“Aku kemakan omongan sendiri ya Al?”
“Hahaha.. Makanya kamu tuh emang udah cocok jadi designer.”
“Tapi kan katanya kalau mau sukses harus keluar dari comfort
zone-nya.”
“Iya tapi nggak semua harus seperti itu, Sally. Kalau kamu yakin
sama comfort zone-nya kamu, kenapa nggak? Sekarang terbukti kan.”
“Iya, OK, Alexa yang cantiknya masyaallah..”
“Haha apaan sih kamu Sal. Kamu tunggu di sini ya, aku mau cari
toilet umum dulu.”
Hal yang pertama aku tahu dari Ibu Kota adalah kerasnya beradaptasi,
tapi hal yang pertama aku rasakan dari Ibu Kota adalah nyamannya persahabatan—Sally.
Saat bosan aku menunggu kemacetan dari padatnya metromini, ada motor matic yang
mengajakku dengan klaksonnya untuk menyalip dari sela-sela puluhan roda—Sally. Dari
teriknya matahari yang seperti sejengkal di atas kepala, selalu ada dingin yang
tiba-tiba menempel di pipi, tentu membuat kaget tapi setelah itu tawa yang
menggelegar akan menyejukkan siangnya hari.
“Berapa, Pak?”
“Dua ribu sajalah neng.”
Dimana-mana jadi tukang jaga toilet saja emasnya berderet, ucapku
dalam hati. Kalau aku jadi juragan toilet di Jakarta, bisa sampai beli toko
emasnya kali ya? Haha.. harus aku ceritakan kepada Sally rencana gilaku ini!
Aku meninggalkan toilet umum itu sembari memikirkan hal yang sama,
menjadi juragan toilet di Jakarta. Kupercepat pergerakan kakiku, tak sabar
menceritakan kepada Sally. Tapi kakiku terhenti sejenak, ada suara yang
membuyarkan ide gilaku itu. Suara tangis yang terisak-isak dan bentakan yang
menembus sore ini.
“Jalan aja mbak, sudah biasa situasi di gang ini, memang seperti
itu.” Tiba-tiba ada yang menepak bahuku dari belakang. Lelaki tua yang
memainkan asap rokoknya ke udara, dengan terkadang tersangkut di hidungku,
setelah beres ucapannya dia pergi.
Bodohnya, aku membalikkan badan, menoleh ke sumber suara itu
berada. Dan, PRAK! Tamparan tangan itu membuat telingaku sakit. Kepalaku
terasa sangat sakit. Aku menutup ke dua telingaku, berusaha berjalan namun
sayang, lututku sudah mulai terasa lemas. Bersandar pada tembok-tembok yang
berbau lumut. Sally, cepat kesini, aku membutuhkan kamu, segera!
“Ya ampun, Alexa! Kamu kenapa? Ini pakai tisu, hidung kamu mimisan.
Sekarang kita ke dokter!”
Sally bergegas mencarikanku taxi. Kami berangkat menuju
rumah sakit yang biasa menanganiku. Aku masih menutup kedua telingaku dan Sally
terus membersihkan darah yang sulit berhenti dari hidungku. Pikiranku melayang
pada masa lalu, trauma yang kualami bertahun-tahun seperti sukar untuk
dilupakan dan bekasnya sangat terasa pada keadaan saat ini.
Seperti biasa, Ibu Kota dengan jam pulang kantor, yang padatnya
luar biasa. Di dalam taxi saat aku sudah mulai tenang, Sally pelan-pelan
bertanya apa yang terjadi.
“Harusnya tadi aku abaikan aja suara itu, Sal.. Ha.. rusnya..” aku
menjawab dengan terpenggal-penggal oleh tangisku—ketakutan.
“Pelan-pelan, Al. Tadi kamu lihat apa? Jangan takut Al, ada aku.”
Aku menarik nafas panjang, kutenangkan hati ini, kuatur nafas, “Tadi
aku lagi jalan keluar gang itu, terus aku dengar suara anak kecil nangis sama
bentakan suara laki-laki. Entah kenapa pikiranku kosong tiba-tiba. Pas banget
waktu aku nengok ke belakang.. pas banget waktu aku nengok.. laki-laki itu..
laki-laki itu nampar anak kecilnya.” Sesak sudah aku menceritakannya.
“Udah Al, udah lewat kok.” Sally menenangkanku. “Pak, tolong
dipercepat ya, kalau bisa cari jalan tikus aja biar lebih cepat ke rumah sakitnya.”
“Baik, mbak.” Kata Bapak supir taxi itu.
Keadaan masa lalu itu memang kejam, Al. Trauma yang sampai sekarang
kamu rasakan rasanya ingin kubakar habis-habis, agar kamu tenang dengan hidupmu
yang baru. Orang itu yang kamu panggil ‘Ayah’ rasanya ingin aku jebloskan ke
jeruji besi, andai kau mengizinkan, Al. Tapi aku tak tahu hatimu terbuat dari
mutiara atau embun pagi—kau masih memaafkannya.
“Nona Alexa Margaretha, silahkan masuk ke ruang dokter.”
Dokter menjelaskan tentang keadaan telingaku yang terhubung ke
syaraf otak. Aku sudah mulai tenang, apa pun katanya sudah biasa bagiku. Sally pun
mendengarkan dengan serius. Dokter Anna yang masih satu keluarga dengan Sally,
sangat membantuku, begitupun dengan biaya rumah sakit yang mahalnya kadang
tidak kira-kira. Aku hanya membayar obatnya, meskipun kata Dokter Anna semuanya
bisa gratis tapi aku tidak menerimanya. Sudah banyak Sally membantuku.
“Alexa, everything gonna be OK. Jangan takut, hapus semua memori
masa lalu yang bisa membuat sakitmu muncul lagi. Kamu bisa sembuh, Al. Kamu
harus tetap tenang. Jangan lupa minum vitaminnya ya sayang.” Kata Dokter Anna.
Tidak sampai dua jam kami menunggu antrian obat. Mimisan yang tadi
sempat merepotkan sudah tidak keluar lagi. Hanya saja jilbabku bertambah corak
merah yang mulai kecoklatan.
Sampai di pintu keluar rumah sakit, kami memberhentikan taxi di
pinggir jalan. Sally sudah menyebutkan alamat yang kita tuju—rumahku. Tapi aku
teringat sesuatu, “Sal, aku harus nyanyi di Café Coklat satu jam lagi. Ya
ampun aku bisa lupa gini.”
“Aduh, nggak deh Al. Kamu harus istirahat.”
“Aku udah baik-baik aja kok, Sal. Lagi pula aku udah bawa baju
gantinya di tas. Sal, plis izininin ya, aku harus bayar ujian praktek besok
lusa karena minggu depan aku sudah harus ujian.”
“Pakai uang aku aja dulu, Al.” Sally melihatku menggeleng-gelengkan
kepala. “OK, aku tahu kamu nggak akan mau dikasih bantuan. Tapi aku ikut liat
kamu nyanyi. Pak, kita ke Café Coklat ya.”
Malam itu, tepat pukul delapan, aku sudah berganti pakaian dengan make-up
seadanya menutupi pucat pasi akibat kejadian tadi sore. Sudah tugasku
menghibur para pengunjung Café Coklat. Karena hanya ini yang bisa
kulakukan untuk meringankan beban Ibu.
Suaraku yang tidak terlalu bagus, dengan mengambil nada-nada aman
agar fals-nya tidak terlalu terdengar oleh para pengunjung. Mungkin ada
baiknya aku bernyanyi lagu yang slow malam ini.
“Hallo, selamat malam. Selamat menikmati hidangan kami di café ini
dan saya akan berusaha menghibur kalian semua dengan suara yang apa adanya. Ini
dia Chrisye, Lilin Lilin Kecil”
Woooooo!! Alexa!! Yeaaayyy!
…
Engkau lilin-lilin kecil
Sanggupkah kau mengganti
Sanggupkah kau memberi seberkas cahaya
Engkau lilin-lilin kecil
Sanggupkah kau berpijar
Sanggupkah kau menyengat seisi dunia
…
PROK! PROK! PROK!
Semua orang berdiri dari bangkunya untuk bertepuk tangan kepadaku. Tak
terkecuali Sally yang terus bersorak ria. Aku sangat merasa terhibur dengan
mereka yang menyukai suaraku—dengan situasi ini. Setelah itu aku bernyanyi dua
lagu lagi. Lagu terakhir yang beraliran jazz membuat badan para
pengunjung bergoyang mengikuti irama musik.
“Wahh, Alexa kamu keren banget!”
“Sorry, boleh gabung di meja ini?” tiba-tiba seorang Bapak yang
sudah terlihat tua datang menghampiri kami. Dahi Sally sudah mengrenyit
menampakkan ketidaksukaannya. Tapi aku coba untuk membalas senyum.
“Begini, saya Andrea manager dari Purple Café, saya suka sama
karakter suara kamu yang terdengar ramah terhadap orang. Kalau kamu mau, saya
ada job yang sama, nyanyi. Ini kartu nama saya.” Bapak itu memberikan kartu
namanya.
“Boleh Pak, saya juga tidak setiap hari nyanyi disini. Mungkin ada
part-time lain yang bisa saya ambil. Besok atau lusa saya ke café Bapak.”
“Tapi begini Nona Alexa, saya sangat senang jika rambutmu terurai,
saya yakin kamu punya rambut yang sangat indah.”
“Wah, itu namanya penghinaan, Pak!” Sally naik pitam.
Hatiku miris mendengar ucapan terakhir Bapak itu. Rasanya aku yang
sudah sangat senang dengan tawaran pekerjaannya, harus sengaja dijatuhkan oleh
ucapan halusnya sampai-sampai menusuk duri. Sally memang tidak bisa menahan
amarahnya kalau-kalau ada yang menyakitiku atau dirinya sendiri. Mengapa
banyak orang yang menawarkan pekerjaan dengan harus menjual apa yang sebenarnya
wajib ditutup? Aku menjual suaraku, bukan tubuhku. Aku mencoba untuk tetap
tenang dan tersenyum.
“Oh begitu ya Pak? Kalau begitu dengan sangat saya sayangkan, saya
mohon maaf karena tidak bisa menjadi penyanyi di café Bapak. Ini kartu nama
Bapak saya kembalikan, terimakasih atas tawarannya, Pak.”
“Simpan saja kartu nama saya, siapa tahu kamu berubah pikiran. Gaji
yang saya tawarkan pasti lebih besar dari café ini.”
Sally langsung menarik tanganku keluar café, sepertinya dia
sudah tidak tahan dengan omongan Bapak Andrea tadi. Sepanjang jalan Sally terus
mengoceh, mengeluarkan amarahnya dan aku hanya tertawa di sampingnya. Sampai-sampai
kami menjadi pusat perhatian banyak orang. Tapi aku tak peduli—kami.
“Kamu tuh harusnya marah tau Al sama Bapak tadi. Dia udah
melecehkan kamu, masa kamu harus lepas jilbab kamu? Café Coklat aja mau nerima
kamu. Karena ya emang suara kamu bagus, iya kan, Al?”
“Terus.. kamu kapan mau hijrah pakai jilbab kaya aku, Sal?” aku
tersenyum kepada Sally.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar