Minggu, 30 September 2018

Terimakasih

Matahari itu muncul dari sebelah mana? Jangan bohong, kenapa aku selalu melihatnya dari sorotan matamu—hangat. Kalau bulan hadirnya karena apa? Jangan bohong, aku yang gelap lalu kau hadir menyelamatkan—menerangi. Dalam hidup ini ada tiga hal yang aku percaya; pertama, ada yang datang hanya sebagai pelajaran hidup. Kedua, ada yang datang sebagai penyembuh di kala luka tidak kunjung kering. Ketiga, dia yang memang ditakdirkan sebagai teman hidup, yang selalu hadir untuk mendampingi, bukan sekedar melengkapi, yang setia tidak pernah pergi sekalipun di posisi terendahmu, yang selalu memamerkan pada dunia bahwa kamulah yang tercantik setelah ibumu meskipun sudah keriput di mata, dahi, dan sekitar pipi, atau sudah memutih rambut panjangnya itu. Lalu pertanyaannya, kamu yang mana?

Jangan biarkan aku menulis, hentikan jemari-jemari ini menari tanpa jeda, jangan biarkan kamu menyesal karena tak sanggup. Kalau hidup adalah tentang pilihan, apa hati juga? Apa kamu memilihku juga karena sebuah pilihan? Karena ada beberapa kriteria yang kamu cari ada di aku? Lalu, saat aku sudah tidak memiliki semua hal yang kamu inginkan itu, semuanya hilang? Termasuk janji-janjimu itu? Aku tidak pernah bisa menjawab saat kau tanya, mengapa kamu mencintaiku? Sedangkan kamu selalu bisa menjawabnya dengan mudah. Karena yang aku pahami, kasih sayang yang ada tidak pernah beralasan, percayalah saat alasan-alasan itu musnah, maka kasih sayang pun musnah. Ada doa yang kupinta pada Tuhan dari sebelum aku mengenalmu, semoga aku hanya dijatuhkan hati pada dia yang memang takdirku.

Kamu salah memilih kalau begitu, kamu salah memilih orang yang hatinya tulus. Atau aku yang memang bodoh? Percayalah, aku tidak pernah bisa membenci siapa pun, sekalipun dia yang telah membuat luka dalam, sekalipun dia yang membenciku tanpa sebab, sekalipun dia yang hanya memanfaatkan kebaikanku. Aku yang keliru telah mempercayai orang yang salah, aku yang salah sudah menutup telinga dari mereka yang berbisik ini-itu tentangmu, rasa itu mengalahkan logika. Tapi tak apa, aku hanya sedang dipecundangi dunia.

Dan, terimakasih karena telah mencintaiku, dulu. Atau sandiwarakah itu? Yang bak’ romeo n’ Juliet. Terimakasih karena telah memberikan kesempatan untuk merasakan bagaimana rasanya diperjuangkan. Terimakasih atas malam-malam yang selalu kita semogakan akan cepat pagi. Terimakasih atas nikmatnya menunggu karena rindu sampai beratnya rindu karena hanya dirasa sendiri. Terimakasih karena sudah memberikan aku kesempatan berjalan di belakangmu, mengusap punggungmu saat lelah itu muncul. Terimakasih karena sudah pernah mengusap air mataku sampai pada akhirnya kau juga yang membuat air mata itu mengalir deras dan sungguh aku tak ingin kau mengusapnya lagi. Terimakasih karena sudah pernah berjuang bersamaku sampai kau menyerah dan membiarkan aku jatuh sendiri. Terimakasih juga karena telah meninggalkanku, meninggalkan anganku, meninggalkan rencana kamu, aku, kemudian kita, dan sampai akhirnya hanya rencana kosong yang terbang melayang tanpa punya tuan. Terimakasih karena kamu sendiri yang membuktikan omongan orang-orang yang dulu aku abaikan. Sekali lagi terimakasih atas malam yang pernah kita tatap bersama waktu itu, di bangku yang terbuat dari bambu itu, dimana mata kita terikat oleh lamunan masa depan yang saat ini terbuang percuma. Terimakasih karena sekarang aku mengenalmu.

Akan ada hari-hari panjang tanpamu. Aku tak pernah menyesal mencintai seorang bajingan sekalipun karena itu pilihanku, seperti kamu memilihku. Ini keputusanmu, lalu aku mengalah. Semoga aku bisa berdamai oleh waktu dan masa lalu, sehingga saat kamu menemukan penggantiku, aku bisa tersenyum karena itu. Semoga langitku tidak lagi abu-abu. Sekarang aku tahu, kamu dihadirkan sebagai pelajaran hidup. Dan terimakasih karena kamu telah meninggalkanku, aku tahu bahwa begitu banyak yang menyayangiku, bahkan Tuhan begitu mencintaiku. Terimakasih, kamu kado terindah di Maretku yang lalu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar