Sabtu, 23 Juli 2016

Ibu Kota #part2

Terkadang, aku terlalu takut pada malam. Gelap, kataku. Bahkan bayang pun tak nampak. Karena disaat berjalan sendiri hanya bayangan yang menjadi teman setia. Gelap, kataku. Tapi mengapa aku masih bisa melihat ke depan? Masih bisa melihat lampu jalanan, masih bisa melihat pohon-pohon yang mengelilingi, masih bisa melihat rumah-rumah yang berjajar, masih bisa melihat jalanan yang kosong, kenapa?

[I]
Jangan melamun, sayang
Jangan kau tengok ujung tombak itu
terlalu jauh
Mari kita berbincang sebentar
Meraba masa depan yang dekat ini
di sampingmu

***
Sebuta ini garpu dan sendok sudah bercengkrama dengan santai. Namun tetap saja sepi di dalam gubuk ini. Aku tidak bisa berbohong pada diri bahwa aku menyesali saat ini. Sebenarnya hatiku berontak! Andai waktu bisa kuputar seperti jam diniding yang sudah mati. Andai waktu itu aku dapat memberhentikan waktu dan memulainya lagi dari awal, sampai begitu saja seterusnya.

Aku iri pada langit yang tak pernah kehilangan awan, tak pernah kehilangan matahari dan bulan, begitu pun bintang. Aku iri pada pepohonan, yang tak pernah kehilangan daun, tak pernah kehilangan ranting begitu pun batangnya, yang tak pernah kehilangan akar sebagai jantungnya, kadang ia memiliki bunga yang cantik. Aku iri pada semesta yang tak pernah senyap.

Ya Allah maafkan aku yang tidak hentinya mengeluh.

“Alexa, ada Sally.” Ibu memanggil dari ruang makan.

Sally? Pagi-pagi begini mau apa dia? Aku keluar dari kamar dengan piama yang masih lusuh juga kaca mata yang terpasang agak miring. Aku menemui dia di meja makan dengan roti isi daging buatan Ibu di tangannya. Sally kebiasaan numpang sarapan!

“Al, kamu pokoknya buruan siap-siap ke kampus! Aku mau tunjukin kamu sesuatu.” Kata Sally dengan mulutnya yang penuh roti.

“Mau ada apa sih Sal? Bapak satpam juga baru bangun bobo jam segini mah.”

“Please banget ya Al jangan banyak tanya. Buruannn!” Sally bangun dari kursinya dan mendorongku menuju kamar mandi.

Sambil menggaruk-garuk kepala yang tidak gatal, aku menuruti maunya Sally. Aku tak menggubris apa yang dimaksud Sally. Masih melakukan aktivitas hari ini dengan normal. Sambil mendengar Sally dengan asyik bercerita kepada Ibu tentang kejadian kemarin malam di Café Coklat.

“Al, cepetan dong!” Sally mulai merajuk.

“Iya bawel!” Aku mengambil sepatu dan bergegas memakainya di depan pintu rumah. “Sal, hujan nih. Nanti aja ya. Kita kan nggak ada kelas hari ini.”

Sally menunjukkan muka masamnya. Hujan tiba-tiba deras membasahi aspal. Kalau Ibu Kota diguyur hujan, itu tandanya berkah datang. Gersang mulai sirna. Daun yang menguning sudah digantikan yang baru. Namun wajah sahabatku yang satu ini seperti tak ingin merasakan berkahnya. Ia mematung memperhatikan air yang ramai itu sambil harap-harap cemas oleh waktu.

Hujan kadang menjebak aku pada masa lalu atau simbol atas sebuah nostalgia yang seharusnya sudah terhapus oleh kaki-kaki yang lain. Temanku pernah bertanya, kenapa setiap kegalauan selalu diartikan dengan hujan? Pertama, aku menjawab dengan sebuah tawa singkat. Aku suka hujan, mereka bisa membuatku teduh dan damai oleh nyanyiannya. Iya, aku sebut dengan nyanyian hujan. Bukan tentang sebuah kegalauan saja, kataku. Hanya kenangan yang masih tersimpan rapi di memori dan saat hujan turun lalu hanya hati dan kepala yang menyatu, disitulah semua kejadian masa lalu terbuka kembali—nostalgia.

Ya ampun Alexa, hubungi Pak Andreas! Aku teringat bahwa hari ini honor sebagai penyanyi di Café Coklat akan turun.

“Sal, aku baru ingat kalau sore ini aku harus nyanyi di Café Coklat.”

Sally berbalik badan dan membelakangi hujan yang sedaritadi ia perhatikan. Dia menghampiriku dengan muka yang sumringah. “Nah! Kita ke kampus dulu, setelah itu aku antar kamu ke Café Coklat. Aku titip motor di rumah kamu ya Al. Kita naik taxi aja. OK?”

“Siap Bu boss!”

Dari balik kaca taxi aku memperhatikan rinaian gerimis terus menetes, membuat embun-embun yang menempel. Tanganku menopang dagu. Aku lebih suka diam dan menikmati gerimis. Kulihat beberapa anak jalanan yang bermain di kobangan air, suka-cita mereka menikmati anugerah Tuhan yang nikmatnya luar biasa. Sebagian lagi menjajakan jasa lap kaca mobil, sembari membersihkannya dengan sabun cuci. Sebagian lagi rela kuyup karena si empunya payung memayungi orang lain—ojek payung. Sebagian yang lainnya berteduh dengan pakaian badutnya.

Mungkin mentari sedang lelah berpijar hari ini. Mungkin langit ingin berdansa dengan tangisnya. Mungkin awan sedang berkumpul membicarakan sesuatu tentang bumi di kemudian hari. Mungkin langit tahu ada yang sedang bersedih, sehingga ia menutup kepedihan itu dengan berisiknya air yang turun dari atas. Atau mungkin, Tuhan ingin umat-Nya beristirahat sejenak dengan berdoa kepada-Nya, menangis di hadapan-Nya—di balik hujan. Mungkin..

Sesampainya di kampus, Sally menarik tanganku berlari menuju mading yang sudah dikerubuni para mahasiswanya. Ada nilai yang baru keluar ya? Rame banget. Sally membuka jalan untuk aku melihat sebenarnya apa yang sedang dibaca teman-teman kami itu.

“Sally, kenapa puisi aku bisa ditempel di sini?” tanyaku heran.

“Puisi kamu lolos audisi antar mahasiswa, Al! Uangnya lumayan loh Al, bisa buat nambah-nambah biaya praktek.”

“Duh, Sally.. tapi aku kan malu. Itu puisi kaya curahan hati aku aja. Nggak ada yang istimewa.”

“Dengerin aku ya Al, kamu itu punya bakat jangan disimpen sendiri. Kalau puisi kamu jelek, ngapain bisa lolos audisi gitu? Diomongin banyak orang juga, sampe nih ya Al ada yang jadiin puisi kamu itu display picture-nya. Ohiya satu lagi, kalau puisi kamu nggak bagus, kenapa majalah sastra itu yang dulu pernah kamu coba sampai berani majang puisi kamu dan membayarnya?”

“Udah ah, pokoknya aku nggak mau kalau kamu nyolong puisi aku kaya gini lagi. Apa pun alasannya, aku bakal marah.”

Semua orang yang sedang membaca mading tiba-tiba memperhatikan aku dengan wajah yang bertanya-tanya. Aku memang tidak popular di kampus, bahkan satu kelas pun ada yang tidak mengenalku. Mungkin karena aku jarang berkomunikasi dengan mereka, habis selesai jam kampus langsung kabur ke café buat nyanyi atau membantu Ibu di rumah atau ngerjain tugas kuliah atau..

Aku pergi meninggalkan mading itu, masih tak percaya bahwa salah satu karyaku lolos audisi perlombaan karya sastra antar mahasiswa. Padahal itu hanya curahan hati ala anak remaja, tidak ada yang spesial.

Gerimis masih enggan untuk padam. Aku dan Sally berjalan pelan menuju gerbang kampus untuk memberhentikan taxi yang akan membawaku ke Café Coklat. Belum sampai gerbang, seseorang memanggilku dari kejauhan. Suara bass yang sangat kukenal. Kami berdua menoleh ke belakang.

“Bram? Ada apa?” tanyaku.

Bramantio berhenti di hadapanku, ia tak berkata apa pun. Membuka tasnya dan mengeluarkan topi, kemudian memakaikannya di kepalaku dengan tiba-tiba. Aku menarik nafas karena ingin bertanya lagi tapi belum sempat mengeluarkan kata, ia membalap omonganku.

“Sorry kalau saya pakaikan kamu topi, tapi ini sedang hujan. Saya cuma mau protes sama penulis di blog ini, kenapa harus nama saya yang dipakai?” blog yang ditunjukkan Bramantio adalah milikku. Salah satu cerita lama yang ditulis di sana memakai namanya, tapi cerita itu kan aku buat sebelum mengenal Bram.

Bramantio hanya berkata seperti itu lalu kemudian meninggalkan kami berdua di tengah hujan. Juga topinya yang sekarang berada di atas kepalaku. Dia berjalan dengan pasti ke depan tanpa menoleh ke belakang dan dia tidak penasaran tentang penjelasanku atas nama di blog itu.

“Bram! Alexa mau nyanyi di Café Coklat sore ini. Datang ya!” Sally tiba-tiba berteriak.

Apa-apaan sih anak yang satu ini. Aku melanjutkan perjalanan, meninggalkan Sally yang masih berisik mengalahkan suara hujan berteriak ke arah Bramantio. Sally terus saja menggodaku tentang Bram. Aku sama sekali tidak memperdulikannya.

“Al, kamu seneng kan Bramantio perhatian sama kamu? Ayo ngaku.”

“Enggak!”

“Ah bohong kamu Al, buktinya topinya Bram masih kamu pakai, padahal ini kan sudah di dalam taxi.”

Oh iya aku lupa melepas topinya Bram, sial! Aku menengok ke arah Sally dan melepas topinya Bram. Sally tidak mau memberhentikan tawanya yang penuh dengan ledekan. Sesekali aku pukul ia dengan tas. Sampai di café Sally masih tertawa sambil mengeluarkan kata-kata ledekannya. Aku meninggalkannya ke kamar ganti untuk bergegas bernyanyi menghibur para pengunjung Café Coklat.

Aku memakai dress warna merah jambu dengan perpaduan biru tua dan sentuhan putih. Seperti biasa, kulepas kaca mata dan digantikan softlent yang warnanya serupa dengan bola mataku—cokelat.

[II]
Jangan melamun, sayang
Bilamana aku tak kunjung datang menemanimu
Kerlipan cahaya bintang akan menyambutmu dengan seksama
Jangan melamun, sayang
Bilamana gerimis memberimu dingin
Ingatlah aku yang lebih gigil tanpa pelukmu

“Hallo selamat sore para pengunjung Café Coklat yang berbahagia. Wah, Jakarta sedang hujan seharian ini. Makadari itu, saya akan menghangatkan kalian dengan lagu dan melodi dari sebuah penyanyi yang legendaris, Chrisye dan sudah di-recycle oleh Abdul The Coffee Theory, Untukmu.”

Adakah rindu kian melanda
Disaat jauh dari sisiku
Cintaku, kuingin selalu bersamamu
Sampai roda dunia tak berputar

Selesai tugas menghibur para pengunjung, aku seperti melihat ada sosok Bramantio terselip di keramaian. “Alexa, ke rungan Bapak sekarang ya.” Ah, rupanya tak ada waktu untuk memastikan apakah itu Bram atau bukan. Aku dan teman-teman band yang lain memasuki ruangan Bapak Andreas. Kami dibagikan honor.

Al, ada Bramantio. Kamu cepat ke sini ya.

“Kamu liat aku nyanyi tadi?”

“Saya ke sini cuma mau ambil topi. Jangan ke-pedean.”

“Ini topi kamu. Oh iya, kamu juga jangan ke-pe-de-an tentang blog saya ada nama kamu di sana karena cerita pendek itu saya buat jauh sebelum saya kenal sama kamu.”

Bramantio lagi-lagi tidak menggubris omonganku. Ia hanya mengambil topi dan langsung menaiki vespa modern-nya dan pergi—tanpa menoleh. Kamu adalah masa lalu Bram, tidak sepantasnya kamu hadir lagi bila hanya meninggalkan hujan lebat.

“Al, kamu baik-baik aja kan? Mulutmu itu bisa berbohong kapan pun kamu mau tapi matamu yang terlalu bagus itu tidak bisa berbohong walaupun hanya setetes seperti gerimis malam ini. Perasaan kamu sama Bram nggak pernah berubah kan, Al?”

[III]
Jangan melamun, sayang
Malam akan tetap gelap dan menakutkan
bila saja kau tak kunjung memejamkan mata
Pergilah tidur!

Akan kutaruh sayapmu yang diberi cuma-cuma 

2 komentar:

  1. ditunggu part 3 nya yah kak, ceritanya seru bikin penasaran kelanjutannya. semoga tetep mood bikin episode episode selanjutnya yah kak. (y)

    BalasHapus