Senin, 14 Juli 2014

Part 1

Dari sosok seorang wanita
Dari eloknya bahasa dan budaya
Gemerlap kata-kata sang pujangga
Bayangnya merasuk ke dalam raga

Aku terbangun dari sebuah mimpi. Kutengok sekeliling tempat pembaringan yg berbentuk persegi. Semua hampa dan kosong. Tak kudengar sayup-sayup suara bising yg selalu kucari. Kemana dia? Hey, kemana dirimu? Gelitik dalam dada yang mencari-cari.
Satu persatu derap langkah kecilku menapak di ubin yang begitu dingin. Menerawang pada setiap lorong di dalam rumah. Dari balik kesunyian, ternyata aku menemukan yang kucari. Ibu.. Ibu.. Aku mencarimu sedari tadi, dari balik ketenangan hati, aku menemukannya bersandar pada dinding yang membeku dengan buku-buku kuno yang berserakan.
Bersandarlah tubuh ini di pangkuannya. Dengan dekapan yang sangat hangat. Bahkan, hati yang terasa membeku pun meleleh dibuatnya. Apa yang kau pegang itu? Suara polos dari mulutku membuatnya tersenyum kecil. Secarik kertas bergaris yang berwarna kecoklat-coklatan itu adalah hasil karyanya. Sebuah syair tempo dulu yang dibuat dari hati lembut seorang Ibu. Bersenandunglah ia dengan suaranya yg halus. Ibu, aku belum mengerti kata-kata itu, perkataan dari mulutku terlontar kembali. Ibu hanya tersenyum kecil dan memberiku buku-buku lamanya untukku. Dengan gayanya, dia menjelaskan tentang sebuah deretan kata. Mimik wajah yang berganti, hentakan, keceriaan, sampai kesedihan yang teramat dalam. Tak lepas pandanganku yang ikut menari mengikuti lenggok tubuh dan tutur katanya.
Kuresapi sederetan tiap baitnya. Kubuka lagi bukunya, kubaca, kupahami. Lalu, ketika aku sudah mengerti, dgn lantang tubuh ini berdiri tegap dan memaparkan apa yang sedang dijelaskan pada tiap lembar halamannya. Seakan jiwanya merasuk ke dalam tubuhku. Terjunlah aku ke dalam syair itu. Hanyutlah aku dalam kata-kata sang pujangga. Terbang dan melintas cakrawala bersama mimpi yang tak nyata.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar