Sabtu, 16 Juli 2016

Ibu Kota #part1

“Aku kemakan omongan sendiri ya Al?”

“Hahaha.. Makanya kamu tuh emang udah cocok jadi designer.”

“Tapi kan katanya kalau mau sukses harus keluar dari comfort zone-nya.”

“Iya tapi nggak semua harus seperti itu, Sally. Kalau kamu yakin sama comfort zone-nya kamu, kenapa nggak? Sekarang terbukti kan.”

“Iya, OK, Alexa yang cantiknya masyaallah..”

“Haha apaan sih kamu Sal. Kamu tunggu di sini ya, aku mau cari toilet umum dulu.”

Hal yang pertama aku tahu dari Ibu Kota adalah kerasnya beradaptasi, tapi hal yang pertama aku rasakan dari Ibu Kota adalah nyamannya persahabatan—Sally. Saat bosan aku menunggu kemacetan dari padatnya metromini, ada motor matic yang mengajakku dengan klaksonnya untuk menyalip dari sela-sela puluhan roda—Sally. Dari teriknya matahari yang seperti sejengkal di atas kepala, selalu ada dingin yang tiba-tiba menempel di pipi, tentu membuat kaget tapi setelah itu tawa yang menggelegar akan menyejukkan siangnya hari.

“Berapa, Pak?”

“Dua ribu sajalah neng.”

Dimana-mana jadi tukang jaga toilet saja emasnya berderet, ucapku dalam hati. Kalau aku jadi juragan toilet di Jakarta, bisa sampai beli toko emasnya kali ya? Haha.. harus aku ceritakan kepada Sally rencana gilaku ini!

Aku meninggalkan toilet umum itu sembari memikirkan hal yang sama, menjadi juragan toilet di Jakarta. Kupercepat pergerakan kakiku, tak sabar menceritakan kepada Sally. Tapi kakiku terhenti sejenak, ada suara yang membuyarkan ide gilaku itu. Suara tangis yang terisak-isak dan bentakan yang menembus sore ini.

“Jalan aja mbak, sudah biasa situasi di gang ini, memang seperti itu.” Tiba-tiba ada yang menepak bahuku dari belakang. Lelaki tua yang memainkan asap rokoknya ke udara, dengan terkadang tersangkut di hidungku, setelah beres ucapannya dia pergi.  

Bodohnya, aku membalikkan badan, menoleh ke sumber suara itu berada. Dan, PRAK! Tamparan tangan itu membuat telingaku sakit. Kepalaku terasa sangat sakit. Aku menutup ke dua telingaku, berusaha berjalan namun sayang, lututku sudah mulai terasa lemas. Bersandar pada tembok-tembok yang berbau lumut. Sally, cepat kesini, aku membutuhkan kamu, segera!

“Ya ampun, Alexa! Kamu kenapa? Ini pakai tisu, hidung kamu mimisan. Sekarang kita ke dokter!”

Sally bergegas mencarikanku taxi. Kami berangkat menuju rumah sakit yang biasa menanganiku. Aku masih menutup kedua telingaku dan Sally terus membersihkan darah yang sulit berhenti dari hidungku. Pikiranku melayang pada masa lalu, trauma yang kualami bertahun-tahun seperti sukar untuk dilupakan dan bekasnya sangat terasa pada keadaan saat ini.

Seperti biasa, Ibu Kota dengan jam pulang kantor, yang padatnya luar biasa. Di dalam taxi saat aku sudah mulai tenang, Sally pelan-pelan bertanya apa yang terjadi.

“Harusnya tadi aku abaikan aja suara itu, Sal.. Ha.. rusnya..” aku menjawab dengan terpenggal-penggal oleh tangisku—ketakutan.

“Pelan-pelan, Al. Tadi kamu lihat apa? Jangan takut Al, ada aku.”

Aku menarik nafas panjang, kutenangkan hati ini, kuatur nafas, “Tadi aku lagi jalan keluar gang itu, terus aku dengar suara anak kecil nangis sama bentakan suara laki-laki. Entah kenapa pikiranku kosong tiba-tiba. Pas banget waktu aku nengok ke belakang.. pas banget waktu aku nengok.. laki-laki itu.. laki-laki itu nampar anak kecilnya.” Sesak sudah aku menceritakannya.

“Udah Al, udah lewat kok.” Sally menenangkanku. “Pak, tolong dipercepat ya, kalau bisa cari jalan tikus aja biar lebih cepat ke rumah sakitnya.”

“Baik, mbak.” Kata Bapak supir taxi itu.

Keadaan masa lalu itu memang kejam, Al. Trauma yang sampai sekarang kamu rasakan rasanya ingin kubakar habis-habis, agar kamu tenang dengan hidupmu yang baru. Orang itu yang kamu panggil ‘Ayah’ rasanya ingin aku jebloskan ke jeruji besi, andai kau mengizinkan, Al. Tapi aku tak tahu hatimu terbuat dari mutiara atau embun pagi—kau masih memaafkannya.

“Nona Alexa Margaretha, silahkan masuk ke ruang dokter.”

Dokter menjelaskan tentang keadaan telingaku yang terhubung ke syaraf otak. Aku sudah mulai tenang, apa pun katanya sudah biasa bagiku. Sally pun mendengarkan dengan serius. Dokter Anna yang masih satu keluarga dengan Sally, sangat membantuku, begitupun dengan biaya rumah sakit yang mahalnya kadang tidak kira-kira. Aku hanya membayar obatnya, meskipun kata Dokter Anna semuanya bisa gratis tapi aku tidak menerimanya. Sudah banyak Sally membantuku.

“Alexa, everything gonna be OK. Jangan takut, hapus semua memori masa lalu yang bisa membuat sakitmu muncul lagi. Kamu bisa sembuh, Al. Kamu harus tetap tenang. Jangan lupa minum vitaminnya ya sayang.” Kata Dokter Anna.

Tidak sampai dua jam kami menunggu antrian obat. Mimisan yang tadi sempat merepotkan sudah tidak keluar lagi. Hanya saja jilbabku bertambah corak merah yang mulai kecoklatan.

Sampai di pintu keluar rumah sakit, kami memberhentikan taxi di pinggir jalan. Sally sudah menyebutkan alamat yang kita tuju—rumahku. Tapi aku teringat sesuatu, “Sal, aku harus nyanyi di Café Coklat satu jam lagi. Ya ampun aku bisa lupa gini.”

“Aduh, nggak deh Al. Kamu harus istirahat.”

“Aku udah baik-baik aja kok, Sal. Lagi pula aku udah bawa baju gantinya di tas. Sal, plis izininin ya, aku harus bayar ujian praktek besok lusa karena minggu depan aku sudah harus ujian.”

“Pakai uang aku aja dulu, Al.” Sally melihatku menggeleng-gelengkan kepala. “OK, aku tahu kamu nggak akan mau dikasih bantuan. Tapi aku ikut liat kamu nyanyi. Pak, kita ke Café Coklat ya.”

Malam itu, tepat pukul delapan, aku sudah berganti pakaian dengan make-up seadanya menutupi pucat pasi akibat kejadian tadi sore. Sudah tugasku menghibur para pengunjung Café Coklat. Karena hanya ini yang bisa kulakukan untuk meringankan beban Ibu.

Suaraku yang tidak terlalu bagus, dengan mengambil nada-nada aman agar fals-nya tidak terlalu terdengar oleh para pengunjung. Mungkin ada baiknya aku bernyanyi lagu yang slow malam ini.

“Hallo, selamat malam. Selamat menikmati hidangan kami di café ini dan saya akan berusaha menghibur kalian semua dengan suara yang apa adanya. Ini dia Chrisye, Lilin Lilin Kecil”

Woooooo!! Alexa!! Yeaaayyy!

 
Engkau lilin-lilin kecil
Sanggupkah kau mengganti
Sanggupkah kau memberi seberkas cahaya
Engkau lilin-lilin kecil
Sanggupkah kau berpijar
Sanggupkah kau menyengat seisi dunia

PROK! PROK! PROK!

Semua orang berdiri dari bangkunya untuk bertepuk tangan kepadaku. Tak terkecuali Sally yang terus bersorak ria. Aku sangat merasa terhibur dengan mereka yang menyukai suaraku—dengan situasi ini. Setelah itu aku bernyanyi dua lagu lagi. Lagu terakhir yang beraliran jazz membuat badan para pengunjung bergoyang mengikuti irama musik.

“Wahh, Alexa kamu keren banget!”

“Sorry, boleh gabung di meja ini?” tiba-tiba seorang Bapak yang sudah terlihat tua datang menghampiri kami. Dahi Sally sudah mengrenyit menampakkan ketidaksukaannya. Tapi aku coba untuk membalas senyum.

“Begini, saya Andrea manager dari Purple Café, saya suka sama karakter suara kamu yang terdengar ramah terhadap orang. Kalau kamu mau, saya ada job yang sama, nyanyi. Ini kartu nama saya.” Bapak itu memberikan kartu namanya.

“Boleh Pak, saya juga tidak setiap hari nyanyi disini. Mungkin ada part-time lain yang bisa saya ambil. Besok atau lusa saya ke café Bapak.”

“Tapi begini Nona Alexa, saya sangat senang jika rambutmu terurai, saya yakin kamu punya rambut yang sangat indah.”

“Wah, itu namanya penghinaan, Pak!” Sally naik pitam.

Hatiku miris mendengar ucapan terakhir Bapak itu. Rasanya aku yang sudah sangat senang dengan tawaran pekerjaannya, harus sengaja dijatuhkan oleh ucapan halusnya sampai-sampai menusuk duri. Sally memang tidak bisa menahan amarahnya kalau-kalau ada yang menyakitiku atau dirinya sendiri. Mengapa banyak orang yang menawarkan pekerjaan dengan harus menjual apa yang sebenarnya wajib ditutup? Aku menjual suaraku, bukan tubuhku. Aku mencoba untuk tetap tenang dan tersenyum.

“Oh begitu ya Pak? Kalau begitu dengan sangat saya sayangkan, saya mohon maaf karena tidak bisa menjadi penyanyi di café Bapak. Ini kartu nama Bapak saya kembalikan, terimakasih atas tawarannya, Pak.”

“Simpan saja kartu nama saya, siapa tahu kamu berubah pikiran. Gaji yang saya tawarkan pasti lebih besar dari café ini.”

Sally langsung menarik tanganku keluar café, sepertinya dia sudah tidak tahan dengan omongan Bapak Andrea tadi. Sepanjang jalan Sally terus mengoceh, mengeluarkan amarahnya dan aku hanya tertawa di sampingnya. Sampai-sampai kami menjadi pusat perhatian banyak orang. Tapi aku tak peduli—kami.

“Kamu tuh harusnya marah tau Al sama Bapak tadi. Dia udah melecehkan kamu, masa kamu harus lepas jilbab kamu? Café Coklat aja mau nerima kamu. Karena ya emang suara kamu bagus, iya kan, Al?”


“Terus.. kamu kapan mau hijrah pakai jilbab kaya aku, Sal?” aku tersenyum kepada Sally. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar