Bukan penulis namanya jika belum menceritakan tentangmu. Bukan penulis
namanya jika belum berkhayal tentangmu. Bukan penulis namanya jika belum
menuliskan pesonamu. Bukan penulis namanya jika belum berpuisi keistimewaanmu.
Waktu sangat cepat meninggalkan bayang, saat semua begitu terasa
kutinggalkan tetap aku harus mengalah—semua akan berpisah meninggalkan kenangan
yang tidak akan usang oleh debu sekalipun. Beribu masalah yang kita hadapi
bersama kini harus difikirkan sendiri—semua akan berakhir.
Empat tahun bukan waktu yang singkat untuk aku bertahan berdiri di
hadapanmu, dengan gagah penuh senyum. Atau memendam kepalsuan karena kamu
begitu istimewa untuk diceritakan. Kau selalu bertanya, siapa yang begitu
beruntung untuk kamu deskripsikan lewat rasa yang tersirat dalam sebuah puisi? Bahkan
kamu begitu buta dengan pertanyaanmu.
Aku selalu mengalihkan pertanyaanmu itu dengan candaan sederhana,
sehingga kamu lupa dengan tawamu. Aku bahagia bisa membuatmu tertawa. Dan
sampai saat ini aku adalah buku harianmu—mengisahkan sosok bidadari yang entah
dimana ia berada namun telah membuatmu jatuh hati berkali-kali. Inilah aku,
malaikatmu yang selalu dicari. Inilah aku, pundak milikmu untuk bersandar.
Inilah aku, sebenar-benar rumahmu—bukan untuk membuat hatimu pilu tapi membuat
hatimu tenang. Inilah aku, wanita yang takkan pernah menjadi cantik oleh make-up.
“Diana, kenapa kamu suka banget bikin puisi tentang pria itu?
Bahkan aku belum tahu siapa dia.” Topik pembicaraan yang dibuka Tono.
“Hmm.. kenapa ya? Hehe.. Dia itu sangat istimewa, aku juga nggak
tahu cinta buta apa yang lagi aku rasain sekarang. Orang kaya dia sayang kalau
nggak dijadiin materi puisi yang romantis. Aku nggak akan membiarkan dia hanya
menjadi serpihan kata yang berserakan. Dan aku selalu berharap setiap puisi
yang aku tulis bisa membuat dia tersenyum dan bangun dari tundukan kepalanya.
Ya anggap saja aku lagi merayu dia. Sebenarnya, kamu tahu orang itu siapa,
dekat banget sama kamu, Ton.”
“Dekat banget? Berapa jengkal? Atau berapa millimeter? Hahaha.”
Kami yang sedang duduk berdua di lorong kelas yang lumayan besar,
menatap laptop yang memandangi tugas skripsi. Sudah hampir empat tahun dan kami
sudah berjanji untuk lulus dengan tepat waktu. Setelah itu, kami akan
melanjutkan hidup masing-masing—aku harap kita bersama.
Aku beranjak dari duduk, membenarkan tulang-tulang punggung yang
hampir bengkok akibat terlalu lama menunduk ke arah laptop. Sedikit meregangkan
badan, menarik tangan ke atas. Sedangkan Tono masih asyik dengan ketikan
jemarinya yang beradu pada keyboard. Aku keluar sebentar untuk membeli
makanan ringan.
Bukan penulis namanya jika aku hanya membiarkanmu memiliki hitam
kelabu, padahal aku tahu warna dalam hatimu begitu indah mengalahkan cakrawala
di ujung petang.
Rasakan semua belaian jemari yang tak halus karena selalu berkutik
dengan pena. Rasakan semua tatap harapam yang mengalir dalam sanubarimu.
Rasakan semua setiap nada sumbang yang kulantunkan untuk menyentuh hatimu.
“Tono, udah dulu ngerjainnya. Makan dulu nih.”
“Ok Diana! Oh iya, kamu mau bantuin aku nggak?” tanyanya. Aku
mengangguk singkat sambil membuka makanan yang baru saja kubeli. “Gantiin
perban tangan aku ya? Susah kalau sendiri, aku bawa obatnya juga kok.”
“Oh yang kemarin lusa keserempet mobil itu ya? Sini aku bantuin.”
Luka di tangan Tono memang tidak terlalu besar tapi cukup serius.
Tono bersandar pada dinding yang mulai terasa dingin akibat AC. Aku mencoba
untuk membuka perbannya perlahan-lahan, dibersihkan dengan alcohol lalu
kubiarkan kering terlebih dahulu, setelah itu kutetesi obat merah di area luka
dan sekitarnya. Kubalut lagi dengan perban yang baru, dirapikan agar tidak
terlihat kumal.
“Selesai!” suaraku sedikit berteriak dan mengangkat kepala menatap
Tono namun ia sudah terlelap dalam tidurnya, mungkin saat kubuka perbannya, dia
cukup lelah dengan skripsinya. “Hmm! Makanya hati-hati kalau nyebrang jalan,
Tono. Tidur yang nyenyak ya, nanti aku bangunin kalau hari sudah sore.” Aku
berbicara sendiri di depan Tono sambil kuusap tangannya yang luka dibalut
perban, pelan-pelan.
“Tataplah diriku disini masih seperti yang dulu.. satu yang tak
bisa lepas percayalah hanya kau yang mampu mencuri hatiku, aku pun tak
mengerti..” (Andien – Satu yang Tak Bisa Lepas) aku
bersenandung lirih sambil kembali pada laptopku.
Laguku berhenti sejenak menatap Tono yang tiba-tiba bangun dari
tidurnya dan melanjutkan lagu yang sama, sambil tersenyum kecil menatapku.
“..Satu yang tak bisa lepas bawalah kembali jiwa yang luka dan perasaan yang
lemah ini menyentuh sendiriku.”
Aku tahu hanya lagu kita yang sama. Apa kabar dia yang selalu kamu
ceritakan? Ah, aku selalu menunggu cerita-cerita baru yang ingin kau sampaikan—tentang
dirinya. Atau mungkin kau sudah tidak selera untuk menceritakannya? Apa mungkin
kau sudah tak selera untuk mengingatnya? Jawabannya ada pada dirimu.
Lalu rasakanlah setiap tangan ini menjagamu dalam diam.
Perjalananmu adalah teka-teki kosong yang sekedar harap lalu hilang. aku tak
ingin memilikimu, maka biarkanlah kamu yang memiliki. Naïf, aku hanya tersenyum
untukmu. Meski aku hampir tenggelam di tengah lautan. Bukan penulis namanya
jika tidak bisa menyimpan dalam kepalsuan mata. Penulis amatiran ini hanya
sanggup memeluk bayangmu.
Semua fikiran dan tatap mata terfokus pada tulisan yang ada di
layar kaca. Sesekali bertanya singkat tentang kalimat yang tak dimengerti.
Dahaga yang haus membuat tangan meraba teh hangat dan secangkir kopi hitam—sesekali
bertukar minuman.
Tiba-tiba e-mail masuk dari kedua laptop kami yang
terhubung langsung pada wifi kampus. Tidak langsung membuka tapi kami
malah saling mengangkat kepala dan kemudian bertatap satu sama lain, seakan
mengatakan hal yang sama, kita dapat e-mail yang sama? Kami tertawa
kecil mengingat tingkah konyol apa yang sedang kami peragakan.
“Eh, teman lama kita yang dulu pindah universitas itu ngirim surat
undangan nih!” kataku terkejut.
“Iya Diana, aku sudah tahu, aku juga dapat undangannya.”
“Diundang mulu, kapan ngundangnya ya? Jodoh aja belum ada..” kataku
bercanda.
“Kan ada aku.” jawab datar, Tono.
Eh.. aku memandang heran kepada Tono. Dia hanya membalas senyum tiga
jari yang memperlihatkan gigi-gigi rapinya itu dilanjut mengangkat kedua
alisnya yang lumayan tebal. Ah, Tono, lagi-lagi kau menyebalkan dengan
kata-katamu. Aku tahu kamu hanya bergurau.
Kau adalah matahari yang dinanti saat hujan tak kunjung reda. Kau
adalah pelangi yang ditunggu saat aku berlamun di batas senja. Kemudian hilang—selalu
kutunggu. Bukan penulis namanya jika belum menuliskan tentangmu.
Hari sudah mulai menua. Kami merapikan laptop dan membereskan
sampah yang berserakan sehabis makan dan minum. Berjalan dengan langkah yang
hampir sama melewati beberapa tanaman yang tertanam di pot-pot besar. Keluar
dari lorong dingin itu.
Sesekali menyapa teman-teman yang masih juga mengerjakan
tugas-tugas mereka atau hanya sekedar berbincang kecil mempererat sebuah
persahabatan. Sedangkan kami mulai membelah sore di bawah guratan jingga.
“Kamu bakal kerja habis lulus dari sini?” tanyaku.
“Iya, aku sudah membuat rencana itu dari empat tahun yang lalu.
Bahkan perusahaan yang akan kusambangi sudah aku list. Ya semoga nilai akhir
kita bagus. Kamu?”
Ton, apa aku ada dalam rencanamu? Meski bukan kau buat dari empat
tahun lalu. “Aku belum tahu, Ton. Mungkin aku akan melanjutkan S2 dulu. Lagi
pula aku sudah menjadi penyiar radio dua tahun terakhir ini, kan. Juga mengisi
beberapa majalah dengan tulisanku. Kalau aku akan pergi jauh gimana, Ton?”
“Kamu bebas milih jalan yang kamu mau. Kalau itu baik untukmu, aku
akan mendukung. Aku disini ada, sebagai teman dekatmu, lebih dari seorang
sahabat. Lagi pula kamu mau kemana?”
Aku memang tak pernah ada dalam rencana indahmu itu. “Aku
ingin pergi jauh, melayang ke langit biru lalu tinggal di atas awan. Nanti aku
bisa lihat kamu dari atas, aku bisa menjagamu dari jauh.” Jawabku sambil
menatap jalan tanpa terlihat bayang.
“Ngaco aja kalau ngomong.”
***
Beberapa bulan telah kita lewati. Kini saatnya semua cerita baru
akan segera dimulai. Entah akan dianggap bahagia atau malah sebaliknya. Dini
hari tadi kau memberiku kejutan lewat pesan singkat, Diana! Kau harus tahu
bahwa wanita yang selama ini aku ceritakan padamu akan datang pada pesta wisuda
kita hari ini. Dia memberiku kejutan yang indah. Nanti akan kukenalkan padamu.
Pagi ini aku tahu matahari begitu indah menyapa, membangunkan
tidurku yang terlalu lelap, ternyata aku senang untuk bermimpi karena
sepertinya aku tak ingin bangun dulu—kalau aku tahu kau akan memberiku pesan
singkat itu.
Jika bidadarimu akan memberikan kejutan dengan datang ke pesta
wisuda kita nanti, aku pun akan memberimu kejutan yang mungkin menurtmu sangat
indah. Tunggu aku, Ton. Tunggu kejutan dariku untukmu, semoga kau bahagia
karena kejutan ini akan membuatmu lebih leluasa menjalani hari bersama
bidadarimu yang sejak lama kau nanti itu.
Aku datang dengan setelan kebaya berwarna cokelat dan jilbab yang
dibentuk pantas di wajahku. Sengaja tak kutempelkan make-up yang terlalu
tebal karena aku ingin terlihat lebih sederhana dengan apa adanya diriku.
Seperti saat pertama aku menginjakkan kaki di kampus ini, bahkan aku tak
memakai bedak waktu itu.
Aku mengatur nafas untuk bertemu denganmu. Sambil menenteng tas
kecil yang sepadan dengan setelan kebaya cokelatku. Sedikit merapikan diri.
Tubuhku sedikit gemetar oleh cuaca dingin dalam hati yang mulai membeku atau
menggumpal penuh kepedihan, sudahlah aku mencoba untuk tetap tenang.
“Hi, Diana!” salah satu temanku mengejutkan dari belakang, aku
hampir terjatuh dibuatnya.
“Hi, Gabriel! Jangan membuat aku terkejut, please..” kataku lirih.
“Sorry, hehe.. OMG, Diana! You are so beautiful today. Apa kamu mau
aku antar ke dalam? Give your hand..” Gabriel menjulurkan tangannya padaku.
“Thank you Gabriel but I can not, sorry. Don’t angry with me.” Aku
menolak ajakan Gabriel, menyatukan kedua telapak tanganku dan mengangkatnya,
lalu aku tersenyum pada Gabriel.
“Ok I understand, never mind, Diana. Have fun!”
Rasakanlah saat desah suaraku menggema di telingamu. Rasakan
sentuhan itu yang tak pernah kutujukan kepada siapa pun, kau juga tahu.
Rasakanlah saat doaku begitu romantic mengalahkan pelukan wanita lain yang
sesaat untukmu.
Aku berjalan ke dalam ruangan yang sudah penuh dekorasi kebebasan.
Tepat pada tatap lurus mataku, kau ada di dapan sana membelakangi tubuhku.
Bidadari itu sudah ada di sampingmu, tangannya melingkar di pinggangmu—kau pun
begitu. Seketika langkahku terhenti tepat di balik punggungmu. Ini sudah
saatnya aku pergi. Aku hanya tukang tinta yang bisa melukiskan pesonamu saja
atau memeluk bayangmu pun aku tak kuasa.
Kau berbalik arah dan terkejut melilhatku yang sudah ada di
belakangmu. Bidadari itu, iya dia sangat cantik dengan rambut yang tergerai
panjang begitu pun hiasan di kepalanya. Gaun yang panjangnya hampir selutut
dengan warna yang sama dengan setelan kebayaku tapi sedikit lebih muda. Dia
memang cantik seperti bidadari. Kau tak salah pilih, Ton.
“Wow! Diana? Cantik banget.” Puji Tono. Aku hanya tersenyum, lebih
tepatnya sudah tak sanggup untuk mengeluarkan kata apa pun. “Oh iya, ini
kenalkan namanya Gadis.”
“Hallo Gadis, aku Diana.” Kami berdua bersalaman.
“Diana? Kamu lagi sakit?” tiba-tiba Gadis menembakku dengan
pertanyaan yang tidak ingin aku dengar.
Tanganku memang sedari tadi berubah menjadi dingin, mungkin saat
ini wajahku sudah mulai memucat. “Engga kok, memang seperti ini. Tidak usah
khawatir. Kamu cantik, Gadis.” Jawabku dengan suara yang mulai parau, kemudian
kututup dengan senyum.
“Tono, bisa kita bicara sebentar?” tanyaku.
Gadis membiarkan Tono pergi denganku ke sebrang dari
penglihatannya.
Aku memberikan amplop berwarna cokelat yang masih rapi tersegel.
Tono merasa bingung, aku pun harap-harap cemas. “Ton, aku mau kamu bacain ini
buat aku.”
Tono membuka suratnya pelan-pelan, sesekali menatap eskpresi
wajahku. “Kepada yang terhormat, saudari Diana Wibisana. Selamat anda lolos
untuk tes beasiswa University of Japan. Kebarangkatan anda pada tanggal 24
Agustus tahun ini. Semua yang dibuthkan sudah terlampir pada amplop ini. Tanggal
24? Berarti itu lusa? Kenapa kamu nggak bilang dari awal, Na?”
Aku tak bisa berkata apapun, air mataku mengalir deras sampai jatuh
ke lantai—tanpa bersuara. Sesekali memejamkan mata. Tono menatapku tajam dengan
wajah yang sangat terkejut.
Aku membuka suara, “Aku fikir kamu akan senang dengan kepergianku
ini, Ton. Kamu sudah bertemu dengan bidadarimu kali ini. Yang dari dulu kamu
tunggu, yang dari dulu kamu ceritakan padaku. Aku kira aku adalah rumahmu, aku
adalah tempatmu kembali ketika kejenuhan itu datang menghampirimu, aku yang
membuatmu tenang setiap kali kau merasa kacau saat terbayang sosoknya. Tapi
kamu selalu bilang bahwa dialah rumahmu, hatiku selalu berontak, rumah apa
maksudmu? Rumah untuk menuju kegalauan lagi? Rumah untuk mencari kesedihanmu?
Namun waktu telah menjawab semuanya pada hari ini, iya Ton, rumahmu adalah dia.
Wanita yang sedang memberimu kejutan di akhir. Seperti rencanamu, ada dia untuk
menjadi masa depanmu. Dan aku akan menjawab pertanyaanmu, seseorang pada
puisiku adalah kamu, Tono Haryanto. Selamat atas kelulusanmu. Aku hanya
memiliki doa untukmu, mungkin takkan pernah memelukmu dengan nyata. Semoga kamu
merasakan bisik permohonanku pada sepertiga malam. Good bye, teman dekat.”
Rasakanlah saat doaku begitu romantic mengalahkan pelukan wanita
lain yang sesaat untukmu. Aku hanya tukang tinta yang takkan pernah menampakkan
cahaya, sampai nanti kau sendiri yang menemukannya. Aku hanya tukang tinta yang
senantiasa menjaga dalam lelap tidurmu—di balik punggung. Aku hanya tukang
tinta yang selalu tersenyum untumu. Aku pergi tanpa bisa pergi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar