Minggu, 21 Februari 2016

Dari Jalanan

Jalanan

Tentang jalanan. Jalanan adalah aku, aku yang bercermin padanya. Skenario Tuhan yang sangat jelas terlihat. Tidak pernah ada yang ditutupi dari panjangnya jalan raya yang tak berujung, kalau tidak lurus, pasti berbelok. Jalanan, berarti belajar tentang kesabaran. Jalanan, berarti belajar tentang ketegaran. Jalanan, berarti belajar tentang pilihan. Kemudian, pilihan pasti berujung konsekuensi, berujung manis atau pahit, berujung indah atau pedih, berujung hidup atau mati. Jalanan, belum pernah kurasakan kejenuhan, ketika berja;an terus meski tanpa arah, aku selalu merasakan rasa syukur dalam dada.

Saat hati begitu penuh oleh keadaan yang menggencet lapisan, saat hati begitu sesak sehingga aku harus berteriak sekencang-kencangnya, saat aku lelah dan benar-benar payah untuk tak sanggup lagi tersenyum, saat aku butuh seseorang untuk menopang kakiku sendiri, saat aku (sebenarnya) butuh bahu untuk sejenak bersandar, saat aku (sebenarnya) butuh seseorang untuk menyeka tangisku, saat aku (sebenarnya) butuh seseorang untuk memelukku hangat, saat aku butuh seseorang untuk menghentikan ucapan ‘aku sudah lelah’, saat aku (sebenarnya) butuh seseorang untuk terus menghibur kesedihan, saat aku (sebenarnya) butuh seseorang untuk menghapus mega menjadi warna, saat aku (sebenarnya) butuh seseorang untuk mengusir mendung sehingga hujan tak datang. Aku takkan memohon, aku takkan berbicara, aku takkan bergumam, aku memilih diam dan kembali pada jalan.

Sungguh, aku hanya tak ingin menjadi beban untuk hidup orang lain. Hanya saja aku mengerti bahwa setiap orang pasti memiliki masalah dalam hidupnya, dan mungkin saja, masalahnya lebih berat dibanding aku. Tapi aku senang ketika aku dipercaya untuk menjadi pendengar yang baik, itu bisa menjadi pengobat lara untuk diri sendiri, bisa membuat rasa syukurku kembali. Dan untuk semua kepenatanku, akan kuserahkan semua cerita pada jalanan. Aku berbisik pada langit, aku bersenandung pada bumu, lalu kutunggu hujan untuk menghapus lara.

Hingga pada suatu hari, aku menemukan seorang tukang cukur di persimpangan jalan. Wajahnya pucat pasi, kepalanya hampir botak, penampilannya layu, dan matanya yang menatap kosong. Saat itu panas begitu sangat terik, aku berteduh di bawah teras si tukang cukur sambil sesekali meminum air mineral. Sedikit obrolanku yang berawal ringan.

“Pak, numpang neduh dari panas ya. Hehe..”

“Ohiya mbak, silahkan saja. Memang akhir-akhir ini kemarau tidak berhenti-berhenti.”

“Aneh ya Pak, padahal disebutnya kota hujan.”

“Ya Tuhan itu kan adil mbak, kadang harus merasakan hujan tapi kadang harus merasakan panas.”
Tak lama kemudian Bapak si tukang cukur itu berdiri dari tempat duduknya dan berjalan ke dalam untuk mengambil kursi untukku. Sambil jalan sedikit tergopoh-gopoh.

“Ini duduk mbak, silahkan saja.”

“Iya Pak terimakasih. Bapak lagi sakit?”

“Saya setiap hari memang seperti ini mbak. Saya sudah lama sakit gagal ginjal yang setiap 2 mimggu sekali harus cuci darah.”

“Terus Bapak kerja jadi tukang cukur rambut sendiri saja? Maksud saya ada asisten atau apa gitu?”

“Saya sendiri saja mbak, ya hitung-hitung mengisi kekosongan selama masih bertahan buat hidup. Saya sudah divonis dokter beberapa kali bahwa umur saya sudah tidak lama lagi, tapi Tuhan berkata lain, mungkin Tuhan ingin saya menghabiskan dosa-dosa yang telah saya perbuat. Ya seperti dikasih kesempatan hidup lebih lama.”

Seketika aku hanya duduk terdiam mendengar cerita si Bapak.

“Istri saya itu mbak orang yang hebat. Dia engga pernah mengenluh tentang sakit yang saya derita, dia selalu setia menemani saya cuci darah ke rumah sakit. Walah.. bener-bener cantik luar dalam. Dia yang bikin saya terus semangat buat hidup.”

“Beruntung banget ya Pak punya pendamping kaya istri Bapak. Jaman sekarang kan susah cari orang yang baik hati tanpa pamrih kaya gitu.”

“Iya mbak saya sangat beruntung. Dulu, saya sempet gak kenal Tuhan, tapi istri saya itu selalu saja meyakinkan saya, dia gak pernah marah, dia sabar banget buat mengingatkan saya tentang Tuhan. Pokoknya kaya judul film apa tuh mbak? Yang ada sayap-sayapnya..”

“Hmm.. Oh! Malaikat tanpa sayap, ya Pak?”

“Nah iya itu mbak. Saya doakan ya mbak, semoga mbak mendapatkan jodoh yang bisa membawa mbak lebih baik lagi.”

Ternyata, jalanan sedang membuka mata dan hatiku tentang bagaimana cara mensyukuri hidup dan tidak menyia-nyiakan tubuh yang sehat. Jalanan juga sedang mengayunkan tubuhku pada senandung cinta. Cinta, lengkapi kekuranganku dan terima kelebihanku.

Terlepas dari kota hujan, aku menyebrangi jalanan ke Ibu Kota. Berjalan di bawah langit terik yang lama-lama menghanguskan kulit. Aku melihat setiap orang yang berjalan di trotoar pasti tergesa-gesa. Ya, begitulah Ibu Kota, siapa cepat dia yang dapat.

Sudah tak sanggup lagi berjalan, aku mencoba untuk menaiki bajaj. Kendaraan roda tiga ini yang sudah beralih warna menjadi biru yang dulu berwarna merah. Sudah berovolusi sehingga tak ada asap knalpot yang membuat sesak paru-paru. Tak ada tawar-menawar, karena kurasa harga yang ditawarkan cukup sepadan dengan perjalanan menuju tempat yang ingin kutuju. Bukan uangku berlebih, tapi aku tahu bagaimana rasanya kekurangan. Sampai pada perempatan yang sangat macet, ya namanya juga Ibu Kota.

“Aduh Jakarta langganannya macet. Yang sabar ya dek.”

“Iya gapapa Pak. Sambil menikmati jalan Ibu Kota.”

“Masih kuliah apa sudah kerja dek?”

“Kuliah Pak, tapi sambil nyari sambilan buat jajan-jajan.”

“Wah, hebat juga ya dek. Saya juga punya anak cowok, dia baru lulus S1 setahun lalu, pas ngelamar kerja Alhamdulillah langsung ketrima.”

“Hebatan anak bapak dong ya?  Hehe..”

“Sama saja dek, semua orang itu pasti hebat. Ini saja bajaj peninggalan anak saya. Dia dulu kuliah sambil narik bajaj. Tapi Allah sayang banget sama anak saya jadi dipanggil duluan.”

“Innalillahi wainnailaihi rojiun.. maaf ya Pak saya gak bermaksud. Turut berduka cita.”

“Gapapa dek, kan Bapak duluan yang cerita. Baru beberapa bulan kerja dia tertabrak truk sehabis pulang ngantor, nyawanya tidak tertolong. Saya Cuma bisa ngelus dada. Dia itu anaknya baik, lulusan pondok pesantren juga di Jawa. Namanya juga takdir, kit amah ya Cuma bisa manut aja.”

Kawan, kita tidak akan pernah tahu kapan takdir akan menjemput, kapan Tuhan begitu sangat merindukan kita kembali kepangkuan-Nya. Kita sebagai makhluk hidup tidak bisa melawan takdir apa lagi lari, percuma, kalau sudah waktunya, kita hanya mempertanyakan, ‘apakah aku mati membawa imanku?’.

Hidup ini pilihan dan mempertaruhkan teapat atau terlambat. Kadang terlintas di pikiran, aku lebih baik kehilangan masa muda dibandingkan harus kehilangan masa depan. Karena aku tahu, hidup di dunia hanya sebagai kontrakan, yang sewaktu-wakltu kita akan diusir dan harus pindah ke tempat lain. Aku tidak pernah tahu kapan Tuhan akan memanggilku, kapan malaikat-Nya menjemput ruhku. Di sini, aku sedang berusaha menata masa depan untuk semua orang yang aku sayangi, aku tak peduli masa mudaku akan sedikit gompal karena terus berkutik untuk cita-cita. Yang penting, saat aku benar-benar pergi dan takkan kembali, semua tugasku sudah tuntas.

Lebih baik aku kehilangan masa mudaku dari pada harus meninggalkan orang yang aku sayangi. Tak masalah untukku, senang-senang bisa kucari, tapi saat Ibu atau Ayahku sedang terbaring sakit (meski hanya tergigit semut) aku harus tetap merawatnya. Karena, mungkin itu adalah detik terakhir yang akan kuberikan. Entah aku yang akan ditinggalkan atau aku yang akan meninggalkan. Kita takkan pernah tahu takdir.

Aku tidak sempurna, banyak kekurangan dalam diriku yang menjadi sisi lemahku. Tapi aku tahu, bahwa ada cinta dalam hati yang selalu menguatkan dalam setiap langkah. Meski sulit rasanya ikhlas, namun harus kulakukan, karena saat hati merasa ikhlas dan di saat itulah rasa syukur muncul, lalu akan menjadi ketentraman jiwa. Jalanan, selalu mengajariku banyak hal. Kemudian, kutulis dalam bait dan paragraph.

Untuk semua orang yang sedang merasakan sakit, percayalah itu takdir Tuhan yang sangat indah. Berarti, Tuhan begitu menyayangimu, Tuhan ingin kau kembali pada-Nya dengan bersih dan suci, dengan mengugurkan dosa-dosamu. Bersabarlah dalam rasa nyeri yang mau rasakan. Kamu tidak pernah sendiri dalam berjuang melawan sakitmu, ada aku dan kita yang senantiasa berdoa agar kamu selalu kuat. Percayalah..

Untuk seseorang yang sudah terlanjur dalam hati, aku tak pernah main-main untuk masalah yang sangat sensitive ini. Aku membutuhkanmu untuk melengkapi kekuranganku, lalu tolong terimalah kelebihanku. Aku akan merasa senang jika kamu mengizinkanku untuk menjadi saksi perjuangan menuju pencapaian suksesmu. Aku akan merasa bahagia ketika kamu memperbolehkanku untuk belajar bersamamu menjadi pribadi yang lebih baik. Aku akan merasa sangat terhormat ketika kamu tak menyentuhku dan menjaga hatimu sampai khitbahmu muncul di depan keluargaku. Aku akan sangat merasa sangat bahagia ketika doaku terkabul, yaitu, kamu.


Dari jalanan, aku melampiaskan kejenuhan lewat cerita panjang orang-orang. Dari jalanan, aku berteriak sekencang-kencangnya tanpa ada orang tahu. Dari jalanan, aku menangis tanpa berbekas. Dari jalanan, aku belajar menipu kepedihan lewat senyum.  

2 komentar:

  1. Pesan moralnya yg w dpt hargai waktu karena setiap detik itu berarti dan jgn takut melangkah tetap yakin dan optimis karena Allah selalu bersama kita :) hehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. LUAR BIASA!! Don't waste your time selama masih muda, terus pergunakan dengan hal-hal positif. Jangan sampai terlambat apa lagi membuat penyesalan di akhir.
      Makasih ya sudah menyempatkan membaca dan berkomentar :)

      Hapus