Senin, 13 Juni 2016

Kupu-Kupu

Ada banyak hal yang memang harus dipikirkan. Semakin bertambah usia itu tandanya semakin banyak masalah yang akan datang, pergi dan silih-berganti. Begitulah aku yang selalu merindukan malam sebagai tempat mengadu saat orang-orang merajut mimpi. Ah, mimpi! Hanya ulasan bunga tidur yang indah tapi tak pernah jadi nyata. Untuk apa? Aku tak terbiasa untuk tidur sesore ini—pukul dua dini hari. Menghabiskan waktu di kamar dengan puluhan komik-komik terjadul sampai modern. Aku tak terlalu ambil pusing dengan urusan dunia, sudah cukup semrawut di masa lalu, jika masa sekarang tetap sama saja, itu urusan mereka bukan urusanku.

“Sudah Mas bilang, berhenti bekerja! Mana boleh seorang isteri keluyuran malam-malam?!”

“Aku juga bekerja demi keluarga, Mas. De..”

“Bantah aja terus apa kata suami!”

Embun-embun pagi yang masih sejuk di pucuk dedaunan pun satu persatu gugur. Seperti berlari mendengar kegaduhan yang mengusik pendengaran mereka. Sepagi ini, seharusnya ada sarapan yang manis menunggu di meja makan. Bahkan keluar kamar pun aku sungguh tak berselera. Untuk yang pertama kalinya aku diam. Mungkin bertengkar adalah hal yang menyenangkan untuk mereka.

Kuambil handuk lalu pergi ke kamar mandi. Sambil kudengar kata demi kata sahut-menyahut membentuk gelombang kebencian dalam dada. Mungkin tertulis dendam di sana. Sunnguh, aku tak peduli—belajar untuk tidak peduli.

Keluar dari kamar mandi, aku melihat Ibu terduduk di meja makan, tangannya mengepal menahan amarah, wajahnya sayu dengan make-up yang mulai menipis. Aku tak menegurnya, rasanya tak ingin. Lidahku kelu, mulutku tak ingin lagi berkomentar apa pun, sudahlah. Aku bergegas merapikan pakaianku dan pergi ke kampus. Sebuta ini, pukul setengah enam. Aku tak peduli yang penting akmelupakan, secepatnya.

Tak ada sarapan di meja makan, bukan karena tak ada makanan, tapi tak ada selera. Terpaksa aku mengambil tempat bekal dengan berisikan dua helai roti juga selainya. Dengan sesekali melirik Ibu tanpa bersuara. Wajahnya masih tertunduk, sambil terkadang isakan dari hidungnya terdengar pelan.

“Bu, aku pamit ke kampus.”

Kepala Ibu terangkat, menampakkan kedua mata yang agak merah, “berangkat sama Ibu aja, sekalian berangkat ke kantor.”

“Aku naik sepeda aja, bu. Ibu hati-hati di jalan.”

Udara pagi dengan kebebasan sejenak dapat kurasakan penuh kedamaian, setidaknya guncangan tadi subuh dapat kukeluarkan perlahan-lahan. Aku ingin melupakan semua kepedihan. Kukayuh pedal sepeda, anggap saja tenagaku adalah bentuk emosi yang kutekan untuk dihilangkan.

Sampai di kampus. Perjalananku tidak lama, hanya setengah jam dari rumah. Disambut oleh tukang sapu, seorang bapak tua dengan seragam orange itu serius menyatukan dedauanan yang berserakan dan memasukkannya ke dalam tempat sampah. Aku berteduh di bawah pohon rindang sambil memperhatikan ia. Dalam benakku tersirat, apa dia menikmati hidupnya? Aku yakin gajinya sangat pas-pasan untuk semua anggota keluarganya. Tapi mengapa seperti tak ada keluh? Atau ia hanya pandai menyembunyikan?

Bapak tukang sapu itu berhenti sejenak. Ia rehat lalu membuka bungkusan nasi. Aku menghampirinya, duduk di sebelahnya, “Pak, boleh sarapan bareng kan?”

Bapak itu tertawa mendengar ucapanku barusan, “Kamu ada urusan apa toh ndok dengan bapak? Ada tugas kuliah yang harus mewawancarai tukang sapu? Sampai-sampai rela tidak makan di rumah bersama keluargamu.”

Aku tak menggubris pertanyaan bapak itu. Seakan tak mendengar apa pun karena kalau dilanjutkan, hanya akan ada luka yang muncul ke permukaan. Aku sarapan bersamanya, kulihat ia makan dengan lahap, aku tersenyum. Rotiku habis begitu pun nasi bungkus bapak tua itu.

“Hidup itu takdir yang menentukan. Kita ndak bisa memilih mau ditakdirkan seperti apa, yang jelas kalau kita sedang tertimpa masalah itu tandanya gusti Allah tahu bahwa kita bisa menghadapi masalah itu. Anggap saja itu tugas yang harus kita selesaikan dengan baik. Iya toh ndok?” jelas bapak tukang sapu itu di akhiri dengan senyum tiga jarinya.

Sehabis sarapan, kami berbicang dari obrolan ringan hingga politik di Negara ini. kadang tertawa oleh guyonan Bapak tua itu. Jangan kan tawanya, senyumnya pun terlihat lucu karena gigi bagian depannya sudah tumbang termakan usia. Bapak tua itu dengan mudah mengajariku bagaimana caranya bahagia dengan murah—sederhana.

“Di dunia ini semua hal dengan mudah bisa ditukar dengan uang, ndok. Tapi ada satu yang sangat mahal, sampai-sampai dollar pun tak dapat menukarnya, yaitu tertawa.”

Teman-temanku berdatangan satu persatu. Yang tak mengenalku, mereka melewati kami dengan muka aneh. Mungkin karena aku terlalu dekat dengan Bapak tukang sapu ini.

“Bella!” seorang wanita memanggilku dari kejauhan. Di sampingnya ada seorang pria. Mereka teman-teman sekelasku. Aku melambaikan tangan kepada mereka. Berpamitan kepada bapak itu dan berlari menuju Adel dan Dio.

Kami bertiga duduk di taman sebelum kelas dimulai. Dio memainkan gitarnya yang selalu ia bawa kemana-mana. Sambil mendengarkan pembicaraanku kepada Bella tentang beberapa pria yang sedang mendekatiku belakangan ini.

“Bel, ada yang nanyain kamu lagi tuh. Ya ampun Bella kenapa sih enggak ada yang kamu terima aja? Jomblo terus enggak bosen?” ledek Adel.

“Haha.. kalau kamu mau ya ambil aja Del. Aku cuma anggap mereka sebagai teman biasa.”

“Aduh batu banget nih orang. Nanti lama-lama kamu kaya si Dio tuh yang enggak bisa move on dari pacarnya yang dulu.”

“Jomblo aja milih-milih sih, hahaha.” Tiba-tiba Dio angkat suara. Wajahku menggeram, kalau aku mau pacaran juga enggak akan jomblo sampai sekarang, Dio!

“Dio asal kamu tahu ya si Bella tuh malah ngajak main get rich semua laki-laki yang suka sama dia. Aduh beneran gila tuh orang.”

“Hahaha, biar nanti reuni akbar, Del.” Aku tertawa kencang karena ucapan Adel. Dio pun ikut tertawa kecil sambil tak lepas dari permainan gitarnya.

Pembicaraan kami mulai mengirit karena kehabisan topik. Hari ini aku tak banyak meladeni ledekan Dio ataupun Adel. Kelas dimulai, dalam bayanganku di depan papan tulis hanyalah wajah ketegangan di antara Ibu dan Ayah. Meski kata Ibu, tak usah dipikirkan, tapi apa bisa? Tentu saja tidak!

Hanya ada satu mata kuliah di hari ini, Rasanya waktu begitu cepat berlalu, aku masih tak ingin pulang ke rumah—aku benci suasananya. Adel sudah dijemput Ayahnya, mereka ingin makan siang bersama. Tersisa Dio di sampingku. Dia menatapku sesekali, terheran dengan wajahku yang tak riang seperti biasanya.

“Tadi ngobrol apa aja sama Pak Naryo?” Dio membuka pembicaraan.

“Pak Naryo siapa?” tanyaku heran.

“Bapak tukang sapu itu, namanya Pak Naryo. Kamu bukannya asyik banget ngobrol sama dia tadi? Namanya aja enggak tahu.”

“Hehe.. mana aku tahu. Udah ah, kamu kepo. Aku nggak suka sama orang kepo.”

Aku pergi meninggalkan Dio seorang diri, ke tempat parkiran sepeda. Dia mengikutiku dari belakang. Dia juga pengguna sepeda sama sepertiku.

“Ikut aku yuk! Kita main timezone, aku yang bayarin.” Ajak Dio.

Dengan cepat aku menganggukkan kepala. Kami mengayuh sepeda dengan satu jalan. Aku di depan dan Dio mengikutiku dari belakang—menjagaku. Sesekali ia menyusul ke arah sayap kanan, menjahili sepedaku, menendangnya dengan pelan lalu saat keseimbanganku sedikit hilang, dia tertawa. Aku membalasnya tapi tak selincah Dio mengerjaiku. Yang kulakukan hanya bisa teriak memanggil namanya di jalanan, tak peduli orang-orang sekitar memperhatikan kami, mungkin hanya aku.

Sesampainya di mall, kami langsung bermain timezone. Dio membersihkan otakku dari kesedihan tadi pagi. Waktu yang telah berjalan membuatku tersenyum. Kami bermain sepuasnya, seperti anak kecil. Namun itulah yang terjadi, aku menyukai keadaan ini. aku terjebak oleh rantai senyumnya, Dio.

“Pulang yuk, aku antar sampai rumah. Maaf ya cuma bisa ngajak kamu main sebentar, aku harus kerja nanti malam.”

Aku tersenyum kepadanya. Dio memang pekerja keras. Dia sebatang kara di Ibu Kota ini. Dia bekerja sambilan untuk membiayai kuliahnya sendiri dan keperluan lainnya yang dibutuhkan. Aku jalan duluan di depannya. Dio tersenyum di belakangku sambil sesekali mengusap kepala belakangnya.

Malam lagi. Ini dia momen paling kutunggu, bersama seorang laki-laki yang menjagaku dalam gelap. Bahkan bintang pun mengiringi langkah kami. Sabitnya bulan bukan lagi rahasia, melainkan senyumnya memancar ke seluruh dunia, pertanda bahwa dewi cinta sedang bersiap untuk melambungkan anak panahnya.

Kami berjalan mendorong sepeda, beriringan menerobos dingin. Namun lagi-lagi tawa yang menghangatkan tubuh menggigil ini. lalu kita sempat terjebak suasana, kikuk mulai merajalela, kami terapit oleh kata. Ah, ia malu untuk diutarakan.

***
TRANG!

Suara gaduh apa lagi yang terdengar dari luar pagar? Haruskah tak kunjung selesai? Apa api itu terlalu besar untuk dipadamkan? Ya Tuhan, maafkan aku karena kali ini aku tak mampu menahan emosi. Air mataku mengalir dari pelupuk mata. Kedua tanganku mengepal sangat keras. Aku marah pada angin yang terlalu kuat membekukan hati mereka. Aku kecewa terhadap hujan yang tak mampu memdamkan amarah mereka. Aku sangat marah terhadap diriku sendiri yang begitu pengecut karena rasa lelahku!

“Dio, kamu pulang sekarang aja ya. Maaf aku nggak ngajak kamu masuk ke rumah. Makasih untuk hari ini.” suaraku parau, mengatakan tanpa melihat ke arahnya sedikit pun.

“Bel, tapi kamu yakin? Aku temani kamu sampai ke dalam rumah ya.” Dio menyenderkan sepedanya, menggenggam tanganku dan mengajakku masuk ke dalam rumah.

Aku menahannya, aku menggenggam tangannya erat melebihi dirinya. Aku mengatur napas untuk berbicara kepadanya, “Dio, temani aku dalam tangisku, aku mohon.”

Kami berdua duduk di pendopo rumahku. Aku menangis tersedu-sedu, melegakan semua beban yang sudah lama terpendam. Dio hanya memperhatikanku lekat-lekat. Aku tak kunjung mengeluarkan omongan. Aku hanya butuh teman untuk menangis.

Tiba-tiba Dio bersandar, dia tersenyum kepadaku. Lalu ia tertawa kecil. Aku terheran, wajahku menoleh kepadanya, isak tangisku perlahan terhenti, “kenapa kamu malah tertawa?”

“Aku bahagia aja bisa nemenin kamu nangis. Kamu adalah orang yang susah banget buat cerita sama aku, tapi sekarang kamu nangis di depan aku. Itu tandanya kamu nyaman.” Ujar Dio.

Dahiku mengerenyit.

“Kamu tahu enggak Bel, kupu-kupu, ia bisa terlihat indah itu butuh proses. Dari ulat yang ditakutkan banyak orang sampai seekor kupu-kupu yang sangat cantik dan di kejar banyak orang. Berproses karena waktu. Begitu juga dengan kita, berproses dengan waktu. Mungkin Tuhan mentakdirkan hari ini untuk memberanikan diriku menemani tangismu, memoles luka yang tak pernah sembuh. Begitu juga sama hidup kamu Bel, kamu hanya perlu bersabar untuk berproses menjadi kupu-kupu yang indah.”

“Bel, ada aku. Jangan pernah berpikir kalau kamu sendiri. Aku akan jaga kamu untuk menjadi kupu-kupu yang sangat istimewa. Jangan nangis lagi ya.”

Sejak saat itu, dia berhasil membawaku jatuh lebih dalam saat menatap kedua matanya. Sabit pun muncul kembali—bibirku—senyumku.

“Bel, aku mau bilang sesuatu.”

“Apa?”


“Muka kamu merah padam.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar