Sabtu, 16 April 2016

Aku Hanya Tukang Tinta (Cerpen)

Bukan penulis namanya jika belum menceritakan tentangmu. Bukan penulis namanya jika belum berkhayal tentangmu. Bukan penulis namanya jika belum menuliskan pesonamu. Bukan penulis namanya jika belum berpuisi keistimewaanmu.

Waktu sangat cepat meninggalkan bayang, saat semua begitu terasa kutinggalkan tetap aku harus mengalah—semua akan berpisah meninggalkan kenangan yang tidak akan usang oleh debu sekalipun. Beribu masalah yang kita hadapi bersama kini harus difikirkan sendiri—semua akan berakhir.

Empat tahun bukan waktu yang singkat untuk aku bertahan berdiri di hadapanmu, dengan gagah penuh senyum. Atau memendam kepalsuan karena kamu begitu istimewa untuk diceritakan. Kau selalu bertanya, siapa yang begitu beruntung untuk kamu deskripsikan lewat rasa yang tersirat dalam sebuah puisi? Bahkan kamu begitu buta dengan pertanyaanmu.

Aku selalu mengalihkan pertanyaanmu itu dengan candaan sederhana, sehingga kamu lupa dengan tawamu. Aku bahagia bisa membuatmu tertawa. Dan sampai saat ini aku adalah buku harianmu—mengisahkan sosok bidadari yang entah dimana ia berada namun telah membuatmu jatuh hati berkali-kali. Inilah aku, malaikatmu yang selalu dicari. Inilah aku, pundak milikmu untuk bersandar. Inilah aku, sebenar-benar rumahmu—bukan untuk membuat hatimu pilu tapi membuat hatimu tenang. Inilah aku, wanita yang takkan pernah menjadi cantik oleh make-up.

“Diana, kenapa kamu suka banget bikin puisi tentang pria itu? Bahkan aku belum tahu siapa dia.” Topik pembicaraan yang dibuka Tono.

“Hmm.. kenapa ya? Hehe.. Dia itu sangat istimewa, aku juga nggak tahu cinta buta apa yang lagi aku rasain sekarang. Orang kaya dia sayang kalau nggak dijadiin materi puisi yang romantis. Aku nggak akan membiarkan dia hanya menjadi serpihan kata yang berserakan. Dan aku selalu berharap setiap puisi yang aku tulis bisa membuat dia tersenyum dan bangun dari tundukan kepalanya. Ya anggap saja aku lagi merayu dia. Sebenarnya, kamu tahu orang itu siapa, dekat banget sama kamu, Ton.”

“Dekat banget? Berapa jengkal? Atau berapa millimeter? Hahaha.”

Kami yang sedang duduk berdua di lorong kelas yang lumayan besar, menatap laptop yang memandangi tugas skripsi. Sudah hampir empat tahun dan kami sudah berjanji untuk lulus dengan tepat waktu. Setelah itu, kami akan melanjutkan hidup masing-masing—aku harap kita bersama.

Aku beranjak dari duduk, membenarkan tulang-tulang punggung yang hampir bengkok akibat terlalu lama menunduk ke arah laptop. Sedikit meregangkan badan, menarik tangan ke atas. Sedangkan Tono masih asyik dengan ketikan jemarinya yang beradu pada keyboard. Aku keluar sebentar untuk membeli makanan ringan.

Bukan penulis namanya jika aku hanya membiarkanmu memiliki hitam kelabu, padahal aku tahu warna dalam hatimu begitu indah mengalahkan cakrawala di ujung petang.

Rasakan semua belaian jemari yang tak halus karena selalu berkutik dengan pena. Rasakan semua tatap harapam yang mengalir dalam sanubarimu. Rasakan semua setiap nada sumbang yang kulantunkan untuk menyentuh hatimu.

“Tono, udah dulu ngerjainnya. Makan dulu nih.”

“Ok Diana! Oh iya, kamu mau bantuin aku nggak?” tanyanya. Aku mengangguk singkat sambil membuka makanan yang baru saja kubeli. “Gantiin perban tangan aku ya? Susah kalau sendiri, aku bawa obatnya juga kok.”

“Oh yang kemarin lusa keserempet mobil itu ya? Sini aku bantuin.”

Luka di tangan Tono memang tidak terlalu besar tapi cukup serius. Tono bersandar pada dinding yang mulai terasa dingin akibat AC. Aku mencoba untuk membuka perbannya perlahan-lahan, dibersihkan dengan alcohol lalu kubiarkan kering terlebih dahulu, setelah itu kutetesi obat merah di area luka dan sekitarnya. Kubalut lagi dengan perban yang baru, dirapikan agar tidak terlihat kumal.

“Selesai!” suaraku sedikit berteriak dan mengangkat kepala menatap Tono namun ia sudah terlelap dalam tidurnya, mungkin saat kubuka perbannya, dia cukup lelah dengan skripsinya. “Hmm! Makanya hati-hati kalau nyebrang jalan, Tono. Tidur yang nyenyak ya, nanti aku bangunin kalau hari sudah sore.” Aku berbicara sendiri di depan Tono sambil kuusap tangannya yang luka dibalut perban, pelan-pelan.

“Tataplah diriku disini masih seperti yang dulu.. satu yang tak bisa lepas percayalah hanya kau yang mampu mencuri hatiku, aku pun tak mengerti..” (Andien – Satu yang Tak Bisa Lepas) aku bersenandung lirih sambil kembali pada laptopku.

Laguku berhenti sejenak menatap Tono yang tiba-tiba bangun dari tidurnya dan melanjutkan lagu yang sama, sambil tersenyum kecil menatapku. “..Satu yang tak bisa lepas bawalah kembali jiwa yang luka dan perasaan yang lemah ini menyentuh sendiriku.”

Aku tahu hanya lagu kita yang sama. Apa kabar dia yang selalu kamu ceritakan? Ah, aku selalu menunggu cerita-cerita baru yang ingin kau sampaikan—tentang dirinya. Atau mungkin kau sudah tidak selera untuk menceritakannya? Apa mungkin kau sudah tak selera untuk mengingatnya? Jawabannya ada pada dirimu.

Lalu rasakanlah setiap tangan ini menjagamu dalam diam. Perjalananmu adalah teka-teki kosong yang sekedar harap lalu hilang. aku tak ingin memilikimu, maka biarkanlah kamu yang memiliki. Naïf, aku hanya tersenyum untukmu. Meski aku hampir tenggelam di tengah lautan. Bukan penulis namanya jika tidak bisa menyimpan dalam kepalsuan mata. Penulis amatiran ini hanya sanggup memeluk bayangmu.

Semua fikiran dan tatap mata terfokus pada tulisan yang ada di layar kaca. Sesekali bertanya singkat tentang kalimat yang tak dimengerti. Dahaga yang haus membuat tangan meraba teh hangat dan secangkir kopi hitam—sesekali bertukar minuman.

Tiba-tiba ­e-mail masuk dari kedua laptop kami yang terhubung langsung pada wifi kampus. Tidak langsung membuka tapi kami malah saling mengangkat kepala dan kemudian bertatap satu sama lain, seakan mengatakan hal yang sama, kita dapat e-mail yang sama? Kami tertawa kecil mengingat tingkah konyol apa yang sedang kami peragakan.

“Eh, teman lama kita yang dulu pindah universitas itu ngirim surat undangan nih!” kataku terkejut.

“Iya Diana, aku sudah tahu, aku juga dapat undangannya.”

“Diundang mulu, kapan ngundangnya ya? Jodoh aja belum ada..” kataku bercanda.

“Kan ada aku.” jawab datar, Tono.

Eh.. aku memandang heran kepada Tono. Dia hanya membalas senyum tiga jari yang memperlihatkan gigi-gigi rapinya itu dilanjut mengangkat kedua alisnya yang lumayan tebal. Ah, Tono, lagi-lagi kau menyebalkan dengan kata-katamu. Aku tahu kamu hanya bergurau.

Kau adalah matahari yang dinanti saat hujan tak kunjung reda. Kau adalah pelangi yang ditunggu saat aku berlamun di batas senja. Kemudian hilang—selalu kutunggu. Bukan penulis namanya jika belum menuliskan tentangmu.

Hari sudah mulai menua. Kami merapikan laptop dan membereskan sampah yang berserakan sehabis makan dan minum. Berjalan dengan langkah yang hampir sama melewati beberapa tanaman yang tertanam di pot-pot besar. Keluar dari lorong dingin itu.

Sesekali menyapa teman-teman yang masih juga mengerjakan tugas-tugas mereka atau hanya sekedar berbincang kecil mempererat sebuah persahabatan. Sedangkan kami mulai membelah sore di bawah guratan jingga.

“Kamu bakal kerja habis lulus dari sini?” tanyaku.

“Iya, aku sudah membuat rencana itu dari empat tahun yang lalu. Bahkan perusahaan yang akan kusambangi sudah aku list. Ya semoga nilai akhir kita bagus. Kamu?”

Ton, apa aku ada dalam rencanamu? Meski bukan kau buat dari empat tahun lalu. “Aku belum tahu, Ton. Mungkin aku akan melanjutkan S2 dulu. Lagi pula aku sudah menjadi penyiar radio dua tahun terakhir ini, kan. Juga mengisi beberapa majalah dengan tulisanku. Kalau aku akan pergi jauh gimana, Ton?”

“Kamu bebas milih jalan yang kamu mau. Kalau itu baik untukmu, aku akan mendukung. Aku disini ada, sebagai teman dekatmu, lebih dari seorang sahabat. Lagi pula kamu mau kemana?”

Aku memang tak pernah ada dalam rencana indahmu itu. “Aku ingin pergi jauh, melayang ke langit biru lalu tinggal di atas awan. Nanti aku bisa lihat kamu dari atas, aku bisa menjagamu dari jauh.” Jawabku sambil menatap jalan tanpa terlihat bayang.

“Ngaco aja kalau ngomong.”
***

Beberapa bulan telah kita lewati. Kini saatnya semua cerita baru akan segera dimulai. Entah akan dianggap bahagia atau malah sebaliknya. Dini hari tadi kau memberiku kejutan lewat pesan singkat, Diana! Kau harus tahu bahwa wanita yang selama ini aku ceritakan padamu akan datang pada pesta wisuda kita hari ini. Dia memberiku kejutan yang indah. Nanti akan kukenalkan padamu.

Pagi ini aku tahu matahari begitu indah menyapa, membangunkan tidurku yang terlalu lelap, ternyata aku senang untuk bermimpi karena sepertinya aku tak ingin bangun dulu—kalau aku tahu kau akan memberiku pesan singkat itu.

Jika bidadarimu akan memberikan kejutan dengan datang ke pesta wisuda kita nanti, aku pun akan memberimu kejutan yang mungkin menurtmu sangat indah. Tunggu aku, Ton. Tunggu kejutan dariku untukmu, semoga kau bahagia karena kejutan ini akan membuatmu lebih leluasa menjalani hari bersama bidadarimu yang sejak lama kau nanti itu.

Aku datang dengan setelan kebaya berwarna cokelat dan jilbab yang dibentuk pantas di wajahku. Sengaja tak kutempelkan make-up yang terlalu tebal karena aku ingin terlihat lebih sederhana dengan apa adanya diriku. Seperti saat pertama aku menginjakkan kaki di kampus ini, bahkan aku tak memakai bedak waktu itu.

Aku mengatur nafas untuk bertemu denganmu. Sambil menenteng tas kecil yang sepadan dengan setelan kebaya cokelatku. Sedikit merapikan diri. Tubuhku sedikit gemetar oleh cuaca dingin dalam hati yang mulai membeku atau menggumpal penuh kepedihan, sudahlah aku mencoba untuk tetap tenang.

“Hi, Diana!” salah satu temanku mengejutkan dari belakang, aku hampir terjatuh dibuatnya.

“Hi, Gabriel! Jangan membuat aku terkejut, please..” kataku lirih.

“Sorry, hehe.. OMG, Diana! You are so beautiful today. Apa kamu mau aku antar ke dalam? Give your hand..” Gabriel menjulurkan tangannya padaku.

“Thank you Gabriel but I can not, sorry. Don’t angry with me.” Aku menolak ajakan Gabriel, menyatukan kedua telapak tanganku dan mengangkatnya, lalu aku tersenyum pada Gabriel.

“Ok I understand, never mind, Diana. Have fun!”

Rasakanlah saat desah suaraku menggema di telingamu. Rasakan sentuhan itu yang tak pernah kutujukan kepada siapa pun, kau juga tahu. Rasakanlah saat doaku begitu romantic mengalahkan pelukan wanita lain yang sesaat untukmu.

Aku berjalan ke dalam ruangan yang sudah penuh dekorasi kebebasan. Tepat pada tatap lurus mataku, kau ada di dapan sana membelakangi tubuhku. Bidadari itu sudah ada di sampingmu, tangannya melingkar di pinggangmu—kau pun begitu. Seketika langkahku terhenti tepat di balik punggungmu. Ini sudah saatnya aku pergi. Aku hanya tukang tinta yang bisa melukiskan pesonamu saja atau memeluk bayangmu pun aku tak kuasa.

Kau berbalik arah dan terkejut melilhatku yang sudah ada di belakangmu. Bidadari itu, iya dia sangat cantik dengan rambut yang tergerai panjang begitu pun hiasan di kepalanya. Gaun yang panjangnya hampir selutut dengan warna yang sama dengan setelan kebayaku tapi sedikit lebih muda. Dia memang cantik seperti bidadari. Kau tak salah pilih, Ton.

“Wow! Diana? Cantik banget.” Puji Tono. Aku hanya tersenyum, lebih tepatnya sudah tak sanggup untuk mengeluarkan kata apa pun. “Oh iya, ini kenalkan namanya Gadis.”

“Hallo Gadis, aku Diana.” Kami berdua bersalaman.

“Diana? Kamu lagi sakit?” tiba-tiba Gadis menembakku dengan pertanyaan yang tidak ingin aku dengar.

Tanganku memang sedari tadi berubah menjadi dingin, mungkin saat ini wajahku sudah mulai memucat. “Engga kok, memang seperti ini. Tidak usah khawatir. Kamu cantik, Gadis.” Jawabku dengan suara yang mulai parau, kemudian kututup dengan senyum.

“Tono, bisa kita bicara sebentar?” tanyaku.

Gadis membiarkan Tono pergi denganku ke sebrang dari penglihatannya.

Aku memberikan amplop berwarna cokelat yang masih rapi tersegel. Tono merasa bingung, aku pun harap-harap cemas. “Ton, aku mau kamu bacain ini buat aku.”

Tono membuka suratnya pelan-pelan, sesekali menatap eskpresi wajahku. “Kepada yang terhormat, saudari Diana Wibisana. Selamat anda lolos untuk tes beasiswa University of Japan. Kebarangkatan anda pada tanggal 24 Agustus tahun ini. Semua yang dibuthkan sudah terlampir pada amplop ini. Tanggal 24? Berarti itu lusa? Kenapa kamu nggak bilang dari awal, Na?”

Aku tak bisa berkata apapun, air mataku mengalir deras sampai jatuh ke lantai—tanpa bersuara. Sesekali memejamkan mata. Tono menatapku tajam dengan wajah yang sangat terkejut.

Aku membuka suara, “Aku fikir kamu akan senang dengan kepergianku ini, Ton. Kamu sudah bertemu dengan bidadarimu kali ini. Yang dari dulu kamu tunggu, yang dari dulu kamu ceritakan padaku. Aku kira aku adalah rumahmu, aku adalah tempatmu kembali ketika kejenuhan itu datang menghampirimu, aku yang membuatmu tenang setiap kali kau merasa kacau saat terbayang sosoknya. Tapi kamu selalu bilang bahwa dialah rumahmu, hatiku selalu berontak, rumah apa maksudmu? Rumah untuk menuju kegalauan lagi? Rumah untuk mencari kesedihanmu? Namun waktu telah menjawab semuanya pada hari ini, iya Ton, rumahmu adalah dia. Wanita yang sedang memberimu kejutan di akhir. Seperti rencanamu, ada dia untuk menjadi masa depanmu. Dan aku akan menjawab pertanyaanmu, seseorang pada puisiku adalah kamu, Tono Haryanto. Selamat atas kelulusanmu. Aku hanya memiliki doa untukmu, mungkin takkan pernah memelukmu dengan nyata. Semoga kamu merasakan bisik permohonanku pada sepertiga malam. Good bye, teman dekat.”


Rasakanlah saat doaku begitu romantic mengalahkan pelukan wanita lain yang sesaat untukmu. Aku hanya tukang tinta yang takkan pernah menampakkan cahaya, sampai nanti kau sendiri yang menemukannya. Aku hanya tukang tinta yang senantiasa menjaga dalam lelap tidurmu—di balik punggung. Aku hanya tukang tinta yang selalu tersenyum untumu. Aku pergi tanpa bisa pergi. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar