Minggu, 29 Mei 2016

Purnama

Sepagi ini, dingin sudah menusuk tulang rusuk, menyelinap di antara yang lain, menetap dan merayap menjulur ke seluruh tubuh. Bahkan matahari tak ingin muncul ke hadapan, ia tidak suka dengan wajah yang masam. Semua berantakan, hancur, bukan saja penampilan tapi hati, mungkin hidup. Aku tertampar oleh keadaan, yang paling menakutkan adalah merasa sepi dalam keramaian.

Aku terdampar di pelataran kelas. Petakan ubin yang tersusun rapi, lalu lalang beribu pasang kaki, angin yang begitu lembut membelai helaian rambut yang terurai. Entahlah, bahkan kicauan burung pun tak mampu menghibur lara hati atau pohon yang menari-nari tak dapat menghibur diri. Keputusasaan telah menepi.

Ah, aku tak pernah seputusasa ini! Suara yang terdesak itu terus mengiang di telinga. Cukup! Biarkan aku bebas bersama duniaku. Ya Tuhan, selama ini aku sudah banyak mengalah, aku ingin pergi tapi rantai ini sungguh mengikat.

“Sendirian aja Mas, ngeliatin apa sih?” Wanita ini, tiba-tiba datang tanpa diundang. Seakan tahu bahwa duka sedang memelukku. Wanita ini, yang cantiknya tak dibisa dilihat dengan hanya mata telanjang.

“Ngeliatin daun yang gerak-gerak kena angin.”

“Kenapa sedih gitu sih mukanya? Cerita dong.. biasanya aku yang sering cerita, sekarang gantian.”

Aku hanya menoleh ke arahnya, menunjukkan wajah tanpa ekspresi. “Oops! Yaudah nggak usah dijawab. Kita main tebak-tebakan aja ya.” Nona, dia sudah tahu apa yang harus dilakukan untuk menanggapi semua kelakuanku, tanpa harus kuberitahu.

“Coba tebak, bintang, bintang apa yang nggak ada di langit?” tebakan pertama darinya sambil tersenyum lebar.

“Bintang jatuh.” Jawabku singkat.

“Salah. Jawabannya bintang iklan, bintang film, hahahaha.. payah nih kamu, Vin.” Dan, wanita ini juga yang selalu menunjukkan candanya. Berusaha menghibur meskipun sebenarnya tidak terlalu lucu tapi itulah yang membuatku tertawa—ketidaklucuannya.

Nona duduk di sampingku, dia ikut terdiam. Sesekali mencuri pandang, aku tak membalas tatapannya tapi aku tahu dia menatapku—khawatir. Maafkan aku Nona, aku diam seribu bahasa, bukan aku tak menganggapmu ada tapi hanya saja aku sedang terbelenggu oleh kepenatan rumah, maafkan aku.

“Vin, aku baru ingat, ada pertunjukkan band kampus di aula. Kita nonton aja yuk? Dari pada di sini.” Ajak Nona.

Aku belum berkata iya tapi Nona sudah menarik tanganku dan kami berlari kecil menuju aula kampus. Duduk di tengah-tengah penonton yang mulai ramai. Band kampus kami memang sudah terkenal dan telah menjuarai beberapa kompetisi antar-mahasiswa. Nona dan aku sangat senang dengan musik. Terkadang, kami menonton konser sampai tengah malam.

Untuk hari ini, pertama kalinya aku benar-benar tidak fokus untuk menonton band kampus, aku sibuk melihat wajah Nona yang kepalanya mengangguk-angguk mengikuti irama lagu. Seketika aku tersadar dari mimpi buruk di pagi hari tadi, ada keteduhan di wajah Nona, ya, aku merasakannya. Bibirku mulai tersenyum melihat kesederhanaannya.

Konser telah usai. Satu persatu para penonton meninggalkan kursinya. Namun aku dan Nona masih duduk di tempat yang sama. Nona masih sibuk menceritakan perasaannya saat menikmati lagu demi lagu yang dibawakan tadi.

“Nona, could you stop talking?”

“Yups, sorry.”

“Never mind, Nona. Aku hanya ingin bercerita kepadamu, apa kamu mau mendengarkannya?”

Nona menganggukkan kepalanya. Membenarkan posisi duduknya yang menghadap langsung ke arahku. Matanya yang cokelat sedang berbinar, menunggu ceritaku. “Kamu masih ingat tentang keluargaku, kan? Aku sudah mengambil keputusan. Aku akan mengambil tawaran dari tanteku untuk kuliah di Jerman. Aku ingin keluar dari rumah, Nona. Aku ingin pergi tapi aku janji, aku akan kembali setelah sukses nanti.”

Nona tersenyum melihatku. Tangannya seketika menyentuh wajahku, mengusapnya lembut, dan ini pertama kali aku merasakan hangatnya. Aku raih jemarinya, kuturunkan dari wajah, aku menggenggam tangannya, erat. “Alvin, apa pun yang terbaik buat kamu, pergilah. Aku percaya kamu akan menjadi seorang yang sukses dengan jalanmu. Aku di sini dengan doaku yang tak pernah putus untukmu.”

“Kenapa kamu selalu ada buat aku? Kamu kaya matahari yang selalu bisa buat aku melalui hari. Meskipun aku sendiri lelah dengan semua kehidupanku. Kalau aku selalu memakai topeng setiap bertemu orang lain, tapi sama kamu, aku bisa apa adanya. Bahkan kamu nggak pernah nyerah buat aku tersenyum lagi.’

“Vin, kenapa kamu baru menyadari itu sekarang? Aku selalu bersinar tapi kamu yang selalu mencari awan sebagai tempat berlindung dari cahayaku. Lalu, aku memutuskan untuk menjadi bayanganmu, yang tak pernah marah meski saat kau injak tapi sebenarnya tetap mengikuti kemana pun jejak langkahmu.”

“Semua ini butuh waktu, Nona. Dan mungkin hari ini adalah saatnya.”

“Waktu hanya bisa membawa ragamu, tapi tidak dengan jiwamu. Jangan memaksa untuk mencintaiku. Kamu tahu purnama? Ia bisa bersinar karena ada langit yang gelap. Aku ingin menjadi langit malammu, agar sinarmu bisa terlihat pesonanya. Itu jawabanku, sederhana.”

Selalu kata-katamu yang membuatku tenang. Maafkan aku yang terlalu angkuh atas rasa yang sebenarnya ada. Aku terlalu takut untuk mengungkapkan.

“Nona, aku punya tebak-tebakkan. Bintang, bintang apa yang nggak ada di langit?”

“Bintang iklan, bintang film.”

Aku menoleh ke arah Nona, menggelengkan kepala, “kamu.”.


Purnama, kau bersedia menjadi malam agar aku bersinar. Seperti katamu, di balik kesuksesan seorang pria pasti ada wanita yang hebat di belakangnya—Nona. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar