesempatan untuk tetap tinggal di bumi-Mu yang indah ini, aku akan berharap agar kuatkan bahuku.

"Al.. Harusnya kamu nggak usah balik lagi." aku mendengar tangis Sally.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar